Anda di halaman 1dari 3

FENOMENA KATO NAN AMPEK

Oleh: Toni Kurniawan (UPBM 2014)

Dalam budaya Minangkabau dikenal yang namanya kato nan ampek. Kato
nan ampek adalah, tata cara berbicara menurut segmentasi umur yang disertai
dengan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain, baik kepada
orang yang lebih tua, orang yang lebih kecil, maupun kepada orang yang sebaya.
Dimana, kita berbicara tergantung pada siapa, dan dalam kondisi yang
bagaimana..
Kato nan ampek terdiri dari, kato mandaki, kato mandata, kato malereng,
dan kato manurun. Kato mandaki dipakai oleh seseorang untuk berkomunikasi
dengan orang yang lebih tua. Kato mandata dipakai oleh seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang yang seumuran/ sebaya. Kato malereng dipakai
untuk berkomunikasi dari sumando ke mamak rumah dan sebaliknya sedangkan
kato manurun digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih kecil.
Kato nan ampek bukanlah sekedar budaya, namun juga sebuah filasafat
atau pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara, dan
bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari. Kato nan ampek tidak hanya
diterapkan pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga harus kita
terapkan dalam bertingkah laku dan juga di laksanakan dalam perbuatan yang
baik.
Seiring dengan perkembangan zaman, kato nan ampek mulai mengalami
pergeseran, perubahan, bahkan budaya tersebut juga bisa memudar/ luntur, dan
biasa di gantikan oleh kebudayaan lain yang belum tentu sesuai dengan filsafah
dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau dalam tata aturan berbicara atau
berkomunikasi dengan orang lain.
Penyebab lunturnya budaya kato nan ampek adalah disebabkan oleh,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut membuat orang-orang dengan sangat mudah mendapatkan informasi,

baik dari dalam maupun dari luar Negeri. Dengan kemudahan informasi tersebut,
orang-orang terutama generasi muda dengan sangat gampang menyerap berbagai
informasi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan masyarakat luar.
Kemudahaan akses informasi membuat orang-orang dapat melihat,
mendengar, dan merasakan apa yang ada di dunia luar. Secara sadar maupun tidak
sadar orang tersebut secara otomatis meniru apa yang ia lihat dan apa yang ia
rasakan sehingga orang akan mempelajari budaya asing dan meninggalkan
budayanya sendiri dan menggantinya dengan kebudayaan lain. Lebih tepatnya
yaitu imitasi/ peniruan dalam bentuk-bentuk kebudayaan asing. Contohnya
seperti, seseorang meninggalkan budaya kato nan ampek dan menggantikannya
dengan budaya barat yang cara berkomunikasinya kepada orang lain hanya
memanggil nama, berbeda dengan budaya minang yang berkomunikasi dengan
memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan uda, uni, bapak dan sebagainya.
Dilihat dari pengertiannya sendiri, menurut Koentjaraningrat, guru besar
Antropologi di Universistas Indonesia: Kebudayaan adalah keseluruhan sistem,
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Dilihat dari pengertian
tersebut, dapat kita simpulkan bahwa perubahan cara berfikir/ belajarnya manusia
dapat membuat budaya tersebut berubah seiring berkembangnya nalar manusia,
dan juga tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan itu selalu berubah mengikuti
perubahan lingkungan di sekelilingnya.
Selain itu, hal lain yang menyebabkan lunturnya budaya kato nan ampek
adalah karena tidak adanya aturan yang mengikat bagi orang yang melakukan
pelanggaran terhadap kato nan ampek tersebut. Biasanya, pelanggaran terhadap
kato nan ampek hanya diberikan teguran bagi si pelaku yang sifatnya tidak
mengikat. Apabila tidak ada aturan yang mengikat maka, pelanggaran terhadap
tata aturan tersebut sangat mudah terjadi.
Dari uraian di atas kita memerlukan solusi supaya budaya kato nan ampek
tetap bertahan. Karena, budaya kato nan ampek bukan hanya budaya tetapi, juga

merupakan sebuah filsafah atau pandangan hidup masyarakat Minangkabau dan


merupakan warisan leluhur yang harus kita jaga dan harus kita lestarikan.
Salah satu caranya dimulai dari diri sendiri yaitu, rasa bangga memiliki
budaya kato nan ampek dan juga bangga terhadap budaya alam Minangkabau.
Apabila seseorang telah memiliki rasa bangga terhadap kebudayaannya maka,
orang tersebut akan menerapkan budaya kato nan ampek tersebut dalam
kehidupan sehari-hari dan akan melahirkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap
budaya tersebut. Sehingga, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena Globalisasi serta perkembangan zaman budaya kato nan ampek
dan budaya alam minangkabau dapat bertahan dan tetap lestari.
Rasa bangga dan cinta terhadap kebudayaan sendiri bukan berarti
menganggap budaya kita yang paling baik di antara sekian banyak budaya yang
ada di Indonesia atau yang di sebut dengan sikap etnosentrisme. Karena, sikap
menganggap budaya sendiri lebih baik dari budaya lain ( sikap etnosentrisme )
akan menimulkan konflik di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat multikultural yang memiliki ragam budaya, suku bangsa, dan agama.
Karena, sikap etnosentrisme tersebut dilandasi dengan silap ego yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai