PENDAHULUAN
daya tarik utama bagi wisatawan. Selain itu berbagai gejolak isu keamanan dalam
negeri pun menjadi perhatian tersendiri oleh dunia internasional yang berujung
dikeluarkannya travel warning, padahal Bali sempat mendapat predikat sebagai
tempat teraman di dunia. Masalah lain yang juga cukup mendapat sorotan adalah
masalah kesehatan yang meliputi kasus travelers diarrhea dan belakangan ini status
Bali sebagai salah satu daerah endemi Rabies di Indonesia. Masalah rabies yang
telah memakan banyak korban jiwa ini menjadi sorotan terutama karena masih
adanya masyarakat yang terinfeksi rabies sejak ditemukannya kasus ini pada
penghujung tahun 2008 di Kabupaten Badung.
Pulau Bali yang memiliki luas 4200 km2 dengan tingkat kepadatan penduduk
mencapai 690 orang per km2 pada tahun 2010 menjadi rumah bagi sekitar 600.000
anjing jalanan dengan tingkat kepadatan anjing berbanding manusia sekitar 8,27 : 1
per km2 atau sekitar 96 ekor per km2. Jumlah hewan penular rabies (HPR) yang
demikian tinggi merupakan faktor resiko terbesar bagi masyarakat terutama
berkaitan dengan jumlah kasus gigitan baru, terlepas dari masalah apakah gigitan itu
terindikasi mengandung virus rabies atau tidak. Apalagi tingginya angka kunjungan
wisatawan ke Bali menjadi salah satu pendorong bergeraknya rasio manusia dengan
HPR menjadi lebih tinggi di daerah Bali. Sehingga masalah rabies ini menjadi
perhatian dan agenda yang serius bagi Pemerintah Daerah Propinsi Bali. Namun
sekali lagi, salah satu strategi dalam pengendalian kasus rabies di Bali mendapat
tantangan khususnya oleh berbagai LSM dalam dan luar negeri. Berbagai LSM
menentang cara-cara pemberantasan rabies pada HPR menggunakan metode
eliminasi karena dianggap melanggar hak-hak hewan untuk hidup dan kurang
2
manusiawi. LSM tersebut seperti Born Free Foundation dengan kampanye Stop the
inhumane cull dog in Bali, World Society for the Protection of Animals (WSPA)
Australia & New Zealand dengan kampanye Urgent Action: Save Balis dog,
Animal Rights dengan kampanye Bali dogs are dying. Please Stop the killing,
Animal Asia Foundation: Sign the petition to Governor of Bali against unnecessary
killing bahkan juga LSM dalam negeri, Bali Animal Welfare Association: Save
Bali dogs. Help eliminate the cruel treatment of animals in Indonesia (Naipospos,
2010). Dengan demikian cara yang cukup manusiawi dan disarankan untuk
dilakukan adalah metode vaksinasi terhadap anjing, yang dianggap lebih efektif
dalam mencegah rabies. Meskipun pada akhirnya segala upaya dalam usaha
eradikasi rabies memiliki tempatnya masing-masing dalam tiap tingkat penanganan.
Mengingat pentingnya upaya pembebaskan Bali dari masalah rabies maka
penulis memilih tema kasus rabies serta upaya pencegahan dan pemberantasannya
sebagai bahan penelitian. Meskipun vaksinasi masal dan eliminasi HPR
sesungguhnya merupakan ranah kerja dari dinas peternakan namun perlu disadari
bahwa terdapat suatu hubungan hulu hilir dengan dinas kesehatan dalam kasus
rabies. Jika diasumsikan program vaksinasi masal sebagai hulu maka dinas
kesehatan yang berperan sebagai hilir akan merasakan dampak dalam penurunan
kasus rabies pada manusia di masyarakat. Sehingga pemisahan wewenang dan
program kerja dapat dikesampingkan dalam penelitian ini demi menilai serta
evaluasi kasus rabies dan segala upaya penanganannya sejak mencuatnya kasus
rabies tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rabies
2.1.1 Etiologi
Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi susunan saraf pusat. Rabies
adalah penyakit zoonosis karena menular dari hewan yang bertindak sebagai
reservoir ke manusia yang merupakan dead end host. Virus rabies berasal dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae yang berwujud seperti peluru tumpul dengan inti
nucleocapsid RNA untai tunggal dan diliputi selubung lipoprotein. Materi
nucleocapsid terdiri dari Negri bodies yang dapat dilihat pada sitoplasma neuron
yang terinfeksi dalam horn of Ammon di hippocampus dan korteks serebral dengan
pewarnaan hematoxylin dan eosin. Karena virus rabies memiliki selubung
lipoprotein maka sangat mudah dan cepat diinaktifkan dengan cara pengeringan,
sinar UV, sinar X, tripsin, detergen dan eter (Gompf, 2011). Prinsip ini yang dipakai
dalam penanganan awal pada korban gigitan HPR (Hewan Penular Rabies) yaitu
mencuci luka dengan detergen atau sabun pada air mengalir sebelum diberikan VAR
(Vaksin Anti Rabies) dan SAR (Serum Anti Rabies) pada pusat pelayanan kesehatan.
