Anda di halaman 1dari 18

KONSELING KELOMPOK UNTUK ANAK ADHD

A. Pendahuluan
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah diagnostik yang di
gunakan untuk menggambarkan orang yang mengalami penyimpangan pada
tingkat perkembangan perhatian, hiperaktifitas dan impulsifitas. Mereka
mengalami kesulitas dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas rutin atau
berkonsentrasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka mempunyai tingkah
laku yang menggelisahkan dan mengganggu orang lain. American Psychiatric
Association (1994) melaporkan sekitar 3 % sampai 5 % dari anak usia sekolah
mengalami ADHD, dan dari jumlah tersebut didominasi oleh anak laki-laki
(Kuffman, 1993; Barkley, 1990).
Anak dengan ADHD selalu bermasalah di sekolah, terutama untuk
menerima perintah agar duduk diam, untuk memperhatikan, dan fokus pada
tugas akademik dan diskusi kelas. Mereka memerlukan bantuan dari guru
yang spesifik dengan kelas yang lebih kecil dengan kemampuan mengatur
tingkah laku anak yang memadai. Akan tetapi kenyataannya, sekitar 85 %
sampai 95 % anak dengan ADHD masih dilayani di sekolah umum (Montague &
Wagner, 1997). Guru kelas reguler terbiasa dengan kelas yang jumlah siswanya
besar dan mereka harus mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat
menangani anak dengan kesulitan belajar.
B. Konselor Sekolalah dan Siswa dengan ADHD
Konselor sekolah, sebagai spesialis behavioral and relationship, dapat
memberikan dorongan kepada anak dengan ADHD dan guru mereka. The
American School Counselor Association (ASCA, 1994) telah menerbitkan
dokumen resmi yang menjelaskan posisi dan keterlibatan konselor sekolah
dalam menangani siswa siswa dengan kesulitan ini. Beberapa penulias (Erk,

1995; Lavin, 1997; Schweibert, Sealender & Tollerud, 1995) juga telah
menunjukkan akan kebutuhan itu.
Myrick (2002) telah membuat program bimbingan dan konseling
perkembangan untuk sekolah dengan tujuan membantu siswa agar bisa belajar
dengan efektif dan efisien. Konselor dapat menggunakan intervensi individual,
kelompok kecil atau besar, intervensi kelompok teman sebaya, dan konsultasi
dengan orang tua, guru dan petugas tata usaha. Kadang-kadang kelompok
siswa yang mengalami ADHD mendapat perhatian dan intervensi khusus dari
konselor.
Braswell

dan

Bloomquist

(1991)

merekomendasikan

penggunaan

konseling kelompok ketimbang konseling individual bagi anak yang mengalami


ADHD. Sesi kelompok menurutnya dapat menutupi situasi hubungan nyata
dengan teman sebaya; jumlah kelompok dapat membangun kemampuan
kerjasama. Dengan konseling kelompok konselor dapat mengintervensi dan
membantu anak yang memiliki permasalahan akademik dan sosial, terutama
berkaitan

dengan

anak

yang

lemah

kemampuannya

dan

sulit

untuk

membangun hubungan dengan teman sebaya. Intervensi yang konsisten


dengan setting sekolah dipandang akan sangat efektif.
C. Memahami ADHD dalam Lingkungan Belajar
Selama beberapa dekade yang lampau, para peneliti menghubungkan
kasus ADHD dengan faktor neurologi dan genetik. Kedua faktor inilah yang
membuat gejala ADHD itu dapat diterapi, tetapi tidak dapat disembuhkan
sama

sekali

(Barkley,

1998;

Teetre

&

Semrud-Clikeman,

1995).

Ini

menunjukkan bahwa gejala ADHD memungkinkan untuk dimenej, tetapi tidak


bisa dihilangkan sama sekali.

