RATIH PRATIWI
120120110052
(Bloom dan Sevilla 2003). Proses bergesernya kelompok umur penduduk yang lahir dua
puluh sampai tiga puluh tahun sebelumnya, mereka secara potensial memasuki pasar
kerja, baik setelah menyelesaikan jenjang pendidikan menengah atau terhenti (Oshima
dalam Elfindri dan Bachtiar, 2004). Upaya yang dilakukan untuk memperluas fasilitas
pendidikan di negara-negara berkembang guna pencapaian pemerataan hasil-hasil
pendidikan ternyata tidak diiringi dengan peningkatan kualitas tamatannya. Efek ganda
dari dilemma tersebut adalah semakin banyaknya pencari kerja berusia muda dan
berpendidikan (Elfindri dan Bachtiar, 2004).
Menurut BPS (2012), bahwa pengangguran terdidik merupakan jumlah pencari
kerja yang berpendidikan SMA ke atas (sebagai kelompok terdidik). Pengangguran
terdidik terjadi selama lulusan mengalami masa tunggu (job search periode) yang dikenal
sebagai pengangguran friksional. Lama masa tunggu itu bervariasi menurut tingkat
pendidikan. Secara makro, pengangguran terdidik merupakan suatu pemborosan jika
dikaitkan dengan opportunity cost yang dikorbankan oleh negara akibat dari
menganggurnya angkatan kerja terdidik terutama pendidikan tinggi. Dari segi ekonomis,
pengangguran terdidik mempunyai dampak ekonomis yang lebih besar daripada
pengangguran kurang terdidik jika ditinjau dari konstribusi yang gagal diterima
perekonomian. Dan dalam pandangan mikro, menganggur dapat mempengaruhi tingkat
utilitas individu (Sutomo, dkk, 1999).
Dari sisi penawaran, kecenderungan makin meningkatnya tingkat pendidikan
akan berakibat pada makin tinggi harapan untuk mendapatkan kedudukan atau
kesempatan kerja yang lebih sesuai. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya pengangguran terdidik (Sutomo, dkk, 1999), yaitu sebagai berikut : 1.)
Ketimpangan struktural dan ketidakcocokan antara karakteristik lulusan baru yang
memasuki dunia kerja (labor supply) dan kesempatan kerja yang tersedia.
Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau
masalah keahlian khusus; 2.) Pengaruh teori human capital (Woodhall dan
Psacharopoulus, 1997) yang menyebabkan timbulnya asumsi pendidikan sekolah sebagai
lembaga yang secara langsung mempersiapkan tenaga kerja yang mampu dan terampil
bekerja; 3.) Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja terdidik
yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di
sektor formal yang jumlahnya relatif kecil); 4.) Belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di
samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang
tidak sempurna menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya.
Kemudian faktor optimisasi utilitas juga menyebabkan lulusan akademi atau universitas
memilih menganggur jika tidak sesuai dengan bidangnya.
Dari sisi permintaan pasar tenaga kerja, di era globalisasi saat ini, kegiatan
bisnis korporasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara
melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border
transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional, pergerakan tenaga
kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Hal ini
menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan terhadap struktur dan strategi
usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis cost efficiency dan
competitive advantages, termasuk dalam hal rekrutmen terutama bagi tenaga kerja
terdidik (Kemenakertrans, 2013).
Pada kondisi globalisasi, keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan
model AFTA, APEC dan WTO membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM
di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing SDM bermutu yang
tercipta lewat pendidikan (Kemenakertrans, 2013). Karena pendidikan dianggap sebagai
mekanisme kelembagaan penting dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan,
peningkatan tingkat pendidikan masyarakat adalah upaya pemerintah yang harus
dipertahankan. Akselerasi laju bertambahnya angkatan kerja terdidik di Indonesia harus
disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Konsekuensinya, lulusan terdidik harus
dimanfaatkan potensinya seoptimum dan sesegera mungkin.
