2 Januari 2013
Diterbitkan oleh:
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
Jurnal
PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penanggung Jawab:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Dewan Penyunting:
Ketua:
Irwansyah
Anggota:
Abrar Saleng
Muhammad Ashri
M. Guntur Hamzah
Abdul Razak
Achmad Ruslan
Aminuddin Ilmar
Anshori Ilyas
Slamet Sampurno Suwondo
Penyunting:
M. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Pati;
Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra;
Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus.
Staf:
Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus.
Desain Grafis & Layout:
Ahsan Yunus
Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang dimuat
merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan pendapat redaksi dan/atau Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
Terbit setiap bulan September, Januari, dan Mei.
Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke:
Alamat Redaksi:
JURNAL PENELITIAN HUKUM
Ruang Dapur Jurnal Lt. 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar.
Tel: +62811442470 +6281342439090 Fax: +62411-584686
E-mail: jurnalpenelitianhukum@ymail.com
ii
Jurnal
PENELITIAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Volume
ISSN: 2087-2291
2 Nomor 2, Januari 2013
Halaman 173-332
173-186
187-205
207-226
227-248
249-268
269-289
291-306
307-332
Biodata Penulis
Persyaratan Penulisan
iii
Dari Redaksi
Salam hormat,
Puji syukur tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan Jurnal Penelitian
Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013 ini.
Berbeda pada edisi sebelumnya, pada edisi kali ini, redaksi memuat 8 (delapan) hasil
penelitian tanpa mengangkat tema khusus, namun secara umum memuat hasil penelitian
seputar penegakan hukum kontemporer.
Tak lupa redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas kerjasamanya,
sehingga penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
ini berjalan sebagaimana mestinya. Begitu pula kepada seluruh pihak yang selama ini
mendukung, baik dalam penyusunan hingga pada penerbitan Jurnal Penelitian Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013.
Akhir kata, penerbitan jurnal ilmiah ini tentu saja masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, segala masukan, kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca senantiasa
kami harapkan demi perbaikan dalam penerbitan selanjutnya.
Selamat membaca.
Redaksi
iv
E-mail: reyvio@yahoo.com
Abstract
This study aims to investigate the control of traditional medicine distribution in
Singkawang city; and find out the factors that inhibit the controlling process. Another
objective is to analyse the scope of regulations about it. This research was conducted as a
sociological/empirical descriptive legal research in Singkawang city by using qualitative
data. The results reveal that the control of traditional medicine distribution in Singkawang
city has not been optimally conducted. There are some factors inhibiting the controlling
process, including limited human resources (in terms of quantity and quality), lack of
financial support in the implementation of the controlling program, and the low level of
public awareness and compliance (both as consumers and business owners) in participating
in the controlling efforts to prevent the distribution of traditional medicine, that does not
meet the formal requirements. Substantially, the current regulation seems to be sufficient
in managing the distribution of traditional medicine. However, in the implementation, it is
necessary to set up clear criteria of business owners who have the rights to sell traditional
medicine. The criteria can be used as guidance in determining business owners who will
be the objects of controlling process
Keywords: Control, Distribution, Traditional Medicine
.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan peredaran obat
tradisional di Kota Singkawang; dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya serta
cakupan materi peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan dapat terwujud
pelaksanaan pengawasan yang optimal. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
sosiologis/empiris yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif, Lokasi
penelitian di Kota Singkawang. Hasil penelitian menunjukkan pengawasan peredaran
obat tradisional di Kota Singkawang belum berjalan secara optimal. Faktor yang menjadi
penghambat dalam pelaksanaan pengawasan yaitu keterbatasan sumber daya manusia baik
kuantitas maupun kualitas, kurangnya dukungan finansial dalam pelaksanaan program
pengawasan serta rendahnya tingkat kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku
konsumen maupun pelaku usaha dalam berpartisipasi melakukan upaya pengawasan
guna mencegah peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Secara substansi
peraturan perundang-undangan yang ada dirasa cukup memadai mengatur peredaran
obat tradisional namun pada aturan pelaksananya secara teknis perlu diatur lebih jelas
kriteria pelaku usaha yang berhak menjual produk obat tradisional sebagai pedoman
pelaksana dalam menetapkan pelaku usaha yang nantinya menjadi objek pengawasan.
Kata kunci: Pengawasan, Peredaran, Obat Tradisional
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
PENDAHULUAN
Penggunaan obat tradisional yang berasal dari bahan alam sebagai upaya dalam
pemeliharaan kesehatan atau pengobatan akhir-akhir ini semakin popular, Obat tradisional
dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK),
Pasal 1 angka (4) dinyatakan sebagai salah satu dari bentuk sediaan farmasi. Selanjutnya,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Pasal 58 (a) menyatakan
pembinaan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk menjaga
terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang diedarkan.
Pada aspek peredaran obat tradisional sebagai suatu produk yang digunakan
masyarakat pengawasannya diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) pada
Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Pengawasan adalah usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan
yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku serta memenuhi prinsipprinsip daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas).1 Pemerintah berkewajiban
membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi,
dan pengedaran sediaan farmasi (Obat tradisional) sebagai amanat UUK Pasal 98 ayat
(4). Disisi lain adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan penyelenggaraan
perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada
kepentingan yang diamanahkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
kehadiran negara untuk mensejahterakan rakyatnya.2
Fungsi pengawasan peredaran obat tradisional pihak pemerintah dilaksanakan oleh
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hal ini didasarkan pada Pasal 1 Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden
Nomor 103 Tahun 2001. Didaerah (Kota Singkawang) fungsi pengawasan dilaksanakan
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kalimantan Barat, sebagai unit
pelayanan teknis yang berada di tingkat provinsi. Selanjutnya Dinas Kesehatan Kota
Singkawang juga bertanggung jawab melaksanakan fungsi pengawasan peredaran obat
Sujamto, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan Edisi Revisi, Cet II,(Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), hlm. 19-20
2
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm.180
1
176
tradisional sebagai amanat Pasal 55 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 5
Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Daerah.
Dalam pengawasan peran serta masyarakat baik selaku konsumen maupun
sebagai pelaku usaha sangatlah penting untuk menciptakan kenyamanan berusaha dan
terpenuhinya hak-hak serta kepentingan keduabelah pihak. N.H.T Siahaan menyatakan
konsep hukum perlindungan konsumen tidak hanya berisi rumusan-rumusan tentang
hak-hak dan kepentingan konsumen, tetapi juga hak-hak dan kepentingan produsen yang
berimbang, proporsional, adil dan tidak diskriminatif.3 Sejalan dengan pernyataan tersebut
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan kewajiban pelaku usaha yang diatur
UUPK merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk
menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha.4
Definisi hukum menurut Oxford English Dictionary adalah kumpulan aturan,
perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat
mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya.5
Menurut Achmad Ali, dalam membahas tentang hukum maka di dalamnya senantiasa
terdapat tiga komponen yaitu struktur, substansi dan kultur hukum, atau yang dikenal
dengan 3 unsur sistem hukum (three element of legal system) oleh Lawrence M. Friedman.
Ketiga komponen tersebut terkait sangat erat dengan fungsi hukum dan tujuan hukum
dimana hubungan timbal balik kesemuanya menurt Achmad Ali merupakan hakikat
hukum oleh karenanya hal itu sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan
hukum.6
Ketika pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional dipahami sebagai suatu
bentuk amanat peraturan perundang-undangan (produk hukum) untuk dilaksanakan, maka
untuk mengukur keberhasilannya penulis menggunakan teory diatas sebagai pisau analisis
dalam menilai esensi penegakan hukum (pelaksanaan pengawasan) yang juga merupakan
tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.7
Problematika pelaksanaan hukum sebagai peraturan atau perundang-undangan
terkait erat dengan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat. Achmad Ali, menyatakan
kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling
N.H.T. Siahan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk , (Jakarta:
Penta Rei,2005) hlm. 13
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005), hlm. 33-34
5
Achmad Ali (a), Menguak Tabir Hukum. Cet. Ke-3 (Bogor : Ghalia Indonesia,2011) hlm. 27
6
Achmad Ali (b), Menguak Teori hukum (Legal Theory) dan teory peradilan (Judicialprudance). Edisi
1. Cet. Ke-3 (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010) hlm. 203-207
7
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1. Cet.11, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada , 2012), hlm. 8-9
3
177
berhubungan, di mana kesadaran hukum dan ketaatan hukum tersebut sangat menentukan
efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di masyarakat.8 Dengan
memahami ketaatan hukum menurut H.C Kelman yang oleh Achmad Ali di formulasikan
menjadi: (a) Ketaatan bersifat compliance; (b) Ketaatan bersifat identification; (c) Ketaatan
bersifat internalization suatu peraturan atau perundang-undangan tidak hanya dapat dinilai
efektif atau tidaknya dilaksanakan dimasyarakat melainkan juga kualitas keefektifannya. 9
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan di atas, selanjutnya dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang
dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya?
2. Sejauh mana cakupan materi peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai peredaran obat tradisional di Kota Singkawang dalam mewujudkan
pelaksanaan pengawasan yang optimal?
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Singkawang Kalimantan Barat, Kantor
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat (BBPOM), Kantor
Dinas Kesehatan (DINKES) Kota Singkawang, Kantor Lembaga Perlindungan Konsumen
Kota Singkawang (LPKSM) dan sarana distribusi peredaran obat tradisional di 5 kecamatan
wilayah Kota Singkawang. Jenis penelitian ini adalah hukum sosiologis/empiris yang
bersifat deskriptif. dengan pengolahan data secara kualitatif.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sarana distribusi yang menjual obat
tradisional yang ada di Kota Singkawang, seluruh aparatur Balai Besar Pengawasan
Obat Dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat, seluruh Pegawai Dinas Kesehatan Kota
Singkawang Seluruh Petugas LPKSM Kota Singkawang dan masyarakat Kota Singkawang.
Berdasarkan populasi penelitian tersebut di atas, maka ditetapkan sampel penelitian
yang akan peneliti wawancarai dengan dua tehnik, (1) Dengan Quota Sampling yaitu: 50
orang masyarakat selaku konsumen dan 50 orang masyarakat selaku pelaku usaha (10 toko
obat, 10 apotek, 10 penjual jamu keliling, 10 penjual jamu menetap, 10 toko/warung) yang
Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 299
Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 348-349
178
Kelompok
Pelaku usaha
2008
2009
1.
Apotek
13
15
2.
Toko obat berizin
20
21
3.
Penjual jamu menetap
4.
Penjual Jamu keliling
5.
Warung/took
Sumber: Data sekunder DINKES Kota Singkawang Tahun 2012
Tahun
2010
16
22
-
2011
17
21
-
2012
18
23
-
179
Pendidikan Terakhir
S1 Umum
Apoteker
D3 Farmasi
SMF
SMU
Jumlah
BBPOM
Jumlah (orang)
1
7
4
2
14
DINKES
Jumlah (orang)
1
1
2
Sumber: Data sekunder BBPOM dan DINKES Kota Singkawang Kalimantan Barat Tahun 2012
Kelompok Masyarakat
Masyarakat selaku konsumen
Masyarakat selaku pelaku usaha
Frekuensi
Persentase
Kategori Jawaban
Tahu
Tidak tahu
18
32
30
20
48
52
48%
52%
Jumlah
50
50
100
Tabel 4. Pemahaman masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha mengenai mekanisme
pengawasan yang dapat di lakukan dalam peredaran obat tradisional
No.
1
2
Kelompok Masyarakat
Masyarakat selaku konsumen
Masyarakat selaku pelaku usaha
Frekuensi
Persentase
Kategori Jawaban
Paham
Tidak Paham
15
3
30
0
45
3
93,75%
6,25%
Jumlah
18
30
48
Kelompok Masyarakat
Masyarakat selaku konsumen
Masyarakat selaku pelaku usaha
Frekuensi
Persentase
Kategori Jawaban
Paham
Tidak Paham
19
31
37
13
56%
44%
56%
44%
Jumlah
50
50
100
Tabel 6 memperlihatkan, dari 56 orang yang memahami cara memilih obat tradisional
yang baik, diberikan pertanyaan lanjutan untuk mengetahui prilakunya dalam membeli
obat tradisional, hanya 30 orang (53,58%) dari mereka yang benar-benar menerepkan/
mensyaratkan untuk memeriksa kriteria obat tradisional yang baik ketika melakukan
pembelian, sisanya 26 orang (46,62%) mengaku tidak memnerapkannya.
Tabel 6. Prilaku masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha dalam pembelian obat tradisional
No.
1
2
Kelompok Masyarakat
Masyarakat selaku konsumen
Masyarakat selaku pelaku usaha
Frekuensi
Persentase
Jumlah
19
37
56
181
Kualitas Ketaatan
Compliance Identification Internalization
6
3
0
0
0
9
42,86%
0
0
3
4
0
7
33,33%
3
1
0
1
0
5
23,81%
Jumlah
9
4
3
5
0
21
Walau demikian Amanat pasal 107 UUK mengaskan ketentuan lebih lanjut mengenai
pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang seharusnya
merupakan aturan pelaksana sebagaimana dimaksud tersebut setelah 4 (empat) tahun di
undangkan belum juga terbentuk. Kenyataan ini memaksa instansi terkait (BBPOM dan
DINKES Kabupaten/Kota) dalam upaya pengawasan dan pembinaan peredaran obat
tradisional masih mengacu pada PP No.72 Tahun 1998 yang pada prinsipnya merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992.
Selain itu UUK Pasal 101 (ayat 1) dan PP No.72 Tahun 1998 Pasal 15 (ayat 2),
secara substansi menurut amatan peneliti pengaturannya dirasa terlalu luas. sehingga
mengantarkan pada pengrtian bahwa obat tradisional dapat diedarkan atau dijual oleh
siapa saja dengan batasan yang kurang jelas. kenyataan ini justru menjadi salah satu
faktor penyulit dalam melakukan pembinaan dan pengawasan oleh instasi terkait karena
akan menyebabkan luasnya objek yang menjadi target pengawasan dan pembinaan yang
berujung pada sulitnya penyediaan data base pelaku usaha yang falid.
Pada UUPK mengenai ketentuan tuntutan ganti rugi pada Pasal 19 ayat (3).
Menegaskan bahwa pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi, hal ini menurut peneliti dengan kata lain dapat berarti jika
tuntuan yang diajukan konsumen lebih dari 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi maka
pelaku usaha tidak lagi punya tanggung jawab memberikan ganti rugi. Keadaan ini secara
substansi sangat tidak relevan jika diterapkan untuk produk sediaan farmasi seperti obat
tradisional karena bisa saja efek negatif yang ditimbulkan baru kelihatan lebih dari 7 (tujuh)
hari pemakaian.