Gejala umum yang menjadi pertanda bahwa seorang anak mengidap


ADHD adalah impulsivitas (perilaku untuk berbuat sekehendak hati). Prilaku
impulsif inilah yang sering menjadi problem ketika anak penderita ADHD
masuk dalam lingkungans ekolah umum. Ia akan selalu menjadi sumber
kekacauan di kelas. Bahkan Zentall (1995) menyebutkan bahwa prilaku ini
sering kali menjadi sumber konflik antara anak dengan teman, guru bahkan
administrator sekolah. Dalam kaitan ini konselor dapat mengambil peran
untuk mengarahkan perilaku anak agar dapat belajar untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sehingga mereka dapat menerima tugas dan berbagai
aturan sekolah lainnya.
Sebenarnya, menurut McKinney, Montague, & Hocutt, (1993) serangan
ADHD biasanya sudah mulai tampak sebelum anak berumur 4 tahun. Akan
tetapi, seringkali gejala tersebut baru terdiagnosa ketika anak berada di
bangku sekolah dasar, yaitu ketika anak baru pertama kali diperkenalkan
dengan berbagai aturan sekolah yang mengikat mereka. Bagaimana anak
belajar untuk mengatur diri dan lngkungan belajar selama tahun pertama
mereka berada di sekolah akan sangat menentukan kesuksesan mereka untuk
tahun-tahun kemudian.
Berdasarkan beberapa hasil riset (Barkley, DuPaul, & McMurray, 1990;
Barkley, Fischer, Edelbrock, & Smallish, 1990; Weiss & Hechtman, 1993)
disebutkan bahwa 56 % anak ADHD memerlukan pembelajaran privat, 30 %
selalu mengulang kelas, 30 % - 40 % ditempatkan di sekolah khusus.
Selanjutnya sekitar 46 % anak ADHD diasingkan dari sekolah, dimana lebih
dari 30 % daripadanya adalah putus sekolah dan tidak menyelesaikan sekolah
menengah atas. Sebagai tambahan, tanpa bantuan yang memadai, maka anak
dengan ADHD akan sulit untuk mengembangkan kemampuan emosionalnya,
dan selamanya mereka akan selalu menghadapi persoalan dalam mengatasi
kemarahan, agresi, tekanan dan ketertarikan (McKinney et al., 1993; Reeve,

1990). Keadaan ini akan membuat anak penderita ADHD selalu berada di
posisi oposisional yang selalu menentang dan mengacaukan suasana serta
menjadi sumber konflik yang menyusahkan (Biederman, Faraone, & Lapey,
1992).
Keterampilan belajar (learning skills) seperti keterampilan mendengar,
memperhatikan, mengikuti petunjuk dan memperlihatkan kemampuan sosial
mempunyai korelasi yang kuat dengan kesuksesan akademik dan sosial di
sekolah (Cartledge & Milburn, 1978; Eisenberg et al., 1997; Masten &
Coatworth,

1998).

Akan

tetapi

anak

penderita

ADHD

susah

untuk

memusatkan perhatian dan sebaliknya mudah dikacaukan, mereka mengalami


kesukaran dalam membuat tugas akademik, menyelesaikan pekerjaan rumah,
dan sulit bertindak yang wajar terhadap guru dan teman-temannya. Kegagalan
dan perlawanan yang selalu diterimanya secara berulang akan menurunkan
kepercayaan dirinya. Ini akan diikuti dengan penurunan perhatian dan
meningkatnya frustrasi, melemahya performen, rendahnya hasil ujian, selalu
berkeliaran di kelas, juga berbagai perilaku mengganggu lainnya. Hal-hal
semacam inilah yang harus menjadi perhatian konselor sekolah (DuPaul &
Stoner, 1994; Reeve, 1990; Zentall, 1993).
D. Intervensi ADHD
Perawatan yang paling umum terhadap kasus ADHD adalah pengobatan
medis (Epstein, Singh, Luebke, & Stout, 1991). Menurut survey yang dilakukan
Whalen & Henker (1991) menunjukkan bahwa 60 90 % anak penderita ADHD
mendapatkan pengobatan stimulan medis dalam waktu yang panjang selama
karir sekolah mereka. Walaupun pengobatan ini tidak berdampak pada
peningkatan nilai akademik, akan tetapi mampu mengendalikan perilaku
agresif mereka.

Pengobatan medis tidak mengajarkan anak berperilaku yang tepat,


tetapi mampu mempertinggi probabilitas kemunculan tingkah laku yang
terkendali. Sementara, sebagaimana diungkapkan Barkley (1998) kesulitan
anak penderita ADHD bukanlah untuk mengetahui harus berbuat apa, akan
tetapi untuk mengetahui mereka harus membuat apa. Bukankah menurut
Stein, Szumowski, Blondis, & Roizen (1995) ada perbedaan antara memiliki
keterampilan dengan bagaimana menggunakan keterampilan itu secara efektif.
Intervensi yang diberikan konselor dalam hal ini terkait dengan bagaimana
agar anak mampu menggunakan keterampilan secara efektif.
Penelitian terbaru yang disponsori oleh The National Instututr of Mental
Health (1999) menunjukkan bahwa pelayanan secara penuh yang melibatkan
stimulan medis dan intervensi behavioral efektif untuk mengobati gejalan
ADHD. Kombinasi tersebut menghasilkan perbaikan kemampuan sosial,
hubungan orang tua-anak, dan prestasi akademik. Konselor sekolah bekerja
dalam hal mengidentifikasi gejala perilaku ADHD, sementara diagnosa dan
pengobatan medis bukan menjadi wilayah kerja konselor sekolah. Itulah
sebabnya, Goldstein & Goldstein (1998) menambahkan bahwa agar konselor
dapat membantu anak penderita ADHD dengan intervensi yang tepat, mereka
harus : a) mempunyai pemahaman yang baik tentang ADHD; b) mempunyai
berbagai teknik untuk meningkatkan keterampilan belajar; c) memiliki
kemampuan membantu anak untuk mengerti dan paham betapa pentingnya
isyarat-isyarat

eksternal.

Metode

cognitive-behavioral

dapat

digunakan

mengubah pemahaman para perawat (guru dan orangtua) terhadap jati diri
anak penderita ADHD.
Teori Dasar Konseling
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT; Ellis & MacLaren, 1998) telah
membangun sebuah teori konseling kelompok yang dapat membantu belajar

siswa. Teori ini menawarkan pemikiran untuk meningkatkan kesadaran siswa


dan keterampilan agar bisa sukses di sekolah. Teori ini berangkat dari asumsi
bahwa siswa penderita ADHD tidak bisa memunculkan perilaku yang tidak
pernah dipelajari.
REBT menekankan perubahan tingkah laku dan pengaturan diri dengan
pengujian dan modifikasi pemikiran yang memungkinkan, kepercayaan,
perasaan dan harapan. Pendekatan ini mendukung intervensi perawatan
terbaru terhadap anak penderita ADHD (Ellis & Wilde, 2002; Schweibert et al.,
1995). Di sini diasumsikan bahwa gejala utama penyimpangan ini adalah
ketidakmampuan anak dalam meningkatkan kemampuannya yang rendah.
Myrick menyebutkan bahwa pendekatan ini adalah pendekatan yang sering dia
gunakan dalam praktek konseling di sekolah.
E. JOURNEY: Sebuah Intervensi Konseling Kelompok
Apa yang akan diuraikan berikut adalah sebuah intervensi konseling
kelompok kecil yang digunakan untuk siswa penderita ADHD. Intervensi
difokuskan

pada

peningkatan

pemahaman

atas

bentuk

penyimpangan

(disorder) dan bagaimana dampaknya terhadap prestasi belajar anak. Di sini


diasumsikan bahwa yang diperlukan anak untuk mengenal dan menghadapi
penyimpangan yang ada padanya, sebagiannya adalah mengenal siapa mereka
sebenarnya. Lebih lanjut, penyimpangan itu dengan sendirinnya tidak akan
terlepas dari pribadi, akademik atau tujuan karir mereka. Yang terpenting
adalah bahwa rahasia sukses untuk mengatasi anak dengan problem ini
adalah bagaimana mengatur pemikiran, perasaan dan perilaku mereka.
Intervensi berikut adalah sebuah praktek yang telah dilakukan oleh
empat belas konselor sekolah dasar di sebuah distrik di Amerika Serikat
terhadap enam anak penderita ADHD. Intervensi diformat dalam bentuk
intervensi kelompok kecil yang terdiri dari enam sesi. Masing-masing sesi

mempunyai

sasaran

yang

spesifik

terhadap

pemikiran,

perilaku

dan

keterampilan yang difokuskan pada kemampuan personal dan belajar anak


yang dilakukan dengan cara mereview dengan cara melihat kemampuan
mereka dalam menerapkan berbagai keterampilan. Sessi diakhiri dengan tugas
yang harus dikerjakan anak dan mengungkapan rangkuman yang dapat
membesarkan hati mereka. Puncak kegiatan diisi dengan snack, juice dan
berbagi pengalaman dari masing-masing kelompok dengan mereview rencana
yang telah disusun bersama.
Sessi intervensi didasarkan pada tema penjelajahan (jurney) yang
sekiranya anak-anak akan senang mengikutinya. Tentu saja, perjalanan
memerlukan persiapan dan kemampuan untuk mengenali tanda jalan tertentu
dan pengaturan rute sedemikian rupa sehingga siswa akan tiba dengan tepat
dan aman pada tujuan. Ini penting, sebab biasanya anak penderita ADHD
mempunyai kecenderungan untuk mengikuti perjalanan dengan cara yang
berbeda, biasanya mereka akan menempuh rute yang berbeda, walaupun
sebenarnya dengan rute itu mereka juga akan tiba ditujuan dengan waktu yang
sama. Kiasan dari program ini adalah bahwa dengan tema ini anak akan
mendapatkan

banyak

peluang

untuk

berkerja

secara

kelompok

yang

menyenangkan dan mereka punya peluang untuk berpartisipasi untuk


menyusun dan melaksanakan tujuan bersama. Aktivitas ini akan banyak
berpengaruh

pada

karakteristik

pribadi

dalam

mencapai

tujuan

dan

keterampilan pengaturan diri. Seperti ketika mereka mengatur strategi yang


diperlukan sepanjang perjalanan, aktivitas itu sebenarnya juga terkait dengan
persoalan akademik, pribadi, sosial dan tujuan karir yang didiskusikan dengan
teman sebayanya.
Menyusun Program Penjelajahan

Konselor memulai intervensi dengan mengatakan kepada kelompok anak


yang dintervensi bahwa mereka dipilih sebagai anggota kelompok karena
mereka diidentifikasi mempunyai perbedaan dengan pelajar lain : mereka anak
dengan ADHD. Konselor boleh menanyakan: Apa yang anda ketahui tentang
ADHD ?
Diskusi dan klarifikasi dapat membantu siswa mengidentifikasi gejala
ADHD dan bagaimana gejala tersebut dimanifestasikan di sekolah, sehingga
mereka sering dianggap berbeda dengan teman lainnya. Kemudian konselor
memberikan penjelasan tentang berbagai program yang harus dijalankan oleh
kelompok mereka masing-masing, dan mereka diberikan kesempatan untuk
menyususun strategi untuk mencapoai tujuan bersama itu. Mereka akan
terlibat dalam diskusi untuk menentukan jalan yang benar bagi diri dan teman
mereka. Diskusi ini tentunya akan melibatkan segenap pemikiran, perasaan
dan perilaku mereka. Jika acara pembukaan ini selesai, mereka boleh memulai
perjalanan.
Sessi Pertama: Penjelajahan Kita
Peserta mulai perjalanan sambil mencari berbagai alternatif alur yang bisa dilalui untuk
mencapai tujuan yang tercantum dalam Peta Perjalanan, mereka memperbicangkan tempat dan
tujuan yang hendak dituju. Dari sini mereka belajar bahwa semua anak tidak harus melalui jalan
yang sama untuk mencapai sekolah, mereka boleh memilih jalan masing-masing sesuai dengan
yang ia yakini paling mudah. Ringkasan statemen : Walaupun penderita ADHD, bukan berarti
kamu tidak bisa menjadi siswa yang sukses; hanya saja, kamu memerlukan sedikit jalan yang
berbeda dengan orang lain. Jika kamu bisas mengendalikan dirimu maka, kesuksesan akan
menantimu di kemudian hari.

Sessi Kedua: Berkemas


Siswa mendapati tas yang morat-marit. Konselor memulai sessi dengan dengan
menggeledah tas atau semua kantong bawaan siswa dengan mengacak-acak semua isinya. Ini
adalah demo tentang situasi chaos (kacau). Siswa diminta untuk merapikan kembali dengan cara
memilah mana yang barang pribadi dan mana yang kepunyaan kelompok. Barang-tersebut

dikumpulkan kembali dengan serapi mungkin dan tidak ada barang yang tertukar. Ini adalah
adegan pembelajaran siswa bagaimana cara mengorganisasikan sesuatu. Sessi ditutup dengan
statemen ringkas: Menyimpan sesuatu secara rapi terorganisir adalah penting. Ini adalah
sebuah jalan yang dapat membantu kamu mengatur dirimu sendiri untuk menuju sukses di
sekolah.

Sessi Ketiga: Stop Lights dan Tanda Lalulintas


Siswa diminta untuk menghayal sedang berada di dalam mobil untuk meningkatkan
kesadarannya bahwa mereka butuh untuk memperhatikan dan mematuhi berbagai tanda yang
ada di sekitar. Mereka diminta untuk menjadi navigator, sementara kawannya menjadi supir.
Mereka diminta untuk merespon berbagai tanda gambar yang ditunjukkan di depan mereka
dengan interval waktu yang semakin lama semakin dekat, sehingga mereka harus memusatkan
penglihatan pada tanda-tanda yang akan muncul. Siswa yang akan menjadi pemenang dalam
permainan ini adalah mereka yang paling sedikit melanggar tanda-tanda lalu lintas. Sessi ditutup
dengan ringkasan dari konselor dengan mengatakan: Dengan ADHD menjadikan kamu sulit
untuk mendengar dan memperhatikan, akan tetapi bukan berarti itu tidak bisa dilakukan. Selalu
belajar dan selalu mengingatnya setiap hari adalah cara berlatih yang baik untuk menggapai
kesuksesan.

Sessi Keempat: Menggunakan Tanda Jalan sebagai Petunjuk


Siswa mengidentifikasi tanda jalan yang sudah familiar sebagai isyarat (petunjuk)
perilaku di jalan sebelum mereka mengidentifikasi tanda-tanda di dalam kelas yang mungkin
dapat membantu memberikan isyarat perilaku atau mengingat sesuatu. Siswa mengembangkan
isyarat (petunjuk) masing-masing yang dapat mendorong peningkatan kesuksesan di kelas.
Statemen penutup: Siswa penderita ADHD dapat meningkatkan kesuksesannya di kelas dan
mendapatkan apa yang telah dikerjakan dengan menggunakan petunjuk (isyarat) yang ada di
dalam kelas dan memperbaiki diri sendiri adalah jalan untuk menggapai semua itu.

Sessi Kelima: Lubang Jalan dan Jalan Memutar


Siswa membayangkan hal-hal yang dapat membuat mereka melewati jalan yang salah,
termasuk di dalamnya rintangan yang dapat menghambat untuk sampai tujuan (konstruksi, jalan
yang memutar, lubang di jalan dan sebagainya). Dari sini siswa akan dapat merefleksikan
berbagai rintangan yang yang akan menghambat kesuksesan mereka di sekolah. Konselor
mengajarkan dan menunjukkan pilihan strategi kognitif-behavioral sebelum konselor memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan strategi tersebut. Konselor menutup sessi

dengan: Kita mengetahui bahwa banyak jalan yang berlubang bagi siswa ADHD. Banyak pula
jalan yang berlubang bagi semua siswa, tapi jika kalian telah menandai peta jalan kalian, maka
kalian akan bisa sampai tujuan. Kalian sedang belajar bejalan dan menemukan rintangan serta
sistuasi sulit, maka lanjutkanlah perjalanan kalian.

Sessi Keenam: Bantuan di Pinggir Jalan dan Menjadi Mekanik Sendiri


Dalam perjalanan tidak tertutup kemungkinan seseorang tersesat. Dalam situasi seperti
ini, meminta bantuan orang lain adalah pilihan yang tepat. Setelah itu baru kita bisa mengeplorasi
berbagai kemampuan dan menjadi mekanik bagi diri kita sendiri. Konselor harus menyampaikan
bahwa sebagaimana dalam perjalanan, dalam situasi belajar, jika siswa mengalami kesulitan,
jangan segan-segan untuk bertanya pada orang lain agar bisa keluar dari kesulitan tersebut.
Akan tetapi kita harus ingat bahwa tidak boleh selamanya kita tergantung dengan orang lain, kita
harus bisa menjadi montir bagi diri kita sendiri. Kita harus bisa memperbaiki setiap kesalahan
yang kita perbuat.

Sessi Terakhir : Ringkasan


Konselor menjelaskan bahwa sebagaimana anak-anak telah sukses dalam menempuh
perjalanan yang telah diprogramkan dengan menggunakan berbagai bantuan yang diperlukan,
mereka juga harus sukses di sekolah. Sessi bisa diakhiri dengan: Anak-anak sekalian, kita telah
mengadakan perjalanan yang sangat melelahkan sekaligus menyenangkan. Banyak hal yang
telah kita peroleh dari perjalanan kita. Kita telah mengetahui seluk-beluk tentang ADHD, dan
berbagai sikap dan perilaku yang bisa mengatasi hambatan yang disebabkan oleh ADHD
tersebut. Agar kita bisa sukses, kita tidak boleh menyerah. Kita harus menetapkan tujuan hidup
kita, dan jangan cemas jika tujuan dan jalan hidup kita harus berbeda dengan orang lain. Untuk
itu kita harus hidup terorganisir dengan rapi. Kita bisa menggunakan berbagai alat bantu untuk
mencapai kesuksesan hidup. Jika kita mengalami hambatan dan rintangan, kita jangan ragu
untuk minta bantuan orang lain, tapi ingat jangan sampai kita tergantung pada bantuan tersebut.
Kita harus bisa menjadi mekanik dari diri kita sendiri. Begitu juga untuk bisa sukses di sekolah.

