Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Shock

merupakan

keadaan

penurunan

perfusi

jaringan

yang

menyebabkan hipoksia seluler. Hal ini didefinisikan sebagai sindroma yang


disebabkan oleh hipoperfusi yang akut, yang menyebabkan hipoksia
jaringan dan disfungsi organ vital.
Shock merupakan kelainan sistemik yang memperngaruhi sistem organ
multipel. Perfusi bisa menurun secara keseluruhan atau penyebaran yang
tidak adekuat, seperti pada shock sepsis. Pada saat shock, perfusi tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.
Penatalaksanaan shock pada wanita hamil berbeda dengan wanita yang
tidak hamil. Pertama, perubahan fisiologis yang muncul pada sistem organ
selama kehamilan. Kedua, kondisi rentan pada ibu dan janin harus
dipertimbangkan. Oleh karena itu, penanganan gawat darurat obstetrik
melibatkan penatalaksanaan terus menerus baik bagi ibu dan janin yang
mempunyai profil fisiologis yang berbeda.

Jika septic shock tidak cepat ditangani, keadaan akan kian memburuk,
aliran darah ke organ-organ vital berkurang, penderita akhirnya dapat
meninggal.
Tulisan ini menitikberatkan pada bagaimana penanganan semestinya pada
pasien mengingat septic shock bertanggung jawab atas tingkat mortalitas
yang tinggi, yaitu sekitar 20% dari penyebab kematian ibu.1

BAB II
PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA KEHAMILAN

Selama kehamilan terjadi perubahan kardiovaskular yang bermakna


termasuk volume darah, denyut jantung, stroke volume, dan cardiac
output. Lebih jauh lagi, wanita hamil juga mengalami perubahan
respiratorik dan keadaan asam basa. Pemahaman ini penting untuk
penanganan pasien lebih lanjut.

Volume Darah
Volume darah ibu meningkat sebanyak 25-52% hingga akhir kehamilan.
Sementara volume plasma meningkat sebanyak 45-50% dibandingkan
dengan jumlah sel darah merah yaitu 20%. Peningkatan yang tidak
proporsional pada volume plasma berpengaruh pada hemodilusi atau
anemia pada kehamilan, yang mencapai maksimum pada usia kehamilan
32 minggu. 2,3

Selama kehamilan, volume darah meningkat menjadi 1-1,5 L, kadar


sodium tubuh meningkat menjadi 950 mEq/L, dan volume air menjadi 6 8

L, 4 L terdapat di ekstraseluler. Peningkatan volume darah dan cairan


ekstraseluler ini diperlukan untuk sirkulasi uteroplasenta yang optimal.

Tekanan Darah

Baik tekanan sistolik dan diastolik menurun hingga pertengahan


kehamilan. Penurunan ini muncul karena diakibatkan penurunan resistesi
vaskular. Tekanan vena pada kedua tungkai meningkat secara progresif
selama kehamilan, disebabkan oleh kompresi vena pelvis dan vena cava
inferior pada uterus namun akan kembali normal setelah melahirkan.3
Denyut Jantung

Denyut jantung ibu meningkat pada saat usia kehamilan 12 minggu.


Keadaan ini dapat bertahan hingga 120% diatas baseline sampai 32
minggu usia kehamilan. Takikardi pada ibu dapat disebabkan oleh
adaptasi jantung terhadap overload volume dan peningkatan serum
tiroksin.3
Resisten Vaskular Sistemik (SVR)

Resisten Vaskular Sistemik (SVR) menurun dan mencapai titik terendah


pada kehamilan 24 minggu dan meningkat lagi pada saat aterm. Dua
faktor penting pada penurunan SVR adalah dilatasi pembuluh darah
4

perifer

dan

keberadaan

sirkulasi

plasenta.