Penting untuk memahami dari segi diagnosis dan terapi bahwa virus rabies
beraksi sebagai neurotoksik ketimbang sitotoksik. Hal ini dikarenakan virion yang
bekerja pada celah sinaps berikatan dengan reseptor neurotransmiter asetikolin,
GABA dan glisine yang memiliki kesamaan/homologi pada deretan asam aminonya.
Virus rabies yang kompetitf terhadap neurotransmiter inilah yang dipandang sebagai
racun neuron karena menimbulkan efek saraf otonom yang termanifestasi pada
gejala dan tanda yang dialami penderita. Sementara itu sitotoksisitas virus rabies
tidak dapat dibuktikan mengingat morfologi dan rentang hidup neuronal selama
observasi tidak mengalami perubahan dan dalam keadaan normal (Gompf, 2011).
2.1.3 Gambaran Klinis
Terdapat lima stadium klinis rabies pada manusia (Gompf, 2011) yaitu:
a. Masa inkubasi : durasi antara 20-90 hari dengan 90% kasus masa inkubasi <1
tahun meskipun pernah dilaporkan kasus rabies dengan masa inkubasi sampai 719 tahun. Pada pasien yang digigit pada leher atau kepala dengan inokulum dalam
dan luas serta luka yang multiple maka periode ini berlangsung <50 hari
mengingat kecepatan virus melewati neuron. Selama masa inkubasi, respon
antibodi belum dapat diukur karena sifat virus rabies yang mampu menghindari
sistem imun penjamu sehingga VAR dapat diberikan untuk mengaktifkan respon
kekebalan tubuh serta jika tersedia SAR dapat digunakan untuk meredam laju
perjalanan virus rabies sambil menunggu VAR bekerja.
b. Masa prodromal : virus telah memasuki susunan saraf pusat dengan durasi 2-10
hari. Paresthesia, nyeri dan gatal adalah gejala patognomonis pada 50% kasus
rabies yang mana lebih bersifat subyektif pada fase ini.
c. Periode neurogik akut : fase yang diasosiasikan dengan tanda obyektif dari gejala
gangguan susunan saraf pusat. Lamanya antara 2-7 hari. Gejala-gejalanya antara
lain fasikulasi otot, priapism, konvulsi yang fokal ataupun general serta fobia
khas. Pada stase ini dikenal dua jenis rabies yaitu furious dan paralitik rabies.
Pada furious rabies, pasien muncul dengan gejala agitasi, hiperaktifitas,
menggigit, dan halusinasi yang diselingi fase tenang, koperatif dan periode lucid.
Episode furious ini timbul <5 menit yang dapat dipicu oleh rangsangan visual,
audiotorik, stimulus taktil ataupun spontan. Furious rabies mungkin berakhir
dengan henti nafas dan jantung atau berlanjut menjadi fase paralisis. Rabies
paralitik dikenal juga sebagai dumb rabies/apathetic rabies merupakan bentuk
tenang dari 20% kasus rabies. Gejala paralisis yang dominan sedari awal dengan
demam dan sakit kepala yang lebih menonjol.
d. Koma : muncul dalam 10 hari setelah onset dengan durasi yang bervariasi. Tanpa
dukungan perawatan intesif maka henti nafas dan jantung serta kematian muncul
dengan cepat.
e. Kematian : sangat penting untuk menentukan kematian lewat biopsi otak atau
evaluasi absennya aliran arteri serebral karena tanda-tanda neurologis dapat
memberikan gejala palsu kematian otak seperti anisokor, fixed pupillary
dilatation/blown pupil dan optic neuritis.