Realitanya, lulusan pendidikan menengah dan tinggi tidak secara otomatis
terserap oleh lapangan pekerjaan sehingga menimbulkan terjadinya pengangguran
terdidik. Cepat atau lambatnya penyerapan lapangan kerja dapat terlefleksikan dari lama
mencari kerja (job search period). Berdasarkan kompleksitas baik dari sisi permintaan
metode mencari pekerjaan, dan jenis pekerjaan yang dicari. Untuk itu, dilakukanlah
penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
lama mencari kerja pada pencari kerja terdidik di Indonesia serta bagaimana besar
pengaruhnya pada durasi pencarian kerja. Manfaat yang ingin dicapai dalam kegiatan
penelitian ini antara lain : 1.) Dari teoritis, kita dapat mengetahui faktorfaktor yang
mempengaruhi waktu tunggu kerja angkatan kerja terdidik dan berapa besar dampaknya
pada lama mencari kerja; 2.) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan
dan pendidikan; 3.) Dari praktis, penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam menyusun kebijakan sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam
merumuskan kebijakan ketenagakerjaan misalnya lama bersekolah, kegiatan pelatihan,
dan metode yang efektif untuk membantu angkatan kerja untuk dapat memperoleh
pekerjaan. Teori yang menunjang penelitian ini antara lain : teori human capital dan teori
mencari pekerjaan. Pada teori modal Sumber Daya Manusia (Human Capital Theory).
Menurut Becker (1962), manusia bukan sekedar sumber daya namun merupakan modal
(capital) yang menghasilkan pengembalian (return) dan setiap pengeluaran yang
dilakukan dalam rangka mengembangkan kualitas dan kuantitas modal tersebut
merupakan kegiatan investasi. Pendidikan merupakan kegiatan investasi penting karena
kualitas SDM yang unggul dalam kapasitas penguasaan IPTEK dan mental sangat
diperlukan dalam proses pembangunan. Menurut Becker dalam Atmanti (2005), investasi
modal manusia akan menghasilkan output yang lebih tinggi. Teori human capital
berpendapat bahwa tenaga kerja terdidik biasanya mempunyai produktivitas kerja dan
efisiensi yang lebih tinggi daripada tenaga kerja tak terdidik.
Teori ini bertumpu pada asumsi bahwa pendidikan formal sangat instrumental
dan diperlukan untuk meningkatakan kapasitas indidividu sehingga pendidikan dianggap
sebagai investasi modal manusia dalam industri (Woodhall dan Psacharopoulus, 1997).
Peningkatan mutu modal manusia tidak dapat dilakukan dalam periode yang singkat,
namun memerlukan waktu yang panjang. Seperti halnya investasi faktor produksi lainnya,
investasi modal manusia juga memperhitungkan rate of return (manfaatnya) dan
mempertimbangkan opportunity cost. Diharapkan dari investasi ini, manfaat yang
diperoleh jauh lebih besar daripada biayanya.
Teori ini sejalan dengan pemikiran Jacob Mincher mengenai fungsi penghasilan.
Melalui penelitiannya pada 1974 berjudul Schooling, Experience and Earnings, distribusi
pendapatan di Amerika beragam sesuai dengan tingkat pendidikan dan pelatihan yang
dimiliki pekerja. Didapati bahwa di periode 1950 hingga 1960, pendapatan tahunan
meningkat 5-10 % setiap penambahan lama sekolah dalam tahun (Polachek, 2007).
Indikasi ini mengimplikasikan bahwa investasi pendidikan dapat meningkatkan
penghasilan. Sehingga, sangat wajar bagi pencari kerja terdidik memiliki ekspektasi pada
tingkat upah tertentu setelah menyelesaikan sekolahnya.
