Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

PERAN PENDAMPING
DALAM PENANGANAN KASUS
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA(KDRT)

Disusun Oleh :

Nama

: NIDYA FEBRINA

NPM

: 1102010206

Bidang Kepeminatan

: Domestic Violence

Pembimbing

: dr. Zakiyah

Kelompok

:5

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2013/2014
0

ABSTRACT
Introduction : Kekerasan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran hak azazi manusia yang kian hari kian
meningkat. Terjadi pada kehidupan berumah tangga, terutama pada wanita , yang disebabkan oleh berbagai
macam faktor. Dalam pelaksanaannnya, proses pemulihan psikologis menjadi hal yang sangat penting untuk
memperbaiki kualitas hidup yang tidak baik sebelumnya. Dalam proses ini, pendamping mengambil peran yang
sangat penting untuk pemulihan korban KDRT.
Case Report : Wanita yang melapor kepada LBH APIK atas tuduhan KDRT oleh suaminya yang selingkuh,
dimana sang suami sengaja membuat keadaan semakin keruh agar dapat menjerumuskan istri ke dalam kasus
KDRT.
Discussion : KDRT tidak hanya terjadi antara suami dan istri, tetapi juga dapat terjadi kepada seluruh anggota
yang tinggal di dalam sebuah rumah tangga, termasuk anak dan PRT. Selain fisik, dampak psikologis juga
terjadi pada korban KDRT. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pemulihan untuk para korban agar kondisi fisik
maupun psikologis terjaga dan dapat melanjutkan kehidupan dengan baik.
Conclusion : KDRT terjadi karena banyak faktor dan memberikan dampak buruk terhadap fisik ataupun
psikologis seseorang. Untuk itu, proses pemulihan berupa pendampingan dan konseling sangatlah penting.
Proses pemulihan korban KDRT, sudah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesi
no 4 tahun 2006 tenteng Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
key word : Domestic Violence, Assistance

PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat manusia serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Korban
kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan adalah perempuan yang harus mendapatkan
perlindungan Negara dan masyarakat agar terhindar dari kekerasan atau perlakuan yang
merendahkan derajat, martabat kemanusiaan.
Dewasa ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang tak asing lagi
terdengar oleh kita. Hal ini bisa berarti dua hal. Pertama, meningkatnya angka kejadian
kekerasan dalam rumah tangga, atau kedua, meningkatnya pengetahuan ataupun kesadaran
dari korban kekerasan itu sendiri untuk melaporkan kejadiannya agar mendapatkan
perlindungan hukum.
Data statistik yang dikeluarkan pada catatan tahunan 2010 Komnas Perempuan
mencatat angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 105,103 orang/kasus dan tercatat
96% kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah privat. Pada tahun 2011, Komnas
Perempuan bersama mitra Aparat Penegak Hukum menyusun kesepakatan bersama yang
bersifat formal dan melembaga dengan Mahkamah Agung RI, Kejaksaan Agung RI,
Kepolisian RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan
Perhimpunan Advokat Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan langkah awal untuk
penanganan korban KDRT.

Definisi kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri adalah segala bentuk tindak
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik,
psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam
rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri yang diwarnai
dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan
menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa banyak hal yang dapat mempengaruhi terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah
tangga yang memicu kekerasan, antara lain ekonomi, sosial budaya, keluarga, dan lain lain.
Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian KDRT ini, dan sangat
berpengaruh kepada psikis seseorang, dengan dampak seperti timbulnya rasa minder dan
malu dalam berhubungan dengan lingkungan sosial (perilaku menarik diri) karena takut
diejek, dicemoh ataupun ditanya-tanya mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang
menimpanya, tidak cukup hanya perlindungan hukum saja yang kita perjuangkan, tetapi kita
harus tau dan mengerti bagaimana proses pemulihan seseorang yang menjadi korban dalam
kekerasan, siapa aja yang berperan dalam pemulihan tersebut, dan kerja sama apa yang
dijalin dengan korban dan pihak pihak terkait sehingga korban KDRT dapat melanjutkan
kehidupannya agar lebih produktif dan optimal.
CASE REPORT
Pada awalnya, Ny.H 39 th (Istri) datang ke LBH APIK untuk meminta bantuan karena
Tn.D 38 th (suami) telah melaporkan Ny.H kepada kepolisian atas tindakan KDRT dan
dikenakan wajib lapor oleh kepolisian selama 3bulan.
Dalam keterangannya kepada LBH APIK, Ny.H menyatakan bahwa keributan dalam
rumah tangganya sudah lama terjadi, 3 tahun terakir yang disebabkan oleh perselingkuhan
Tn. D dengan Ny. M.
Tn.D dan Ny.H menikah pada tahun 2001 dan dikaruniai 3 orang anak yang saat ini
ketiganya bersekolah di sekolah dasar. Tn.D bekerja sebagai accounting dengan penghasilan
4 juta/bulan dan Ny.H bekerja sebagai notaris dengan penghasilan 5 juta /bulan. Rumah
tangga berjalan rukun dan damai sampai tiba saatnya pada tahun 2010, rumah tangga hoyah
dikarenakan Tn.D selingkuh dengan Ny.M, janda beranak 1 yang bekerja sebagai manager
accountant di sebuah perusahaan asuransi swasta di jakarta yang diketahui memiliki
penghasilan yang lebih besar, yaitu 15 juta/bulan.
Pertengkaran yang dimulai pada tahun 2010 semakin tak terkendali pada tahun 2011
dan 2012. Hal ini dipicu oleh beberapa hal. Mulai dengan diperkenalkannya Ny.M kepada
2