Keadaan

vaskularisasi

placental bed mempunyai SVR yang rendah. Selama masa gestasi vena
uterus membesar dan bertambah dan SVR uterus menurun drastis.3,4,5
Hemodinamik intrapartum

Respon kardiovaskular ibu dapat berubah akibat pengaruh kontraksi


uterus, nyeri, analgesia, dan pembedahan. Kontraksi uterus memacu
cardiac output. Tiap kontraksi menyalurkan 300-500 ml darah. Pada saat
persalinan, sekitar 500 ml darah berkurang, sementara dengan cesarian
sectio darah berkurang sekitar 1000 ml. Akibat keadaan hipervolemia
selama

kehamilan,

kehilangan

30%

dari

volume

darah

tidak

mempengaruhi nilai hematokrit. Cardiac output tetap meningkat setidaknya


hingga 48 jam postpartum.

BAB III
SEPTIC SHOCK
Pathogenesis
Bakteri Gram Positif dan jamur begitu juga dengan Bakteri Gram Negatif
dapat menyebabkan sepsis. Organisme ini dapat menginvasi aliran darah
secara langsung atau masuk dari infeksi lokal, dan mengeluarkan
bermacam-macam substansi dalam aliran darah yang pada akhirnya
menstimulasi pelepasan prekursor plasma atau sel (monosit atau
makrofag, sel endotelial, neutrofil) sebagai mediator endogen dari sepsis.

Gambar 1. Patogenesis syok sepsis18

Mediator-mediator ini menyebabkan efek fisiologis pada jantung dan


organ-organ lain dan sistem vaskular. Pada penyakit yang sudah lanjut
hipotensi yang tidak responsif biasanya berhubungan dengan rendahnya
resistensi sistem vaskular, tapi 10-20% dari pasien yang berhubungan
dengan rendahnya cardiac ouput yang disebabkan oleh penurunan fungsi
miokardial. Sistem organ yang sering terperngaruh termasuk hati, jantung,
paru-paru, ginjal, sistem saraf pusat, dan sistem pembekuan darah.
Konsekuensinya adalah disfungsi miokardial, gagal ginjal akut, Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), gagal fungsi hati, dan DIC.
Kematian biasanya terjadi jika satu atau lebih organ sistem mengalami
kegagalan seluruhnya.

Bakteri gram negative


melepaskan

endotoksin

seperti Escherichia coli, Proteus, Klabsiella


ke

dalam

darah.

Endotoksin

adalah

lipopolisakarida yang keluar akibat lisis dari dinding sel bakteri.Selain


lipopolisakarida, tidak tertutup kemungkinan

adanya substansi-subtansi

lain dari bakteri yang menyebabkan pelepasan mediator dengan


komplemen yang teraktivasi, kinin, dan sistem koagulasi.1,6,13

Septic shock biasanya diawali dengan nidus infeksi yang masuk ke aliran
darah. Bakteri gram positif akan menghasilkan eksotoksin seperti
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menimbulkan

nekrosis dan

gangrene pada jaringan, terutama pada uterus postpartum dapat


menyebabkan kolapsnya sistem cardiovascular dan ahirnya kematian
maternal. 6,13

Pelepasan mediator vasoaktif menghasilkan vasodilatasi yang selektif


akibat terjadinya maldistribusi aliran darah. Agregasi platelet dan leukocyte
menyebabkan penyumbatan kapiler. Perlukaan pada pembuluh endothel
menyebabkan

kebocoran

pada

kapiler

dan

penambahan

cairan

interstisial , hasil ahir dari mekanisme ini adalah septic shock syndrome. 6

Pada fase awal dari septic shock, curah jantung dan denyut jantung
meningkat, tekanan darah arteri menurun. Keadaan ini akan menjadi
progresif dengan penurunan curah jantung karena darah balik berkurang,
ditandai dengan turunnya tekanan vena sentral.

Hipertensi

paru-paru

akibat

tahanan

pembuluh

darah

meningkat

disebabkan oleh sumbatan leukosit pada kapiler paru, menimbulkan gejala

gagal paru yang progresif, yaitu pO2 arterial menurun, hiperventilasi,


dyspnoe, dan asidosis.