Sedangkan, Search theory adalah metode yang menjelaskan masalah
pengangguran dari sudut penawaran yaitu keputusan seorang individu untuk
berpartisipasi di pasar kerja berdasarkan karakteristik individu pencari kerja. Menurut
Biro Pusat Stiatistik (2012), terdapat beberapa alasan utama seseorang mencari pekerjaan
atau mempersiapkan usaha baru, antara lain: (1) Tamat sekolah/ tidak bersekolah lagi, (2)
Tanggung jawab mencari nafkah/ membantu ekonomi rumah tangga atau keluarga, (3)
Menambah penghasilan, (4) Pekerjaan yang ada kurang sesuai, (5) Pemutusan Hubungan
Kerja, (6) Usaha terhenti.
Search theory merupakan bagian dari economic uncertanty yang timbul karena
informasi di pasar kerja tidak sempurna, artinya para penganggur tidak mengetahui secara
pasti kualifikasi yang dibutuhkan dan tingkat upah yang ditawarkan pada lowonganlowongan pekerjaan yang ada di pasar. Pekerja hanya mengetahui informasi mengenai
distribusi frekuensi dari seluruh tawaran pekerjaan yang didistribusikan secara random
menurut tingkatan keahlian. Menurut Kaufman dan Hotchkiss (2002), dengan informasi
yang sempurna, seseorang akan mengetahui perusahaan mana yang menawarkan upah
yang lebih baik, dan proses mencari kerja menjadi tidak perlu dilakukan. Karena hal
tersebut tidak akan terjadi, seseorang akan menganggur dalam waktu tertentu untuk
mencari pekerjaan yang terbaik (diasumsikan berarti upah yang paling tinggi). Model job
search terkait dengan intensitas pencarian dan reservation wage dari tiap individu.
Search theory mengasumsikan bahwa pencari kerja adalah individu yang riskneutral, artinya mereka akan memaksimisasi expected income-nya. Tujuan untuk
memaksimisasi expected-income dan reservation wage adalah kriteria menerima atau
menolak suatu pekerjaan. Pencari kerja akan mengakhiri proses mencari kerja pada saat
marginal cost dari tambahan satu tawaran kerja tepat sama dengan marginal return dari
tawaran kerja tersebut (Sutomo, dkk, 1999). Hal sejalan dinyatakan oleh Zukerman
(1983), bahwa individu mencari pekerjaan dengan durasi tertentu. Aktivitas pencarian ini
memerlukan biaya keuangan per satuan waktu. Jika di asumsikan bahwa pekerjaan yang
diterima bersifat random dan gaji yang ditawarkan bersifat posistif, i.i.d maka keputusan
terpenting yang harus dilakukan pencari kerja adalah menentukan waktu yang tepat untuk
berhenti mencari dan meneriwa sebuah tawaran kerja. Stopping rule ini akan menjadi
optimal jika pencari kerja mempertimbangkan faktor expected net-return yang maksimum
dan expected discounted net-return yang maksimum.
Sejalan dengan teori di atas, keputusan untuk menerima tawaran pekerjaan juga
dapat dipengaruhi penawaran gaji yang lebih tinggi atau justru lebih rendah dari
reservation wage. Terdapat dua skentario yang meningkatkan probabilitas individu untuk
memutuskan akan memulai bekerja. Pertama, penawaran gaji lebih besar dari reservation
wage. Kedua, individu dapat menerima pekerjaan ketika reservation wagenya lebih
rendah. Akan tetapi reservation wage ini sifatnya tidak konstan, bahkan terdapat
kecenderungan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya wakktu (Kasper,
1967).