F. Kesimpulan
Riset dan teori ini disajikan untuk memberikan pemahaman kepada
konselor tentang ADHD dan mendorong terbangunnya intervensi konseling
kelompok kecil untuk siswa yang mengidap ADHD. Intervensi ini hanya
sebagian dari berbagai bentuk intervensi yang bisa digunakan untuk

meningkatkan prestasi siswa di sekolah. Dengan bentuk intervensi yang


multiarah akan sangat membantu guru, juga berdampak pada pemahaman
siswa mengenai ADHD.
Dalam intervensi konseling kelompok kecil dalam bentuk journey ini,
siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkannya untuk
bisa keluar dari penjara ADHD, dan mengisinya dengan cara pandang dan
keterampilan-keterampilan yang bisa mengantarkan mereka pada sukses di
sekolah, dan juga untuk masa depannya. Dan ini akan terwujud jika dalam diri
siswa yang mengalami ADHD telah tumbuh kesadaran dan tanggung jawab
atas setiap tindakan yang dilakukannya serta mampu mengatur dirinya sendiri
sehingga kehadirannya di lingkungan sekolah tidak lagi menjadi pengganggu
teman sebayanya.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (4th ed.). Washington, DC: Author.
American School Counselor Association. (1994). Position statement: Attention
deficit hyperactivity disorder. Alexandria, VA: Author.
Barkley, R. A. (1990). Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for
diagnosis and treatment. New York: Guilford.
Barkley, R. A. (1998). Attention-deficit hyperactivity disorder: A handbook for
diagnosis and treatment (2nd ed.). New York: Guilford.
Barkley, R. A., DuPaul, G.J., & McMurray, M. B. (1990). A comprehensive
evaluation of attention deficit disorder with and without hyperactivity.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 58, 775-789.
Barkley, R. A., Fischer, M., Edelbrock, C. S., & Smallish, L. (1990). The
adolescent outcome of hyperactive children diagnosed by research
criteria: I. An 8 year prospective follow-up study. Journal of the American
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 29, 546-557.

Biederman, J., Faraone, S.V., & Lapey, K. (1992). Comorbidity of diagnosis in


attention-deficit hyperactivity disorder. In G. Weiss (Ed.), Child and
adolescent psychiatric clinics of North American: Attention-deficit
hyperactivity disorder (pp. 335-360). Philadelphia: Saunders.
Braswell, L. (1993). Cognitive-behavioral groups for children manifesting ADHD
and other disruptive behavior disorders. In J. E. Zins & M. J. Elias
(Eds.), Promoting student success through group interventions. New York:
The Hawthorn Press.
Braswell, L., & Bloomquist, M. L. (1991). Cognitive-behavioral therapy for
children with ADHD: Child, family and school interventions. New York:
Guilford.
Cartledge, G., & Milburn, J. F. (1978). The case for teaching social skills in the
classroom: A review. Review of Educational Research, 48, 133-156.
Cuthbert, M. I. (1987). Developmental guidance activities for school success
skills: A comparison of modeling and coaching. Doctoral Dissertation,
University of Florida, Gainesville.
Du Paul, G. J., & Rapport, M. D. (1993). Does methylphenidate normalize the
classroom performance of children with attention deficit disorder?
Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 32,
190-198.
DuPaul, G. J., & Stoner, G. (1994). ADHD in the schools: Assessment and
intervention strategies. New York: Guilford.
Eisenberg, N., Gutrie, I., Fables, R., Reiser, M., Murphy, B., Homren, R., et al.
(1997). The relations of regulations and emotionality to resiliency and
competent social functioning in elementary school children. American
Psychologist, 53, 205-220.
Ellis, A., & MacLaren, C. (1998). Rational-emotive behavior therapy. Atascadero,
CA: Impact.
Ellis, A., & Wilde, J. (2002). Case studies in Rational Emotive Behavior Therapy
with children and adolescents. Upper Saddle River, NJ: Merrill PrenticeHall.
Epstein, M. H., Singh, N. N., Luebke, J., & Stout, C. E. (1991).
Psychopharmacological intervention: Teacher perceptions of psychotropic