anak pertama Ny.H (Mawar), diajak makan bersama dan diberi selimut dan baju. Pada saat
itu Tn.D mengatakan kepada Ny.H jika mereka cerai, Mawar akan ikut dengan Tn.D
sedangkan anak yang lainnya akan ikut bersama Ny.H. Selain itu, Tn.D juga mengirim kue
ulang tahun untuk Ny.M dan sengaja meletakkan bukti pembayaran di meja kamar tidur agar
Ny.H melihatnya. Foto Ny.M pun ditemukan di laptop Tn.D dengan ukuran 10R. Selain
melakukan kekerasan Psikis, Tn.D juga melakukan kekerasan fisik, seperti meludahi,
memeukuli, bahkan mengetok kepala Ny.H dan berkata Kok tidak ada isinya , yang berarti
mengatakan bahwa istrinya tersebut bodoh.
Tn.D hampir setiap malam pulang pukul 03.00 pagi (2010) dan pukul 05.00 subuh
(2011 dan 2012). Tiga hari sebelum lebaran 2011, Tn.D tidak pulang kerumah, beliau
mengatakan ingin mengambil uang keluar tetapi setelah itu tidak kembali lagi. Ternyata,
setelah itu, diketahui bahwa Tn.D pergi bersama selingkuhannya Ny.M ke kediri, kampung
halaman Ny.M.
Diakhir tahun 2011, Tn.D mengusir istrinya dari rumah. Ny.H pergi ke rumah orang
tuanya. Tn.D marah kepada Ny.H karena ketiga anaknya dibawa dan meminta agar ketiga
anaknya dikembalikan ke rumah, tetapi Ny.H tidak boleh ikut. Ny.H mengingkari hal itu
karena berpikir tidak mungkin meninggalkan anaknya begitu saja. Setelah kejadian tersebut,
pertengkaran semakin memanas. Sampai pada puncaknya, Tn.D tidak pulang ke rumah
karena pergi berlibur bersama Ny.M. Sewaktu Tn.D pulang, Ny.H emosi dan membanting
pintu, tetapi ditangkis oleh Tn.D. Ny.H memukul dan melempar Tn.D. Tn.D membalas
memukul dan menonjok ulu hati Ny.H sehingga membuat Ny.H sulit bernafas. Sebagai
pertahanan diri, Ny.H mengambil obeng yang berada di dekatnya untuk mengancam,dan
tidak untuk melukai Tn.D.
Setelah ditelusuri, ternyata Tn.D sengaja menciptakan suasana seperti ini dan
memancing Ny.H agar emosi sehingga dapat dijadikan alasan agar Ny.H terjerat hukum dan
cerai. Sebelumnya, diketahui juga dari orang tua Ny.H bahwa Tn.D pernah menyuruh orang
tuanya untuk pergi ke rumah orang tua Ny.H menyatakan bahwa Ny.H ingin cerai dengan
Tn.D, dan orang tua Ny.H mengatakan bahwa Tn.D lah yang ingin cerai dan sengaja
menciptakan situasi dan memprovokasi orang tuanya sehingga membuat Ny.H menjadi
terganggu psikologis nya sampai stress.
Kemudian, LBH APIK mengambil langkah selanjutnya, yaitu meminta bantuan
kepada badan hukum untuk memberikan tenaga pendamping dan psikologi untuk Ny.H
sehubungan dengan tindakan KDRT yang tak hanya fisik, tetapi juga psikis yang dilakukan
oleh Tn.D.
3

Pada akhirnya, Mei 2013 Tn.D menikah dengan Ny.M tanpa persetujuan dan
pemberitahuan kepada Ny.H. Ny.H datang kepernikahan tersebut, menyalami dan berfoto
dengan kedua mempelai beserta keluarganya. Dan pada Oktober 2013, gugatan Tn.D
terhadap Ny.H dicabut.
DISCUSSION
Pengertian Kekerasan
a. Pengertian Kekerasan Dalam Perspektif Yuridis
1. Pasal 89 KUHP :
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan mengunakan kekerasan.
2. Pasal 90 KUHP , Luka berat berarti :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak dapat memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
c. Kehilangan salah satu panca indra.
d. Mendapat cacat berat (verminking).
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggunya daya pikir selama empat Minggu lebih.
g. Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.
b. Pengertian Kekerasan Oleh Beberapa Tokoh
1) Menurut Nettler, sebagaimana dikutip Aroma Elmina Martha, kekerasan atau Viglent
Crime adalah: peristiwa dimana orang secara ilegal dan secara sengaja melukai secara
fisik, atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, dimana
bentuk-bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan dan pembunuhan merupakan contoh
klasik dari kejahatan kekerasan yang serius.
2) Menurut Soerjono Soekamto, kejahatan kekerasan adalah suatu istilah yang dipergunakan
bagi terjadinya cidera mental atau fisik. Kejahatan kekerasan merupakan bagian dari
proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut sebagai
kekerasan. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah
laku yang dianggap keras. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu masyarakat
semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu terjadi.
3) Menurut Mansour Faqih, kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas
mental seseorang. Pandangan tersebut menunjuk pengertian kekerasan pada obyek fisik
4

maupun psikis. Hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti
melukai atau menimbulkan luka cacat atau ketidaknormalan pada fisik.Dapat pula yang
terjadi adalah kekerasan fisik yang berlanjut pada aspek psikis seperti misalnya stres.
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan prilaku, baik yang terbuka atau
tertutup, dan baik yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan
kekerasan pada orang lain.
c. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga mendefinisikan:
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengingat Undang-undang tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada
ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas
khususnya kaum laki-laki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui
apa itu KDRT.
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, Pasal 2 (UUPKDRT)
yang termasuk lingkup rumah tangga meliputi :
1) Suami, istri, dan anak termasuk anak angkat dan anak tiri.
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut,
seperti Pembantu rumah tangga.
Bentuk-Bentuk Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga maka Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat berwujud :