Terdapat beberapa studi terdahulu yang telah menjelaskan mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi lama mencari kerja pada tenaga kerja terdidik, antara lain:
Zaretky, A dan Coughlin, C (1995), dalam penelitian An Intorduction to Theory and
Estimation of a Job-Search Model. Monthly Labor Review. Feb 1995 pg. 53-65. Dengan
metode logit dan regresi berganda. Menyimpulkan bahwa: 1). Terdapat pengaruh negatif
bagi perempuan, seseorang yang berprofesi sebagai data processor, seseorang yang
memiliki asuransi pengangguran, dan masa kerja yang lebih lama terhadap probabilitas
mendapat pekerjaan kembali. Dan 2). Terdapat pengaruh positif karena perbedaan
pendidikan tingkat pergguruan tinggi dan insinyur dibandingkan yang tidak terhadap Ln
gaji di tempat kerja baru. Selain itu terdapat, Sutomo, Hadiwiyono, V dan Prihartini, B. S.
(1999), dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Lama Mencari
Kerja Terdidik di Kabupaten Klaten Tahun 1996. Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Manajemen, dan Akuntansi. Perspektif : No.4 th 1999. Fakultas Ekonomi, Universitas
Sebelas Maret. Disimpulkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif terhadap lama
mencari kerja sedangkan tingkat umur berpengaruh positif terhadap lama mencari kerja.
Variabel jenis kelamin laki-laki mempunyai lama mencari kerja yang lebih panjang
dibandingkan perempuan. Variabel pengalaman kerja berpengaruh negatif terhadap lama
mencari kerja. Umur tenaga kerja berpengaruh negatif sedangkan tingkat pendidikan
berpengaruh positif terhadap probabilitas mencari kerja. Probabilitas mencari kerja lakilaki lebih kecil dibanding perempuan. Pendidikan teknis dan pengalaman kerja
berpengaruh positif terhadap perbedaan probabilitas mencari kerja.
Kemudian, terdapat penelitian lagi dari Kuhn, P dan Skuterud, M (2004) dalam
penelitan berjudul: Internet Job Search and Unemployment Durations. The American
Economic Review, Vol. 94, No. 1 (Mar., 2004), pp. 218-232. Disimpulkan bahwa
pencarian kerja menggunakan internet tidak mempersingkat waktu mencari kerja. Dan
juga penelitian Frijters, P., Shields, M. A dan Price, S. W. (2005) dalam penelitian
berjudul: Job Search Methods and Their Success: A Comparison of Immigrants and
Natives in the UK. The Economic Journal, Vol. 115, No. 507, Features (Nov., 2005), pp.
F359-F376, Royal Economic Society. Wiley: UK. Disimpulkan bahwa probabilitas hasil
pencarian kerja yang dilakukan immigran kurang sukses jika dibandingkan penduduk asli
UK, immigran memiliki kemungkinan lebih untuk mendapatkan pekerjaan melalui
metode informal dibandingkan metode terverifikasi, lamanya waktu imigran menetap di
UK berpengaruh posistif terhadap probabilitas kesusksesan mencari kerja. Sebagian besar
penelitian terdahulu menggunakan metode logit atau probit dan regresi berganda.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan
beberapa landasaan teori yang ada maka penulis memperkirakan: jenis kelamin
perempuan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, Umur berpengaruh positif
terhadap lama mencari kerja, lama sekolah berpengaruh positif terhadap lama mencari
kerja, keterampilan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, pencari kerja yang
tinggal di perkotaan berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja, metode informal
yang digunakan pencari kerja dapat berpengaruh negatif atau positif
terhadap lama
mencari kerja, dan jenis pekerjaan purna waktu berpengaruh positif terhadap lama
mencari kerja.
Penelitian ini menggunakan sampel yang berasal dari data Sakernas 2012.
Sampel merupakan pencari kerja terdidik lulusan sekolah menengah (SMA dan SMK)
serta lulusan pendidikan tinggi (diploma dan sarjana) yang baru saja menamatkan
pendidikan terakhir mereka dan tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Metode
yang digunakan adalah metode regresi berganda (OLS) dan metode logit.