Secara umum shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi ke


jaringan sehingga menyebabkan disfungsi sel dan jika terus berlanjut akan
menyebabkan kematian sel. Bagaimanapun juga, sepsis menghasilkan
bentuk yang lebih kompleks dari shock. Onset sepsis sering diiringi
dengan hipovolemia akibat dilatasi arteri dan vena dan bocornya plasma
ke daerah ekstravaskular. Jika hipovolemia ini dikoreksi dengan pemberian
cairan intravena secara agresif, akan menyebabkan rendahnya SVR,
normal atau meningkatnya cardiac output, takikardi, dan peningkatan
konsentrasi oksigen dalam darah hiperdinamik shock sindrom.

Pada pasien dengan shock sepsis, nilai endotoksin dapat dinilai dari kultur
darah, kadar asam laktat darah, dan rendahnya resisten sistemik vaskular.
Pada pasien dengan shock sepsis dan kultur darah yang positif,
endotoksemia berhubungan dengan peningkatan kematian (39%) jika
dibandingkan dengan pasien tanpa endotoksemia.

Gejala Klinis

Sepsis merupakan kejadian berangkai yang pada ahirnya menyebabkan


septic shock syndrome. Pada keadaan septic shock, terjadi perubahan
hemodinamik tubuh, yang akhirnya dikategorikan menjadi fase hangat
(warm phase) dan fase dingin (cold phase). Prognosa septic shock pada
fase hangat jauh lebih baik dibanding keadaan pada fase dingin.

Shock sepsis dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, presyok, syok awal atau
fase hangat, dan shock lanjut atau fase dingin. Pada keadaan preshock,
pasien mengalami takipnea dan alkalosis respiratoris. Kondisi ini lebih
tepat dideskripsikan sebagai hiperdinamik sedang dengan peningkatan
cardiac ouput, penurunan resisten sistemik vaskular, dan tekanan darah
yang normal.

Tabel 1. Definisi Klinis Sepsis17

10

Respon terbaik terapi ada pada tingkatan ini. Pada fase hangat tekanan
darah menurun (sistolik kurang dari 60 mmHg) dan penurunan resistensi
sistemik vaskular secara drastis, perubahan status kesadaran, serta
temperatur yang tidak stabil.

Seiring keadaan ini berlanjut pada fase dingin aktifasi dari sistem saraf
simpatis dengan pelepasan katekolamin akan mengarah ke vasokonstriksi
berat, yang akan menghentikan aliran darah dari jaringan perifer ke atas
jantung

dan

otak.

Kompensasi

vasokonstriksi

ini

menghasilkan

peningkatan kerja jantung.

11

Lactate acidosism, perfusi jaringan yang kurang dan pengaruh dari faktor
depresan miokardial dapat juga menyebabkan penurunan kerja jantung. Janin
lebih resisten terhadap efek endotoksin dibandingkan ibu. Namun perubahan
pada aliran uteroplasenta dapat menyebabkan hipoksia, asidosis, solusio
plasenta, perdarahan intrakranial, dan kematian janin dalam kandungan.

Manifestasi klinis dari septic shock tergantung dari organ yang terganggu.
Penyebab utama kematian pada pasien dengan kondisi ini adalah insufisiensi
pernapasan akibat ARDS.

Tabel 2. Efek target organ pada septic shock 6


Organ system
Brain
Hypothalamus
Cardiovascular

Clinical and laborartory findings


Confusion, obtundation
Hypothermia, hyperthemia
Myocardial depression, arrhytmias,

Pulmonary

tachycardia, hypotension
Tachypnea, arteriovenous

Gastroitestinal
Hepatic
Kidneys
Hematologic

hypoxemia
Vomitting, diarrhea
Increased AST (SGOT) and billirubin
Oliguria, renal failure
Hemoconcentration, thrombocytopenia,

shunting,

leukocytosis, coagulopathy
Penyebab dari septic shock adalah abortus septik, korioamnionitis dan infeksi
postpartum, pielonefritis, dan infeksi saluran pernapasan. Walaupun septic shock
12

tetap menjadi salah satu penyebab kematian terbesar pada pasien obstetrik,
insidensi kematiannya lebih rendah dibanding dengan pasien nonobstetrik. Sisa
konsepsi dan infeksi genitourinaria merupakan faktor yang cukup berpengaruh
pada terjadinya sepsis.