1. Kekerasan Fisik
Pasal 6 (UUPKDRT) menentukan bahwa kekerasan fisik yaitu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Seperti: memukul, menampar,
mencekik, menendang, melempar barang ketubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan
kosong atau alat/senjata, membunuh dan lain-lain.
2. Kekerasan Psikis
Pasal 7 (UUPKDRT) menentukan bahwa kekerasan psikis yaitu perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti:
berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit
dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang
diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat
dll.)
3. Kekerasan Seksual
Pasal 8 (UUPKDRT) menentukan bahwa kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga,
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Seperti: menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang
tidak dikehendaki korban.
4. Penelantaran Rumah Tangga.
Pasal 9 (UUPKDRT) menentukan bahwa penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk berkerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada
dibawah kendali orang tersebut.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya KDRT
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori kontrol.
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
6

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruksi sedemikian
rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik
suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki.
Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk
menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun
tindakan

keras

dilakukan

kepadanya

ia

tetap

enggan

untuk

melaporkan

penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan


pendidikan anak anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak
sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumahtangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian
dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan
tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan
rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di
atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah
tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi
lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja,
dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan
dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa
di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.

5. Frustasi
Terkadang, suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak
bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa
terjadi pada pasangan yang :
7

a. Belum siap menikah.


b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga.
c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orangtua
atau mertua.
Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan
perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bias
jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal
tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban korban, karena posisi dia hanya
sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat
minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka dampak
kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga terhadap anak.
Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah :
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita
rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah
seks,karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa
takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan seharihariyang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Adapun dampak pada anak dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh
anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak
langsung. Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology
(1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku
anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun
fungsi mengatasi masalah dan emosi.

Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak.


Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki
kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol,
gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyakit seperti sakit
kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, ketika bermain sering meniru bahasa yang
kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap
orang lain yang tidak ia sukai. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai
pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa
kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga.
Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada
pelakunya, Setelah disahkannya UU PKDRT, yang menjadi hak-hak korban terdapat dalam
Pasal 10 :
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lain, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pelayanan bimbingan rohani.
Dengan demikian, perlindungan hak-hak korban pada hakikatnya merupakan bagian
dari perlindungan hak asasi manusia. Korban membutuhkan perlindungan agar hah-haknya
terpenuhi karena selama ini didalam sistem peradilan pidana di Indonesia hak-hak korban
kurang terlindungi dibandingkan dengan hak-hak tersangka.

Upaya penanganan KDRT


Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan
untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.
1. Pendekatan preventif
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan
memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
9

b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya


melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika
sewaktu-waktu terjadi KDRT.
c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang
terjadinya KDRT.
d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat
yang ditimbulkan dari KDRT.
e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang
harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang
menampilkan informasi kekerasan.
g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi,
dan potensinya.
h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT,
tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT.
i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan
responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.
2. Pendekatan kuratif
a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan
tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti
bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.
b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi,
mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga
terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT
dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki
efektivitas yang tinggi.
d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan
penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan
keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam
bagi pelakunya.
f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri
kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.
g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT
dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi
kehidupan masyarakat.
10

Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada
kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari
situasi KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah
menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Peraturan

Pemerintah

Republik

Indonesia

nomor 04 Tahun

2006 Tentang

Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Lampiran 1*
Peran Pendamping Korban dalam meminimalkan KDRT
Upaya pemerintah dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
adalah dengan adanya pendampingan korban. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004, salah satu hak korban adalah mendapat pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Yang dapat melakukan pendampingan korban adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi
bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban. Untuk layanan
kesehatan, korban berhak memperoleh sesuai dengan standar medis oleh tenaga kesehatan.
Yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan/dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memberikan kewenangan untuk memerlukan
kewenangan untuk melaksanakan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Selain memperoleh layanan kesehatan korban juga berhak untuk memperoleh visum
et repertum yang dibuat atas permintaan penyidik Kepolisian atau surat keterangan medis
yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya :
a. Anamnesis kepada korban.
b. Pemulihan kesehatan, baik fisik/psikis .
c. Pengobatan penyakit.
d. Konseling dan/atau.
e. Merujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan.

11

Tenaga kesehatan dapat juga melakukan :


a. Pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan dan
b. Pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai kebutuhan medis.
Dalam meberikan pelayanan tersebut, tenaga kesehatan harus membuat rekam medis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk setiap tindakan medis yang
akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis dari korban atau
keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Pada pendampingan oleh pekerja sosial, korban KDRT berhak atas rumah aman milik
pemerintah, Pemda atau masyarakat. Korban didampingi pekerja sosial di tingkat penyidikan,
penuntutan dan tingkat pemeriksaan pengadilan.
Rumah aman adalah tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan
perlindungan terhadap korban sesuai dengan standar yang ditentukan. Peran pekerja sosial
dalam memulihkan korban KDRT. Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai
kompetensi professional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal
atau pengalaman praktek di bidang pekerja sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara
resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial.
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial melakukan upaya :
a. Menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalah.
b. Memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial.
c. Melakukan rujukan ke Rumah Sakit atau rumah aman atau pusat pelayanan atau tempat
alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan korban.
d. Mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling; dan /
atau
e. Melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di
dalam masyarakat.
Peran relawan pendamping dalam pemulihan korban KDRT. Relawan pendamping
adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi dan advokasi
guna penguatan dan pemulihan dari korban KDRT.
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan
upaya :