Dari unsur struktur hukum (penegak hukum) dari hasil penelitian menunjukkan
petugas yang melakukan pengawasan dari instansi pemerintah (BBPOM dan DINKES Kota
Singkawang) secara umum mengalami masalah dari segi kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia yang melakukan pengawasan, sejalan dengan pendapat ini hasil wawancara
dengan Yusmanita11, menytakan dari 14 (empat belas) orang personil seksi pengawasan
hanya 9 (sembilan) orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pengawas lapangan menurut
beliau BBPOM provinsi Kalimantan Barat memerlukan minimal 20 orang tenaga pengawas
lapangan. Masalah serupa diungkapkan A.Kismed ,Plt Sekretaris Dinas Kesehatan Kota
Singkawang (wawancara, 21 Februari 2013), bahwa DINKES Kota Singkawang menurut
beliau semestinya memiliki 10 tenaga pengawas lapangan pada kenyataannya hanya 2
orang petugas yang tersedia.
Kepala Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat. Wawancara, 28 Desember 2012.
11
183
Dari segi sarana dan prasarana baik BBPOM maupun DINKES Kota Singkawang
sejauh ini tidak mengalami kendala, namun kurangnya dana oprasional guna pelaksanaan
program pengawasan peredaran obat tradisional dirasakan sebagi faktor penghambat bagi
DINKES Kota Singkawang, hal ini dinyatakan Yearmiwirinar, Kepala Seksi Farmasi dan
Alat Kesehatan Dinkes Kota Singkawang (wawancara, 13 Februari 2013).
Selanjutnya penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku konsumen
maupun pelaku usaha merupakan element penting dari unsur ketiga yaitu kultur hukum,
hasil penelitian menunjukkan pengetahuan masyarakat akan kriteria obat tradisional yang
baik (sesuai ketentuan) baik pada konsumen maupun pelaku usaha masih cukup rendah,
disisi lain tingkat kesadaran untuk berperan aktif melakukan pengawasan serta kualitas
ketaatan untuk bersikap sesuai ketentuan yang berlaku dalam memilih dan menggunakan
obat tradisional baik masyarakat konsumen maupun pelaku usaha juga rendah. hal ini perlu
di tindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk lebih memaksimalkan kegiatan pengawasan
serta peningkatan program komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam
meilih, menggunakan serta mendistribusiakan obat tradisonal yang baik sesuai ketentuan
yang berlaku.
Upaya peningkatan penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat tersebut penting
mengingat kesadarn hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang
saling berhubungan dimana sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum
dan perundang-undangan di masyarakat.
Secara keseluruhan dari hasil penelitian diketahui terdapat empat faktor dominan yang
menghambat pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang yakni;
kurangnya kuantitas dan kualitas tenaga pengawas, kurangnya dukungan dana oprasional
pelaksanaan program terutama pada instansi DINKES Kota Singkawang (mewakili ketidak
sempurnaan unsur struktur hukum) dan kurangnya pengetahuan, kesadaran dan ketaatan
hukum baik pelaku usaha maupun masyarakat konsumen sehingga mempengaruhi sikap
dan prilaku masyarakat untuk berperan aktif dalam kegitan pengawasan peredaran obat
tradisional (mewakili ketidaksempurnaan unsur kultur hukum). Ke empat faktor tersebut
menunjukkan kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang dilakukan di Kota
Singkawang saat ini belum optimal dan perlu tindakan korektif yang memadai agar tujuan
pengawasan obat tradisional yang efektif dan efisien dapat terwujud.
Jika dilihat berdasarkan teori tiga unsur sistem hukum (three element of legal
system) oleh Lawrence M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur
hukum yang merupakan esensi efektifitas penegakan/pelaksanaan hukum. Keempat faktor
penghambat tersebut diatas ditambah ketidaksempurnaan unsur substansi hukum dengan
184
185
186
E-mail: mila.gustiana@gmail.com
Abstract
The presence of the witness is essential in the process of disclosure of a criminal
case. Understanding the importance of the position of a witness is necessary for their
protection. An institution that can accommodate and provide protection to the witness
Witness and Victim Protection Agency (Agency). Agency role in witness protection is
responsible for dealing with the protection of witnesses based on the duties and authority
as set forth in Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While the
implementation of witness protection by the Agency in practice often encounter obstacles
both internally and externally.
Keywords: Protection of Law, Witness, Victim, LPSK
Abstrak
Keberadaan saksi sangatlah penting dalam proses pengungkapan suatu kasus
pidana. Memahami akan pentingnya posisi seorang saksi diperlukan perlindungan bagi
mereka. Sebuah lembaga yang dapat mengakomodir dan memberikan perlindungan
terhadap saksi yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peran LPSK
dalam perlindungan saksi adalah bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sedangkan pelaksanaan perlindungan saksi oleh LPSK dalam praktik sering menghadapi
kendala baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Saksi, Korban, LPSK
PENDAHULUAN
Dalam konteks penegakan hukum pidana menurut sistem peradilan pidana (criminal justice
system)1 Indonesia sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
dan peraturan lainnya, yang dimulai dari fase pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan
dan penyidikan) oleh Penyelidik dan Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negesi Sipil
(PPNS), penuntutan oleh Penuntut Umum (Kejaksaan), pemeriksaan pengadilan oleh hakim
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, sampai eksekusi putusan
pengadilan, peran masyarakat sangatlah besar, khususnya dalam peranannya menjadi saksi
terhadap tindak pidana yang terjadi.
Sebagaimana diketahui, peranan saksi yang melihat atau mendengar terjadinya tindak
pidana sangatlah penting, karena keterbatasa Adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara
yang disebut negara hukum jumlah penyelidik dan penyidik (Polisi dan PPNS) menjadikan
penyelidik dan penyidik tidak dapat secara langsung mengetahuisemua tindak pidana yang
terjadi di masyarakat. Polisi dan PPNS sebagai penyelidik atau penyidik, mengetahui tindak
pidana yang terjadi di masyarakat dari laporan dan pengaduan dari anggota masyarakat.
Dalam konstalasi inilah peran masyarakat dengan budaya hukumnya mempengaruhi
kinerja penegakan hukum pidana.
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangatlah penting sehingga
keterangan saksi dijadikan salah satu di antara lima alat bukti yang sah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: a)
Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; dan e) Keterangan terdakwa.
Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat bukti yang sah,
menunjukkan tentang pentingnya alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara
pidana.2
Salah satu alat bukti yang sah yang hampir selalu ada dan diperlukan dalam setiap
perkara pidana adalah keterangan saksi. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami
kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik
maupun psikis dari pihak tertentu.
Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak
awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran
Muchamad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=46, diakses
pada 13 September 2012.
2
Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
Hal. 187.
1
190
hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses
selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi
sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya
terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya
menegakkan hukum dan keadilan.3 Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan
hukum terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang
dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor maupun saksi-saksi lain dalam
pembuktian pelaku tindak pidana.
Kondisi saksi yang berada pada posisi yang lemah, justru Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) bahkan mengancam dengan pidana apabila saksi tidak datang untuk
memberikan keterangan setelah menerima panggilan dari penegak hukum. Selanjutnya
KUHAP mewajibkan saksi untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan keterangan
tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan keterangan dengan sungguhsungguh dengan apa yang diketehui, baik yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi.
Berbicara tentang kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia
dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-undang memberikan hak bagi
saksi berupa perlindungan bagi saksi itu sendiri.
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi
salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan
perlindungan hukum. Dengan jaminan perlindungan hukum tersebut, diharapkan tercipta
suatu keadaan yang memungkinkan saksi tidak lagi merasa takut untuk memberikan
kesaksian terhadap suatu perkara pidana dalam proses persidangan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban merupakan salah satu perwujudan perlindungan hak asasi manusia dalam hal ini
perlindungan hak saksi dan korban. Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan
Saksi dan Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam
UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri
namun bertanggung jawab kepada Presiden dan merupakan lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau
Korban sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan
(Pidana) yang Jujur dan Adil, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53, diakses
pada 13 September 2012.
3
191
dengan penelitian.
Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari responden melalui
wawancara akan dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa
kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang
diperoleh dari studi kepustakaan dan responden melalui wawancara sehingga diperoleh
jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kewenangan dan Tanggung Jawab LPSK
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi
berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun tanggung jawab LPSK
dalam hal perlindungan saksi,4 antara lain:
a. Memberikan rasa aman kepada para saksi dalam memberikan keterangan dalam
semua tahapan proses peradilan hukum pidana;
b. Memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada para saksi yang akan, sedang
dan atau telah memberikan keterangan sehubungan dengan perkara pidana tertentu;
c. Mendayagunakan berbagai sumberdaya kemampuan dan anggaran negara untuk
melakukan perlindungan, bantuan, dan perwujudan hak-hak saksi berkenaan dengan
proses peradilan pidana terhadap kasus-kasus tertentu;
d. Melakukan upaya perlindungan saksi sesuai kewenangan yang ditentukan oleh
ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku;
e. Membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban proses pemberian
perlindungan dan bantuan kepada saksi; dan
f. Membuat laporan berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR-RI dan
Presiden RI.
Salah satu tanggung jawab LPSK adalah membuat laporan secara berkala tentang
pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam
1 (satu) tahun. Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagai perwakilan
rakyat Indonesia. Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus
dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan sampai
membuka informasi yang justru telah ditetapkan sebagai rahasia oleh LPSK dan UU No
Abdul Haris Semendawai, Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban di
Indonesia. Di#sampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas Hukum-UI, Jakarta, 2011, hal. 20.
4
193
13 Tahun 2006.
Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR juga seharusnya
menjadi rekan dari LPSK baik sebagai pendukung program LPSK maupun pemberi
rekomendasi yang membantu pengembangan program LPSK itu sendiri. Tugas dan
kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:
1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29),
2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29),
3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1),
4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32),
5. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya
bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).
Dari jabaran tersebut, tugas dan kewenangan LPSK dikelompokan menjadi empat
tugas dan kewenangan pokok yakni:
1. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Perlindungan Saksi.
2. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan Restitusi Korban.
3. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Bantuan Korban.
4. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kerjasama.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap
LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti,
apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari
lembaga ini masih kurang memadai.
Ada beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK yang
seharusnya dapat dimasukkan dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, yakni:
1. Wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan :
a. bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
b. penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
c. konsultasi bagi para saksi; dan
d. hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk menyediakan
pelayanan bagi saksi di pengadilan;
2. Wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan
saksi dan orang-orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara dan
layanan-layanan lainnya.
3. Wewenang untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu dari saksi
(rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi.
194
195
Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi
salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses penegakan hukum pidana harus diberi
jaminan perlindungan hukum. Keberadaan Undang-undang Perlindungan saksi dan
korban diharapkan menjadi terobosan di dunia peradilan di Indonesia. Salah satu alasan
diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum acara pidana atau perundangundangan lainnya belum memberikan perlindungan hukum khususnya bagi saksi untuk
dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Respon yang baik terhadap keberadaan LPSK ini tampak dari meningkatnya laporan dan
pengaduan dari saksi kepada LPSK.
Berdasarkan hasil penelitian, laporan dan pengaduan terhadap LPSK selalu
mengalami peningkatan sejak dibentuknya LPSK pada tahun 2008 sampai dengan tahun
2012. Peningkatan perlindungan saksi yang dilakukan oleh LPSK dapat dilihat pada Tabel
1 di bawah ini:
Tabel 1. Data saksi yang telah mendapat perlindungan LPSK sejak Agustus 2008 - Desember 2012
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
10
74
94
266
511
Dari data di atas dapat dilihat bahwa sejak berdirinya LPSK pada bulan Agustus
tahun 2008 sampai dengan bulan Desember tahun 2012, jumlah saksi yang mendapat
perlindungan dari LPSK selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan ini disebabkan karena LPSK telah membuat berbagai sistem dan
mekanisme yang memudahkan saksi untuk mengakses dan berkomunikasi dengan LPSK,
sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai prosedur dan tahapan yang harus
dilalui saksi untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK. Peningkatan ini juga disebabkan
karena sambutan masyarakat atas keberadaan dan peran LPSK semakin meningkat.
Keberadaan LPSK memberi harapan masyarakat akan adanya penegakan hukum yang
lebih baik di Indonesia.
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Abdul Haris Semendawai selaku Ketua LPSK
yang menyatakan:
Dalam rentang waktu dari 2008 hingga 2010, lembaga ini baru menerima empat
kasus. Sementara hingga September 2011, telah mencapai empat kasus. Sejak berdiri
2008, laporan permintaan perlindungan saksi dari Sulsel total delapan kasus.5
196
197
Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 22 dari 30 Saksi Korupsi
Alami Serangan Balik, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses
bulan Agustus 2012.
9
Ibid.
8
198
199
Dari segi SDM, terkait dengan kemampuan LPSK menangani dan menindaklanjuti
permohonan yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini didukung
oleh pendapat Tasman Gultom,10 yang menyatakan, Jumlah permohonan yang masuk ke
LPSK tidak sebanding dengan jumlah personil LPSK, namun dengan jumlah yang sedikit
kami berusaha untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang mungkin paling sering dialami saksi
ketika berhadapan dengan LPSK adalah terlalu lamanya proses pengambilan keputusan
mengenai diterima atau tidaknya permohonan perlindungan yang diajukan saksi yang harus
menunggu Sidang Paripurna dimana hal ini disebabkan karena kurangnya personil dari
LPSK sendiri untuk bisa menangani dalam waktu yang bersamaan semua permohonan
yang masuk ke LPSK yang meningkat dari tahun ke tahun.
Ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini belum mengakomodasi dan
memberikan kewenangan LPSK untuk menentukan sistem manajemen SDM sendiri.
Sebagai gambaran, kriteria perlindungan antara lain; memenuhi kualifikasi pengalaman
perlindungan pribadi, penanganan senjata, hukum dan psikologi, memenuhi integritas
menjaga rahasia, memenuhi profil psikologis mengubah peran, merekrut jenis pegawai
yang lazim dan fleksibel (pegawai tetap, pegawai kontrak/honorer, dan tenaga sukarela),
menentukan kebijakan rotasi staf setiap 3-5 tahun (untuk pengembangan karir, pencegahan
korupsi dan sifat pekerjaan yang menuntut produktivitas tinggi)11. Perlu juga memuat
ruang lingkup kemandirian sistem manajemen SDM LPSK yang berbasis kompetensi
atau meritrokrasi. Misalnya seperti persyaratan menjadi pegawai LPSK, kewenangan
mengangkat dan memberhentikan pegawai, pola kepangkatan, ketentuan mengenai
penyertaan jenjang kepangkatan pegawai yang dipekerjakan ke dalam jenjang kepangkatan
di LPSK, dan dasar yang kuat terhadap aturan mengenai gaji, honorarium, serta hak-hak
lain bagi pegawai LPSK.
