Anda di halaman 1dari 23

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


2.1.1 Anatomi Telinga
Organ pendengaran perifer secara anatomi terdiri dari telinga luar, telinga
tengah dan telinga dalam seperti pada Gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari daun
telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang
rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang
rawan pada sepertiga bagian luar dan dua pertiga bagian dalamnya dibentuk oleh
rangka yang terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 3 cm (Ganong, 2009).
Telinga tengah adalah suatu ruang yang berbentuk kubus dengan membran
timpani sebagai batas luar dan promontorium sebagai batas dalam (Ganong,
2009). Terdapat dua otot yaitu muskulus tensor timpani berfungsi sebagai
pengatur membran timpani dan muskulus stapedius berfungsi sebagai pengatur
gerak stapes (Mills dan Adkins, 2006). Tuba Eustachius terdapat di bagian depan
telinga tengah dan kanalis fasialis pars vertikalis berjalan di bagian belakang
telinga tengah. Tegmen timpani adalah batas atas dari telinga tengah. Tulangtulang pendengaran terdapat di daerah atik dari telinga tengah yang tersusun dari
luar ke dalam yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran tersebut saling
berhubungan di mana prosesus longus maleus melekat pada membran timpani dan
stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea(Ganong,
2009).

Gambar 2.1 Struktur luar, tengah, dan dalam dari telinga manusia (Ganong,
2009).
Telinga dalam disebut juga sebagai labirin terletak di dalam tulang
temporal. Bagian dalam membentuk suatu rongga tertutup disebut labirin
membranasea yang berisi endolimfe, dikelilingi oleh cairan perilimfe yang
terbungkus dalam kapsul otik bertulang disebut labirin tulang. Labirin tulang
memiliki bagian vestibuler dan koklear. Bagian vertibuler yaitu vestibulum dan
kanalis semisirkularis berhubungan dengan fungsi keseimbangan, sedangkan
bagian koklear yaitu koklea berhubungan dengan fungsi pendengaran (Ganong,
2009).

2.1.2

Fisiologi Pendengaran
Proses fisiologis pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi
oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke
telinga

tengah

melalui

rangkaian

tulang

pengdengaran

yang

akan

mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian


perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang
telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap
lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan
melalui membran reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pengelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam
sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40)
di lobus temporalis (Soetirto et al., 2008).
Menurut Budiono (2003) apabila telinga memperoleh rangsang suara akan
tejadi proses sesuai dengan besarnya rangsangan, seperti:
1. Adaptasi, yang berlangsung 0-3 menit, yakni berupa kenaikan ambang dengan
sesaat. Jika rangsangan berhenti, ambang dengar akan kembali seperti semula.
2. Pergeseran ambang dengar sementara (temporary threshold shift), sebagai
kelanjutan proses adaptasi akibat rangsang suara yang lebih kuat
3.

dan dapat dibedakan dalam dua tahap yakni kelelahan (fatigue) dan tuli
sementara terhadap rangsangan (temporary stimulation deafness). Kelelahan

tersebut, akan pulih kembali secara lambat dan akan semakin bertambah lambat
lagi jika tingkat kelelahan semakin tinggi. Sedang tuli sementara akibat
rangsang suara terjadi akibat pengaruh mekanisme vibrasi pada koklea yang
mengalami rangsang suara dengan intensitas tinggi dan berlangsung lama.
4. Pergeseran ambang dengar yang persisten (persistent treshold shift), yang masih
ada setelah 40 jam rangsang suara berhenti.
5. Pergeseran ambang suara yang menetap (permanent threshold shift), meskipun
rangsang suara sudah tidak ada. Pada keadaan ini sudah terjadi kelainan patologis
yang permanen pada koklea, umumnya pada kasus trauma akustik dan akibat
2.1.3

kebisingan di tempat kerja.