medication for students with learning disabilities. Journal of Learning


Disabilities, 24, 477-483.
Erk, R. R. (1995). A diagnosis of attention deficit disorder: What does it mean
for school counselors? The School Counselor, 42, 292-299.
Goldstein, S., & Goldstein, M. (1998). Managing attention-deficit hyperactivity
disorder in children: A guide for practitioners. New York: Wiley.
Kauffman, J. M (1993). Characteristics of emotional and behavioral disorders of
children and youth (5th ed.). New York: Merrill.
Kavale, K. (1992).The efficacy of stimulant drug treatment for hyperactivity: A
meta-analysis. Journal of Learning Disabilities, 15, 280-289.
Lavin, P. (1997). A daily classroom checklist for communicating with parents of
children with attention deficit hyperactivity disorder. The School
Counselor, 44, 315-318.
Linn, R. T., & Hodge, G. K. (1982). Locus of control in childhood hyperactivity.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 50(4), 592-593.
Masten, A., & Coatworth, J. (1998). The development of competence in favorable
and unfavorable environments: Lessons from research on successful
children. American Psychologist, 53, 205-220.
McKinney, J. D., Montague, M, & Hocutt, A. M. (1993). Educational assessment
of children with attention deficit disorder. Exceptional Children, 60(2),
125-131.
Montague, M., & Wagner, C. (1997). Helping students with attention deficit
hyperactivity disorder succeed in the classroom. Focus on Exceptional
Children, 30(4), 1-16.
Myrick, R. D. (2002). Developmental guidance and counseling: A practical
approach (4th ed.). Minneapolis, MN: Educational Media Corp.
MTA Cooperative Group. (1999). A 14-month randomized clinical trial of
treatment strategies for attention deficit hyperactivity disorder. Archives
of General Psychiatry, 56(12), 1073-1086.
Reeve, R. E. (1990). ADHD: Facts and fallacies. Intervention in School and Clinic,
26, 115-120.

Schweibert, V. L., Sealander, K. A., & Tollerud, T. R. (1995). Attention deficit


hyperactivity disorder: An overview for school counselors. Elementary
School Guidance and Counseling, 29, 249-259.
Shaywitz, S. E., & Shaywitz, B. A. (Eds.). (1992). Attention deficit disorder
comes of age: Toward the twenty-first century. Austin, TX: Pro-Ed.
Stein, M. A., Szumowski, E., Blondis, T. A., & Roizen, N. J. (1995). Adaptive
skills dysfunction in ADD and ADHD children. Journal of Child
Psychology and Psychiatry and Allied Disciplines, 36, 663-670.
Teeter, P. A., & Semrud-Clikeman, M. (1995). Integrating neurobiological,
psychosocial, and behavioral paradigms: A transactional model for the
study of ADHD. Archives of Clinical Neuropsychology, 10, 433-481.
Webb, L. D. (1998). [Counselor interventions for helping ADHD students).
Unpublished raw data.
Webb, L. D. (1999). A group counseling intervention for children with attention
deficit hyperactivity disorder Doctoral Dissertation, University of Florida,
Gainesville.
Weiss, G., & Hechtman, L. (1993). Hyperactive children grown up: ADHD in
children, adolescents and adults (2nd ed.). New York: Guilford.
Whalen, C. K., & Henker, B. (1991). Therapies for hyperactive children:
Comparisons, combinations, and compromises. Journal of Consulting
and Clinical Psychology, 59, 126-137.
Zentall, S. S. (1993). Research on the educational implications of attention
deficit hyperactivity disorder. Exceptional Children, 60(2), 143-153.
Zentall, S. S. (1995). Modifying classroom tasks and environments. In S.
Goldstein (Ed.), Understanding and managing children's classroom behavior. New
York: Wiley.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) Pada


Anak
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah kondisi kronis yang telah
menimpa milyaran anak-anak dan gangguan ini sering tetap bertahan sampai mereka
dewasa. ADHD termasuk kombinasi dari beragam masalah, termasuk tidak
memperhatikan sesuatu atau seseorang, sulit fokus, hiperaktif, dan perilaku impulsif.
Anak-anak dengan ADHD juga mungkin merasa rendah diri, kesulitan dalam sebuah
hubungan, dan nilai-nilai rapotnya buruk. Gejala-gejala ini kadang berkurang seiring
dengan
bertambahnya
umur.
Perawatan tidak akan menyembuhkan ADHD, Namun dapat membantu meredakan
gejalanya. Perawatan umumnya melibatkan obat dan intervensi perilaku. Diagnosis awal
dan
perawatan
dapat
membuat
perbedaan
besar
nantinya.
Perilaku