Keberhasilan program kerja LPSK hanya dapat dicapai jika adanya dukungan baik dari
segi penambahan jumlah personil maupun sumber daya manusia yang baik dari kalangan
pegawai atau staf yang bekerja di LPSK. Karena itulah maka keberadaan dukungan staf
yang berintegritas tinggi, profesional, berkualitas dan memiliki produktifitas yang tinggi
sangatlah penting dalam kerja LPSK terutama jika dikaitkan dengan misi yang spesifik dari
kerja-kerja perlindungan saksi yang menuntut kedisiplinan dan kerahasiaan yang sangat
tinggi.
Wawancara pada tanggal 26 November 2012.
Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk.go.id/upload/
MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012.
10
11
201
Kendala eksternal
Dari segi koordinasi
LPSK dalam melakukan perlindungan terhadap khususnya terhadap saksi tentunya
menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi
lain. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK dalam melakukan perlindungan saksi dapat
berkoordinasi dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung
maupun tidak langsung, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh saksi. Oleh
karena itu pula, hubungan antar lembaga tersebut harus didukung dan difasilitasi oleh
Presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai
posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang
membawahi masing-masing departemen atau lembaga terkait lainnya.
Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak
selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi sehingga
menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam melindungi saksi. Salah satu
masalah yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihak-pihak
terkait yang berwenang khususnya aparat penegak hukum. Hal ini tentu akan menghambat
tugas paling utama dari LPSK yaitu melindungi saksi. Padahal, pemberian perlindungan
saksi dan korban mustahil memutus peran berbagai pihak terkait. Dari pihak penegak
hukum misalnya, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, advokat, dan hakim.
Berdasarkan hasil penelitian, banyak aparat penegak hukum yang belum mengetahui
keberadaan LPSK. Padahal, LPSK yang dibentuk pada 8 Agustus 2008 lalu berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berkaitan
langsung dengan aparat penegak hukum. Hal ini diperkuat dengan pendapat Tasman
Gultom,12 yang menyatakan, LPSK sudah sering melakukan sosialisasi ke daerah di luar
Jakarta namun sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui keberadaan LPSK
khususnya bagi aparat penegak hukum contohnya ada seorang hakim di Pengadilan Negeri
di Jakarta yang mengatakan LPSK itu LSM dari mana.
Hal yang sama juga disampaikan Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi,
dan Humas LPSK, Hotma David Nixon13, yang mengatakan, Mayoritas aparat penegak
hukum tidak kenal LPSK. Apakah LSM atau lembaga negara? Bahkan, jaksa, hakim,
kepolisian, tidak tahu.
Wawancara pada tanggal 26 November 2012.
Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6.com/
read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada bulan Agustus 2012.
12
13
202
Ironis memang, jika bahkan penegak hukum sendiri yang tidak mengenal LPSK,
itu sangat menyedihkan, dan bukan hanya aparat penegak hukum yang tidak mengetahui
adanya LPSK sebagai lembaga negara yang membidangi masalah perlindungan saksi dan
korban, tetapi anggota DPR juga ada yang tidak mengetahui keberadaan lembaga ini.
Anggota DPR Komisi X Deddy Miing Gumelar saja tidak tahu apa itu LPSK ketika dia
dipindahkan ke Komisi III bidang hukum. Ada juga seorang hakim di Bekasi yang mengira
LPSK itu sebuah LSM.
LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagian-bagian dimana LPSK tidak mempunyai
kewenangan untuk mengintervensi tugas dan wewenang lembaga penegak hukum lainnya.
Misalnya masalah peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama dengan
pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Artinya, dengan
mengharmonisasikan perbedaan yang ada maka diharapkan LPSK dapat menjadi lembaga
yang komplemen yang dapat berguna bagi lembaga-lembaga penegak hukum dan instansi
terkait lainnya.
Intimidasi dari pihak tertentu
Selain aspek koordinasi di atas, kendala yang juga sering dihadapi LPSK dalam
menjalankan tugasnya adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin
menghalangi LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi. Contohnya
pada kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan terdakwa 12 prajurit Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo
yang saat ini sudah masuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Militer (Dilmil) II-11
Yogyakarta.
Salah satu bukti dari pentingnya peran LPSK dalam memberikan perlindungan
hukum bagi saksi kasus penyerangan Lapas Cebongan tersebut adalah dengan mengajukan
permohonan penggunaan video teleconference ke Mahkamah Agung untuk beberapa saksi
yang tidak ingin bersaksi secara langsung didepan pengadilan karena masih mengalami
trauma pasca kejadian penyerangan tersebut dimana hal tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban yang secara umum menyatakan bahwa saksi yang merasa dirinya berada dalam
ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa dan dapat didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat
yang berwenang.
Permohonan LPSK tersebut telah mendapat persetujuan MA dimana MA menyetujui
penggunaan alat bantu video conference untuk proses pemberian kesaksian Cebongan di
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
203
204
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Semendawai. 2011. Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi
dan Korban di Indonesia. Disampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas
Hukum-UI, Jakarta.
Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6.
com/read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada
bulan Agustus 2012.
Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 22 dari 30 Saksi
Korupsi Alami Serangan Balik, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012,
http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Agustus 2012.
Muhammad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/? pilih=news&mod=
yes&aksi=lihat&id=46, diakses pada 13 September 2012.
Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk.
go.id/upload/MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012.
Rahmat Hardiansya. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini.
com/home/index-berita/3260-lpsk-akan-buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pada bulan Agustus 2012.
Surastini Fitriasih, 2012. Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses
Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=
viewarticle&artid=53, diakses pada 13 September 2012.
205
206
E-mail: imranharis_73@yahoo.co.id
Abstract
The results showed that the application of environmental law compliance instruments
has not optimal it is seen from the technical aspects of the operation, there are still officers
who have not obeyed in the process of sorting medical waste and non-medical waste.
In administrative aspect application of environmental law compliance instruments such
as environmental quality standards already qualified quality standards air incinerator,
the Environment management and environmental monitoring effort documents as
aprerequisiteto apply for environment permit. There is low compliance and adherence
toresponsible business and/or activity of the licensing aspect especially hazardous and
toxic waste management license and not optimal application of sanctions for discovery
violations in the management of medical hazardous and toxicwaste. Compliance and
enforcement of environmental law sinfluenced by legislation, the law enforcer, facilities
and infrastructure, society and culture of law
Keywords: Medical Hazardous Andtoxicwaste, Enforcement of Environmental Laws
Abstract
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan instrumen penaatan hukum
lingkungan belum optimal hal ini dilihat dari aspek teknis operasional masih terdapat
petugas yang belum taat dalam melakukan proses pemilahan limbah medis dan non medis.
Aspek administratif penerapan instrumen penaatan hukum lingkungan diantaranya baku
mutu lingkungan sudah memenuhi syarat baku mutu udara insinerator, adanya dokumen
UKL-UPL sebagai prasyarat dalam pengajuan izin lingkungan. Masih rendahnya
kepatuhan dan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap aspek
perizinan terutama izin pengelolaan limbah B3 dan belum optimalnya penerapan sanksi
atas temuan pelanggaran dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
medis. Penaatan dan penegakan hukum lingkungan dipengaruhi oleh faktor peraturan
perundang-undangan, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat dan
budaya hukum
Kata kunci: Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Penegakan Hukum Lingkungan
PENDAHULUAN
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam
untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun
untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus
selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.1
Adanya kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya
memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan produk
yang bermanfaat bagi masyarakat, Industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain
dihasilkannya limbah Bahan Berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang
kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan sumber
pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak akibat
limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan.
Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik perlu dibuat dan diterapkan suatu
sistem manajemen pengelolaan, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi
menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan pertambangan. Hal ini
dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan
hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut,
maka hak, kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/
badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum. Untuk
menunjang pelaksanaan program-program tersebut, diperlukan sumber daya manusia
(SDM) yang menguasai manajemen pengelolaan limbah B3, hak, dan kewajiban instansi/
badan usaha yang dipimpin dan kesadaran untuk melindungi lingkungan dari pencemaran
dan perusakan.2
Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan
pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun
preventif serta menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap sekaligus sebagai
lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif
dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya
Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), (Jakarta: Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2010), hlm 1.
2
Ibid. hlm. 3.
1
210
pelayanan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non
medik menggunakan teknologi yang dapat mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.3
Dalam beberapa tahun belakangan, industri rumah sakit Indonesia mengalami
perkembangan yang pesat. Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin
meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan
masyarakat. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia yang dikeluarkan Kementerian
Kesehatan, sejak tahun 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan jumlah rumah sakit baik
rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus. Pada tahun 2009 terdapat 1.523 rumah
sakit di Indonesia, jumlah ini naik 10,7% menjadi 1.686 unit pada tahun 2011.4
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selain
membawa dampak positif, rumah sakit juga membawa dampak negatif yaitu menghasilkan
limbah selama kegiatannya, salah satunya yaitu limbah medis. Limbah medis rumah sakit
dikategorikan sebagai limbah B3 dengan kode limbah D227 seperti disebutkan dalam
Lampiran I PP No. 18 Tahun 1999 jo PP 85 Tahun 1999. Yang termasuk limbah medis
antara lain limbah infeksius, patologi, benda tajam, farmasi, sitotoksis, kimia, radioaktif,
kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam yang berat yang tinggi.5
Limbah medis yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan hanya 10 sampai 25% saja,
sedangkan sisanya sebesar 75 - 90% dihasilkan oleh limbah domestik.6 Walaupun jumlah
limbah medis yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan limbah domestik, namun
limbah medis berpotensi besar dalam menimbulkan risiko terhadap kesehatan apabila
tidak ditangani dengan baik. Selain itu, akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja
dan penularan penyakit baik bagi para dokter, perawat, teknisi, dan semua yang berkaitan
dengan pengelolaan rumah sakit maupun perawatan pasien dan pengunjung RS .
Berdasarkan data WHO, rata-rata produksi limbah rumah sakit di Negara-negara
berkembang berkisar 1-3 kg/TT/hari, sedangkan di Negara-negara maju seperti Eropa
dan Amerika mencapai 5-8 kg/TT/hari.7Berdasarkan data Ditjen PP & PL Tahun 2011,
diperkirakan timbulan limbah medis dalam 1 tahun sebanyak 8.132 ton dari 1.686 RS di
seluruh Indonesia. Timbulan limbah medis dari rumah sakit sekitar 0,14 kg/TT.hari, dengan
komposisi 80% limbah non infeksius, 15% limbah patologi & infeksius, 1% limbah benda
Wiku Adisasmito, Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), hlm. 2
4
Depkes, RI, Kebijakan Kesehatan Lingkungan Dalam Pengelolaan Limbah Medis di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, (Jakarta: Ditjen PP & PL, 2011).
5
Depkes, RI, Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah Cair di Rumah Sakit.
(Jakarta : Direktorat Jenderal PPM & PPL dan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 2006).
6
Pruss, E.Giroult & Rushbrook, Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, (Jakarta: Penerbit
EGC, 2005), hlm 3.
7
World Health Organization (WHO), Waste Management Guidelines, (Geneva: Switzerland, 1999).
3
211
212
pada Pasal 65 ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan
lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dijelaskan pula kewajiban pada Pasal
67 UUPPLH bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal
162 UUK mempertegas bahwa:
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang
sehat, baik fisik, kimia, biologi maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Derajat kesehatan yang optimal hanya dapat dicapai dengan melaksanakan
pembangunan kesehatan yang menggunakan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan (promotif), Pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif)
dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) secara menyeluruh dan berkesinambungan. Untuk
itu rumah sakit mempunyai peranan yang penting dan menentukan sebagai sarana dalam
melangsungkan kegiatan kepalayanan kesehatan.
Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros mempunyai tugas pokok
memberikan pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Sebagai rumah sakit umum daerah yang memberikan pelayanan publik dibidang kesehatan
sudah selayaknya melakukan upaya pengelolaan limbah medis secara optimal demi
terwujudnya lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas ,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah dasar hukum pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan limbah B3
Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros?
2. Bagaimanakah instrumen hukum lingkungan yang digunakan dalam Penaatan
Pengelolaan Limbah B3 Medis di RSUD Salewangang Maros?
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maros dengan objek penelitiannya pada
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Salewangang, Maros. Dasar pertimbangan peneliti
memilih Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang karena Rumah Sakit ini merupakan
pusat rujukan bagi semua Puskesmas dan klinik yang ada di Kabupaten Maros.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
213
215
tersebut berasal dari sisa proses suatu kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan
berdasarkan kajian limbah dengan Kode Limbah D227. Hal ini mengacu pada apa yang
disebutkan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) PP No. 85 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
B3.
Kepastian tentang teridentifikasinya limbah medis RSU Salewangang Maros sebagai
limbah B3 juga dapat dilihat dari terpenuhinya beberapa kriteria limbah B3 sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PP No. 85 Tahun 1999, antara lain: limbah tersebut
memiliki karakteristikberacun dan/atau bersifat dan/atau menyebabkan infeksi dan/atau
bersifat korosif
Dengan telah terpenuhinya beberapa unsur dari tahapan di atas maka uji toksikologi
tidak lagi diperlukan, sebab limbah medis yang dihasilkan RSU Salewangang Maros
menurut PP No. 85 Tahun 1999 telah teridentifikasi sebagai limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun. Berikut ini jenis limbah B3 medis yang dihasilkan RSUD Salewangang Maros
dijabarkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis limbah B3 medis berdasarkan sumbernya
Sumber
Poliklinik
Rawat Inap
Ruang Bedah/Operasi
Ruang Bersalin
UGD
ICU
Laboratorium
Apotek
Radiologi
216
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa unit yang menjadi sumber
penghasil limbah medis berupa limbah infeksius yaitu Rawat Inap, Poliklinik, Ruang
Bedah, Ruang Bersalin, UGD, ICU, Laboratorium. Limbah patologi dihasilkan oleh Ruang
Bedah, Ruang Bersalin,Laboratorium. Limbah kimia dihasilkan oleh laboratorium. Limbah
farmasi dihasilkan apotek, sedangkan limbah benda tajam dihasilkan hampir seluruh
sumber kecuali apotek.
Dalam hal timbulan limbah medis diperoleh dengan melakukan perhitungan terhadap
rekapitulasi jumlah limbah medis. Untuk mengetahui rataan timbulan dari masing-masing
sumber dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Limbah B3 Medis Berdasarkan Jenis Pelayanan
No.
Jenis Pelayanan
Polikklinik
Rawat Inap :
- Perawatan Anak
- Perawatan Dewasa
- Perawatan VIP Melati
- Perawatan VIP Anggrek
- Perawatan Kelas I & II
- ICU
UGD
Ruang Bedah
Ruang Bersalin
Laboratorium
Jumlah
3
4
5
6
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sumber yang menghasilkan limbah
medis paling banyak yaitu ruang rawat inap sebesar 8,57 kg (47,32%) dan yang paling
sedikit yaitu poliklinik sebesar 0,85 kg (4,75%). Hal ini dikarenakan di poliklinik hanya
melakukan pemeriksaan diagnostik saja dan tidak melakukan tindakan medis seperti ruang
bedah.
