Anda di halaman 1dari 7

Peranan Wali Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia.

Ada sembilan ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Mereka dikenal dengan sebutan Wali Songo Wali Songo mengambangkan agama Islam
menjelang dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, atau sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16.
Dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa dalam berdakwah, para Wali ini dianggap sebagai
kepala kelompok mubaligh untuk daerah penyiaran tertentu.
Selain dikenal sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik
pemerintahan. Karena itu, mereka diberi gelar Sunan (Susuhunan; junjungan) gelar yang biasa
digunakan untuk para raja di Jawa.
1. Wali Songo dan Dakwah Islam
Dalam menyiarkan Islam, Wali Songo tidak hanya akrab dengan masyarakat
umum, tetapi juga dengan penguasa kerajaan. Ketika menyiarkan Islam, mereka
menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional masyarakat setempat. Mereka
menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam kesenian tersebut. Karena itu, upaya mereka
terasa tidak asing dan sangat komunikatif bagi masyarakat setempat. Usaha ini
membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya
kandungan budaya Islam.
Syiekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau juga dikenal dengan sebutan syiekh Magribi, karena ia diduga berasal dari
wilayah Magribi (afrika Utara). Namun, hingga saat ini tidak diketahui secara
pasti sejarah tentang tempat dan tahun kelahirannya. Ia diperkirakan lahir sekitar
pertengahan abad ke-14. Ia berasal dari keluarga muslim yang taat, dan belajar
agama sejak kecil. Meskipun demikian, tidak diketahui siapa gurunya hingga ia
kemudian mejadi seorang ulama.
Sunan Gresik merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia berdakwah
secara intensif dan bijaksana. Sunan Gresik bukanlah orang Jawa, tetapi ia
mampu beradaftasi dengan masyarakat setempat. Upayanya untuk menghilangkan
sisitem kasta pada masyarakat pada masa itu merupakan dakwahnya. Namun
sumber lain mengatakan bahwa jauh sebelum Sunan Gresik datang ke Pulau Jawa,
sudah ada masyarakat Islam di daerah Jepara dan Leran.
Cita-cita dan perjuangannya menyebarkan Islam di Jawa dilanjutkan oleh
anaknya, Sunan Ampel.

Sunan Ampel

Ia memulai dakwahnya dari sebuah pesantren yang didirikan di Ampal


Denta (dekat Surabaya). Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pemimbina pondok
pesantren pertama di jawa Timur.
Suna Ampel merupakan putera dari Sunan Gresik yang meneruskan
perjuangan Sunan Gresik menyiarkan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal dengan Wali
yang tidak setuju terhadap adat-istiadat masyarakat Jawa pada masa itu. Misalnya,
kebiasaan mengadakan sesaji dan selamatan. Namun para wali lain berpendapat
bahwa hal itu tidak dapat dihilangkan dengan segera. Mereka mengusulkan agar
adat-istiadat semacam itu lebih baik diberi warna islami. Akhirnya, Sunan Ampel
setuju walaupun ia tetap khawatir kalau hal itu akan berkembang menjadi Bidah.
Ajaran Sunan Ampel yang terkenal adalah Falsafah Moh Limo atau
tidak Mau Melakukan Lima Hal.
1. Moh Main atau Tidak mau berjudi.
2. Moh Ngombe atau Tidak minum-minuman keras (mabuk-mabukan)
3. Moh Maling atau Tidak mencuri.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, dan lain-lain.
5. Moh Madon atau Tidak berzina.

Sunan Giri
Nama aslinya adalah Raden Paku. Ia merupakan putra dari Maulan Ishak.
Ia sempat diadopsi oleh Nyai Ageng Pinatih ketika masih bayi dan sempat diberi
nama joko Samudro; karena Raden Paku ditemukan di tengah Selat Bali.
Sunan Giri sempat mondok di Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel
sebelum memperdalam ilmu di Pasai, tempat Maulana Ishak menyiarkan Islam.
Sekembalinya ke tanah Jawa, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Ia
juga banyak mengirim juru dakwah ke Bawean, bahkan juga ke Lombok, Ternate
dan Tidore di Maluku.