normal

vs

ADHD

Kebanyakan anak-anak yang sehat pun susah memusatkan perhatian, hiperaktif, atau
impulsif di saat-saat tertentu. Ini normal untuk anak-anak preschool yang hanya mampu
memperhatikan sesuatu dalam waktu sebentar dan tak mampu mengerjakan sebuah
aktivitas dalam waktu lama. Bahkan pada anak-anak yang umurnya lebih besar dan
remaja, kemampuan berfokus tergantung pada tingkat minat akan suatu hal.
Anak-anak secara alami energik mereka sering merepotkan orang tuanya sebelum
mereka lelah. Beberapa anak-anak secara alami punya tingkat aktivitas lebih daripada
yang lain. Anak-anak tidak bisa serta merta dikategorikan menderita ADHD hanya karena
mereka
lain
dari
saudara
sekandung
atau
teman-temannya.
Anak-anak yang memiliki masalah di sekolah tapi nyaman-nyaman saja saat di rumah
atau dengan teman belum tentu menderita ADHD. Ada juga anak-anak yang hiperaktif
atau susah fokus saat di rumah, tapi sekolah dan pergaulannya tidak terpengaruh.
Banyak orang tua memperhatikan pola pada perilaku anak mereka sebaik respon si anak
pada perilaku mereka sendiri. Baik Anda atau anak Anda mungkin butuh waktu untuk
mengubah perilaku. Tapi menggantikan kebiasaan lama dengan baru bukanlah hal yang
mudah ini perlu kerja keras. Penting untuk memiliki ekspektasi realistis.Tetapkan
tujuan-tujuan kecil untuk Anda dan anak Anda dan jangan berusaha untuk membuat
perubahan
seketika.
Tanda-tanda

dan

gejala

ADHD

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dulu disebut Attention-Deficit


Disorder (ADD). Tapi ADHD kini adalah istilah yang lebih mengacu pada kondisi
dimana anak tidak pernah memperhatikan sesuatu atau seseorang dan perilaku impulsif
hiperaktif. Di beberapa anak, tanda-tanda ADHD biasanya mulai tampak pada usia 2
sampai
3
tahun.
Tanda-tanda dan gejala ADHD antara lain:
- Sulit untuk memperhatikan sesuatu atau seseorang
- Sering melamun
- Susah mengikuti instruksi dan sering tidak mendengarkan
- Sering memiliki masalah dalam mengorganisasi tugas-tugas dan aktivitas
- Sering lupa dan sering kehilangan benda-benda yang diperlukan, seperti buku, pensil,
atau mainan
- Sering gagal menyelesaikan tugas sekolah, PR, dan tugas-tugas lain
- Mudah dialihkan perhatiannya
- Sering gelisah atau menggeliat-geliat
- Susah duduk manis dan sering membuat gerakan-gerakan yang sama
- Sangat cerewet
- Sering menginterupsi atau mengganggu percakapan atau permainan orang lain
- Sulit di minta menunggu jika harus antri
ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dan perilakunya
dapat lain pada anak laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, anak laki-laki mungkin
dapat lebih hiperaktif dan anak perempuan cenderung lebih diam tak mampu berfokus.

Terapi
Perilaku
ADHD
dan
Konseling
Anak-anak dengan ADHD dapat melakukan terapi perilaku dan konseling, yang mungkin
disediakan oleh psikiatris, psikolog, pekerja sosial, dan professional kesehatan mental
lain untuk meringankan gejalanya. Beberapa anak dengan ADHD juga mungkin punya
kondisi lain seperti gangguan kecemasan atau depresi. Pada kasus ini, konseling mungkin
dapat membantu meringankan ADHD dan masalah lain yang menyertai.
Contoh terapinya antara lain:
- Terapi perilaku. Guru dan orang tua dapat mempelajari strategi perubahan perilaku
untuk mengatasi situasi sulit. Strategi ini mungkin termasuk sistem hadiah dan timeout.
- Psikoterapi. Terapi ini dapat diterapkan bagi anak-anak yang sudah lebih dewasa secara
pemikiran, dan dapat membuatnya berbicara dan menganalisa tentang isu yang
mengganggunya dan mengeksplor pola perilaku negatif dan belajar untuk mengatasi
masalah mereka.

- Pelatihan keahlian menjadi orang tua. Ini dapat membantu orang tua mengembangkan
cara untuk memahami dan menuntun perilaku anak mereka.
- Terapi keluarga. Terapi keluarga dapat membantu orang tua dan saudara kandung untuk
mengatasi stres hidup bersama seorang yang menderita ADHD.
- Pelatihan keahlian sosial. Ini dapat membantu anak-anak mempelajari perilaku sosial
yang layak.
Hasil terbaik biasanya terjadi saat pendekatan tim, guru, orang tua, dan terapis, atau
dokter dilakukan secara bersamaan. Pelajari baik-baik tentang ADHD dan kemudian
bekerja samalah dengan guru anak Anda dan menunjukkan sumber-sumber informasi
untuk
mendukung
usaha
mereka
di
kelas.
Karena ADHD bersifat kompleks dan setiap orang yang menderita ADHD adalah unik,
sulit untuk membuat rekomendasi yang cocok bagi setiap anak.Tapi dengan kerjasama
dan dukungan terapi yang baik mungkin dapat membantu menciptakan lingkungan yang
dapat membuat anak Anda agar dapat sukses.

Anda mungkin juga menyukai