Dalam hal pemilahan limbah medis masih ditemukan pemilahan yang salah tempat
seperti yang terjadi di polik gigi terdapat tissu dan botol plastik kemasan air mineral
dimasukkan kedalam kantong plastik limbah B3 medis. Hasil wawancara didapatkan
informasi bahwa memang terkadang terjadi pemilahan yang tidak pada tempatnya. Hal ini
dikarenakan kantong plastik yang digunakan untuk limbah B3 medis dan limbah non B3
medis menggunakan kantong plastik hitam. Di samping itu juga masih ada petugas yang
tidak taat dalam memilah dan membuang limbah medis tidak sesuai jenisnya sehingga ada
limbah yang tercampur antara limbah medis dan limbah non medis.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
217
218
usaha dan/atau kegiatan yang tidak mengolah sendiri limbah B3 tetapi menyerahkan
kepada pusat-pusat pengolahan yang telah mendapat izin dari Bapedal. Jadi kewajiban
untuk memperoleh izin bagi kegiatan pengumpulan limbah B3 tidak berlaku bagi pelaku
usaha dan/atau kegiatan yang mengolah sendiri limbah B3 seperti yang dilakukan di RSUD
Salewangang Maros.
Berdasarkan hasil pengamatan pengumpulan limbah B3 medis dilakukan pada waktu
pagi (pukul 06.3009.00) dan sore (pukul 15.0017.00). Waktu pengumpulan Limbah
B3 medis sebaiknya sesegera dan sesering mungkin sebab jika lebih sering dikumpulkan
maka langkah berikutnya yakni pengangkutan akan lebih mudah dilaksanakan, sehingga
mikroorganisme tidak sempat berkembang biak di dalamnya dan resiko terbakar,
terkena racun atau terinfeksi limbah B3 medis dapat dihindarkan baik terhadap petugas
kesehatan, pasien, keluarga pasien, pengunjung dan masyarakat yang ada disekitar RSUD
Salewangang.
Hal tersebut penting sebab dapat memengaruhi proses selanjutnya dari upaya
pengelolaan limbah B3 medis di RSUD Salewangang Maros, sekaligus merupakan bagian
dari upaya merealisasikan tujuan pengelolaan limbah B3 seperti dimaksud dalam Pasal 2
PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Pengangkutan limbah B3 medis
Diatur berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir (14) PP No.18 tahun 1999
tentang
Pengelolaan Limbah B3. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengangkutan limbah B3 medis yang dilakukan di RSUD Salewangang Maros adalah
suatu kegiatan pemindahan limbah B3 medis yang berasal dari penghasil dan/atau dari
pengumpul untuk selanjutnya di proses dalam tahap akhir, yakni pemusnahan ataupun
penimbunan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keseluruhan kegiatan pengelolaan
limbah B3 medis di RSUD Salewangang dilakukan dalam lingkungan internal rumah sakit
sehingga kegiatannya berada langsung dibawah koordinasi dan tanggung jawab pihak
pengelola rumah sakit. Begitu pula halnya dengan kegiatan pengangkutan sebagai salah
satu unsur dari keseluruhan sistem pengelolaan limbah B3 medis. Olehnya itu, ketentuan
Pasal 40 ayat (1) huruf (b) PP No. 18 tahun 1999 yang membebankan kewajiban bagi
pengangkut limbah B3 untuk memiliki izin pengangkutan dari menteri perhubungan
setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab (Bapedal),
tidak berlaku lagi bagi pengangkutan limbah B3 medis di RSUD Salewangang, sebab izin
tersebut ditujukan bagi pelaku usaha dan atau kegiatan yang menyerahkan pengelolaan
limbah B3 kepada pihak lain.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
219
Parameter
Satuan
Hasil
Baku Mutu
Partikel
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen dioksida (NO2)
Hidrogen Fluorida (HF)
Hidrogen Khlorida (HCl)
Karbon Monoksida (CO)
Arsen (As)
Kadmium (Cd)
Khromium (Cr)
Timbal (Pb)
Merkuri (Hg)
Opasitas
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
mg/Nm3
31,93
24,05
140,34
< 0,5
14,64
30,92
< 0,02
< 0,005
< 0,1
0,1804
< 0,05
10
50
250
300
10
70
100
1
0,2
1
5
0,2
10
Metode uji/Teknik
SNI 19-7117.12-2005
SNI 19-7117.3.1-2005
SNI 19-7117.5-2005
SNI 19-7117.9-2005
SNI 19-7117.8-2005
SNI 19-7117.10-2005
SNI 19-7117.20-2005
SNI 19-7117.20-2005
SNI 19-7117.20-2005
SNI 19-7117.20-2005
SNI 19-7117.20-2005
SNI 19-7117.11-2005
Sumber: Diolah dari Hasil Uji Emisi Insinerator RSUD Salewangang, 2012
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
221
223
224
a. Upaya peningkatan penaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan lingkungan hidup misalnya, standar emisi udara, limbah cair, penanganan
limbah dan standar operasi lainnya seperti minimisasi limbah B3.
b. Dokumentasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan, standar operasi, prosedur
pengelolaan dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tanggap darurat,
pemantuan dan pelaporan serta perubahan pada proses;
c. Jaminan untuk menghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan
d. Bukti keabsahan perkiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dlam
dokumen AMDAL;
e. Upaya perbaikan pembangunan sumber daya melalui penghematan penggunaan
bahan, minimisasi limbah dan identifikasi kemungkinan proses daur ulang.
f. Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu
dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan,
misalnya pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi sumber
daya.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan terhadap materi yang terkandung
dalam tesis ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengelolaan Limbah B3 Medis merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pengolahan, dan
penimbunan limbah B3. yang medis bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3
serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai
fungsinya kembali.
2. Penerapan pendekatan penaatan dalam pengelolaan limbah B3 medis di RSUD
Salewangang Maros dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan yang berkaitan
dengan Baku Mutu Lingkungan, Amdal/ UKL-UPL, Perizinan, Audit Lingkungan
Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran dalam tesis ini,
yaitu:
1. Perlu kiranya memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pengelolaan
limbah B3 medis kepada petugas sehingga masing-masing pihak mengetahui
peran dan tanggung jawabnya dengan melakukan sosialisasi kepada petugas dan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
225
perlunya pemahaman tentang penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas
yang berhubungan langsung dengan limbah B3 medis demi menjaga kesehatan dan
keselamatan kerja.
2. Dan diharapkan adanya tindak lanjut atas temuan kasus pelanggaran hasil pengawasan
penaatan dan peningkatan koordinasi lintas sektor dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.Perlunya perhatian khusus dari pihak rumah sakit
terkait dengan perizinan tempat penyimpanan sementara (TPS) limbah B3 medis dan
izin pengoperasian insinerator.
DAFTAR PUSTAKA
Mas Achmad Santosa. 2001. Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta: ICEL.
Pruss, E. Giroult, dan P. Rushbrook. 2005. Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Setiyono. 2010. Sistem Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Jakarta:
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Wiku Adisasmito. 2009. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
______________. 2012. Audit Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
World Health Organisation. 1999. Waste Management Guidelines, Geneva: Switzerland.
_______________________. 2005. Management of solid Health Care Waste at Primary
Health Care Centres. Geneva: Switzerland.
Sumber lainnya:
Koesnadi Hardjasoemantri. 1994. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Makalah
dalam Penataran Penegakan Hukum Lingkungan.
226
261
Abstract
This research aim the implementation of the local regulations in the free cigarettesmoke public places. The research is an empirical and juridical research which makes
use of the quantitative and qualitative data. The methods used in collecting the data were
observation, questionnaire, and interviews. The research location were Panakukang Mall,
Grand Clarion Hotel & Convention and hotel Anging Mammiri. The result of the research
revealed that the contents of the Local Regulations of Makassar city about the no-smoke
areas has not comply with the higher legal regulations. The implementation of the above
regulations has not been carried out as prescribed. As for the factors influencing people to
obey the regulations were their knowledge about the regulations, the understanding about
the dangers of smoking cigarettes, and the legal behavior of the law-enforcing personnel.
Other factors were environment factor, fear of sanction, understanding the purpose of the
regulations affecting people to obey the regulations the realization of the communitys right
for health.
Keywords: KTAR, Public Place, Health
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan peraturan Kawasan
Tanpa Asap Rokok (KTAR). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan
menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah pengamatan, kuesioner, dan wawancara. Lokasi penelitian di Makassar pada Mal
Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa masih terdapat materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah Kota Makassar tentang Kawasan Tanpa Asap Rokok yang belum harmonis dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya. Pelaksanaan KTAR belum dilaksanakan
sesuai dengan peraturan. Faktor-faktor yang memengaruhi orang untuk menaati peraturan
adalah pengetahuan tentang peraturan, isinya dan memahami bahaya merokok dan asap
rokok, perilaku hukum dan petugas atau tenaga yang menegakkan aturan. Selain itu faktor
lingkungan, takut sanksi, memahami tujuan peraturan juga memengaruhi orang untuk
menaati peraturan sehingga terwujud hak atas kesehatan.
Kata kunci: KTAR, Tempat Umum, Kesehatan
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945). Dalam UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,
maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan
harus berlandaskan dan berdasarkan atas hukum sebagai barometer untuk mengukur suatu
perbuatan atau tindakan telah sesuai atau tidak dengan ketentuan yang telah disepakati.1
Hak atas kesehatan telah dijamin oleh konstitusi Indonesia, sebagaimana dalam Pasal
28H ayat (1) UUD NRI 1945, menyatakan:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Di sisi lain, kesehatan adalah hak fundamental bagi setiap warga. Pemenuhan hak
atas kesehatan sangat berhubungan dan bergantung dengan pemenuhan hak lainnya. Hak
atas kesehatan pada prinsipnya tidak terlepas dari hak-hak dasar manusia yang lain seperti
hak pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan perlindungan hukum.2 Tanpa badan yang
sehat, seseorang akan sulit beraktivitas atau memperoleh hak-hak lainnya.
Pada tataran internasional, hak asasi manusia atas kesehatan telah diakui,
sebagaimana dijabarkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 25 ayat (1)
yang menyatakan dengan tegas:
Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan
untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatannya serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada
saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau
mengalami kekurangan mata pencaharian yang lain karena keadaan yang berada di
luar kekuasaannya.3
Kewajiban negara semakin dipertegas setelah pengesahan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) pada Bulan September 2005 yang dijabarkan dalam UU No. 11
Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Secara khusus Pasal 12 ayat (1) UU No. 11 Tahun
2005 yang menyatakan bahwa Negara pihak dalam kovenan ini mengakui hak setiap orang
untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
Soeryo Respationo. Politik Hukum di Indonesia, Kajian dari Perspektif Negara Hukum, Jurnal Ilmu
Hukum Amanna Gappa, Vol. 18, No. 1, Maret 2010, hlm. 57
2
Majda El. Muhtaj. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Ed. 1,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 153.
3
Ibid.
1
230
Menurut Katerina Tomasevski,4 hak atas kesehatan terkait dengan upaya minimalisasi
dampak lingkungan bagi kehidupan manusia. Kenyataannya, lingkungan yang sehat
masih jauh dari harapan. Salah satu perilaku yang semakin hari berdampak negatif bagi
lingkungan adalah merokok. Merokok merupakan suatu perilaku yang tidak sehat, selain
berbahaya bagi diri sendiri terlebih lagi pada orang lain yang memiliki hak untuk menghirup
udara yang bersih dan terhindar dari segala bahan cemaran yang dikeluarkan oleh asap
rokok orang lain. Merokok telah memberikan implikasi besar terhadap lingkungan yang
tidak sehat dan merokok dapat pula memberikan dampak yang lebih besar terhadap status
kesehatan masyarakat kita secara keseluruhan.5
Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan
sehari-hari. Di mana-mana, mudah menemui orang merokok. Betapa merokok merupakan
bagian hidup masyarakat. Dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang menyetujui atau
melihat manfaat yang dikandungnya. Namun tidak mudah untuk menurunkan terlebih
menghilangkannya.6 Banyak pula yang beranggapan bahwa merokok adalah hak asasi
manusia. Salah kaprah semacam ini menimbulkan hal-hal yang kurang baik di tengah
masyarakat. Hak Asasi Manusia adalah relasi warga negara dengan Pemerintah, dimana
Pemerintah harus memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi
manusia. Adapun hak-hak asasi tergabung dalam hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial
dan budaya.7
Sementara, merokok bukanlah salah satu bagian dari hak baik hak sipil politik
maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Jadi, merokok sama sekali bukanlah Hak Asasi
Manusia. Merokok adalah pilihan bagi setiap orang. Namun, meskipun sebuah pilihan,
ada konsekuensi lain yang harus dilakukan, yakni menghormati orang lain agar tidak
terkena dampak (asap rokok) si perokok ini. Dalam hal ini, negara selaku pemilik otoritas
kebijakan dan hukum, wajib memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan
dan lingkungan yang sehat, kepada tiap warga negara, termasuk bebas dari asap rokok ini.
Untuk itu kebijakan seperti Kawasan Tanpa Rokok dilakukan.8
Penggunaan rokok dalam jangka waktu lama dan jumlah rokok yang dihisap dapat
memengaruhi lama hidup, produktivitas dan perekonomian keluarga, dan lebih lanjut lagi
akan memicu terjadinya berbagai penyakit kronik dan keganasan, yang kesemuanya akan
4
5
6
204.
7
Baca, penjelasan lebih lengkapnya diatur dalam Kovenan Sipil Politik dan Kovenan Ekonomi,
Sosial dan Budaya.
8
Komnas HAM. Naskah Akademik RUU Pengesahan Framework Convention on Tobacco Control
Tahun 2012, hlm. 52-53.
231
berakhir dengan kematian. Penyebab kematian utama yang disebabkan oleh karena rokok
adalah penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, dan kanker paru. Jenis penyakit
kanker lain yang bisa terkait dengan rokok adalah kanker kantong kemih, ginjal, kanker
leher rahim, kanker esophagus, dan kanker pankreas.9
Merokok semakin memperburuk akibat dari kemiskinan, karena belanja tembakau
telah mengalihkan penghasilan rumah tangga dari makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan, dan pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik pada 2001, kelompok
berpenghasilan tertinggi membelanjakan 7,47 persen uangnya untuk membeli rokok,
sedangkan kelompok berpenghasilan terendah mencapai 9,1 persen. Himpitan ekonomi
yang berat, justru disikapi dengan memperberat himpitan itu. Rokok menjadi jalan keluar
bagi mereka sekedar untuk menikmati kesenangan hidup.10 Seperti yang diungkapkan oleh
Sigmund Freud, merokok adalah kesenangan yang paling hebat dan paling murah dalam
hidup. Inilah anomali dari industri rokok. Ia tampil seperti pahlawan yang mensponsori
banyak acara seperti pertandingan olahraga, konser musik, beasiswa, dan berbagai kegiatan
yang lain, tapi di belakang itu ia juga menebar teror penyakit.11
Selama ini kebiasaan merokok dianggap sebagai hal yang biasa saja. Merokok
dianggap tak menimbulkan gangguan dan tak dirasakan sebagai gangguan. Anggapan yang
sama berlaku bagi anggota keluarga yang merokok. Jumlah perokok meningkat dan meluas
dari waktu ke waktu mulai di lingkungan rumah tangga hingga ke berbagai fasilitas publik.