9
10
11
13
mencapai 460.000 ekor saat ini harus dikurangi hingga mencapai 7.600 ekor.
Sehingga hal ini tidak akan terjangkau dan terlaksana.
c. Saat eliminasi berakhir berarti akan terdapat banyak makanan bagi sisa hewan
anjing yang ada dan ini membantu dalam pertumbuhan yang pesat. Itu sebabnya
eliminasi bersifat sementara. Dalam banyak kasus, hewan anjing tereliminasi
yang ada pemiliknya dan disayang malah memicu perolehan hewan anjing dari
lokasi lain. Hal ini sangat berpotensi meningkatkan penyebaran wabah di
sekeliling pulau.
d. Seperti bukti yang menunjukan bahwa eliminasi itu tidak manusiawi dan juga
tidak akan berhasil, juga ada bukti lain yang menunjukan eliminasi itu sangat
meresahkan dan membuat trauma masyarakat setempat dan juga para pelaku
eliminasi tersebut.
e. Eliminasi menciptakan reaksi negatif untuk wisatawan, sama hal nya juga dari
organisasi internasional dan para pakar rabies. Banyak negara yang
perekonomiannya sangat bergantung kepada kepariwisataan sedangkan biaya
eliminasi merupakan pemborosan biaya, oleh sebab itu dampak negatif secara
finansial terhadap kepariwisataan itu juga harus diperhitungkan.
f. Eliminasi di Bali sudah dilaksanakan sejak rabies mewabah dan kasus rabies
pada manusia masih terus meningkat.
Sekelompok orang berpikiran bahwa menggabungkan vaksinasi dan eliminasi akan
lebih efektif. Namun, ada banyak alasan mengapa eliminasi pada hewan anjing yang
15
tidak tervaksinasi setelah cakupan 70% tercapai, tidak efektif dan bisa mengalihkan
perhatian dari program vaksinasi itu sendiri (BAWA, 2010) adalah:
a. Sehubungan dengan penanda untuk vaksin yang sifatnya tidak permanen maka
eliminasi sering tidak dapat membedakan anjing mana yang telah tervaksin. Bila
hal ini terjadi maka dana yang telah dikucurkan untuk vaksinasi tersebut akan siasia.
b. Sewaktu pelaksanaan eliminasi dimulai akan banyak pemilik-pemilik hewan
anjing yang menyembunyikan hewan peliharaan atau memindahkan hewan
tersebut ke kawasan lain agar tidak dieliminasi secara kejam. Hal ini berdampak
buruk pada penyebaran wabah.
c Pembiakan dan penggantian hewan anjing yang tereliminasi oleh para pemilik akan
berakibat pada perkembangan populasi yang cepat. Akibatnya semua manfaat yang
seharusnya ada menjadi tersisihkan dengan cepat.
16
BAB III
KERANGKA KONSEP
Rabies adalah penyakit zoonis yang yang sangat bergantung pada efektifitas
pengawasan hewan dan program vaksinasi. Rabies pada manusia sangat bergantung
pada jumlah hewan yang terinfeksi dan kontaknya dalam populasi manusia. Sehingga
sangat memungkinkan mengendalikan kasus rabies di tengah masyarakat agar tidak
menimbulkan keresahan dengan jatuhnya korban jiwa karena rabies. Salah satu cara
yang paling efektif dalam menekan angka kejadian rabies pada manusia dan binatang
adalah melalui vaksinasi hewan penular rabies sebagai reservoir dan penyebar virus
rabies ke hewan lain maupun manusia.
Kecenderungan
penurunan kasus
Gambar 1. Kerangka Konsep
Penelitian
rabies
Vaksinasi masal rabies harus mencakup 70% dari total populasi hewan penular
rabies (dominan hewan anjing) sebagai prasayarat dalam pencegahan dan
pemberantasan kasus rabies. Hasilnya dilihat dari jumlah kasus gigitan baru HPR
pada populasi manusia dan kasus baru rabies pada hewan dan manusia setelah
program vaksinasi masal rabies pada anjing berlangsung yaitu pada tahun 2010.