- 0.3841Educ_Diplomai
- 0.7583Educ_Sarjanai
10
swasta (Disnaker, 2014). Untuk memiliki kedua syarat tersebut, pelamar kerja harus
mengurus syarat administrasinya di Dinas Sosial dan Keternagakerjaan serta di kantor
kepolisian sesuai dengan domisili yang tercantum pada kartu identitas pencari kerja. Hal
ini memperlihatkan bahwa tempat tinggal dapat membuat limitasi kesempatan melamar
pekerjaan.
Kemudian, pada variabel pelatihan teknis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel ini berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.0760 menyatakan
bahwa lama mencari kerja pencari kerja yang pernah mengikuti pelatihan teknis 7.60 %
lebih singkat dibandingkan dengan pencari kerja yang tidak pernah mengikuti pelatihan
dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding
variabel independen lainnya.
Bukti empiris ini mendukung teori yang menyatakan bahwa pelatihan dapat
memepercepat seseorang mendapatkan pekerjaan. Jika merujuk pada teori human capital
maka pelatihan juga merupakan bagian dari investasi human capital. Secara teori,
individu yang memiliki keterampilan akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan
dibandingkan dengan orang yang kurang memiliki ketrampilan karena keterampilan juga
merupakan indikator mutu produktivitas tenaga kerja. Sedangkan dari sisi permintaan
tenaga kerja, pemberi kerja cenderung memilih tenaga kerja yang terdidik dan sudah
terlatih untuk memperkecil biaya pelatihan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan dalam
melatih karyawan baru.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan data World Bank mengenai keperluan
industri di Indonesia terhadap tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus dan
tersertifikasi. Faktanya, keperluan industri yang terus meningkat ini tidak diimbangi
dengan penawaran tenaga kerja dengan keahlian tersertifikasi. Hal ini dapat disebabkan
terbatasnya lembaga pelatihan keahlian yang difasilitasi oleh pemerintah misalnya Balai
Latihan Kerja (BLK) (Worl Bank, 2010).Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama
mencari kerja adalah pendidikan. Pada regresi ini, variabel tingkat pendidikan SMA
dijadikan sebagai base variabel. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel pendidikan
memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada masing-masing tingkat pendidikan
11
terhadap lama mencari kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan
SMK berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.2401 menyatakan bahwa
lama mencari kerja pencari kerja tamatan SMK 24.01 % lebih singkat dibanding dengan
pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah
(cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Walaupun lama sekolah lulusan
SMA dan SMK sama, waktu mencari kerja yang lebih singkat pada lulusan SMK ini
dapat disebabkan keahlian khusus yang dimiliki lulusan SMK. Faktor kejurusan ini
menjadi signaling kepada penyedia lapangan kerja.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel pendidikan diploma
berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.3841 menyatakan bahwa lama
mencari kerja pencari kerja tamatan diploma 38.41 % lebih singkat dibanding dengan
pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah
(cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hal serupa juga terlihat pada
koefisien regresi pada lulusan sarjana.
variabel pendidikan sarjana berpengaruh negatif dengan koefisien regresi sebesar 0.7583
menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja tamatan diploma 75.83 % lebih
singkat dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain
dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya.
Hasil ini memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
maka lama mencari kerja akan semakin singkat. Hal ini bertolak belakang dengan teori
yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin lama durasi
lama mencari kerja terkait dengan tingginya aspirasi untuk memperoleh pekerjaan yang
sesuai dan sebanding dengan return biaya pendidikannya. Fenomena ini dapat terjadi
ketika pada periode pengambilan sampel, lapangan pekerjaan dapat lebih mengakomodasi
lulusan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih memiliki keterampilan.
Situasi ini bersinergi dengan penelitian World Bank bahwa persyaratan keahlian dan
pendidikan semakin meningkat secara berkesinambungan, terutama pada sektor jasa
(World Bank, 2010).