12

a. Membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam
mengemukakan persoalannya.
b. Berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan
permasalahannya.
c. Meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan.
d. Menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan.
e. Memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat
membantu mengatasi persoalan, dan/atau
f. Membantu memberikan informasi tentang layanan konsultan hukum.
Peran pembimbing rohani dalam memberikan pelayanan pemulihan :
a. Mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadah
menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
b. Menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut agama
masing-masing korban dan kepercayaannya itu;
c. Memberikan pemahaman kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Peranan Pendamping, Organisasi Perempuan, dan LBH
Para pendamping yang berasal dari organisasi perempuan memiliki peranan besar
dalam pelaporan kasus kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan korban.
Mengingat karakteristik organisasi perempuan yang sebagian besar bekerja di tingkat kota
dan ibukota Kabupaten, maka sebagian besar kasus yang mereka dampingi adalah kasus yang
dilaporkan ke mekanisme hukum negara (Kepolisian).
Organisasi perempuan dan para pendamping berperan penting dalam setiap interaksi
kasus antara perempuan korban kekerasan dan lembaga hukum terutama Kepolisian.
Pendamping korban dan organisasi perempuan melakukan konseling dan pendampingan serta
penguatan bagi perempuan korban sejak korban melaporkan sampai kasus mereka
disidangkan. Selain itu, organisasi perempuan dan pendamping merujuk perempuan korban
kekerasan ke lembaga layanan yang lebih tepat untuk memberikan bantuan dan dukungan.
Dari berbagai kasus yang terdokumentasi, organisasi perempuan dan para
pendamping berupaya menerjemahkan pengalaman kekerasan berbasis gender yang dialami
oleh perempuan korban ke berbagai isu-isu hak yang harus ditegakkan dalam konteks
penanganan kasus. Baik secara langsung maupun tidak, para pendamping dan organisasi
perempuan memberikan penguatan dan pemberdayaan hukum pada perempuan korban dan
anggota keluarga mereka.
13

Dalam banyak kasus, selain pendamping, keluarga berperan untuk membantu


mendorong agar kasus dilaporkan ke Kepolisian atau mendesak aparat Kepolisian untuk
menindaklanjuti penanganan kasus yang dilaporkan. Seringkali dalam berbagai kasus,
organisasi perempuan dan pendamping harus berupaya mengadvokasi kasus dalam
masyarakat dengan pemahaman sangat beragam tentang isu gender, kekerasan, dan keadilan
(Merry 2006).
Tidak semua organisasi pendamping perempuan korban bekerja dengan efektif.
Jaringan kerja yang beranggotakan berbagai organisasi bantuan hukum dan organisasi
kemasyarakatan yang tidak fokus pada kegiatan bantuan hukum untuk perempuan korban,
justru kerap bermasalah dan kurang memahami penanganan kasus berperspektif gender.
Pengetahuan dan kapasitas organisasi perempuan dan para pendamping pun perlu
diperkuat. Beberapa kasus yang didokumentasikan di Sumatera Selatan menunjukkan
kapasitas pendamping yang kurang memadai membuat proses konseling dan penanganan
kasus kurang efektif.
Peran Psikologi
Peran Psikologi Forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus
kriminal yang menimpa masyarakat. Psikolog Forensik dapat membantu aparat penegak
hukum memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban. Selain itu
, pakar Psikologi Forensik juga dapat berperan sebagai konsultan di lembaga kepolisian bagi
korban kasus-kasus KDRT, korban perkosaan, atau kasus perwalian anak (Weiner & Hess,
2006).
Psikolog Klinis yang bergerak dalam bidang kesehatan dapat membantu pasien untuk
lebih memahami kondisi kesehatan dan penanganannya, mengurangi stres (baik sebagai
faktor resiko munculnya penyakit maupun sebagai dampak dari kondisi kesehatan yang
menurun serta penanganannya) dan juga membantu meningkatkan emosi positif individu
sehingga kualitas kesehatan individu akan meningkat. Beberapa peran lain dari pakar
Psikologi Kesehatan adalah pendampingan, konseling dan terapi psikologis pada pasien, baik
akut maupun kronis, seperti penderita kanker, gagal ginjal dan HIV; yang dilaksanakan pada
berbagai institusi kesehatan, baik rumah sakit, puskesmas maupun klinik-klinik kesehatan
lainnya.
Konseling
PENGERTIAN:
14

Konseling adalah hubungan antara dua orang (konselor dan klien) yang bersifat saling

membantu, untuk menyelesaikan masalah tertentu.


Konseling merupakan proses kolaborasi yang bertujuan memberdayakan klien dalam

menanggapi masalah kehidupan.


Konseling bertujuan mengembangkan mekanisme koping yang efektif dalam

menghadapi masalah kehidupan.


Dasar Pendekatan Konseling adalah pendekatan humanistik , yaitu keyakinan bahwa
seseorang mempunyai kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan bagi dirinya,

mempunyai potensi untuk berkembang yang pada dasarnya baik.


Konselor berperan sebagai fasilitator yang mendorong diwujudkannya potensi yang
baik itu, dan ia menghargai klien sebagai individu yang unik dan bebas serta
bertanggung jawab

TUJUAN:
-

Klien bersama konselor mampu mengatasi suasana krisis kejiwaan.


Klien bersama konselor mampu mengenali kekeliruannya di masa lampau dan

memotivasi diri untuk bangkit.


Klien mampu menerima situasi yang tak mungkin berubah dan terus berjuang

mengubah yang bisa diubah.


Tujuan akhir adalah klien mempunyai motivasi kuat untuk merubah perilakunya.