17
Meskipun kasus rabies pada manusia mungkin saja rendah karena pada daerah
endemi setiap gigitan hewan penular rabies (GPHR) pada manusia diberikan VAR
oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat namun hal tersebut dipandang sebagai
suatu rangkaian keberhasilan vaksinasi masal rabies atau program hulu-hilir, kendati
dilakukan oleh dua instansi pemerintah yang memiliki wewenang yang berbeda.
Meskipun program vaksinasi masal rabies disebut sebagai metode paling efektif
dalam mencegah penularan rabies namun vaksinasi bukan merupakan satu-satunya
cara dalam penanganan wabah rabies. Terdapat integrasi beberapa program yang
melibatkan kerjasama lintas sektoral di dalamnya. Eliminasi merupakan salah satu
metode yang tetap dikerjakan dalam mengatasi masalah rabies. Terlepas dari segala
polemik dan kontroversi yang ditimbulkan bahwa metode eliminasi memiliki
hubungan dengan jumlah kasus rabies yang terjadi. Selain itu pemahaman
masyarakat pun memiliki peran yang strategis dalam upaya penanggulangan masalah
rabies, dimulai dari kesadaran membawa anjing peliharaan untuk divaksin,
melaporkan keberadaan anjing liar atau binatang peliharaan yang berperilaku aneh
dan penanganan awal terhadap korban luka gigitan hewan penular rabies. Sehingga
pada akhirnya keberhasilan eradikasi rabies bergantung dari banyak aspek dan tidak
serta merta bergantung pada satu penanganan tunggal.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
18
dilakukan pada kantor Dinas Peternakan Propinsi Bali sedangkan data mengenai
jumlah gigitan baru hewan penular rabies terhadap manusia dan jumlah pasien rabies
didapatkan dari Dinas Kesehatan Propinsi Bali.
ii. Rabies pada manusia adalah kasus rabies yang dikonfirmasi menggunakan
metode Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dalam mendeteksi
antibodi atau antigen serta memiliki gejala/tanda klinis rabies dan memiliki
riwayat paparan dengan anjing yang sudah dipastikan positif melalui konfirmasi
laboratorium atau yang belum dapat dipastikan karena anjing tidak dapat
ditemukan, lari atau lolos dari penangkapan.
iii. Rabies pada anjing adalah anjing yang dikonfirmasi setelah dilakukan uji
serologis di laboratorium Disease Investigation Center Denpasar dengan metode
Fluorescent Antibody Test (FAT).
20
BAB V
HASIL PENELITIAN
21
Rabies pada
Rabies pada
Manusia
Anjing
4
28
82
23
8
7
81
345
90
*-
Tahun 2008
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
Total
145
Keterangan : * Data tidak tersedia
523
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
Total
Buleleng
21
27
Jembrana
Tabanan
13
18
22
Badung
10
23
Denpasar
11
Gianyar
10
Klungkung
10
Bangli
Karangasem
29
39
Jumlah
28
82
23
145
Tahun
2008
2009
2010
2011
0
10
55
23
Total
7
72
Jembrana
22
24
46
Tabanan
Badung
Denpasar
Gianyar
Klungkung
Bangli
Karangasem
Jumlah
0
6
1
0
0
0
0
7
7
28
10
14
0
1
11
81
14
42
35
101
26
50
59
345
6
6
6
23
8
8
2
90
27
82
52
138
34
59
72
523
(Grafik 2). Secara umum terdapat sebanyak 141.450 kasus gigitan yang tercatat
dengan diantaranya 141 kasus menjadi positif rabies pada manusia selama tahun
2009-2012.
Tahun
2009
2010
2011
2012
Total
Buleleng
918
10,289
6,332
4,493
22,032
Jembrana
137
1,376
1,791
1,866
5,170
Tabanan
3,164
4,180
6,473
6,832
20,649
Badung
2,918
9,926
8,111
8,005
28,960
Denpasar
2,931
2,696
3,411
3,326
12,364
Gianyar
1,691
7,066
7,474
7,276
23,507
Klungkung
214
2,805
2,477
1,786
7,282
Bangli
258
3,773
4,006
3,308
11,345
Karangasem
1,635
7,601
3,486
3,409
16,131
RS Sanglah
7,940
17,849
9,247
6,825
41,861
17,587
51,716
38,212
33,935
141,450
Jumlah
25
eliminasi pada anjing tahun 2011 diperkirakan sekitar 74% jika dibandingkan jumlah
eleminasi yang telah dilakukan pada tahun 2008-2010.