Kebiasaan yang tadinya dianggap biasa saja mulai dan semakin dirasakan mengganggu
lingkungan, bahkan mengancam keselamatan dan hajat hidup masyarakat luas.
Sebatang rokok mengandung tidak kurang dari 4.000 jenis zat kimia dimana 69
zat diantaranya bersifat karsinogenik dan bersifat adiktif. Berbagai bahaya merokok
diantaranya penyebab 90% kanker paru pada laki-laki dan 70% pada perempuan, penyebab
22% dari penyakit jantung dan pembuluh darah, dan penyebab kematian yang berkembang
paling cepat di dunia bersamaan dengan HIV/AIDS.12 Dengan berbagai dampak merokok,
sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009 mengeluarkan fatwa tentang
rokok. Fatwa tersebut berupa merokok di depan umum hukumnya haram.
Jumlah perokok di kota berjulukan Anging Mammiri ini mencapai 287.300 orang
atau 22,1 persen dari total penduduk Makassar. Sementara rata-rata konsumsi dari perokok
itu adalah 10,6 batang per hari. Sedang dari tingkatan usia, jumlah perokok usia 5-9 tahun
Suharjo B. Cahyono. Gaya Hidup dan Penyakit Modern, Cet. Ke-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2012),
hlm. 109.
10
Zulkifli. Thank You for Smoking, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008). hlm. 12-13.
11
Ibid., hlm. 14.
12
Harian Kompas Rabu, 21 Januari 2009, Available at:
http://www.kompas.com/read/
xml2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat, diakses 10 Nopember 2010.
9
232
sebesar 0,8 persen, 10-14 tahun tercatat 2,2 persen, dan selebihnya pada kalangan usia
dewasa atau produktif.13
Jumlah perokok di Indonesia kira-kira berjumlah 57 juta, yaitu satu dari tiga
(34%) penduduk Indonesia adalah perokok, dan jumlah ini meningkat sebesar 26% sejak
tahun 1995. Jumlah perokok laki-laki berjumlah 65% sedangkan perokok perempuan
berjumlah 5%. Pada usia remaja (13-15 tahun), 12% di antaranya adalah perokok (lakilaki berjumlah 24%; perempuan berjumlah 2%). Rokok menyebabkan lebih dari 80%
laki-laki dan hampir 50% perempuan meninggal karena kanker paru-paru. Perokok pasif
diperkirakan menyebabkan kematian sekitar 600.000 kematian dini setiap tahunnya di
dunia. Diperkirakan 700 juta anak-anak di dunia, sekitar 40% dari jumlah keseluruhan
anak-anak di dunia terpapar asap rokok orang lain di dalam rumahnya.
Di Indonesia, 85% rumah tangga terpapar dari asap rokok, estimasinya adalah
delapan perokok meninggal karena perokok aktif, satu perokok pasif meninggal karena
terpapar asap rokok orang lain. Berdasarkan perhitungan rasio ini, maka sedikitnya 25.000
kematian terjadi dikarenakan terpapar asap rokok orang lain di Indonesia. Bayi yang
terpapar asap rokok, baik masih dalam kandungan atau setelah dilahirkan, ada peningkatan
risiko kelahiran bayi premature dan memiliki Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) serta
berlipat ganda risiko untuk sindrom kematian bayi mendadak. Dihitung berdasarkan
anak-anak yang terpapar asap rokok orang lain, terdapat 50-100% risiko untuk terjangkit
penyakit sistem pernafasan dan peningkatan akibat penyakit infeksi telinga.14 Lembaga
Demografi mencatat, angka kematian akibat penyakit yang disebabkan rokok pada tahun
2004 adalah 427.948 jiwa, berarti 1.172 jiwa per hari atau sekitar 22,5% dari total kematian
di Indonesia.15
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tembakau membunuh lebih
dari lima juta orang per tahun, dan diproyeksikan akan membunuh 10 juta sampai tahun
2020, dengan 70% kematian terjadi di negara sedang berkembang. Berdasarkan gambaran
tersebut menunjukkan rokok telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
segera ditangani secara serius. Indonesia merupakan negara terbesar ke-5 di dunia yang
memproduksi tembakau. Dari segi jumlah perokok, Indonesia merupakan negara terbesar
ke-3 di dunia setelah China dan India.16
Antara News. 11 Juni 2011. Available at: http://makassar.antaranews.com/berita/28840/laranganmerokok-masih-sebatas-imbauan-moril, diakses 26 Desember 2012
14
Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012. Pengendalian Tembakau, Selamatkan Nyawa Selamatkan
Uang, Advocacy Tool, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Ditjen PP & PL, hlm. 2.
15
M.N. Bustan. Op.cit., hlm. 204.
16
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, hlm. 1.
13
233
Beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang telah memiliki kebijakan kawasan bebas
asap rokok dalam berbagai bentuk seperti Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati, Peraturan Walikota, Surat Edaran, dan sebagainya bertujuan mengendalikan dan
mengatur perokok. Namun terkadang masih ditemukannya orang merokok pada kawasan
bebas asap rokok, padahal asap rokok tidak boleh mengganggu masyarakat lain. Melindungi
anak-anak dan warga negara yang tidak merokok dari paparan asap rokok merupakan
kewajiban negara. Kebijakan tentang peraturan merokok di tempat umum terutama ditujukan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya terpapar asap rokok. Asap rokok terbukti dapat
membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan, sehingga perlu dilakukan
tindakan perlindungan terhadap paparan asap rokok, termasuk di tempat umum.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Makassar
pada bulan Agustus 2011 mengenai
pemberlakuan KTR di Kota Makassar. Hasil survey menunjukkan bahwa sarana kesehatan,
tempat umum, dan tempat Kerja merupakan lokasi/tempat-tempat yang menjadi prioritas
tertinggi dengan persentase pendapat berkisar antara 90-95%. Sedangkan untuk lokasi
lain, pendapat responden juga memandang perlu untuk lokasi-lokasi seperti tempat belajar
mengajar (89,3%), angkutan umum (86,0%), arena bermain anak (79,0%), tempat ibadah
(79,1%) dan sarana olahraga (77,5%). Tempat umum menempati urutan ke-dua setelah
sarana kesehatan mengenai perlunya pemberlakuan KTR.
Berikut beberapa penerapan ketentuan hukum tentang kawasan tanpa rokok di
beberapa kabupaten/kota, dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Ketentuan hukum di daerah tentang kawasan tanpa rokok
No.
Wilayah
1
2
Kota Bogor
Kota Payakumbuh
4
5
Kota Palembang
Provinsi Bali
Kota Surabaya
7
8
Kabupaten Sragen
Kota Tangerang
10
Kota Semarang
11
Kota Makassar
Regulasi Lokal
Perda No.12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda No.15 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Pergub DKI Jakarta No.88 Tahun 2010 tentang Kawasan
Dilarang Merokok
Perda No. 07 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
Kawasan Terbatas Merokok
Perda No.1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda No. 5 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda No. 8 Tahun 2009 tentang Kawasan bebas asap Rokok
dan Kawasan Tertib Rokok
Perwali No. 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa
Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok
Perwali No. 13 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
234
Seperti terlihat pada tabel 1 di atas, Kota Makassar telah mengeluarkan Peraturan
Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok
pada delapan tempat dalam wilayah Kota Makassar. Kedelapan tempat tersebut yaitu
fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat
ibadah, fasilitas olahraga, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Sejalan dengan
Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 tahun 2011, saat ini DPRD Kota Makassar telah
menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Bebas Asap Rokok. Namun
terkadang suatu peraturan menunjukkan terjadinya tumpang tindih (overlaping), saling
bertentangan atau ketidakserasian antar peraturan perundang-undangan.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat pada penelitian
ini adalah sejauhmana pelaksanaan Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011
terkait Kawasan Bebas Asap Rokok pada tempat umum dalam mewujudkan hak atas
kesehatan masyarakat?
METODE PENELITIAN
Tipe dan Desain Penelitian
Pada prinsinya, penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum empiris dengan
model penelitian yuridis sosiologis yaitu tipe penelitian yang bermaksud melakukan
uji terapan terhadap suatu produk hukum dalam realitas sosial, dengan tujuan untuk
mengetahui kesesuaian antara Law in Book and Law In Action, yang dalam hal ini adalah
melihat harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar tentang Kawasan Bebas
Asap Rokok, sejauhmana pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) dan
faktor-faktor yang memengaruhi orang untuk menaati atau tidak menaati peraturan, dengan
menggunakan daftar pertanyaan, pengamatan, dan wawancara. Kemudian dianalisis secara
deskriptif, yaitu memaparkan dan menjelaskan data yang ditemukan dalam penelitian, dan
dilanjutkan dengan analisis secara preskriptif.
Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Kuantitatif
dan Kualitatif dengan mengkaji secara Normatif (studi dokumen berupa bahan hukum)
pada Ranperda Kota Makassar tentang Kawasan Bebas Asap Rokok dan Empirik (studi
data lapangan), dengan menjelaskan pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok
(KBAR) di Kota Makassar dan faktor-faktor yang memengaruhi ketaatan pada peraturan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
235
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa Kota Makassar
adalah Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yang merupakan pintu gerbang Kawasan Timur
Indonesia dan juga menjadi tempat tujuan wisata yang memungkinkan bertambahnya
populasi sehingga dapat berdampak pada aktivitas yang memengaruhi lingkungan. Selain
itu, saat ini Kota Makassar telah menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan
Bebas Asap Rokok.
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang ditetapkan berdasarkan sifat,
karakteristik, atau ciri khas yang sesuai dengan kepentingan penelitian. Pada penelitian ini
populasinya adalah tempat umum yakni mal/pusat perbelanjaan dan hotel bintang empat dan
bintang satu. Jumlah mal di Kota Makassar sebanyak 7, dimana ada 1 yang tidak berfungsi
(Makassar Mal) sehingga jumlahnya ada 6, yakni: Mal Ratu Indah, Mal Panakkukang, Mal
GTC (Global Trade Centre), MTC Karebosi, Makassar Town Square, dan Trans studio
Mal.17 Jumlah hotel bintang empat sebanyak 6 dan hotel bintang satu sebanyak 12.
Sampel
Sampel adalah perwakilan dari populasi, karena mengingat tidak semua populasi akan
diambil datanya, maka perlu ditetapkan perwakilannya. Berdasarkan populasi penelitian
tersebut di atas, maka ditetapkan sampel penelitian dengan metode non probability sampling
yaitu bahwa setiap individu dalam populasi tidak mendapatkan kesempatan yang sama sebab
tidak dilakukan secara acak. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel secara purpossive
sampling,18 dengan kriteria bahwa mal yang diteliti atau dipilih adalah mal terbesar dengan
jumlah pengunjung terbanyak, yang memiliki food court, dan memiliki bioskop yaitu: Mal
Panakkukang. Sedangkan hotel bintang empat yang terpilih adalah Grand Clarion Hotel
& Convention dan hotel bintang satu adalah Hotel Anging Mammiri, dimana General
Managernya masing-masing adalah Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia
(PHRI) Sulawesi Selatan dan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI)
Kota Makassar.
236
Teknik Pengumpulan
Penelitian lapangan (field research)
Pada penelitian lapangan ini penulis menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner),
metode wawancara dengan responden, kemudian dilanjutkan dengan metode indepth
interview (wawancara mendalam) dengan pihak-pihak yang mengetahui tentang materi
yang penulis bahas, dan melakukan pengamatan langsung.
Penelitian kepustakaan (library research)
Pengumpulan data melalui studi dokumen, yaitu pengumpulan data yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan, tulisan-tulisan ilmiah serta sumber-sumber tercatat
lain yang terkait dengan materi yang penulis bahas.
Analisis Data
Data primer dan sekunder yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan dianalisis.
Teknik analisis data yang digunakan yakni dengan menganalisis secara deskriptif dan
preskriptif yaitu menggambarkan atau memaparkan temuan atau data yang diperoleh dari
hasil penelitian berupa materi muatan yang terdapat dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kota Makassar, pelaksanaan peraturan dan faktor pengetahuan tentang isi peraturan,
perilaku, dan petugas penegak yang memengaruhi masyarakat untuk mematuhi atau
tidak mematuhi peraturan, kemudian melakukan argumentasi atas hasil penelitian atau
memberikan penilaian (preskriptif) tentang apa yang seyogyanya menurut hukum terhadap
fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.19
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Peraturan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Tempat Umum
Penelitian tentang pelaksanaan peraturan kawasan bebas asap rokok di Kota
Makassar mengacu pada Peraturan Walikota Makassar Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Kawasan Tanpa Rokok. Meskipun pada judul peraturan berbeda, namun yang menjadi
kajian/penelitian adalah bagaimana pelaksanaan kawasan bebas asap rokok pada tempat
umum di Kota Makassar yang dapat dilihat dari:
a. Indikator ruang lingkup kawasan bebas asap rokok dengan mengetahui sejauhmana
kesiapan instansi terkait dalam upaya merealisasikan perwali dengan berbagai
kegiatan yang telah dilaksanakan serta kendala dan solusi dari kendala yang dihadapi
melalui wawancara dengan informan kunci (key informant).
19
237
b. Indikator Kewajiban pimpinan atau penanggung jawab kawasan bebas asap rokok
pada Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging
Mammiri dengan melihat sejauhmana penerapan dari peraturan kawasan bebas asap
rokok pada ketiga tempat penelitian melalui pengamatan dan wawancara dengan
pengelola kawasan termasuk General Manager.
c. Indikator Sanksi dengan mengetahui pendapat informan mengenai sanksi administrasi
yang tertera pada Perwali, bagaimana penerapan sanksi pada kawasan Mal
Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri, dan
saran jenis sanksi yang akan dimuat pada Ranperda. Informasi ini diperoleh melalui
wawancara.
Indikator ruang lingkup kawasan bebas asap rokok
Penerapan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) di Kota Makassar berdasarkan
Peraturan Walikota Makassar No. 13 tahun 2011 telah berjalan sejak Bulan Mei 2011.
Implementasi KBAR diharapkan mampu melindungi masyarakat akan bahaya kesehatan
yang ditimbulkan akibat asap rokok. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan No.
36 tahun 2009 pasal 115 Ayat (2) yang menyatakan Pemerintah Daerah wajib menetapkan
Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya.