12
melakukan metode informal saja 13.45 % lebih singkat dibanding dengan pencari kerja
yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap
tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Pencarian kerja
dengan melakukan metode informal saja terbukti lebih efektif memberikan informasi
yang lebih cepat. Selain itu sangat dimungkinkan pada sistem rekrutmen tertutup, proses
seleksi berlangsung lebih pendek sehingga dapat mempersingkat waktu tunggu kerja. Hal
13
ini mungkin terjadi karena metode non-verifikasi masih banyak terjadi pada pola
rekrutmen pegawai di Indonesia sehingga hal ini memberi keuntungan bagi pencari kerja
yang memiliki keluarga atau kenalan yang telah bekerja sebelumnya.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi lama mencari kerja adalah jenis pekerjaan
yang dicari. Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja dari jenis pekerjaan
purna waktu dan paruh waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis
pekerjaan memiliki pengaruh negatif dengan koefisien regresi jenis pekerjaan sebesar
0.1625 menyatakan bahwa lama mencari kerja pencari kerja paruh waktu 16.25 % lebih
singkat dibanding dengan pencari kerja purna waktu dengan asumsi faktor-faktor lain
dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Dari sisi
permintaan tenaga kerja, hal ini dapat terjadi karena umumnya kualifikasi yang
diperlukan untuk menjadi pekerja paruh waktu lebih rendah dibandingkan pekerja purna
waktu sehingga proses seleksi tenaga kerja pun lebih singkat.
Dengan metode logit, dapat disusun fungsi persamaan regresinya, yaitu sebagai
berikut:
0.0140 Jobi + i
Pada output metode logit, hasil koefisien yang dihasilkan tidak dapat langsung
diinterpretasikan. Koefisien regresi hanya dapat menunjukan arah pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Koefisen negatif menunjukan bahwa variabel
independen berhubungan negatif dengan variabel dependen dan sebaliknya. Pada
penelitian ini terdapat dua kategori pilihan variabel dependen yaitu mendapatkan
pekerjaan dengan lama mencari kerja 0-12 bulan dan lama mencari kerja lebih dari
setahun.
Untuk menginterpretasikan nilai koefisien, koefisien hasil estimasi logit harus
ditransformasi ke dalam antilogaritma natural sehingga mendapatkan odds ratio. Odds
ratio merupakan rasio anatara dua peluang yaitu peluang sukses atau gagal. Pada
14
penelitian ini, peluang sukses diartikan sebagai beluang mendapatkan pekerjaan dengan
waktu tunggu kerja 0-12 bulan sementara peluang gagal adalah waktu tunggu kerja lebih
dari setahun. Secara umum, hasil regeresi dengan metode logit memiliki hasil yang sama
dengan regresi OLS.
Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja antara pencari kerja lakilaki dan pencari kerja perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis
kelamin memiliki pengaruh negatif berarti terdapat kecenderungan bahwa pencari kerja
perempuan untuk mengakhiri masa mencari kerja kurang dari setahun semakin menurun.
Dalam konteks ini, odds rationya yakni peluang mendapatkan pekerjaan kurang dari
setahun dibanding peluang mencari pekerjaan lebih dari setahun adalah 0.95 dengan
marginal effect sebesar -0.0092. Artinya, kemungkinan pencari kerja perempuan untuk
mendapatkan pekerjaan dalam 0-12 bulan semakin menurun sebanyak 0.92 % dengan
asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel
independen lainnya. Dengan kata lain pencari kerja laki-laki memiliki kemungkinan
mendapatkan pekerjaan lebih dahulu.
Interpretasi variabel umur juga yang mendukung hasil regresi OLS bahwa umur
yang semakin tua akan semakin sulit untuk mencari kerja. Hasil regresi logit
menunjukkan bahwa variabel umur memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
probalitas lama mencari kerja selama setahun. Odds ratio umur adalah 0.7360 dengan
marginal effect sebesar -0.6038 menyatakan bahwa setiap pertambahan umur sebesar satu
tahun akan menyebabkan kecenderungan pencari kerja untuk mendapat pekerjaan kurang
dari setahun semakin menurun sebesar 6.04 % dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap
tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya.