Gangguan Pendengaran
Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik
fisik, waktu berlangsung dan waktu kejadiannya. Pengaruh tersebut berbentuk
gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan,.dan rasa aman
manusia (Sasongko, 2000). Penurunan pendengaran akibat kebisingan dipengaruhi
oleh: 1) Intensitas total (overall) dari kebisingan; 2) Spektrum frekuensi dari
suara; 3) Jenis kebisingan; 4) Masa kerja, 5) Lama pemaparan setiap han
terhadap kebisingan yang ada; 6) Kerentanan (susceptibility) tenaga kerja.
Kelainan pendengaran berupa tuli dibagi menjadi dua tipe yaitu:

Tuli saraf yang disebabkan oleh kerusakan koklea atau nervus auditorius,
dimana orang tersebut mengalami penurunan atau kehilangan kemampuan

total untuk mendengar suara seperti pads penguj ian konduksi udara dan
konduksi tulang. Pola lain tuli saraf seringkali terjadi sebagai berikut:
a. Tuli untuk suara berfrekuensi rendah yang disebabkan oleh paparan berlebihan
dan berkepanjangan terhadap suara yang sangat keras karena suara berfrekuensi
rendah biasanya lebih keras dan lebih merusak organ korti.
b. Tuli untuk semua frekuensi yang disebabkan oleh sensitifitas obat terhadap organ
cord khususnya sensitifitas terhadap beberapa antibiotic seperti streptomisin,
kanamisin dan kloramfenikol

1. Tuli konduksi yang disebabkan oleh kerusakan mekanisme untuk menjalarkan


suara ke dalam koklea. Tipe tuli yang sering ditemukan ad ilah tuli yang
disebabkan oleh fibrosis telinga tengah setelah infeksi berulang pads telinga
tengah atau fibrosis yang terjadi pads penyakit herediter, yang disebut otoklerosis.
Dalam kasus ini gelombang suara tidak dapat dijalarkan secara mudah melalui osikel
dari membran timpani ke fenestra ovalis (Ganong, 1995).
Tingkat kemampuan mendengar dibagi dalam:
1. Pendengaran normal, bila tidak terdapat kesukaran mendengar pembicaraan
dengan suara biasa maupun suara perlahan. Pada pemeriksaan audiometric tidak
lebih dari 25 dB.
2. Tuli ringan, bila tidak terdapat kesukaran mendengar suara biasa, tetapi sudah
ada kesukaran mendengar

pembicaraan

dengan suara perlahan. Pada

pemeriksaan audiometri 26-40 dB.

3. Tuli sedang, bila seringkali terdapat kesukaran mendengar suara biasa. Pada
pemeriksaan audiometri 41-70 dB.
4. Tuli berat, bila sudah terdapat kesukaran mendengar suara biasa, sehingga harus
dengan suara keras. Pada pemeriksaan audiometri 71-90 dB.
5. Tuli sangat berat, meskipun dengan suara keras, komunikasi tidak lancar. Pada
pemeriksaan audiometri lebih dari 90 dB (Soetirto, 2008).
Ciri-ciri kehilangan pendengaran yang ditimbulkan paparan bising akibat kerj
adalah sebagai berikut:
1. Gangguan pendengaran telinga dalam, dengan superposisi konduksi dan
rekruitmen udara dan tulang
2. Kehilangan pendengaran bilateral dan sedikit banyak simetris
3. Kehilangannya mulai pads frekuensi 4000 Hz.stadium ini ada takik bentuk V
yang khas pada audiogram. Kondisi ini bersifat laten, identifikasi memerlukan
prosedur deteksi yang sistematik. Setelah periode paparan lebih lanjut

kehilangan pendengaran memburuk dan mebias ke rentang frekuensi yang lebih


besar, dan gangguannya menjadi nyata. Bila paparan tidak dihentikan kehilangan
pendengaran memburuk dan dapat mendekati tuli
4. Ketulian teijadi akan permanen dan stabil meskipun bahaya akustik sudah
dijauhkan (Suyono, 1995).
2.2 Kebisingan
2.2.1 Definisi Kebisingan
Gelombang suara yang dirasakan tidak mengganggu manusia dinamakan
bunyi (voice) atau suara (sound). Jika gelombang dirasakan sebagai gangguan
maka dinamakan bising atau berisik (noise). Dengan demikian bising dapat
didefinisikan secara sederhana yaitu bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang
dapat mengganggu dan merusak pendengaran manusia. Menurut Kepmen LH No.
KEP-48/MENLH/11/1996, kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan
dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan
(Abbas, 2000).
Bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki (Gabriel,
1996 ; Stansfeld dan Matheson, 2003) yang merupakan aktivitas alam (bicara,
pidato) , dan buatan manusia (bunyi mesin) (Gabriel, 1996). Bising dirasakan
sebagai stressor dan gangguan lingkungan ( Stansfeld dan Matheson, 2003).
2.2.2