Pasien biasanya mengalami menggigil demam, hipotensi, gelisah, takikardia,


dan takipnea. Jika keadaan ini terus berlanjut, pasien akan mengalami
bradikardia, sianosis, kulit dingin dan lembab.

Gambar 2. Onset kegagalan organ pada pasien dengan sepsis7

DIAGNOSIS
Tiap saat infeksi bakterial dijumpai, tekanan darah dan jumlah urin harus
dimonitor secara intensif. Septic shock, sebagaimana dengan shock

13

hemoragik, harus selalu dipertimbangkan jika ditemukan hipotensi atau


oligouria.

Jika dicurigai adanya septic shock, penatalaksanaan yang agesif harus


dilaksanakan termasuk pengawasan vital sign dan jumlah luaran urin,
pemberian

cairan

intravena

untuk

memperbaiki

sirkulasi

volume,

pemberian obat antimikroba, pemberian oksigen dan bantuan pernapasan,


dan jika diperlukan intervensi pembedahan setelah keadaan umum
mengalami perbaikan.

14

Tabel 2. Kriteria diagnosa sepsis16

15

16

BAB IV
MANAJEMEN SEPTIC SHOCK

Prinsip Penanganan
Pada pasien obstetrik pada keadaan sepsis yang kritis, memerlukan
pendekatan yang agresif untuk memaksimalkan hasil luaran ibu dan janin.
Penatalaksanaan septic shock mempunyai tiga komponen utama.
Pertama,

penyebab

menggunakan

infeksi

diidentifikasi

dan

dieliminasi

pembedahan,

pengobatan

antibiotik,

atau

dengan
bahkan

keduanya. Kedua, sementara penyebab sepsis dievakuasi, perfusi dan


fungsi

organ

harus

dipertahankan

dengan

bantuan

alat

monitor

kardiovaskular. Ketiga, tujuan terapeutik secara keseluruhan ialah untuk


memutus siklus patogen.

Septic shock pada kehamilan harus diterapi dengan antibiotik spektrum


luas seperti Ampicillin, Gentamycin, dan Clindamycin. Pada suatu
penelitian, 40% dari pasien obstetrik yang mengalami septic shock
memerlukan

tindakan

pembedahan

dan

keseluruhan

mengelami

perbaikan. Jika korioamnionitis ditemukan, kehamilan harus segera

17

diterminasi. Bagaimanapun juga, jika kehamilan bukan penyebab infeksi,


biasanya terminasi tidak harus segera dilakukan. 13
Penanganan pendukung juga termasuk pemberian antipiretik demam dan
selimut hipotermik. Perbaikan kondisi asidosis ibu, hipoksemia, dan
hipotensi sistemik biasanya dapat memperbaiki kelainan pada jantung
janin.

Gambar 3. Skema pencegahan dan penatalaksanaan sepsis7


Penanganan awal
Penatalaksanaan
kebutuhan

cairan

septic

shock

sebelum

termasuk

shock

dapat

untuk

menyeimbangkan

menyebabkan

kerusakan

ireversibel pada organ vital sebelum pendekatan klinik pada tempat


infeksi. Penanganan awal adalah dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
foto dada, elektrokardiogram, analisis gas darah, elektrolit, pemeriksaan
darah rutin, dan ultrasonografi. Kateterisasi jantung kanan dengan kateter

18

Swann-Ganz biasanya sangat berguna pada evaluasi awal. Selama


evaluasi ini berlangsung, pengobatan harus dilakukan.
Setelah stabilisasi, evaluasi yang lebih mendalam dilaksanakan dan
diperhatikan respons dari terapeutik tersebut. Tanda klinis yang dapat
dilihat dari perfusi jaringan termasuk suhu tubuh, tingkat kesadaran, dan
jumlah urin (>20 sampai 30 ml/hari). Pengukuran asam laktat serial juga
berguna dalam melihat perfusi jaringan, kadar asam laktat seharusnya
menurun dalam 24 jam jika pengobatan efektif.