Sunan Bonang
Cara penyebarannya ialah menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan
masyarakat Jawa yang menggemari Wayang dan Musik Gamelan. Untuk itu,
menciptakan gendang-gending yang memiliki corak keislaman.
Sunan Bonang yang bernama asli Syiekh Maulana Makdum Ibrahim ini pernah
belajar agama di Pesantren Ampel Denta dan di Pasai bersam Sunan Giri.
Sekembalinya dari Pasai, ia memutuskan untuk memusatkan kegiatan dakwahnya
di Tuban dengan mendirikan Pesantren. Ia wafat di Tuban pada tahun 1525.

Sunan Kalijaga

Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman. Nama aslinya adalah Raden


Said putra Adipati Tuban yaitu Temenggung Wilatikto. Ia menciptakan anaka
cerita wayang yang bernafaskan islami. Ia juga menciptakan wayang kulit dan
wayang beber. Dan ia juga pencipta dari lagu daerah Jawa yang berjudul Lir-Ilir.
Sebelum mempelajari agama islam lebih dalam, ia adalah seorang perampok.
Namun yang ia rampok bukanlah rakyat jelata, melainkan para penarik pajak yang
meminta pajak dengan kekerasan dan sangat mencekik kehidupan masyarakat
setempat. Ia pun sempat diusir dari Tuban, dan pergi ke hutan Jatiwangi. Di sana
ia dikenal dengan sebutan Brandal Lokajaya.
Ia mendapat gelar sunan Kalijaga karena ia sempat disuruh menjaga sungai
(bertapa) selama tiga tahun. Ia adalah murid dari Sunan Bonang. Ia juga
menciptakan berbagai macam alat musik seperti Gamelan dan Bedug untuk media
dakwahnya.

Sunan Kudus
Ia adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari
Jipang Panolan. Untuk melancarkan penyebaran islam, Sunan Kudus membangun
sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid itu diberi nama Masjid
Al-Aqsa atau Al-Manar. Wilayah di sekitarnya disebut Kudus, merupakan nama
yang diambil dari dari nama Kota al-Quds (Yarusalem) di Palestina, yang pernah
ia kunjungi. Masjid itu kemudian dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus
karena di sampingnya terdapat menara tempat duduk masjid.

Sunan Kudus atau Jafar sadiq digelari wali al-ilmi (orang berilmu luas)
oleh para wali songo karena memiliki keahlian khusus dalam bidang agama.
Karena keahlian nya itu, ia banyak didatangi para penuntut ilmu dari berbagai
wilayah. Ia juga dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus.
Karenanya, ia menjadi pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin daerah.
Ia berdakwah menggunakan strategi pendekatan pada masyarakat setempat. Ia
membiarkan duklu adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit
dirubah, namun bagian adat yang tidak sesuai islam tetapi mudah dirubah maka
segea dihilangkan. Ia menghindari konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan
islam. Strategi dakwah ini juga diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Sunan Drajad

Raden Qosim. Ia merupakan putra dari Sunan Ampel dan Dewi


Condrowati. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut dengan
seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walaupun dalam urusan dunia ia
juga sangat rajin mencari rezki.
Adapun ajaran Sunan Drajad yang terkenal adalah
Menehono teken marang wong kang wuto.
Menehono mangan marang wong kang luwe.
Menehono busono marang kang mudo.
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.
Terjemahannya sebagai berikut:
Berikanlah tongkat pada orang buta.
Berikanlah makanan pada orang yang lapar.
Berikanlah pakaian pada orang yang telanjang.
Berikanlah tempat berteduh pada orang yang kehujanan.
Ia berdakwah di daerah Drajad dan meninggal di daerah itu juga. Makamnya
berada di desa Drajad, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.

Sunan Muria

Nama aslinya adalah Raden Umar Syaid. Ia adalah putera sunan Kalijaga
dan Dewi Saroh. Ia dikenal sebagai seorang anggota Wali Songo yang
mempertahankan kesenian Gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk
merangkul masyarakat Jawa.
Selain dengan kesenian, ia juga berdakwah dengan cara memadukan adat
setempat dengan warna islami. Adapun adat setempat yang dipadukan dengan
warna islami adalah sebagai berikut:
Selamatan ngesur tanah (kenduren setelah ngubur nayat)
Nelung dinani (kenduren setelah 3 hari mengubur mayat)
Mitung dinani (kenduren setelah 7 hari ngubur mayat)
Matang puluh, nyatus dino, Mendhak pisan, mendhak pindo, dan nyewu.