Klasifikasi Kebisingan
Frekuensi suara bising biasanya 'terdiri dari campuran sejumlah
gelombang suara dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum frekuensi
suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan oleh jenisjenis frekuensi
yang ada. Menurut Roestam (2004) dan Buchari (2007) bising dapat dibedakan
berdasarkan sifatnya menjadi

1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi luas


Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas
amplitudo kurang lebih 5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut.

Contoh : dalam kokpit pesawat helicopter, gergaji sirkuler, suara


katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar, dsb.
2. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit
Bising ini relatif tetap dan hanya ada frekuensi tertentu saja ( misal 5000, 1000 atau
4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas.
3. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermitten noise, yaitu kebisingan tidak
berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh
kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll.
4. Bising impulsive
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu
sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif
misalnya suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll.
5. Bising impulsif berulang-berulang
Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pads mesin tempa.
2.2.3 Pengukuran Kebisingan
Sound Level Meter (SLM) adalah alat pengukur suara (Buchari, 2007).
SLM terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit "attenuator" dan beberapa alat
lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 - 130 dB dan dari frekuensi 20 20.000 Hz (Andrina, 2003). Mekanisme kerja SLM apabila ada benda

bergetar, maka akan meyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat
ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk
(Buchari, 2007). Untuk memperkirakan kerasnya suara yang didengar,
pembobotan yang digunakan pada tingkat tekanan suara terhadap frekuensi yang
berbeda adalah A filter. Tingkat tekanan suara pembobotan-A dinyatakan dalam
2.2.4

satuan dB(A) (Barrientos et al,2004).


Nilai Ambang Batas Bising
Pemerintah

melalui

Keputusan

KEP.51/MEN/1999

tentang

nilai

Menteri

ambang

batas

Tenaga

Kerja

kebisingan

Nomor
berupaya

mengendalikan pajanan bising di tempat kerja agar para pekerja terhindar dari
pengaruh negatif kebisingan. Nilai ambang batas kebisingan adalah standar
faktor tempat kerja yang dapat diterima pekerja tanpa mengakibatkan penyakit
atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari - hari.

Nilai ambang batas kebisingan menurut Budiono (2003), adalah:


Tabel. 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan

2.2.5

Waktu pemajanan perhari

Intensitas kebisingan (dB)

(A)
8jam
4
2
1
30 menit
15
7,5
3,75
1,88
0,94
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11

85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
115
118
121
124
127
130
133
136
139

Tidak boleh

140

Efek Kebisingan bagi Kesehatan


Kebisingan mempunyai dampak pads gangguan pendengaran (auditory)
dan nonauditory seperti stres psikologik, hipertensi, kelelahan, dan perasaan
tidak senang (annoyance). Pemaparan kebisingan dapat menimbulkan rangsangan
dan meningkatkan aktivitas saraf simpatis. Jika rangsangan tersebut bersifat
sementara, reaksi akan cepat pulih dalam beberapa menit, tetapi bila
pemaparan berlangsung lama dan berulang dapat menimbulkan perubahan
fisiologi organ neurosensorik, sistem sirkulasi darah, endokrin, dan sistem
pendernaan yang menetap (Nugraha et al., 2005)