Variabel tempat tinggal juga berpengaruh secara signifikan terhadap probalitas
mendapatkan pekerjaan dalam periode 0-12 bulan. Hasil regresi menunjukkan bahwa
variabel tempat tinggal memiliki pengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.3350
menyatakan pencari kerja yang bertempat tinggal di daerah perkotaan memiliki
probabilitas mencari pekerjaan dalam periode setahun 1.34 kali dibandingkan peluang
mencari pekerjaan lebih dari setahun. Marginal effect 0.0569 menunjukan bahwa
15
kencederungan pencari kerja di daerah perkotaan mencari kerja hanya dalam periode 0-12
bulan lebih besar 5.69 % dibandingkan dengan pencari kerja yang berdomisili di daerah
pedesaan dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus);
holding variabel independen lainnya. Dengan kata lain, daerah perkotaan dengan
kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi tenaga kerja terdidik dapat
mempersingkat waktu tunggu kerja.
Kemudian, pada variabel pelatihan teknis, hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel ini berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.2357 dan marginal effect
0.0417 menyatakan bahwa pencari kerja yang pernah mengikuti pelatihan teknis memiliki
kecenderungan mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun semakin naik 4.17 % lebih
dibanding dengan pencari kerja yang tidak pernah mengikuti pelatihan dengan asumsi
faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen
lainnya. Akan tetapi, variabel ini tidak signifikan.
Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah pendidikan.
Seperti halnya pada regresi berganda, variabel tingkat pendidikan SMA dijadikan sebagai
base variabel pada model logit. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel pendidikan
memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada masing-masing tingkat pendidikan
terhadap lama mencari kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan
SMK berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 1.3084 dan marginal effect 0.0529.
Hasil menunjukan bahwa kecenderungan pencari kerja tamatan SMK untuk mendapatkan
pekerjaan dalam periode setahun lebih besar 5.29 % dibanding dengan pencari kerja
tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus);
holding variabel independen lainnya.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa variabel pendidikan diploma
berpengaruh positif dengan odds ratio sebesar 2.6435. Marginal effect 0.1915
menyatakan bahwa probabilitas pencari kerja tamatan diploma untuk mendapatkan
pekerjaan dalam periode setahun setelah kelulusan lebih besar 19.15 % dibanding dengan
pencari kerja tamatan SMA dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah
(cateris paribus); holding variabel independen lainnya. Hal serupa juga terlihat pada
16
koefisien regresi pada lulusan sarjana. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa
variabel pendidikan sarjana berpengaruh positif dan terdapat kecenderungan yang kuat
bahwa pencari kerja tamatan sarjana untuk mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun
setelah kelulusan lebih besar 29.34 % dibanding dengan pencari kerja tamatan SMA
dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding
variabel independen lainnya. Hasil ini mendukung hasil pada model OLS yang
memberikan bukti empiris bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka lama mencari
kerja akan semakin singkat.
Variabel lain yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja adalah metode
mencari kerja. Pada regresi logit, variabel metode formal dijadikan sebagai base variabel.
Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden yang melakukan metode
formal dan informal memiliki pengaruh signifikan terhadap lama mencari kerja. Tabel
4.9 menunjukkan bahwa melakukan kedua metode berpengaruh negatif dengan odds ratio
sebesar 0.7267 dan marginal effect -0.0628 .Hal ini menyatakan bahwa probabilitas
mengakhiri masa mencari kerja lebih singkat bagi pencari kerja yang melakukan kedua
metode semakin menurun 6.29 % dibandingkan dengan pencari kerja yang hanya
melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah
(cateris paribus); holding variabel independen lainnya.