Tabel 5. Realisasi Vaksinasi Masal Rabies dan Eliminasi pada Anjing Tahun 20082012
Periode
Realisasi
Eliminasi
Vaksinasi
(Ekor)
(Dosis)
Tahun 2008 - 2010
474.332
Tahun 2011
393.224
Tahun 2012
264. 018
Total
1.131.574
Keterangan : * Data tidak tersedia
138.410
36.579
*174.989
BAB VI
PEMBAHASAN
27
28
c. Kasus rabies di Jembrana baru dilaporkan muncul pada bulan Juni 2010 sehingga
menjadikannya sebagai kabupaten terakhir yang tertular rabies. Bandingkan
dengan Kabupaten Tabanan, Karangasem, Buleleng, Bangli dan Gianyar yang
pada pertengahan tahun 2009 telah dinyatakan sebagai daerah terjangkit rabies
(Putra et al., 2009).
d. Jarak pusat layanan kesehatan yang jauh di Karangasem menjadi hambatan bagi
masyarakat dalam mendapatkan VAR dan baru melapor ketika kondisi telah
memburuk.
e. Jembrana merupakan kabupaten dengan tingkat gigitan anjing terendah di Bali
yaitu dengan 5,170 kasus gigitan anjing sementara Karangasem mencapai kasus
16,131 gigitan anjing sepanjang tahun 2009-2012 (Tabel 3).
Sementara itu kasus anjing positif rabies tertinggi di Kabupaten Gianyar dan
terendah di Tabanan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Cakupan vaksinasi di Kabupaten Tabanan pada vaksinasi masal rabies I pada
Oktober 2010 sampai Maret 2011 mencapai 100% (Putra, 2011) sehingga tidak
mengherankan kasus rabies pada anjing menjadi yang terendah di Bali.
b. Diagnosis anjing rabies didasarkan pada konfirmasi sampel dari laboratorium
sehingga semakin banyak sampel maka kemungkinan positif juga semakin tinggi
begitu pula sebaliknya. Kemungkinan Kabupaten Gianyar lebih aktif dalam
pengiriman sampel anjing yang terindikasi rabies sehingga terlihat jumlah kasus
positif rabies pada anjing yang tinggi dibandingkan Tabanan. Dengan demikian
29
rendahnya tingkat kasus rabies pada anjing tidak otomatis menjadikan daerah
tersebut aman dari wabah rabies, karena dapat pula disebabkan sistem pelaporan
dan skrining yang kurang memadai oleh pemda setempat.
c. Gianyar merupakan kabupaten yang berstatus desa tertular rabies dengan kasus
baru, aktif dan sangat aktif yang tertinggi di Bali sebelum dan sesudah vaksinasi
masal rabies tahun 2010 sehingga wajar jika jumlah anjing positif tinggi (Putra,
2011).
d. Tingginya tingkat kesadaran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan
rabies sehingga terdapat peran aktif dalam penangkapan atau penyerahan anjing
yang diduga terinfeksi.
e. Daerah tersebut memiliki populasi anjing yang tinggi sehingga memudahkan
penularan rabies antar anjing sehingga angka kejadian rabies antara anjing lebih
sering muncul.
Pertanyaannya adalah mengapa daerah yang tinggi kasus anjing rabies tidak serta
merta menjadi kabupaten dengan kasus rabies pada manusia tertinggi? Hal ini
mungkin dikarenakan sigapnya pelayanan pemerintah dalam pemberian VAR pada
korban gigitan, tingkat pengetahuan tentang penanganan awal atau anjing yang
terinfeksi belum sempat menggigit manusia karena program eliminasi oleh daerah
tersebut. Dengan demikian daerah dengan banyak anjing positif rabies seperti
Gianyar tidak mesti menjadikannya daerah dengan kasus rabies manusia tertinggi di
Bali seperti halnya Karangasem.