Pemberian dan monitoring cairan intravena


Diperlukan pengawasan yang intensif terhadap pengukuran hemodinamik
pada pasien dengan septic shock. Melalui intravena merupakan cara yang
ideal apabila menggunakan dua kateter ukuran 16 sampai 18 gauge.
Asupan cairan melalui arteri dapat dilakukan pada pasien dengan septic
shock karena pengawasan tekanan darah, analisa gas darah, penilaian
laboratorium lainnya lebih mudah. Lokasi yang sering adalah arteri radialis,
brakialis, dan femoralis.

Kateter arteri pulmonalis dapat menyediakan keterangan penting seperti


cardiac output, systemic vascular resistance (SVR), dan saturasi oksigen.

19

Dalam beberapa kasus, data-data ini berguna untuk menentukan tingkatan


shock dan menyediakan penilaian tepat dalam respon terapi.
Walaupun penggunaan kateter ini masih kontroversi, pada kasus septic
shock terdapat indikasi potensial karena kebutuhan vasokonstriktor
(norepinefrin >10 microgram/menit), terlepas dari resusitasi yang adekuat,
gagal nafas berat, dan gagal ginjal.

Cairan
Tujuan pemberian terapi cairan adalah untuk penyebaran cairan
secepatnya yang akan meningkatkan cardiac output dan asupan oksigen.
Karena terjadi vasodilatasi dan kebocoran kapiler yang muncul akibat
septic shock, kebanyakan pasien membutuhkan 1 sampai 2 liter cairan
koloid atau 4 sampai 8 liter kristaloid untuk memperbaiki sirkulasi volume
secara adekuat. Tujuannya adalah menaikkan mean arterial pressure
menjadi 65 sampai 75 mmHg dan memperbaiki perfusi jaringan dalam 1
jam setelah hipotensi terjadi.

Klinisi masih memperdebatkan pemberian terbaik kristaloid, koloid, dan


darah. Kristaloid mempunyai keuntungan lebih murah dan lebih tersedia,
bagaimanapun juga 1 liter kristaloid mengembangkan volume plasma
hanya sekitar 200 sampai 250 ml dan dapat mejadi faktor predisposisi

20

oedem paru. Secara teroritis, koloid seperti albumin memberi keuntungan


karena dapat bertahan lama di dalam intravaskular.

Pemberian darah mempunyai keuntungan karena darah berada dalam


intravaskular seluruhnya. Namun ketersediaanya terbatas dan mempunyai
resiko transmisi penyakit dan reaksi transfusi.

Jenis cairan yang digunakan tidak bermakna secara klinis pada hasil
luaran selama penggunaanya efektif. Penggunaan kristaloid dapat
diberikan cepat sebanyak 500 sampai 1000 ml dalam 5 sampai 10 menit
hingga mean arterial pressure dan perfusi jaringan adekuat. Karena koloid
lebih lama bertahan dalam intravaskular, mereka dapat menyebabkan
oedem pulmonum. Sel darah merah dapat diberikan pada pasien dengan
kadar Hb kurang dari 10 g/dl. Komplikasi utama dari resusitasi cairan ini
adalah oedem jaringan. Oedem paru merupakan komplikasi yang sering
dan diawali dengan takipnea dan hipoksemia. 5,14

21

Vasoactive agents
Pasien yang tidak bereaksi terhadap terapi cairan harus mendapatkan
vasoactive agents seperti dopamine hydrochloride, norepinephrine,
dobutamine, epinephrin, dan phenylephrine hydrochloride.

Tabel. Efek hemodinamik dari agen vasoaktif6


Agen

Dosis
CO

Dopamine Hcl
Norephinephrine
Dobutamin
Epinephrine
Phenylephrine

5-20 g/kg/min
0,05-5 g/kg/min
5-20 g/kg/min
0,05-2 g/kg/min
2-10 g/kg/min

2+

-/0/+
2+
2+
-/0

Efek
MAP
1+
2+
-/0/2+
2+
2+

SVR
1+
2+
2+
2+

Catatan :
CO : cardiac output; MAP: mean arterial pressure; SVR: systemic vascular
resistance
Efektivitas paling rendah minus (-) dan nilai efektif yang paling tinggi 2+

Dikatakan bahwa glukokortikoid mengandung anti endotoksin , dan dapat


diberikan melalui infus atau suntikan intravena . Tujuan pemberian obat22

obatan vasoaktif adalah uintuk memperbaiki perfusi jaringan bukan untuk


mengembalikan tekanan darah menjadi normal.