Baku mutu tingkat kebisingan yang dipergunakan adalah Keputusan


Menteri LH No. 48 Tahun 1996, yaitu 55 dB (untuk pemukiman, rumah sakit,
sekolah dan ruang terbuka hijau), 65 dB untuk daerah perkantoran/perdagangan,
serta 70 dB untuk tempat-tempat umum (Suama et al., 2007). Efek auditory.
Efek kebisingan pada pendengaran menyebabkan ketulian. Ketulian
bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih
kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus menerus bekerja
di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih
kembali (Roestam, 2004).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pada tahun 2000
terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Indonesia termasuk empat
Negara - di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu
4,6%, sedangkan tiga negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%)
dan India 6,3%). Prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat diantaranya gangguan
komunikasi dan menurunnya produktifitas kerja. Berdasarkan Survei Kesehatan
Indera Tahun 1993 - 1996 yang dilaksanakan di delapan provinsi Indonesia
menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan tenggorkan (THT)
sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,6%, gangguan pendengaran 16,8% dan
ketulian 0,4% (Departemen Kesehatan RI, 2004).

Menurut Arifiani (2004) efek bising terhadap pendengaran dapat menyebabkan

1. Trauma akustik
Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telmga akibat adanya
energi suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya
kemampuan fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan
meneruskan getaran ke organ korti. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang
telinga, kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ
korti. Penderita biasanya tidak sulit untuk menentukan saat terjadinya trauma
yang menyebabkan kehilangan pendengaran.
2. Perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara
(noise-induced temporary threshold shift) Pada keadaan ini terjadi kenaikan nilai
ambang pendengaran secara sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan
bersifat reversibel. Untuk menghindari kelelahan auditorik, maka ambang
pendengaran diukur kembali 2 menit setelah pajanan suara. Faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya pergeseraon nilai ambang pendengaran ini
adalah level suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji, spektrum suara, dan
pola pajanan temporal, serta faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin,
status kesehatan, obat-obatan (beberapa obat dapat bersifat ototoksik
sehingga menimbulkan kerusakan permanen), dan keadaan pendengaran
sebelum pajanan.

3. Perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen


(noise-induce permanent threshold shift)
Pada keadaan ini terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran secara permanen.
Dari data observasi di lingkungan industri, faktor-faktor yang mempengaruhi
respon pendengaran terhadap bising di lingkungan kerja adalah tekanan suara. di
udara, durasi total pajanan, spektrum bising, alat transmisi ke telinga, serta
kerentanan individu terhadap kehilangan pendengaran akibat bising.

Menurunnya pendengaran akibat bising terutama terjadi pada frekuensi


yang lebih tinggi (3000-6000 Hz), dengan efek paling besar terjadi pads
frekuensi 4000 Hz. Adapun konsekuensi dari NIHL termasuk: 1) isolasi sosial,
2) gangguan komunikasi dengan pekerja lain dan keluarga, 3) menurunnya
kemampuan untuk memonitor pada lingkungan kerja (tanda bahaya, peralatan
yang berbunyi), 4) meningkatkan trauma akibat dari gangguan komunikasi dan
isolasi, 5) cemas, mudah tersinggung, menurunnnya harga diri, 6) hilangnya
produktifitas, 7) pengeluaran untuk membayar kompensasi dan alat bantu dengar
kepada para pekerja (Barrientos et al., 2004).
Efek non-auditory.
Mengacu pads International Programme on Chemical Safety , efek
samping dari bising yaitu terjadi perubahan morfologi dan fisiologi dari
organisme yang mengakibatkan terganggunya kapasitas fungsional atau
terganggunya kemampuan untuk kompensasi menghadapi stres, peningkatan

kerentanan organisme terhadap efek yang berbahaya yang merupakan


pengaruh lingkungan (WHO, 2000)
Efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan
dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Efek jangka pendek
berlangsung sampai beberapa menit setelah pajanan terjadi, sedangkan efek j
angka panj ang terj adi beberapa jam, hari ataupun lebih lama. Efek j angka
panjang dapat terjadi akibat efek kumulatif dari stimulus yang berulang.
Pengaruh dari efek jangka pendek maupun jangka panjang menurut Arifiani
(2004) yaitu:

1. Efek jangka pendek


Efek jangka pendek yang terjadi dapat berupa refleks otot-otot berupa kontraksi
otot-otot, refleks pemafasan berupa takipneu, dan respon sistem kardiovaskuler
berupa takikardia, meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya.
2. Efek jangka panjang
Efek j angka panj ang terj adi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek ini dapat
berupa gangguan homeostatis tubuh karena hilangnya keseimbangan simpatis
dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa keluhan psikosomatik akibat
gangguan saraf otonom, serta aktivasi hormon kelenjar adrenal.