Sunan Gunung Jati

Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Pada usia 20 tahun dia berguru
pada Syiekh di daratan Timur Tengah. Aetelah selesai menuntut ilmu, pada tahun
1470 dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Istrinya yang
pertama adalah Nyai Babadan, wanita itu dinikahi pada tahun 1471. Dia adalah
putri dari Ki Gedeng Babadan.

Perkawinannya dengan Nyai Babadan ini tidak dikaruniai seorang anak


pun, lalu pada tahun 1475, ia kawin lagi dengan Nyai Kawungten, adik dari
Bupati Banten.
Ia sempat menikah dengan Syarifah Baghdad, yang merupakan adik dari
Syiekh Abdurrahman. Namun dari sekian banyak istrinya, Sunan Gunung Jati
pernah menikah dengan putri cantik dari daratan Cina, Ong Tien.
Sekitar tahun 1479, ia pergi ke Cina. Di sana ia membuka pengobatan sambil
berdakwah. Ia mendapat gelar Maulana Insanul Kamil.
2. Model Penyebaran Islam Wali Songo
Secara umum Wali Songo menyiarkan Islam dengan memadukan budaya
setempat sebagai media dakwah. Mereka membiarkan budaya dan kepercayaan
masyarakat setempat yang sulit dirubah. Namun bagian adat yang mudah dirubah, maka
dengan segera mereka menghilangkannya. Mereka melakukannya karena menghindari
konfrontasi dengan masyarakat secara langsung. Dan tentunya mereka melakukan hal itu
agar mudah berkomunikasi dengan masyarakat, dengan cara itu masyarakat bisa dengan
mudah menerima mereka dan mengamalkan apa yang diajarkan.
Anggota Wali Songo yang memakai cara pendekatan itu adalah Sunan Kali Jaga,
Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Sunan Kali Jaga
malah membiarkan masyarakat membakar kemenyan, dan ia juga sempat menciptakan
alat musik berupa Gamelan.
Memang pada dasarnya hal ini termasuk Bidah, namun jika tidak dengan cara ini
masyarakat sangat sulit untuk didekati.

3. Kemjuan Islam Periode wali Songo


Selama menyiarkan agama Islam, Wali Songo banyak mengalami hambatan. Ada
fitnah, dan budaya setempat yang sulit dirubah. Namun dengan kesabaran dan tekat yang
kuat, akhirnya sebagian masyarakat Jawa masuk Islam meskipun tidak sedikit yang
melakukan bidah. Hal itu bagi Wali Songo bukanlah masalah besar. Dan mereka
meyakini suatu saat nanti akan ada orang yang dapat menghilangkan budaya masyarakat
setempat yang tertmasuk bidah.
Permasalahan yang cukup terkenal sampai saat ini mengenai wali Songo adalah
perkara Syiekh siti Jenar. Ia adalah seorang ahli agama dari Persia. Ia mengaku dirinya
adalah Allah. Para wali sangat menentangnya, dan memutuskan hukuman mati bagi
syiekh siti Jenar. Meskipun Syiekh Siti Jenar mati, namun ajarannya tetap menyebar.
Bahkan ia sempat mempunyai banyak murid. Sebelum Syiekh Siti Jenar dihukum mati, ia
sempat mengeluarkan ancaman kepada para Wali. Dan ancaman itu pun benar terjadi, di
Mataram 6000 ulama Sunni dibantai oleh Sunan Amangkurat I.
Pertentangan antara faham Manunggaling Kawula Gusti memang terus
berlangsung. Para pendukung siti Jenar tetap berusaha mendiskreditkan para Wali,
bahkan hingga zaman modern ini.Namun di balik itu semua, usaha Wali Songo dalam
menyiarkan agama Islam membuahkan hasil yang luar biasa, hingga dapat kita rasakan
sampai saat ini.
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia memengaruhi kebudayaan Islam
bangsa Indonesia. Akulturasi dengan budaya sebelumnya membuat budaya islam makin
diminati masyarakat. Dan salah satu dampak yang muncul adalah berdirinya kerajaankerajaan yang bercorak islam, antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak,
Pajang, Mataram Islam, Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore

Anda mungkin juga menyukai