Pada Peraturan Walikota (Perwali) Makassar, yang menjadi ruang lingkup kawasan
adalah:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. Tempat Proses Belajar Mengajar;
c. Tempat Anak Bermain;
d. Tempat Ibadah;
e. Fasilitas Olahraga;
f. Angkutan Umum;
g. Tempat Kerja; dan
h. Tempat Umum.
Kawasan huruf a sampai dengan huruf f merupakan kawasan yang bebas dari asap
rokok hingga batas pagar terluar, sedangkan kawasan huruf g dan huruf h merupakan
kawasan yang bebas asap rokok hingga batas kucuran air dari atap paling luar, dan Pimpinan
atau Penanggung Jawab kawasan dapat menyediakan kawasan merokok di luar gedung
sesuai persyaratan.
Dinas Kesehatan Kota Makassar telah melaksanakan jajak pendapat kepada 210
orang dewasa (83 laki-laki dan 123 perempuan) yang dipilih secara acak (berusia 15 tahun
ke atas) pada bulan Agustus, 2011 pada 14 kecamatan di Kota Makassar. Tujuan utama dari
238
jajak pendapat ini adalah untuk menilai opini publik mengenai peraturan Kawasan Tanpa
Rokok 100% untuk semua tempat kerja, tempat umum dan transportasi umum.
Mengenai kegiatan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh instansi
terkait, mengacu pada Pasal 11 Peraturan Walkota Makassar No. 13 Tahun 2011 bahwa
dalam rangka mewujudkan kawasan tanpa rokok, kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) di lingkungan Pemerintah Kota Makassar berwenang melakukan pembinaan dan
pengawasan. Pembinaan dapat berupa bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat
dan pimpinan atau penanggung jawab kawasan. Sedangkan Pengawasan dapat berupa
pemantauan atas ketaatan terhadap ketentuan yang berlaku pada kawasan tanpa rokok.
Pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengawasan disesuaikan dengan ruang lingkup
kawasan tanpa rokok.
Kegiatan pembinaan dan pengawasan pada tempat umum seperti mal dilakukan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Sedangkan pembinaan dan pengawasan terhadap
tempat umum seperti hotel dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Menurut
salah seorang staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Makassar yang mengikuti
sosialisasi dan pelatihan petugas pengelola kawasan tanpa rokok, Ibrahim20 mengatakan
bahwa setelah sosialisasi, kami menindaklanjutinya. Berikut petikannya:
...setelah mengikuti sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Makassar
melalui Dinas Kesehatan, kami telah melakukan koordinasi kepada pengelola mal
dan melakukan pemantauan terhadap Mal Panakkukang.
Sedangkan menurut Kepala Seksi Sarana Pariwisata Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Makassar Andi Engka21 mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan
pembinaan dan pengawasan terkait khusus kawasan bebas asap rokok. Berikut petikannya :
...kami tidak pernah melakukan pembinaan dan pengawasan terkait khusus Kawasan
bebas asap Rokok karena belum ada Surat Keputusan Tim Pembina yang dikeluarkan
oleh Walikota, dan belum ada petunjuk teknis pembinaan dan pengawasan yang
diberikan oleh Dinas Kesehatan.
Selanjutnya setelah dikonfirmasi dengan Dinas Kesehatan, Hj. Maulidarni, SKM.,
M.Kes mengatakan bahwa Surat Keputusan Tim Pembina Kawasan Tanpa Rokok belum
ada karena menunggu Perdanya.
Dari hasil wawancara dengan informan kunci, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pembinaan dan pengawasan kawasan bebas asap rokok di Mal Panakkukang, Grand
Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri belum berjalan karena menunggu
keluarnya Peraturan Daerah Kota Makassar. Jadi kendala yang dihadapi adalah belum
adanya perda, sehingga yang menjadi solusi adalah Ranperda segera dibahas dan disahkan
Wawancara, 18 September 2012.
Wawancara, 21 September 2012.
20
21
239
menjadi Perda, sebagai upaya perlindungan masyarakat dari paparan asap rokok sehingga
dapat terwujud hak atas kesehatan masyarakat.
Indikator kewajiban pimpinan/penanggung jawab kawasan bebas asap rokok
Indikator kewajiban pimpinan/penanggung jawab kawasan bebas asap rokok dapat
diketahui melalui hasil pengamatan dan wawancara. Pengamatan dilakukan pada 3 tempat
yaitu gedung Mal Panakkukang, gedung Grand Clarion Hotel & Convention, dan gedung
Hotel Anging Mammiri Makasar.
a. Hasil pengamatan pada Gedung Mal Panakkukang Makassar
Hasil pengamatan yang dilakukan pada gedung Mal Panakkukang Makassar dapat
dilihat pada Tabel 2 di bawah.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Gedung Mal
Panakkukang Kota Makassar Tahun 2012
No.
1
Indikator
Ditemukan orang merokok di dalam
gedung
6
7
Ya
240
Tidak
Lokasi/Gedung
Solaria,
RM.Borobudur, Kopi
Tiam, Kiiliney Kopi
Tiam, Exelco,
roppan, Joyful
Bakery & Caf,
Texas Chicken, J.Co,
Sosialita, Coffee
Toffee, Tong Tji Tea
Bar, Campina House,
NAV karaoke, Ta
Wan
Hanya pada
tempat/ruanganruangan yang
dibolehkan merokok
DCost terdapat
ruangan khusus
merokok (ruang
isolasi)
Killiney, Exelco,
J.Co, Ta Wan, Nav,
Kopi Tiam, roppan
Nav, J.Co, Kopi
Tiam
J.Co, Killiney,
Exelco, Kopi Tiam,
NAV
Exelco
241
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok pada Grand Clarion Hotel
& Convention Makassar Tahun 2012
No.
1
2
Indikator
Ditemukan orang merokok di dalam
gedung
Ditemukan tanda dilarang merokok
di semua pintu masuk utama
Ya
Tidak
Lokasi/Gedung
Lobby
Hanya
pada
ruangan/kamar
dilarang merokok
Tersedia
ruang
isolasi
khusus
merokok
Iya di lobby
Di
lobby
dan
ruangan
khusus
merokok
(ruang
isolasi)
5
6
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pada Grand Clarion Hotel & Convention
Makassar:
a. ditemukan orang merokok di dalam gedung pada ruangan yang membolehkan
merokok (smooking area). Di lobby terdapat ruang yang boleh merokok dan juga
ruang dilarang merokok. Kondisi ruang merokok di lobby dilengkapi dengan alat
sirkulasi udara (exhaust) dan hanya berjarak beberapa meter saja dengan ruang bebas
asap rokok, sehingga memungkinkan asap rokok dapat berpindah dari ruang merokok
ke ruang bebas asap rokok yang juga berada di lobby;
b. tidak ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama, sebagai
gambaran Kawasan Bebas Rokok atau Kawasan Bebas Asap Rokok. Tanda larangan
merokok hanya terlihat pada ruangan/kamar dilarang merokok yang berada di lantai
08, 09, 10, 12, 16, dan 17 sebanyak 288 kamar, ruang pertemuan dan Grand Ballroom,
di beberapa bagian lobby;
c. terdapat ruangan khusus merokok (ruang isolasi) yang dilengkapi exhaust, asbak
yang berada di lantai 2;
d. ditemukan asbak, korek api di dalam gedung yakni di lobby, Kamar Boleh Merokok
(Smoking Room) yang berada di lantai 05, 06, 07, 11, dan 15 sebanyak 297 kamar;
242
Indikator
2
3
4
5
6
7
Ya
Tidak
Lokasi/Gedung
Lobby, kamar
Hanya terdapat di
ruangan pertemuan
Tidak ada
Lobby, kamar
Lobby
Lobby
Lobby, kamar
243
244
Indikator sanksi
Indikator Sanksi pada penelitian ini adalah melihat bagaimana pendapat informan
mengenai sanksi administrasi yang tertera pada Perwali, penerapan sanksi pada kawasan
Mal Panakkukang, Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri, dan
saran jenis sanksi yang akan dimuat pada Ranperda.
Penerapan sanksi pada kawasan Mal Panakkukang sudah ada yakni bila ada
karyawan tenant yang melanggar maka akan didenda Rp. 150.000,- begitupula di Grand
Clarion Hotel & Convention juga menerapkan sanksi bagi tamu yang melanggar dengan
denda Rp. 1.000.000,- sedangkan di Hotel Anging Mammiri belum menerapkan. Berikut
petikan hasil wawancara dengan pengelola kawasan:
.kita telah menerapkan sanksi bila ada yang melanggar di mal ini dengan merokok
pada area yang dilarang merokok berupa denda Rp. 150.000,-23
Menurut Webber bahwa untuk adanya hukum dibutuhkan paksaan menuju terciptanya
suatu pola perilaku (conformity) dengan menghukum perilaku menyimpang.24
Di Singapura, perokok yang merokok di KTR akan dikenai denda oleh pengadilan
hingga $10.000. Singapura sangat ketat dalam mengatur hal ini karena memiliki visi
untuk menjadi negara bebas rokok dan mampu menurunkan prevalensi perokok dari 20%
(37% laki-laki, 3% perempuan) pada tahun 1984 menjadi 12,6% (21,9% laki-laki, 3,4%
perempuan) pada tahun 2004.25 Di Thailand dikenakan denda maksimal 2000 Baht.26
Sedangkan di Indonesia seperti Kota Bogor memiliki Perda kota Bogor No. 12 tahun
2009 tentang KTR dengan ancaman kurungan paling lama 3 hari atau denda paling banyak
Rp 1 juta rupiah bagi pelanggaran KTR. Sanksinya ini jauh lebih ringan dibandingkan di
Kota Surabaya yang mencapai denda paling banyak Rp 5 juta atau kurungan paling lama
3 bulan.27 Surabaya Plaza Hotel adalah salah satu contoh KTR. Setahun setelah Perda
lahir, hotel ini menerapkan dengan ketat KTR. Setiap kamar memiliki deteksi asap rokok,
dimana sensor akan berbunyi bila ada yang merokok di kamar, begitupula di seluruh area
di hotel termasuk toilet dan lobi, setiap pelanggaran dikenakan denda Rp. 1 juta per satu
pelanggaran. Sejak Februari 2009 sampai 2012 telah terkumpul dana denda sekira Rp
300.000.000. Pemikiran bahwa meskipun sebagai besar orang Indonesia suka merokok
tetap ada juga orang yang tidak suka merokok dan asap rokok. Inilah segmen yang digarap
di hotel ini. Awalnya, tingkat hunian menurun dalam 2 minggu pertama. Ini termasuk
SS, 22 tahun, 25 September 2012.
Satjipto Rahardjo. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Cet. Ke-II, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2010), hlm. 205.
25
Komnas HAM. Op.cit., hlm. 58-59.
26
Ibid., hlm. 72.
27
Ibid., hlm. 64.
23
24
245
pertaruhan bisnis. Namun kini hotel tersebut justru memiliki banyak pelanggan tetap dan
omzet makin meningkat. Penegakan KTR dan KTM lebih mengandalkan Komitmen dari
pihak pengelola.28
Dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Makassar memuat sanksi administrasi
bagi pimpinan atau penanggung jawab kawasan dan sanksi perorangan bagi setiap orang
yang melanggar peraturan, namun belum mencantumkan jenis sanksinya. Dalam Pasal 14
UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada
Ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Dalam Peraturan Daerah (Perda), sanksi pidana yang dimuat tentunya yang bersifat
ringan dan berkaitan dengan tindak pidana yang juga ringan seperti misalnya larangan
merokok di tempat keramaian dan sebagainya. Sedangkan ketentuan pembebanan pidana
yang lebih berat, tentu harus dimuat dalam undang-undang, bukan dalam peraturan daerah.
Karena ketentuan pidana itu pada dasarnya dapat berdampak pada pengurangan derajat
kebebasan warga negara, sehingga apabila hendak ditentukan pembebanannya kepada
warga negara haruslah terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari para wakil rakyat.
Bentuk peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai produk
legislatif itu memang ada dua macam, yaitu undang-undang dan peraturan daerah. Undangundang dibentuk oleh DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden, sedangkan peraturan
daerah dibentuk oleh DPRD atas persetujuan bersama dengan Kepala Pemerintah Daerah.29
PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan Kawasan Bebas Asap Rokok (KBAR) belum dilaksanakan sesuai dengan
peraturan terkait dengan persyaratan tempat khusus merokok pada Mal Panakkukang,
Grand Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri karena pemahaman yang
berbeda mengenai konsep KBAR. Salah satu hotel telah memilah kamar dengan smooking
Ibid., hlm. 66.
Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang, Cet. Ke-II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011),
hlm. 161.
28
29
246
room dan no smooking room. Ketiga General Manager mempunyai komitmen untuk
menerapkannya setelah Perda sudah ada agar terwujud hak atas kesehatan masyarakat.
Saran
Pelaksanaan kawasan bebas asap rokok khususnya di Mal Panakkukang, Grand
Clarion Hotel & Convention, dan Hotel Anging Mammiri Kota Makassar dan pada tempat
umum lainnya seyogyanya menyesuaikan dengan peraturan terutama setelah keluarnya
Peraturan Daerah, penataannya secara bertahap dan pelaksanaannya bersifat memaksa
dengan tetap memperhatikan kultur masyarakat.
Pemerintah Kota Makassar disarankan untuk melibatkan artis sebagai duta bebas
rokok dan seyogyanya memberikan reward atau penghargaan kepada pimpinan atau
penanggung jawab kawasan atau institusi yang telah menerapkan kawasan bebas rokok
atau kawasan bebas asap rokok dan dapat dijadikan contoh bagi kawasan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie. 2011. Perihal Undang-Undang, Cet. 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
M.N. Bustan. 2007. Epidemologi: Penyakit Tidak Menular, Cet. 2. Jakarta: Rinneka Cipta.
Majda El. Muhtaj. 2008. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Mukti Fajar & Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Cet. KeII. Yogyakarta: Genta Publishing.
Suharjo B. Cahyono. 2012. Gaya Hidup dan Penyakit Modern, Cet. 5. Yogyakarta: Kanisius.
Sukri Palutturi. 2010. Kesehatan Itu Politik, Ed. 1, Cet.1. Semarang: Karya Aksara.
Zulkifli. 2008. Thank You for Smoking. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Sumber lainnya:
Soeryo Respationo. Politik Hukum di Indonesia, Kajian dari Perspektif Negara Hukum,
Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Vol. 18, No. 1, Maret 2010.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok.
Kementerian Kesehatan RI. Mei 2012. Pengendalian Tembakau, Selamatkan Nyawa
Selamatkan Uang, Advocacy Tool, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
Ditjen PP & PL.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
247
http://www.kompas.com/read/
xml2009/01/21/20145028/prevalensi.merokok.pada.anak.terus.meningkat,
diakses
10 Nopember 2010.
Antara News. 11 Juni 2011. Available at: http://makassar.antaranews.com/berita/28840/
larangan-merokok-masih-sebatas-imbauan-moril, diakses 26 Desember 2012
Wikipedia Indonesia. Available at: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pusat_perbelanjaan_
di_Makassar, 3 September 2012, diakses 20 Desember 2012.