Berbagai gangguan pads tubuh dapat timbul akibat bising baik itu berupa
gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan gangguan
fungsi keseimbangan. Beberapa gangguan tersebut menurut Arifiani (2004):
1. Gangguan fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputusputus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan
darah ( 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer
terutama pads tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan
sensoris.
2. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah
tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat
menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-

lain.
3. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi hares
dilakukan

dengan

cars

berteriak.

Gangguan

ini

bisa

menyebabkan

terganggunya pekerjaan, sampai padsa kemungkinan terjadinya kesalahan


karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya, gangguan komunikasi mi
secara tidak langsung membahayakan keselamatan tenaga kerja.

4. Gangguan fungsi keseimbangan


Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa
atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing
(vertigo) atau mual-mual.
2.3 Tuli Akibat Bising
Seseorang

yang

terpapar

kebisingan

secara

terus

menerus

dapat

menyebabkan dirinya menderita ketulian. Ketulian akibat kebisingan yang


ditimbulkan akibat pemaparan terus manerus tersebut dapat dibagi menjadi dua:
1. Temporary deafness, yaitu kehilangan pendengaran sementara
2. Permanent deafness, yaitu kehilangan pendengaran secara permanen atau disebut
ketulian saraf, yang harus dapat dikompensasi oleh jamsostek atas rekomendasi dari
2.3.1

dokter pemeriksa kesehatan (Emil Salim, 2002).


Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ corti di koklea terutama sel-sel
rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang

menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan


lama paparan. Stereosilia pads sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku
sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adaiah daerah basal.
Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh
jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam
dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada
sel-sel rambut,

dapat timbul degenerasi pads saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus
2.3.2

pendengaran pada batang otak (Soetirto, 2008).


Gambaran Minis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara
(speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat
menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan.
Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon
dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinnitus
merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu
ketajaman pendengaran dan konsentrasi (Rabinowitz, 2010).
Secara umum gambaran ketulian pads tuli akibat bising (noise induced

hearing loss) adalah


1. Bersifat sensorineural
2. Hampir selalu bilateral
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss).
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.
4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran
yang signifikan.
5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pads frekwensi 3000, 4000 dan
6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terj adi pads frekwensi 4000 Hz.
6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan
6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 - 15 tahun

(Brookhouser, 2010).

2.3.3

Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis NIHL harus dilakukan anamnesis yang
teliti, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan audiologik (Dobie, 2010). Dari
anamnesis didapatkan riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan
bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun.
Sedangkan pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan (Soetirto,
2008).
Pada pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positip, Weber
lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek.
Kesan jenis ketuliannya adalah tuli sensorineural yang biasanya mengenai kedua
telinga (Soetirto, 2008). Ketulian timbul secara bertahap daam jangka waktu
bertahun-tahun, yang biasanya terjadi dalam 8 - 10 tahun pertama paparan
(Heggins, 2010).
Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekwensi tinggi (umumnya 3000 - 6000 Hz) dan pada frekwensi 4000 Hz sering
terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini (Soetirto,
2008). Sedangkan pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment
Sensitivity Index), ABLB (Alternate Binaural Loudness Balance) dan Speech
Audiometry menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang khas untuk tuli saraf
koklea. Untuk menegakkan diagnosis klinik dari ketulian yang disebabkan oleh
bising dan hubungannya dengan pekerja, maka seorang dokter harus
mempertimbangkan faktor-faktor berikut

1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.


2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja.

3. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran.