30
Berbeda dengan ancaman rabies di daerah lain di Indonesia dan bahkan di dunia,
ancaman rabies di Bali sangat spesifik. Hal ini disebabkan karena keadaan sosiobudaya dan bio-geografi Bali. Sebagai daerah padat penduduk, di Bali juga banyak
ditemukan hewan pembawa rabies seperti : anjing, kucing, monyet dan kelelawar,
beberapa koloni monyet dan kelelawar bahkan menjadi obyek wisata yang ramai
dikunjungi wisatawan (Kerta et al., 2011). Kabupaten Gianyar yang terkenal dengan
monkey forest di Ubud dan Karangasem dengan Goa Lawah di Pesinggahan yang
merupakan koloni kelelawar, menjadikan kedua kabupaten itu semakin berisiko
dalam pelestarian rantai penularan rabies di Bali.
yang dirumahkan kurang dari 30% estimasi populasi (Kerta et al., 2011) dan 90%
proporsi anjing di Bali dipelihara dengan cara dilepaskan (Putra, 2011) sehingga
kasus gigitan anjing dapat menjadi sedemikian tingginya. Lebih lanjut, anjing
terinfeksi rabies belum tentu menggigit manusia dan begitu pula sebaliknya sehingga
sesuai data di atas maka daerah dengan anjing positif rabies tertinggi tidak serta
merta menjadikannya sebagai daerah dengan kasus rabies tertinggi pada manusia.
Pada kasus gigitan anjing, lebih mudah dimengerti hubungannya dengan kasus rabies
pada manusia, yaitu:
a. Badung menjadi kabupaten dengan kasus gigitan anjing yang tertinggi karena
daerah ini merupakan awal mula kasus rabies di Bali sehingga sistem pencatatan
kasus rabies menjadi lebih teliti dan lengkap (Putra et al., 2009). Sementara itu
Kabupaten Jembrana baru tertular rabies pada Juni 2010 sehingga kasus gigitan
menjadi relatif lebih rendah.
b. Kabupaten Badung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi
daripada Jembrana sehingga resiko gigitan anjing menjadi lebih tinggi.
c. Badung sebagai daerah yang memiliki pelabuhan besar sebagai jalur transit
transportasi laut memungkinkan penyebaran rabies yang tidak terdeteksi melalui
anjing-anjing geladak kapal yang membawa virus rabies. Hal ini diperkuat oleh
temuan Dibia et al. (2001) yang menyatakan virus rabies isolat Bali mempunyai
jarak genetik paling dekat dengan virus rabies isolat asal Flores dan Sulawesi.
a. Badung sebagai daerah dengan kasus gigitan anjing tertinggi tidak otomatis
menjadi daerah dengan kasus rabies pada manusia tertinggi di Bali karena
32
33
dan 2001 dalam upaya pengendalian wabah rabies namun sampai saat ini rabies tetap
mewabah di sana (Windiyaningsih et al., 2004). Dengan demikian, melihat fakta
tersebut eliminasi menjadi sia-sia jika dilakukan tanpa dukungan program kerja lain
yang efektif dan dengan sasaran yang jelas.
cakupan vaksinasi >70% pada estimasi populasi anjing. Semenjak program vaksinasi
masal rabies pada anjing diluncurkan pada bulan Oktober 2010 sampai 2011, terjadi
penurunan kasus rabies sebesar 72% pada manusia dan senilai 78% pada hewan.
Sementara itu usaha vaksinasi dari tahun 20112012 meskipun mengalami
perlambatan namun mampu mengurangi sekitar 65% kasus rabies pada manusia dari
tahun sebelumnya. Berdasarkan penelitian Putra (2011), rata-rata jumlah kasus
rabies per bulan di seluruh Bali, sebelum program vaksinasi masal jauh lebih tinggi
(44,7) dibandingkan dengan sesudah program vaksinasi masal (10,8).
Pola penurunan serupa juga terlihat pada jumlah gigitan hewan penular rabies
setelah tahun 2010 (Grafik 2). Rata-rata gigitan anjing per hari sebelum program
vaksinasi masal sebanyak 208 atau 6.256 per bulan dan selama program vaksinasi
masal sebanyak 153 per hari atau 4.589 gigitan per bulan. Sementara jumlah
kematian manusia yang terkait dengan gigitan anjing, sebelum program vaksinasi
masal rabies di seluruh Bali sebanyak 94 orang atau sekitar 4,3 orang per bulan, dan
selama program vaksinasi masal sebanyak 34 orang atau sekitar 4,8 per bulan (Putra,
2011). Namun yang perlu dipahami adalah gigitan oleh hewan bukan hanya semata
disebabkan oleh infeksi rabies tetapi dapat juga dipengaruhi oleh perasaan terancam,
hidup liar dan sifat alami anjing itu sendiri. Jumlah gigitan hewan penular rabies
(GPHR) hanya dipandang sebagai faktor resiko untuk meramalkan jumlah VAR dan
SAR yang dibutuhkan dalam menghadapi kasus rabies pada manusia. Dengan
demikian jumlah GPHR tidak secara langsung menunjukan upaya pencegahan dan
pemberantasan terhadap penurunan kasus rabies itu sendiri.