16

Antibiotik
Antibiotik tetap merupakan salah satu pengobatan yang menurunkan
mortalitas dalam septic shock. Pemberian antibiotik dapat diberikan dalam
2

jam

setelah

sepsis

ditegakkan.

Karena

lokasi

infeksi

dan

mikroorganisme penyebabnya tidak diketahui, harus dilakukan kultur dan


pemberian antibiotik spektum luas melalui intravena.

Peningkatan prevalensi dari jamur, bakteri gram positif, basili gram negatif,
Staphylococcus aureus, enterococcus, pneumococcus merupakan
pertimbangan pemilihan antibiotik. 1,4,13

Penatalaksanaan septic shock selain memerlukan identifikasi penyebab,


juga terapi antimikroba. Kultur ludah, darah, dan urin dilakukan sebelum
permberian antibiotik. Pemberian antibiotik empirik yang meliputi bakteri

23

gram negatif dan positif harus dilakukan. Pada sepsis puerperium juga
dibutuhkan antibiotik anaerobik. Kombinasi yang sering digunakan adalah
penisilin, aminoglikosida, dan clindamisin atau metronidazole. Kombinasi
alternatif adalah pemakaian generasi kedua atau ketiga dari cepalosporin
dengan metronidazole. Piperacillin-tazobactam merupakan kombinasi
yang cukup memadai untuk sepsis yang berasal dari intraabdominal.4,15,16

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Soedigdomarto MH, dkk. Syok dalam Kebidanan. Ilmu Kebidanan.


Edisi Ketiga, Cetakan Keenam, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta. 2002. 675-86.
2. Weiss J, Ramada SS. Critical care obstetric. In : DeCherney AH,
Nathan L. Current obstetric & gynecologic diagnosis & treatment. 9 th
Ed, McGraw-Hill Company, 2003, Philadelphia. 58:1048-53
3. Sharma S. Shock and pregnancy. eMedicine, 2006. Available at :
http://www.emedicine.com
4. Hayashi RH. Postpartum hemorrhage and puerperal sepsis. In :
Hacker NF, Moore JG. Essentials of obstetrics and gynecology. 3 rd
Ed, W.B. Saunders Company, 1998, Philadelphia. 29:333-42
5. Hollenberg SM, Kelly VS. Sepsis. In : Cohen WR.Cherry and
Merkatzs complications of pregnancy. 5th Ed, Lippincott Williams &
Wilkins, 2000, Philadelphia. 52:81728
6. Cunningham FG. Critical care and trauma. In : Cunningham FG.
Williams

obstetrics.

21st

Ed,

McGraw-Hill

Company,

2001,

Philadelphia. 43:1159-71

7. Russell JA. Management of sepsis. N Engl J Med 2006;355:1699713

25

8. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and treatment of sepsis.


N Engl J Med 2003;342:138-50
9. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N
Engl J Med 1999;340:207-14
10. Filbin MR, Stapczynski JS. Septic shock. eMedicine, 2006.
Availablet at : http://www.emedicine.com
11. Borton C. Obstetric shock. 2006. Available at :
http://www.patient.co.uk/
11.Parrillo JE. Pathogenecitc mechanisms of septic shock. N Engl J
Med 1993.328:1471-1478
12. Stubblefield PG, Grimes DA. Septic abortion. N Engl J Med
1994.331:310-14
13. Cohen J. Septic shock definition, causes, symptoms and
treatment. 2007. Available at : http://www.healthguidance.org/
14. Sirgan.

The

coutcomes

of

septic

shock.

Available

at

http://www.studyhealth.com
15. Bridges E, Dukes MS. Cardiovascular aspects of septic shock :
pathophysiology, monitoring, and treatment. Critical Care Nurse,
2005.25:14-42
16. Schrier RW, Wang W. Mechanism of disease: acute renal failure
abd sepsis. N Engl J Med 2004;351:159-69

26

17. Baxter F. Review article: septoc shock. Can J Anaesth 1997;


44:1,59-72

27

Anda mungkin juga menyukai