4. Meneliti bising di tempat kerja, untuk menentukan intensitas dan durasi bising
yang menyebabkan ketulian.
5. Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerj a dan berkala selama kerja.
Pentingnya mengetahui tingkat pendengaran awal para pekerja dengan
melakukan pemeriksaan audiometri sebelum bekerja adalah bila audiogram
menunjukkan ketulian, maka dapat diperkirakan berkurangnya pendengaran
tersebut akibat kebisingan di tempat kerja.
6. Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial
seperti riwayat penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit
2.3.4

sebeluninya (Mahdi,1993).
Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat
dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga (earplugs),
tutup telinga (ear muffs) dan pelindung kepala (helmet) (Soetirto, 2008).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat
menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan
kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba
pemasangan alat bantu dengar (ABD). Apabila pendengarannya telah sedemikian
buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan
adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) juga dapat dilakukan agar pasien dapat

menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu


dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan
serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi (Heggins,2010)

2.3.5

Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea
yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun
pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting

2.3.6

adalah pencegahan terjadinya ketulian (Soetirto, 2008).


Pencegahan
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah
terjadinya NIHL yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program

ini terdiri dari 3 bagian yaitu


1. Pengukuran pendengaran
Test pendengaran yang hares dilakukan ada 2 macam, yaitu
a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.
b. Pengukuran pendengaran secara periodik.
2. Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cars yaitu
a. Melindungi telinga para pekerj a secara langsung dengan memakai ear muff
(tutup telinga), earplugs (sumbat telinga) dan helmet (pelindung kepala).
b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara
memasang peredam suara

menempatkan suara bising (mesin) didalam suatu ruangan yang terpisah dari

pekerj a
3. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising,
frekuensi bising, lama dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan
bising. Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter
(Oedono, 1996).
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam
hariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat
kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka
metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi
tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah, sebelum
masuk ke telinga bagian dalam (Sasongko, 2000).

2.4 Keadaan Umum Daerah Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Cakra Selatan Baru (Getap) dan
Babakan, Kecamatan Cakranegara Kota Mataram. Kelurahan Getap mempunyai
luas wilayah kurang lebih 55.757 Ha dengan jumlah lingkungan sebanyak lima
buah. Kelurahan ini berbatasan dengan:
Sebelah utara

Kelurahan Cakra Selatan


Sebelah timur

Kelurahan Mandalika
Sebelah Selatan

Kelurahan

Babakan
Sebelah Barat

Kelurahan Abian Tubuh Baru

Sedangkan Kelurahan Babakan mempunyai luas wilayah seluas 182,77 ha,


terdiri atas 6 lingkungan. Kelurahan ini berbatasan dengan:
Sebelah utara

Kelurahan

Kelurahan

Cakra Selatan Baru Sebelah timur : Kelurahan Turida


Sebelah Selatan
Dasan Cermen
Sebelah Barat

: Kelurahan

Abian Tubuh
Kedua kelurahan ini berjarak kurang lebih 4 km dari pusat pemerintahan
kota Mataram. Keduanya merupakan wilayah permukiman padat penduduk yang
didalamnya terdapat industri kerajinan berbahan dasar besi dan industri kecil
pembuatan roti, sehingga kedua lokasi ini layak menjadi lokasi penelitian untuk

mengukur

pengaruh

tingkat

kebisingan

akibat

kegiatan

industri

yang

dilaksanakannya. Kedua industri ini mempunyai karakteristik yang sesuai untuk


dibandingkan dalam pengukuran pengaruh tingkat kebisingan dengan gangguan
fungsi pendengaran, yaitu industri bengkel las yang termasuk mempunyai
kategori tingkat kebisingan tinggi dengan industri pembuatan roti yang relatif
tidak bising dengan tingkat kebisingan rendah.
Jumlah penduduk masing-masing kelurahan sampel termasuk dalam
kategori padat yaitu 1742 jiwa di kelurahan Cakra Selatan Baru (Getap) dan
9.577 di kelurahan Babakan. Dari segi pendidikan, kedua kelurahan ini
mempunyai jumlah penduduk penyandang buta aksara yang cukup besar yaitu
290 jiwa di kelurahan Cakra Selatan Baru (Getap), dan 856 jiwa di kelurahan
Babakan. Sebagian besar penduduk hanya berpendidikan tidak tamat sekolah
dasar, tamat sekolah dasar dan tamat SUP yaitu 1630 orang di kelurahan Cakra
Selatan Baru (Getap) dan 2065 di kelurahan Babakan. Selebihnya mereka
berpendidikan SLTA dan hanya sedikit yang menyelesaikan