36
kesadaran
dan
pemahaman
masyarakat
dalam
pemeliharaan,
37
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
38
7.1 Simpulan
a. Jumlah kasus rabies pada manusia tertinggi tahun 2008-2012 terletak di
Kabupaten Karangasem sedangkan Jembrana merupakan kabupaten dengan
jumlah kasus rabies pada manusia dan gigitan anjing terendah di Propinsi Bali.
b. Jumlah kasus anjing rabies terendah ditemukan pada Kabupaten Tabanan dan yang
tertinggi di Kabupaten Gianyar tahun 2008-2012.
c. Kabupaten Badung memiliki kasus gigitan anjing tertinggi tahun 2009-2012.
d. Dua metode utama dalam pencegahan dan pemberantasan rabies di Bali adalah
vaksinasi dan eliminasi anjing.
e. Program vaksinasi masal rabies pada anjing sejak tahun 2010 memberi
kecenderungan menurunkan kasus rabies pada manusia dan hewan di Propinsi
Bali namun dengan catatan bahwa kasus gigitan baru hewan penular rabies masih
tinggi sehingga faktor resiko terbesar dalam penularan rabies masih tinggi.
7.2 Saran
a. Mengkombinasikan metode vaksinasi parenteral dan oral untuk meningkatkan
cakupan vaksinasi rabies dalam rangka menuju Bali Bebas Rabies 2015
39
DAFTAR PUSTAKA
Bali Animal Welfare Association. 2010. Vaksinasi Masal Memberantas Rabies Vaksinasi
Solusi Manusiawi untuk Hewan Anjing Bali. www.wspa-international.org
40
Moore S.M. dan C.A. Hanton. 2010. Rabies-Specific Antibodies: Measuring Surrogates
of Protection Against a Fatal Disease. PloS Neglected Tropical
Diseases.http://www.plosntds.org/article/info:doi%2F10.1371%2Fjournal.pnt.
Naipospos, T. 2010. Stop Pembunuhan Anjing di Bali : Vaksin Oral untuk Anjing
Jalanan. http://tatavetblog.blogspot.com/2010/04/stop-pembunuhan-anjing-di-balivaksin.html
Ohore.O.G., B.O.Emikpe., O.O.Oke, and D.O.Oluwayelu. 2007. The seroprofile of
rabies antibodies in companion urban dogs in Ibalan Nigeria. Journal of animal and
veterinary advance 6 (1). 53-56. Medwell online.
OIE . 2008. Rabies. Manual of standard for diagnostic techniques. Chapter 2.1.13.
Terrestrial manual. P.304-323.
Putra A.A.G. 2011 Epidemiologi Rabies di Bali: Hasil Vaksinasi Masal Rabies Pertama
di Seluruh Bali dan Dampaknya terhadap Status Desa Tertular dan Kejadian Rabies
pada Hewan dan Manusia. Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXIII, No.78 :
57
Putra.A.A.G., I.K.Gunata, Faizah., N.L.Dartini, D.H.W.Hartawan, G.Setiaji,
A.A.G.Semara-Putra, Soegiarto, dan H.Scott-Orr. 2009. Situasi Rabies Bali: Enam
bulan pasca program pemberantasan. Buletin Veteriner. XXI (74) : 13-26
Shanker B.R. 2009. Advances in Diagnosis of Rabies. Veterinary world. 2(2) : 74-78
Simani S., A.Amirkhani, F.Farahtaj, B.Hooshmand, A.Nadim, J.Sharifion, N.Howaizi,
N.Eslami, A.Gholami, A.Janami, and A.Fayas. 2004. Evaluation of The
Effectiveness of Pre Exposure Rabies Vaccination in Iran. Arch Med.7(4) : 251255.
Wilde H., V. Tepsumethanon. 2010. Rabies and Thailand. www.cueid.org : 1-14.
Windiyaningsih, C. et al. 2004. The rabies epidemic on Flores Island, Indonesia (19982003). Journal of the Medical Association of Thailand 87(11):1389-1393.
42