METODE:
1. Pelatih memaparkan ilustrasi kasus KDRT.
2. Klien diminta memahami dan berempati terhadap kasus tersebut.
3. Klien diandaikan dalam posisi kasus.
4. Langkah langkah apa yang akan klien lakukan.
- Diskusikan
- Bermain peran saling tukar peran dengan konselornya.
Konselor adalah figur yang menjadi tumpuan konseling untuk berbagi perasaan dan
peyelesaian masalah. Deskripsi teoritik tentang konselor bagi perempuan korban KDRT
berorientasi pada pendekatan humanistik. Enns (2004) merekomendasikan pemakaian
berbagai teknik dan pendekatan konseling non direktif. Namun demikian, hasil temuan
lapangan menunjukkan bahwa kriteria konselor yang cocol bagi korban KDRT adalah sebagai
berikut :
a. Konselor yang enak diajak curhat. Kriteria ini menciptakan kepercayaan (trust)
kepada konseli bahwa konselor dapat memberikan perasaan nyaman untuk
mendiskusikan tentang KDRT.
15

b. Empatik terhadap problematika perempuan korban KDRT. Konselor memakai


perspektif nilai perempuan dalam memahami dan membantu korban, tidak memihak
jenis kelamin tertentu (nonsexist).
c. Mampu membangun attending dengan tepat. Konselor mampu memunculkan sikap
empatik dan hubungan yang setara.
d. Konselor mamou berada di pihak korban. Konselor dapat memberikan rasa aman bagi
konseli. Pemberi rasa aman ditunjukkan dengan memberikan keyakinan bahwa
kekerasan dapat terselesaikan, korban tidak sendirian dalam menghadapi masalah.
e. Bersedia mendengarkan secara aktif. Konselor merupakan pendengar yang aktif
merespons pembicaraan konseli. Konselor memfasilitasi korban untuk melakukan
katarsis.
f. Memahami jalur legal. Konselor mempunyai jejaring dengan lembaga bantuan
hukum, kepolisian, untuk memberikan rujukan kepada korban jika korban
memerlukan konsultasi diluar batas kewenangan konselor.

MENGELOLA PIKIRAN & EMOSI NEGATIF:


PENGERTIAN:
-

Pikiran negatif atau persepsi salah terhadap kejadian disekitar kehidupan kita akan

mempengaruhi suasana emosi dan tindakan kita.


Pikiran yang salah, memicu emosi dan tindakan yang tidak rasional, misalnya; KDRT
Belajar mengenali pikiran salah lantas mengelolanya menjadi enerji positif

bermanfaat untuk mencegah KDRT


Pendekatan terapi kognitif perilaku sangat bermanfaat membantu proses perubahan

TUJUAN:
-

Klien semakin bisa mengenali perilaku KDRT, siklus KDRT, faktor pemicu, dan

dampaknya.
Klien terlatih untuk mengenali pikiran negatif dan motif yang mendorong tindakannya

(KDRT).
Klien mampu mengubah perilakunya dengan melalui perubahan pada pola pikirnya
terhadap masalah

METODE:
-

Mengenali pemikiran-pemikiran (kognisi) yang salah/keliru.


Kognisi tersebut merefleksikan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri,
kehidupan/dunia mereka, masa lalu & masa depan mereka.
16

Mengganti/mengoreksi distorsi kognisi tersebut dengan kognisi yang fungsional,


realistik, sehingga akan menuju kepada perbaikan klinis.

ILUSTRASI:
MODEL A-B-C PEMBENTUKAN PERILAKU
A = Peristiwa/kejadian
B = Pikiran otomatis dari diri kita mengenai A
C = Perubahan emosi dan perilaku
Kebanyakan orang berpikir bahwa A menyebabkan C. Yang sebenarnya terjadi adalah
B, yaitu pemikiran dari diri sendirilah yang memiliki pengaruh lebih besar.
LANGKAH LANGKAH:
TAHAP 1: Mengumpulkan data/fakta-fakta
-

Secara

singkat

menggambarkan

peristiwa/kejadian

yang

tidak

menyenangkan/traumatis dari masa lalu, saat ini, atau masa depan, & rasa yang
-

dihasilkan.
Nilai intensitas dari perasaan-perasaan tersebut (nilai dari 1-10)
Ingatlah, menghadapi secara langsung perasaan yang mengganggu adalah suatu cara
untuk menghentikan mereka dari mengendalikan kita.

TAHAP 2: Analisis pikiran


-

Buat daftar pikiran-pikiran otomatis


Mengenali distorsi/kekeliruan dari pikiran-pikiran tersebut
Berusaha untuk merespon, atau mendiskusikan tiap pikiran otomatis yang keliru
tersebut.

TAHAP 3: Menilai hasil


-

Menilai hasil, yakni menyadari bahwa perubahan persepsi kognitif terhadap suatu
peristiwa telah menghasilkan perubahan respons emosi dan perilaku.

Structured Problem Solving 6 steps :


Step 1: Tuliskan daftar masalah yang seringkali memicu kemarahan/tindak kekerasan
Step 2: Pikirkan beberapa alternatif cara penyelesaian masalah
Step 3: Tuliskan keuntungan dan kerugian masing masing alternative tersebut
Step 4: Tentukan pilihan yang terbaik dan termungkin dari berbagai alternative tadi
Step 5: Buat daftar langkah langkah yang akan ditempuh untuk melaksanakan alternative
solusi yang dipilih
Step 6:Evaluasi perkembangan
MENGELOLA KONFLIK
17

PENGERTIAN:
-

Konflik dalam kehidupan keluarga, konflik sering dijadikan kambing hitam untuk

mengesahkan tindakan KDRT oleh suami terhadap istri


Mengelola konflik dalam kehidupan berkeluarga dapat melanggengkan KDRT
Mengelola konflik yang terjadi dalam kehidupan keluarga merupakan salah satu cara
untuk mengurangi risiko KDRT

TUJUAN:
-

Mengubah pola relasi yang penuh konflik menjadi pola relasi yang saling menghargai.
Mengadopsi pola beradaptasi terhadap masalah interpersonal yang penuh
pertentangan menjadi kerjasama.

METODE:
-

Ilustrasi Kasus KDRT & Konflik Keluarga


Diskusi
Bermain Peran

MENGELOLA AMARAH
PENGERTIAN:
-

Amarah atau sifat tempramental sering dijadikan kambing hitam untuk mengesahkan

terjadinya tindak kekerasan.