pendidikan sampai keperguruan tinggi. Dengan komposisi tingkat


pendidikan

seperti

tersebut

diatas,

maka

tingkat

pengetahuan

dan

keterampilan mereka untuk memilih pekerjaan menjadi terbatas, sehingga


sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pegawai bengkel las dan pabrik
roti yang ada di kelurahan masing-masing. Kondisi ini dapat dilihat dari
banyaknya jumlah penduduk yang bekerja pada sektor industri pengolahan
besi (bengkel las) dan pabrik pembuatan roti dan kerupuk.
Dari hasil pengamatan pads lingkungan kerja mereka, maka pekerja bengkel las
di Kelurahan Cakra Selatan Baru (Getap) mengalami paparan kebisingan dengan

intensitas dan frekuensi yang tinggi. Bukan saja mereka yang bekerja di
industri atau bengkel las yang mengalami paparan kebisingan dengan
frekuensi dan intensitas tinggi tetapi juga keluarga yang tinggal disekitar
bengkel las. Hal ini terjadi karena letak bengkel tersebut adalah ditengahtengah pemukiman penduduk yang padat dimana suara mesin diesel, mesin
bubut besi, gerinda dan lentingan suara besi yang dipukul menghasilkan
frekuensi bunyi yang tinggi dan mengganggu pendengaran. Kondisi ini
meningkatkan peluang para pekerja dan keluarganya atau orang yang tinggal
disekitarnya terpapar kebisingan dan mengalami gangguan fungsi pendengaran.
Sebaliknya para pekerja pabrik roti di Kelurahan Babakan tidak
mengalami paparan kebisingan yang tinggi karena pabrik roti tidak
menghasilkan suara dengan frekuensi yang tinggi. Dengan demikian
kemungkinan kerusakan fungsi pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja
sangat kecil.

2.5 Kerangka konsep


Berdasarkan pembahasan berbagai pustaka yang telah diuraikan pada
bab mi maka dapat di gambarkan kerangka konsep sebagaimana disajikan
pada gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 di atas menunjukkan bahwa tingkat kebisingan dengan level tertentu dapat
terjadi di tempat kerja. Mereka yang bekerja pada bengkel las dengan tingkat kebisingan tinggi
akan menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pendengaran. Sedangkan pekerja yang

bekerja pada daerah dengan tingkat kebisingan rendah, tidak terpapar dengan

Kebisingan Alat Penghalus


Kayu

Pekerjaan yang
terpapar kebisingan
(Tingkat Kebisingan
tinggi)

Ganggua
n non
auditory

Pekerjaan yang tidak


terpapar kebisingan
(tingkat kebisingan
rendah)

Masa kerja

Gangguan
fungsi
pendengar
an

usia

Gangguan
fungsi
pendengar
an

Gangguan
non
auditory

Penggunaan obat ototoksik

= Alur yang diteliti


= Alur yang tidak diteliti
kebisingan tinggi sehingga mereka tidak mengalami gangguan fungsi
pendengaran. Penelitian ini akan menguji tingkat signifikansi gangguan
pendengaran pada pekerja yang terpapar dengan kebisingan bengkel las
(kebisingan intensitas tinggi) dengan mereka yang terpapar bising intensitas
rendah di lingkungan kerja. Oleh karena itu untuk mengarahkan jalannya penelitian
maka disusun hipotesis.
2.6 Hipotesis
Untuk memberikan arahan dalam melakukan penelitian, maka diajukan
hipotesis. Hipotesis: Paparan kebisingan bengkel las berpengaruh terhadap
gangguan fungsi pendengaran pekerja.

Untuk menguji hipotesis ini maka pada bab berikutnya (bab III) akan
disajikan metodologi penelitian termasuk alat uji yang digunakan untuk menguji
apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak.

Anda mungkin juga menyukai