248
E-mail: lisavalda@yahoo.com
Abstract
The objectives of the research were to investigate and comprehend to what extend
the impact the communitys legal culture towards the implementation of the doctrine of
piercing the corporate veil in the activity practice of the limited liability company in South
Sulawesi. This was a normative juridical and legal sociological research, i.e. the research
focusing to examine rules or norms or doctrines in positive law. The research was carried
out in several regions in South Sulawesi such as: Makassar, Pangkep, and Pare-pare. The
research result indicates that the application of the doctrine of piercing the corporate veil
its realilty is still influenced by the communitys legal culture of the businessmen who have
different social instruments, the social values they practice, social stratification, and the
communitys thinking level from where the doctrine comes from. Besides, for a part of the
corporate agents, the doctrine is still regarded unfamiliar. In fact, the research still finds
that the limited liability companies which are formed the corporate bodies do not separate
between the corporate properties and personal properties of the committee members. They
make the legal facilities only as the masks (guises) to justify (to legalize) their real actions
which are contradictory with the regulation of Acts. Director Board in this case also acts
as Commissaries and also as the shareholders.
Keywords: Doctrine, Piercing, Corporate
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaruh kultur hukum
masyarakat terhadap pelaksanaan doktrin piercing the corporate veil dalam praktik
kegiatan Perseroan Terbatas di Sulawesi Selatan. Tipe penelitian yang digunakan adalah
yuridis normatif dan sosiologi hukum, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan-penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma atau doktrin-doktrin dalam
hukum positif. Penelitian ini diadakan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu
Makassar, Pangkep, dan Pare-Pare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
doktrin Piercing the Corporate Veil dalam realitasnya masih dipengaruhi oleh kultur
hukum masyarakat para pelaku usaha yang berbeda perangkat sosialnya, nilai-nilai
sosial yang dianutnya, stratifikasi sosialnya, serta taraf pemikiran masyarakatnya di mana
doktrin ini berasal. Selain itu doktrin ini masih dianggap tidak familiar, ternyata dalam
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
253
badan hukum yang lainnya. Sekalipun dalam bertindak, badan hukum tersebut diwakili
oleh Direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap merupakan hubungan hukum antara
subjek hukum. Namun demikian, Direksi yang merupakan salah satu organ perseroan
dari badan hukum itu mempunyai hubungan dan tanggung jawab secara intern perseroan.
Dimaksudkan hubungan intern perseroan adalah hubungan hukum antara pemegang saham,
RUPS, Komisaris dan Direksi.
Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan pemegang
saham, Direksi, dan Komisaris, yang sekaligus meletakkan tanggung jawab masingmasing. Hal-hal tersebut memberikan arah apa yang diperintahkan (imperare), apa yang
dilarang (prohibere), serta apa yang diperbolehkan (premittere) kepada pemegang saham,
Komisaris, dan Direksi.3
Ciri utama Perseroan Terbatas adalah merupakan subjek hukum yang berstatus badan
hukum, yang pada gilirannya membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi
para pemegang saham, anggota Direksi, dan Komisaris. Persoalan pertanggungjawaban
pemegang saham ini pada mulanya merupakan masalah yang kontroversial, karena ada
yang berpendapat bahwa tanggung jawab pemegang saham dalam Perseroan Terbatas tidak
boleh lebih dari nilai saham yang diambilnya, sesuai dengan pengertian kata terbatas
dalam nama badan hukum itu sendiri. Pendapat ini sejalan dengan hakiki dari Perseroan
Terbatas itu sendiri dan prinsip ini masih valid.
Persoalannya adalah apakah prinsip di atas harus berlaku secara absolut/mutlak,
bahkan dalam situasi tertentu di mana perseroan sebenarnya hanya merupakan alter ego
dari pemegang sahamnya, sehingga perseroan dipakai sebagai kedok usaha pemegang
saham dalam membatasi risiko kerugian yang timbul, sebagai akibat keterlibatannya dalam
perseroan, baik untuk kepentingan pribadi maupun alasan lain. Dalam hal ini diperlukan
keberanian untuk memberikan kesimbangan dalam penerapan prinsip tanggung jawab
terbatas pemegang saham.
Dengan demikian, terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan
hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham. Hal-hal tertentu tersebut antara
lain apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang
saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai
alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.4
Prinsip piercing the corporate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa
tanggung jawab terbatas pemegang saham, Direksi, dan atau Komisaris dalam hal-hal
Ibid, hlm 80-81.
Chatamarrasjid Ais. Menyingkap Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate Veil ), (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 2-4.
3
4
254
tertentu dapat menjadi tidak terbatas. Secara universal prinsip piercing the corporate veil
dilakukan dalam hal sebagai berikut: a) Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu;
b) Badan-badan hukum terpisah secara artifisial; c) Berdasarkan hubungan kontraktual;
dan d) Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Jadi apabila diimplementasikan
dalam UUPT mengenai pelanggaran prinsip piercing the corporate veil, secara sempit
dapat diartikan bahwa Direksi tidak melakukan prosedur hukum untuk meminta kepada
Menteri Hukum dan HAM guna pengesahan perseroan menjadi badan hukum.
Doktrin piercing the corporate veil merupakan doktrin utama dalam hukum perseroan,
guna memberikan arah bagaimana seharusnya seorang pemegang saham, Komisaris, dan
Direksi bertindak dan berbuat. Arah ini sekaligus menetapkan batasan-batasan, yang
apabila dilanggar, mengakibatkan hilangnya limitative tanggung jawab terbatas dan
berubah menjadi tanggung jawab tidak terbatas. Doktrin piercing the corporate veil ini
sekaligus juga menyibak tabir hukum perseroan dalam hubungan intern antara pemegang
saham, Komisaris, dan Direksi, termasuk pertanggungjawabannya.5
Oleh karena itu, dalam penerapannya, diduga bahwa dalam banyak hal, doktrin ini di
Indonesia masih sulit diterapkan, satu dan lain hal, karena adanya perbedaan sistem hukum di
Indonesia dibandingkan dengan asal dan berkembangnya doktrin hukum ini. Ibarat hewan,
doktrin piercing the corporate veil ini berasal dan berhabitat di daerah yang mempunyai
lingkungan sistem hukum Anglo Saxon, dengan sistem hukum Common Law, tetapi hewan
tersebut dibawa ke Indonesia, yang berhabitat sistem hukum EropaContinental. Sehingga
melahirkan suatu issue bahwa doktrin piercing the corporate veil yang di receptie
(diakomodir) ke dalam UUPT, dalam penerapannya belum bersesuaian dengan kultur
hukum masyarakat Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat
dikemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Sejauhmanakah Implementasi doktrin piercing the corporate veil dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimanakah pengaruh kultur hukum masyarakat Indonesia terhadap pelaksanaan
doktrin piercing the corporate veil dalam praktik kegiatan Perseroan Terbatas di
Indonesia?
255
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sosiologi hukum, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan-penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma atau doktrin-doktrin dalam hukum positif. Penelitian yuridis normatif dan
sosiologi hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach)
yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema sentral penelitian
dan metode penerapan peraturan perundang-undangan (sosiological approach) yang
berkenaan dengan efektifnya suatu Undang-undang.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, yaitu
Makassar, Pangkep dan Pare-pare. Dipilihnya lokasi penelitian ini, karena didasarkan pada
pertimbangan bahwa Kota Makassar selain merupakan pusat perdagangan dan Industri
di Sulawesi Selatan, juga merupakan daerah strategis berdirinya beberapa perusahaanperusahaan yang berbentuk Badan Hukum (PT), termasuk pula di daerah Pangkep dan
Parepare yang masih merupakan wilayah Sulawesi Selatan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
kegiatan perusahaan, terutama yang berbentuk Perseroan Terbatas. Selanjutnya, sampel
penelitian ditentukan dalam kuota tertentu sesuai dengan kebutuhan data dan sifat
representatif dari heterogenitas dan karakteristik populasinya, dengan menggunakan teknik
penarikan sampel secara purposive sampling. Sampel yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah:
1. 2 (dua) orang nara sumber dari Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta.
2. 2 (dua) orang nara sumber dari Pengadilan Negeri Makassar.
3. 2 (dua) orang nara sumber dari Pengadilan Negeri Parepare,
4. 3 (tiga) orang nara sumber dari Notaris di kota Pare-pare.
5. 7 (tujuh) orang nara sumber dari pelaku Perseroan Terbatas Terbuka, Perseroan
Terbatas Tertutup, Perseroan Terbatas Perseorangan.
Jenis dan Sumber Data
a. Data primer diperoleh secara langsung dilapangan dari responden penelitian dengan
melakukan wawancara kepada responden penelitian, yaitu :
1. Para pelaku Perseroan Terbatas,
2. Notaris selaku pihak yang berwenang dalam pembuatan akta pendirian Perseroan
256
Terbatas.
3. Pihak dari Pengadilan Negeri dalam kaitannya mengenai Pasal 7 ayat 6 UU
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
4. Pihak dari Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM dalam kaitannya sebagai
pihak yang berwenang dalam Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas.
b. Data sekunder merupakan data yang dapat mendukung keterangan-keterangan atau
menunjang kelengkapan dari data primer yang diperoleh dari bahan-bahan hukum
yaitu:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari
ketentuan perundang-undangan di
257
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan
prinsip-prinsip keadilan dalam berusaha.
Sebagaimana dalam UUPT pada batas-batas tertentu mengakui berlakunya teori
piercing the corporate veil ini, sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Penerapan teori
piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan menyebabkan tanggung jawab
hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan tersebut (meskipun dia berbentuk badan
hukum), tetapi juga pertanggungjawaban hukum dapat dimintakan terhadap pemegang
sahamnya.Bahkan, penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya,
juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain, seperti
Direksi dan Komisaris.
Menurut Sakinah,6dari PT. Bosowa Group, bahwa sampai pada batas-batas tertentu
doktrin tersebut, khususnya doktrin Piercing the Corporate Veil dalam penerapannya
sudah dapat diberlakukan dan sudah diakomodir dalam hukum Indonesia, meskipun
banyak akselerasi, dan adaptasi yuridis yang masih harus dilakukan, dan ini merupakan
tugas kita semua sebagai pelaku-pelaku usaha, khususnya yang berkecimpung dalam
dunia perusahaan, terlebih khusus lagi pada PT. Bosowa Group ini yang boleh dikatakan
adalah perusahaan keluarga dimana tanggung jawabnya tidak terbatas.Namun demikian
bukan berarti doktrin piercingthe corporate veil tidak dapat diterapkan.Walaupun dalam
penerapannya nanti dibutuhkan pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai aspek dan
dampaknya bagi perusahaan.
Memang benar bahwa sampai batas-batas tertentu, teori piercing the corporate veil ini
diakui dalam berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
tersebut, yang kemudian dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, Direksi, bahkan dalam
hal yang sangat khusus juga terhadap Dewan Komisaris dari suatu Perseroan Terbatas.
Hanya saja, menurut hemat penulis tentunya untuk bisa menerapkan teori piercing the
corporate veil ini, perlu kearifan, kehati-hatian, dan pemikiran yang komprehensif dalam
suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan, kepastian
dan kemanfaatan. Karena dalam cakrawala hukum yang demikianlah teoripiercing the
corporate veil tersebut dapat efektif berlakunya. Jika visi seperti ini diabaikan oleh para
pelaku usaha dan penegak hukum, dapat dipastikan bahwa penerapan teori piercing the
corporate veil inijustru akan menimbulkan counter productive dan ketidak seimbangan
dalam perusahaan.
Hasil wawancara dengan bagian Legal PT. Bosowa Group pada tanggal 22 Mei 2012.
259
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ahdarisa,7 dari PT. Semen Tonasa Pangkep,
bahwa doktrin piercing the corporate veil ini tidak terdapat dalam KUHD, tetapi secara sangat
simpel diatur dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan
bahwa sungguhpun suatu badan hukum bertanggungjawab secara hukum hanya terbatas
pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas tanggungjawab
tersebut dapat ditembus (piercing).Tidak terkecuali pada PT. SEMEN TONASA Pangkep.
Beberapa contoh fakta yang mestinya dapat diterapkannya doktrin piercing the corporate
veil adalah :
a. Permodalan yang tidak layak.
b. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.
c. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan.
d. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan hukum.
Dari uraian di atas, menurut hemat penulis bahwa untuk kasus pada Perseroan Terbuka
(Tbk) seperti pada PT. Semen Tonasa Pangkep, doktrin Piercing the Corporate Veil dapat
diterapkan secara proporsional. Hal itu juga diakui oleh Ahdarisa dalam wawancara yang
peneliti lakukan bahwa pada PT. Semen Tonasa, tidak ada kendala untuk penerapan doktrin
Piercing the Corporate Veil.Hal ini sudah lama dipahami oleh pihak PT. Semen Tonasa
Pangkep. Artinya bahwa dari penelitian yang penulis lakukan pada PT. Semen Tonasa,
dapat di jelaskan bahwa doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada bentuk
PT seperti pada PT. Semen Tonasa Pangkep jika hal-hal yang terkait dimungkinkannya
penerapan doktrin piercing corporate veil ituterpenuhi.
Berbeda dengan KUHD yang tidak memperkenalkan secara tegas tentang
pemberlakuan teori Piercing the Corporate Veil, maka UUPT telah dengan tegas mengatur
tentang teori ini walaupun pengaturannya sangat simpel, tidak lengkap, dan terkesan sambil
lalu saja. Dengan demikian, banyak penjabaran dari doktrin ini seperti baru saja disebutkan
diatas tidak tertampung sama sekali.
Sehubungan dengan itu pula, undang-undang hanya memberikan 4 (empat)
kemungkinan agar teori piercing the corporate veil dapat diberlakukan.Hal ini tentunya
berlaku secara ekslusif. Keempat kemungkinan penerapan teori piercing the corporate veil
tersebut diperinci dalam Pasal 3 ayat (2), yaitu sebagai berikut:
a. Jika persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
b. Pemegang saham yang bersangkutan dengan itikad buruk, secara langsung atau tidak,
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
Hasil wawancara dengan Bagian Legal dan manajemen PT. SEMEN TONASA Pangkep, tanggal 6
Juni 2012.
7
260
c. Ikut terlibatnya pemegang saham dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh perseroan.
d. Pemegang saham secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, secara
langsung atau tidak, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup
untuk melunasi utang perseroan.