Mengesahkan bahwa memang perilaku tempramentalnya yang menyebabkan klien

melakukan KDRT adalah keliru dan tidak bertanggung jawab.


Tapi walau bagaimanapun latihan mengelola amarah tetap merupakan bagian penting
yang perlu dilatihkan pada pelaku KDRT.

TUJUAN:
-

Klien memiliki keterampilan mengelola amarah dengan cara sederhada dan efektif.
Klien menyadari bahwa ledakan kemarahan membawa konsekuensi luas.
Terbentuk suatu pola sehat dalam proses kognitif klien dalam merespon situasi yang
biasanya mencetuskan ledakan kemarahan.

METODE
-

Ilustrasi Kasus
Penjelasan teknik mengelola amarah
Bermain peran
Diskusi
PR

TEKNIK RELAKSASI
PENGERTIAN:
-

Melatih relaksasi berarti melatih mengontrol diri.


Melatih relaksasi berarti menerima diri apa adanya.
Melatih relaksasi membantu berpikir jenih.
18

Relaksasi dapat mengendalikan berbagai bentuk manivestasi dari stres.


Pada akhirnya relaksasi bermanfaat untuk mengontrol dorongan

perilaku

berkekerasan
TUJUAN:
-

Klien mampu melakukan tehnik nafas lambat sebagai salah satu alat pereda
ketegangan
Klien mampu melalukan relaksasi progresif singkat untuk menumbuhkan perasaan
tenang dan terkendali

METODE:
-

Penjelasan tentang tehnik relaksasi


Demonstrasi tehnik bernafas lambat
Tutup mata anda dan carilah posisi yang paling nyaman. Sepanjang proses relaksasi
anda boleh saja menggerakkan tubuh sepanjang hal tersebut membuat anda merasa
nyaman. Bantu tubuh anda untuk memulai relaksasi dengan bernafas lambat dan
dalam. Ambil nafas perlahan melalui hidung sepanjang tiga hitungan, kemudian
hembuskan

pelan

pelan

lewat

mulut

sepanjang

lima

hitungan.

Sambil

menghembuskan nafas bayangkan bahwa anda melepas beban di pikiran anda lewat
mulut. Ulangi lagi prosedur di atas beberapa kali sampai anda mendapatkan irama
nafas yang paling nyaman. Lakukan latihan nafas lambat ini selama sepuluh menit
-

setiap sebelum tidur dan bangun tidur.


Demonstrsi tehnik relaksasi progresif singkat
Simulasi & Praktek
Diskusi

Tolong Menolong dalam Islam


Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang beriman supaya saling tolong-menolong
dan bekerjasama, dengan syarat atas dasar kebenaran dan ketakwaan, dan melarang mereka
untuk tolong-menolong dan bekerja sama dalam perkara yang haram dan penzaliman.
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat (bermaksud):
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2)
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman supaya bertolong-tolongan dan
bekerjasama dalam melakukan perbuatan baik, yaitu perkara kebajikan (al-birr), dan

19

menengah mereka daripada tolong-menolong dalam perkara kebatilan, dan melarang mereka
bantu-membantu dan bekerjama dalam perkara haram dan dosa.
Ibnu Jarir berkata: Dosa ialah meninggalkan apa yang Allah suruh anda lakukannya, dan
pencerobohan atau perlanggaran ialah melampaui batas yang ditetapkan Allah dalam agama
dan melampaui batas dari apa yang Allah telah perintahkan kepada anda dalam diri anda dan
orang lain. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda (bermaksud):
"Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi, Lalu seorang sahabat bertanya:
"Wahai Rasulullah, kami memahami tentang menolong orang yang dizalimi, bagaimana
menolongnya kalau dia seorang yang zalim? Nabi berkata (bermaksud): " Kamu
menghalang dan mencegahnya dari berbuat kezaliman. Itulah cara menolongnya". (HR.
Bukhari)
Sabda nabi saw (bermaksud):
"Tunjukkanlah ia kepada kebaikan seperti orang yang melakukannya".(HR. Tirmidzi)
Sabda nabi saw lagi (bermaksud):
"Orang mukmin yang bergaul dengan orang dan bersabar di atas penyiksaan mereka
memperolehi pahala yang lebih besar daripada orang yang tidak bergaul dengan orang dan
tidak sabar dengan penyiksaan mereka". (HR.Tirmidzi).
Seseorang muslim adalah saudara kepada muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya
dan tidak boleh membiarkannya dizalimi oleh orang lain. Barangsiapa yang memenuhi
keperluan saudaranya maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barangsiapa yang
melepakan sesuatu kesulitan saudaranya, maka allah akan melepaskan salah satu kesulitan
di hari kiamat dan barangsiapa yang menyembunyikan keaiban seorang muslim lain, maka
allah akan menyembunyikan keaibannya di hari kiamat ". (Muttafaq Alaih)
"Orang yang berjalan kerana memenuhi keperluan saudaranya sama ada pertolongannya itu
dapat menyelesaikan keperluan saudaranya atau tidak, maka baginya pahala seumpama
pahala i'tikaaf selama sebulan (dalam riwayat yang terkenal dua bulan) di masjid ini".
KESIMPULAN

20

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap
hak azazi manusia yang plaing sering terjadi pada wanita. Banyak hal yang menjadi penyebab
terjadinya KDRT, baik internal ataupun eksternal keluarga yang menimbulkan banyak efek
negatif terhadap kondisi fisik, psikis, ataupun sosial seseorang. Dengan adanya lembaga
lembaga bantuan hukum, korban KDRT bisa mendapatkan bantuan serta perlindungan hukum
sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan produktif untuk kedepannya.
Bantuan yang diberikan dapat berupa konseling ataupun dengan tenaga pendamping yang
secara tidak langsung selain membantu proses hukum atau mediasi, juga dapat memperbaiki
kondisi psikologis korban KDRT.
Proses pemulihan korban sangat penting pada kasus KDRT, dimana pemerintah juga
sudah mengaturnya pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 04 tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang
meliputi pendampingan dan tindakan pelayanan pada korban KDRT.
SARAN

Diadakannya pendidikan atau seminar tentang pernikahan sehingga apabila seseorang


menikah, dia sudah bisa memegang tanggung jawab baik sebagai seorang istri
ataupun sebagai kepala keluarga.