Sedangkan pada hasil regresi menunjukkan bahwa variabel dengan responden
yang melakukan metode informal saja memiliki pengaruh positf dan signifikan terhadap
probabilitas durasi lama mencari kerja yang lebih pendek. Dari hasil regresi diketahui
bahwa kecenderungan pencari kerja yang melakukan metode informal saja untuk
mendapatkan pekerjaan dalam periode setahun lebih besar 5.09 % dibandingkan dengan
pencari kerja yang hanya melakukan metode formal saja dengan asumsi faktor-faktor lain
dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel independen lainnya.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi lama mencari kerja adalah jenis pekerjaan
yang dicari. Terlihat bahwa terdapat perbedaan lama mencari kerja dari jenis pekerjaan
purna waktu dan paruh waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis
pekerjaan memiliki pengaruh positif dengan odds ratio 1.0141 dan marginal effect
17
0.0028. Berarti, kecenderungan untuk mendapat pekerjaan lebih cepat bagi pencari kerja
paruh waktu lebih besar 0.28 % dibanding dengan pencari kerja purna waktu dengan
asumsi faktor-faktor lain dianggap tidak berubah (cateris paribus); holding variabel
independen lainnya.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai upaya untuk membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan khususnya bagi
pencari kerja terdidik yang belum memiliki pengalaman kerja, antara lain sebagai berikut:
1. Para pencari kerja diharapkan lebih aktif dalam mencari informasi lowongan
pekerjaan terutama di waktu awal kelululusan karena kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan akan lebih besar. Selain itu, pencari kerja diharapkan mengisi jeda waktu
selama periode mencari kerja dengan hal-hal yang produktif seperti mengikuti
pelatihan tertentu, magang dan tetap mengasah pengetahuan. Hal ini menjadi penting
sebagai signal tenaga kerja yang memiliki potensi produktifitas tinggi bagi penyedia
lapangan kerja.
2. Pemerintah harus memberikan akses untuk memudahkan para pencari kerja yang
bertempat tinggal di pedesaan untuk memperoleh pekerjaan dengan lebih mudah.
Pencipataan fasilitas, infrastruktur dan lapangan pekerjaan di daerah pedesaan harus
menjadi prioritas investasi pemerintah.
3. Penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan lama sekolah dan peningkatan
keahlian khusus dapat mempersingkat lama mencari kerja sehingga pemerintah pantas
mencanangkan wajib belajar 12 tahun atau lebih dengan menyertakan kurikulum yang
dapat menunjang kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
4. Metode
informal
yang
lebih
efektif
mempersingkat
lama
mencari
kerja
memperlihatkan peran pemerintah dan peran pasar kerja belum teroptimalisasi secara
efektif. Penyelenggaraan penjaringan tenaga kerja dengan metode terverifikasi perlu
diperbanyak sehingga kesempatan terbuka luas tidak hanya bagi tenaga kerja yang
memiliki keluarga atau kenalan yang telah bekerja sebelumnya.
5. Rata- rata mencari kerja 13.87 bulan dan 38.91% responden yang memiliki waktu
tunggu kerja lebih dari setahun menunjukan penyerapan tenaga kerja terdidik yang
18
tidak berpengalaman belum cukup optimal. Perlu dipertimbangkan alternatif lain selain
mencari pekerjaan, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan dengan memulai usaha.
6. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menambahkan variabel kontrol lain yang
berpengaruh terhadap lama mencari kerja di Indonesia antara lain karakteristik ras atau
etnik pencari kerja.
DAFTAR PUSTAKA
19
Kuhn, P dan Mikal, S. 2004. Internet Job Search and Unemployment Durations. The
American Economic Review, Vol. 94, No. 1 (Mar., 2004), pp. 218-232. USA:
American Economic Association
Moeis, J. P. 1992. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik di Indonesia: Penerapan Search
Theory. Dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. 40 No. 2.
Polachek, S. 2007. Earning Over the Lifecycle: The Mincer Earning Function and Its
Application. IZA Discussion Papper no. 3181.
20
21
2013.
Angka
Pengangguran
di
Indoensia
Menurun.
Melalui
22