Memberikan edukasi tentang pentingnya menghormati dan memahami kedudukan dan


hak hak perempuan di dalam rumah tangga.

Istri ataupun setiap korban KDRT harus lebih berwawasan dan terbuka terhadap
hukum ataupun kepada pihak pihak yang terkait apabila mengalami KDRT.

Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah
macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi
kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh
besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita
yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat
melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari
penganiayaan.

Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan


individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.

UCAPAN TERIMA KASIH


21

Alhamdulillahhirabbilalamin, dengan mengucap syukur kehadirat allah swt yang


telah melimpahkan segala berkah dan rahmatnya kepada saya, sehingga case report yang
berjudul Peran Pendamping Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
dapat selesai tepat waktu. Dengan selesainya Case Report ini, saya mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak atas segala bantuan, petunjuk, serta bimbingannya , terutama
kepada Ibu dr.Zakiyah selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu sehingga
Case Report ini dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih ini saya sampaikan khususnya kepada :
1. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan (LBH APIK), yang
telah memberikan kesempatan untuk berkunjung, mengumpulkan data, serta berbagi
ilmu dan cerita dalam pembuatan Case Report ini.
2. dr. Hj. Susilowati, M.kes dan DR. Drh.Hj Titiek Djannatun Koordinator Pelaksana
dan Koordinator Penyusun Blok Elektif.
3. dr. Ferryal Basbeth, Sp.F sebagai dosen pengampu Domestic Violence.
4. Kepada seluruh anggota kelompok V, atas waktu dan kerjasamanya.
Saya sadar bahwa dalam Case Report ini masih terdapat banyak kekurangan, Oleh karena itu,
kritik dan saran membangun dari segala pihak sangat diharapkan demi perbaikan selanjutnya
yang lebih baik.
Wassalam.

22

Lampiran 1*
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2006
TENTANG
PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA
PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-

Undang

Nomor

23

Tahun

2004

tentang

Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu menetapkan Peraturan


Pemerintah

tentang

Penyelenggaraan

dan

Kerja

sama

Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga;


Mengingat :1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
2.

1945;
Undang-Undang

Nomor

23

Tahun

2004

tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419).
MEMUTUSKAN
Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN

DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

23

1. Pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban


kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik
maupun psikis.
2. Penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi
pelayanan dan pendampingan kepada korban kekerasan dalam
rumah tangga.
3. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi
psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri
korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
4. Kerjasama adalah cara yang

sistematis

dan

terpadu

antar

penyelenggara pemulihan dalam memberikan pelayanan untuk


memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.
5. Petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga

kesehatan,

pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.


6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang pemberdayaan perempuan.
BAB II
PENYELENGGARAAN PEMULIHAN
Pasal 2
1. Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh
instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial
sesuai

dengan

tugas

dan

fungsi

masing-masing,

termasuk

menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.


2. Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
b. Tenaga yang ahli dan profesional;
c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan
korban.
3. Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
Pasal 3
24

1. Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam


rumah tangga yang sensitif gender.
2. Pedoman pemulihan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan

berdasarkan

standar

pelayanan

minimal

sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 4
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi :
a. pelayanan kesehatan;
b. pendampingan korban;
c. konseling;
d. bimbingan rohani; dan
e. resosialisasi.
Pasal 5
1. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan di sarana
kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat,
termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan
dan pemulihan kesehatan korban.
2. Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan
cara memberikan konseling,
terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan
pemulihan diri korban.
3. Pemberian konseling

dilakukan

oleh

pekerja

sosial,

relawan

pendamping, dengan mendengarkan secara empati dan menggali


permasalahan untuk penguatan psikologis korban.
4. Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara
memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta
penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang dianutnya.
5. Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi sosial dan lembaga
sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya
dalam masyarakat.
Pasal 6
Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan
dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani.
Pasal 7

25

1. Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan


pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standar profesi, standar
prosedur operasional, dan kebutuhan medis korban.
2. Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana
kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah,
pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 8
1. Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan
melakukan upaya :
a. anamnesis kepada korban;
b. pemeriksaan kepada korban;
c. pengobatan penyakit;
d. pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis;
e. konseling; dan/atau
f. merujuk ke sarana kesehatan yang lebih

memadai

bila

diperlukan.
2. Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus
tertentu, tenaga kesehatan dapat melakukan :
a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan;
dan
b. pelayanan

kesehatan

reproduksi

lainnya

sesuai

dengan

kebutuhan medis.
3. Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), tenaga kesehatan harus membuat rekam medis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan

harus

ada

persetujuan

tindakan

medis

(informed

consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan.
5. Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang
harus membuat visum et repertum dan/atau visum et repertum
psichiatricum atau membuat surat keterangan medis.
6. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
26

1. Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat


dilakukan di rumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal
alternatif milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
2. Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat
ditempatkan oleh pekerja sosial di rumah aman, pusat pelayanan,
atau tempat tinggal alternatif yang aman untuk melindungi korban
dari ancaman.
3. Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal
alternatif

yang

dilakukan

masyarakat

dapat

difasilitasi

oleh

pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan


peraturan perundangundangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai

tata

cara

penyelenggaraan

pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternatif milik


pemerintah, diatur dengan Peraturan Menteri Sosial.
Pasal 10
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan, setelah memperhatikan saran dan
pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik
pemerintah.
Pasal 11
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja sosial
melakukan upaya :
a. menggali

permasalahan

korban

untuk

membantu

pemecahan

masalahnya;
b. memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial;
c. melakukan rujukan ke rumah sakit atau rumah aman atau pusat
pelayanan atau tempat alternatif lainnya sesuai dengan kebutuhan
korban;
d. mendampingi

korban

dalam

upaya

pemulihan

melalui

pendampingan dan konseling; dan/atau


e. melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan
fungsi sosialnya di dalam masyarakat.
Pasal 12

27

Dalam

memberikan

pelayanan

pemulihan

kepada

korban,

relawan

pendamping melakukan upaya :


a. membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia
membuka diri dalam mengemukakan persoalannya;
b. berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang
terkait dengan permasalahannya;
c. meyakinkan korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan
tindakan kekerasan;
d. menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang
diperlukan;
e. memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau
perorangan
dan/atau
f. membantu

yang

dapat

memberikan

membantu
informasi

mengatasi

tentang

persoalannya;

layanan

konsultasi

hukum.
Pasal 13
Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing
rohani melakukan upaya :
a. menggali informasi dan mendengarkan keluh kesah dari korban;
b. mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong
untuk menjalankan ibadat menurut agama masing-masing korban
dan kepercayaannya itu.
c. menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga
menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu.
d. memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan
perempuan.
Pasal 14
Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dapat diberikan juga kepada pelaku dan anggota keluarganya.
BAB III
KERJASAMA PEMULIHAN
Pasal 15

28

1. Menteri

dapat

melakukan

koordinasi

mengenai

pelaksanaan

kerjasama dalam rangka pemulihan korban.


2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), menteri dapat membentuk forum koordinasi pusat yang
keanggotaannya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang
peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan koordinasi, syarat dan
tata cara pembentukan forum koordinasi diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 16
1. Untuk melaksanakan kerjasama dalam rangka pemulihan korban,
pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi antar instansi
terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suatu badan yang khusus membidangi pemberdayaan perempuan
dan anak.
3. Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh
Gubernur.
Pasal 17
1. Tenaga

kesehatan,

pembimbing

pekerja

rohani

dapat

sosial,

relawan

melakukan

pendamping,
kerjasama

dan

dalam

melaksanakan pemulihan korban.


2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
sebagai berikut :
a. melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban;
dan
b. penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternatif bagi
korban.
Pasal 18
Dalam

hal

tertentu,

tenaga

kesehatan,

pekerja

sosial,

relawan

pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat menjalin kerjasama


dengan :
29

a. kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana


kekerasan dalam rumah tangga;
b. advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan;
c. penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses di
sidang pengadilan;
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI);
f. pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban.
Pasal 19
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan tugas dan fungsi masing masing dapat melakukan
kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun
internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
Pemerintah dan pemerintah daerah :
a. menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban;
b. mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan
korban; dan
c. mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya
pemulihan korban.
Pasal 21
Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja
pelaksanaan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga
secara transparan dan bertanggung jawab.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 22
Segala

biaya

untuk

pelaksanaan

pemulihan

yang

dilakukan

oleh

pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam


rumah tangga dibebankan pada:
30

a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara;


b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; dan
c. sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Pebruari 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK AZASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 15
DAFTAR PUSTAKA
Anonym 2004. Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta : Departemen Hukum dan HAM.

31

Anonym.

Tolong

Menolong

dalam

Islam.

viewed

17November

2013.

from

http://www.ikhwanonline.com/new/Article.aspx?SecID=363&ArtID=84836

Baquandi., Karian Wisnu ., Fakul Hidayah., Asmaul Khusnah., et al 2009. Konseling


Psikologi Program Studi Psikologi. Malang : Fakultas Ilmu Pendidikan,

Universitas

Negeri Malang.
Corey, G 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (7 th ed.)Belmont.
Brooks/Cole: Thompson Learning, Inc.
Edwards 2008. Violence against Women as Sex Discrimination: Evaluating the Policy and
Practice of the UN Human Rights Treaty Bodies.
Komnas Perempuan 2011 . Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan , viewed 15
November 2013, from http://komnas perempuan.com
Merry SE 2006. Human Rights and Gender Violence: Translating International Law into
Local Justice. Chicago: University of Chicago Press.
Moeljanto 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.p. 36 . Jakarta : Bumi Aksara.
Mrta, Aroma Elmina 2003. Perempuan, Kekerasan dan Hukum . p 21 . Yogyakarta : UII
Press.
Pangemaran, Diana Ribka 1998. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Keluarga. pp.13-14. Jakarta: Universitas Indonesia.
Prasetyo Eko., Suparman Marzuki 1997. Perempuan dalam wacana Perkosaan dan
kekerasan dalam perspektif analisa Gender PKBI. p.7. Yogyakarta.
Ratna Batara Munti (ed.) 2000. Advokasi Legislatif Untuk Perempuan : dalam Sosialisasi
Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
p.15. Jakarta : LBH APIK.
Santoso, Thomas 2002. Teori-teori kekerasan. p.11. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tim Kalyanamitra 1999. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. p.4. Jakarta :
Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan.
Weiner, I. B & Hess, A. K. 2006. Handbook of Forensic Psychology. New York: A
Wile-Interscience Publication.
Wrightsman 2001. Forensik Psychology. US: Wadsworth-Thomson Learning.
Zastrow, Charles and Bowker, Lee 1984. Social Problems: Issues and Solutions, Chicago:
Nelson Hall.

32

Anda mungkin juga menyukai