Menurut UUPT, jika salah satu diantara keempat faktor tersebut terjadi, pemegang
saham yang bersangkutan dapat dimintakan tanggung jawab secara pribadi. Sehubungan
dengan apa yang telah dikemukakan di atas, menarik pula untuk penulis kemukakan apa
yang dijelaskan dalam hasil wawancara penulis dengan Anwar Ali,8 bahwa PT. Bosowa
Group sebagai salah satu Perseroan Terbatas yang merupakan salah satu bentuk perusahaan
keluarga. Sejak awal pendirian, dan dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih terjadi
pembauran antara harta pribadi pendiri dan harta perseroan. Pada dasarnya dalam praktik
pelaksanaan pada perseroan keluarga ini tidak lagi terdapat adanya keterbatasan dalam
tangungjawab sebagaimana keterbatasan tanggungjawab yang merupakan ciri khas dari
bentuk Perseroan Terbatas. Untuk PT. Bosowa Group pada hakikatnya terbagi atas beberapa
anak perusahaan, yang masing-masing anak perusahaan tersebut dipimpin oleh direktur
yang membidangi perseroan tersebut.Selain itu, ada beberapa dari anak perusahaan yang
sudah merupakan perusahaan terbuka.
Penerapan prinsip piercing the corporate veil sebenarnya bukanlah hal yang sederhana
karena akan memerlukan pembuktian yang dalam kasus-kasus tertentu tidaklah mudah.
Selain dari itu, sebagaimana diketahui bahwa Piercing the Corporate Veil sering kali
dibebankan bukan hanya kepada pihak pemegang saham akan tetapi juga kepada Direksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT, misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Permodalan perseroan yang tidak layak; 2) Penggunaan dana perseroan secara pribadi;
3) Ketidaklengkapan formalitas perseroan; 4) Terdapat penipuan, penggelapan atau transfer
modal secara tidak layak; 5) Sangat dominannya pemegang saham atau komisaris dalam
kegiatan bisnis perseroan.
Contoh kasus:
Presiden Direktur PT. Masaro Radiokom, Putranefo A.Prayogo, divonis dengan
hukuman penjara enam tahun dan denda Rp.200 juta. Putranefo terbukti melakukan
tindak pidana korupsi bersama-sama dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio
Terpadu (SKRT) departemen Kehutanan tahun 2006-2007 yang merugikan Negara
senilai Rp. 89,3 milyar. Karena perbuatannya, Putranefo melanggar Pasal 2 ayat
1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Putranefo juga harus
membayar uang pengganti senilai Rp. 83,3 milyar.Uang pengganti tersebut harus
Hasil wawancara dengan bagian Legal PT. Bosowa Group pada tanggal 28 Mei 2012.
261
dibayar paling lama satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak,
harta benda Putranefo akan disita atau dilelang. Jika harta bendanya tidak mencukupi,
akan dipenjara selama dua tahun.9
Dari kasus di atas, menurut hemat penulis sangatlah jelas bahwa kesalahan Direksi
terhadap perusahaan telah merugikan Negara.Putranefo telah melakukan kesalahan
dengan tujuan untuk kepentingan pribadi. Pengadilan telah menjatuhkan hukuman kepada
Putranefo, dalam hal ini nampaklah bahwa doktrin piercing the corporate veil untuk kasus
seperti ini sudah pasti bisa diterapkan, doktrin ini telah menerobos tanggung jawab Direksi
bahkan sampai keharta pribadi Direksi.
Dalam beberapa hal, menurut analisis penulis, bahwa pemberlakuan teori piercing
the corporate veil juga berlaku bagi komisaris sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
114 ayat (3) UUPT. Artinya dalam hal-hal tertentu pihak Komisaris secara pribadi pun
dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenar-benarnya dilakukan oleh
perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak Pemegang Saham dan pihak Direksi,
maka pihak Komisaris merupakan pihak yang paling sedikit dikejar oleh teori piercing the
corporate veil ini. Pihak Komisaris merupakan the last target dari penerapan teori piercing
the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang pihak Komisaris dalam
perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain halnya pihak Direksi misalnya, yang
mempunyai tugas mewakili dan menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang
saham sebagai pemilik perusahaan/investor, sehingga tanggung jawabnya menjadi besar.
Pemberlakuan teori piercing the corporate veil kepada komisaris dilakukan dalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Jika komisaris tidak melaksanakan fiduciary dutykepada perseroan; (lihat Pasal 114
ayat (2), ayat (6) UUPT)
2. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar; (lihat Pasal 69 ayat (3) UUPT)
3. Kepailitan perusahaan karena kelalaian komisaris (lihat Pasal 115 ayat (1) UUPT).
Pengaruh Kultur Hukum Masyarakat Indonesia Terhadap Pelaksanaan Doktrin
Piercing the Corporate Veil
Efektifvitas hukum turut ditentukan oleh perubahan hukum maupun perubahan
sosial. Dengan kata lain, ketaatan dan ketidaktaatan terhadap hukum, juga berkaitan dengan
perubahan sosial. Suatu kaidah hukum yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
warga masyarakat, jelas akan sulit untuk mengharapkan ketaatan dari warga masyarakat
tersebut. Perubahan sosial senantiasa mengubah pula kebutuhan warga masyarakat, dan
Sebagaimana dikutip pada laman website: (http:/nasional.kompas.com/read/2011/03/29/1832589/
Putranefo.Divonis.Enam.Tahun) Diakses 12 Mei 2011.
9
262
senantiasa mengubah pula nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengubah sistem
pembagian kekuasaan, mengubah struktur ekonomi dan sosial, mengubah stratifikasi
sosial. Keseluruhan perubahan tersebut mau tidak mau merupakan panggilan agar hukum
melakukan campur tangan di dalamnya.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Robert Seidman, the law of the non
transferrability of law (hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari satu masyarakat
ke masyarakat lainnya). Jadi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, kita tidak
dapat begitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita untuk langsung
diberlakukannya. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri,
karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras,
antar hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya sudah serasi. Namun, belum tentu
cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, termasuk Indonesia yang berbeda perangkat
sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda stratifikasi sosialnya, dan
berbeda taraf pemikiran masyarakatnya.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perusahaan (PT) yang
tidak pernah melakukan Rapat Umum Pemegang saham. Sebagaimana wawancara penulis
dengan Nurliah Fattah,10 yang menjelaskan bahwa selama berdirinya PT. Mulya Raya hingga
sekarang belum pernah mengadakan rapat, baik itu rapat pertama kali, rapat tahunan dan
rapat luar biasa, dikarenakan para pemegang saham merupakan anak-anak mereka sendiri
yang masih dibawah umur. Mengenai modal, baik modal dasar modal yang disetor dan
ditempatkan tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam anggaran dasar. Pelaksanaan dan
penyelenggaraan Perseroan sepenuhnya dijalankan oleh yang bersangkutan sendiri selaku
Komisaris, hal ini dikarenakan pihak yang bertindak sebagai Direktur (adalah suami dari
Komisaris sendiri), menurut pengakuannya bahwa yang bersangkutan (Direktur Utama)
tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Begitu pula dengan apa yang dikemukakan oleh Abidin Sattung,11 terhadap
perusahaan yang dipimpinnya yang merupakan perusahaan keluarga, di mana sahamsaham perusahaannya terbagi dan dimiliki saudara-saudara dari Direktur sendiri. Ada
percampuran harta pribadi Direktur Utama dan harta perusahaan. Akan tetapi sepenuhnya
pelaksanaan kegiatan dijalankan oleh Direktur sendiri tanpa campur tangan pemegang
saham yang lain. Pemegang saham yang lain selaku wakil Direktur dan Komisaris hanya
bertindak pasif dan tidak pernah melakukan rapat seperti apa yang diatur dalam UUPT. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Yangsmid Rahman.12
Hasil wawancara dengan Komisaris PT.Mulya Raya Pare-Pare, tanggal 18 Juni 2012.
Hasil wawancara dengan Direktur PT Bahtera Mulya Pare-Pare tanggal 19 Juni 2012.
12
Hasil wawancara dengan Direktur PT.Tirasa Utama Pare-Pare tanggal 19 Juni 2012.
10
11
263
264
yang selama ini diterbitkan akan terbaca, ternyata bahwa keputusan Menteri yang
memberikan pengesahan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa setelah dilakukan
penelitian terhadap Format Isian Akta Notaris Model I dan dokumen perlengkapannya serta
salinan akta pendirian yang bersangkutan, Menteri berpendirian telah dipenuhinya syaratsyarat dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Rudhi Prasetya,14 dalam realitanya di masyarakat, dikenal istilah Perseroan
Terbatas Kosong atau PT Kosong adalah suatu Perseroan Terbatas yang sudah tidak
menjalankan kegiatan lagi yang pasiva dan aktivanya sudah dalam keadaan nihil. Seyogianya
dengan terjadinya PT Kosong segera disusul dengan likuidasi (pembubaran). Namun
dalam kenyataannya acapkali PT Kosong ini dibiarkan. Adapun alasannya kemungkinan
masih ada pihak yang ingin mengambil alih/membeli saham Perseroan Terbatas ini, sebab
sekalipun Perseroan Terbatas ini sudah tidak mempunyai aset lagi, namun Perseroan
Terbatas ini masih mempunyai apa yang dinamakan goodwill. Adapun yang dimaksud
bahwa Perseroan Terbatas ini masih mempunyai goodwill, artinya Perseroan Terbatas ini
tetap masih mempunyai relasi, khususnya tetap masih mempunyai izin-izin (yang biasa
dinamakan sebagai lisensi). Relasi dan Lisensi ini kadangkala mempunyai nilai ekonomis,
atas dasar mana ada pihak yang bersedia membeli saham PT Kosong.
Sedangkan dalam praktik yang dimaksudkan dengan saham kosong adalah suatu
saham di mana pemegang saham yang bersangkutan tidak memasukkan modal. Menurut
hukum tidak mungkin seseorang pemegang saham tidak pernah membayar uang pemasukan
ke kas perseroan. Jadi, dalam pengertian saham kosong itu tidak berarti bahwa dari saham
tersebut sama sekali tidak ada penyetoran modal. Bahwa dalam saham kosong itu tetap ada
uang pemasukan, namun dalam hal ini yang membayar uang pemasukan bukan sipemegang
saham yang bersangkutan sendiri, melainkan orang lain yang membayarkannya untuk dan
atas nama sipemegang saham.
Khusus untuk pendirian Perseroan Terbatas yang tergolong sebagai PT Khusus,
lazimnya untuk pengesahannya ini terlebih dahulu dipersyaratkan telah adanya rekomendasi
dari Menteri Teknis yang membidangi kegiatan riil yang akan dijalankan oleh Perseroan
Terbatas yang bersangkutan. Adapun yang dimaksudkan dengan dengan PT Khusus adalah
suatu Perseroan Terbatas yang dalam hubungan dengan sektor kegiatan memerlukan
persyaratan khusus untuk memperoleh izin usaha yang diadakan karena adanya suatu politik
tertentu dari Pemerintah di sektor yang bersangkutan, atau mungkin pula sektor kegiatan
usaha tersebut akan berhubungan atau berkait dengan banyak orang dalam masyarakat.
Khusus untuk Perseroan Terbatas yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing,
14
Rudhi Prasetya. Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik. (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 63-67.
265
266
DAFTAR PUSTAKA
Chatamarrasjid Ais. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The Corporate
Veil). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Frans Satrio Wicaksono. 2009. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, & Komisaris
Perseroan Terbatas (PT), Jakarta: Visimedia.
Rudhi Prasetya. 2010. Perseroan Terbatas, Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
267
268
E-mail: muthaharahtahir@yahoo.co.id
Abstract
The result show that the implementation of monitoring as an instrument of
environmental law enforcement has not been implemented optimally, either by BLHD
monitoring, internal monitoring by the hospital and external monitoring by the local
community hospital. It is characterized by the low compliance/adherence to aspects of the
hospital responsible by licensing and regulations in the field of environment. Attention to
environmental management has not been considered as a priority in running the hospital.
So the possibility of environmental contamination has occurred, but has not been recognized
by the society due to ignorance and the hazards that are encountered. The availability of
monitoring personnel both in quantity and quality, lack of funding, lack of coordination
and attitude of hospital management into factors that hinder the implementation of the
monitoring.
Keywords: Monitoring, Environmental Law Enforcement, Hospital Wastewater Treatment
Abstract
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan sebagai instrumen
penegakan hukum lingkungan belum dilaksanakan secara optimal, baik pengawasan oleh
BHLD, pengawasan internal rumah sakit dan pengawasan eksternal oleh masyarakat
sekitar rumah sakit. Hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya kepatuhan/ketaatan
penanggung jawab rumah sakit terhadap aspek perizinan dan ketentuan perundangundangan di bidang lingkungan hidup. Perhatian terhadap pengelolaan lingkungan
hidup belum dianggap sebagai hal prioritas dalam menjalankan kegiatan rumah sakit.
Sehingga kemungkinan telah terjadi pencemaran lingkungan hidup, tetapi belum disadari
oleh masyarakat karena ketidaktahuan dan ketidaktanggapan masyarakat akan bahaya
yang sedang dihadapi. Faktor ketersediaan tenaga pengawas baik secara kuantitas dan
kualitas, minimnya pendanaan, kurangnya koordinasi dan sikap pengelola rumah sakit
merupakan factor penghambat dalam pelaksanaan pengawasan.
Kata kunci: Pengawasan, Penegakan Hukum Lingkungan, Pengolahan Limbah Cair
Rumah Sakit.
PENDAHULUAN
Bumi dan segala isinya diciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu anugerah dan karunia
yang sangat sempurna dan seimbang. Hal ini telah ditegaskan dalam Firman Allah SWT
QS. Al-Mulk ayat (3) yang artinya, Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Selanjutnya ditegaskan pula dalam Surah AlAraf ayat (56) bahwa, Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini sesudah
(Allah) memperbaikinya dan berdolah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat kepada orangorang yang berbuat baik. 1
Ketentuan yang tercantum dalam Firman Allah SWT di atas, pada hakikatnya
memerintahkan kepada setiap manusia untuk selalu menjaga keseimbangan serta tidak
melakukan tindakan semena-mena yang mengakibatkan timbul efek adanya kerusakan
lingkungan yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan untuk jangka panjang.
Terlaksananya Pembangunan Jangka Panjang dan Berkelanjutan (Sustainable
Development) tersebut memerlukan pengetahuan yang serius, baik dari segi yuridis
maupun teknis dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Indonesia sebagai
Negara dengan konsep Negara hukum Kesejahteraan (welfare state), yang menempatkan
pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat telah
mengamanatkan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Komitmen tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28
H ayat (1), menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia,disebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
Pengawasan yang intensif terhadap suatu usaha atau kegiatan merupakan salah
satu bentuk pencegahan dini untuk menjaga agar lingkungan tidak rusak semakin parah.
Pengawasan dilakukan terhadap tingkat pentaatan pananggungjawab usaha atau kegiatan
terhadap ketentuan perundang-undangan sehingga dapat mencegah secara dini terjadinya
pelanggaran yang berakibat tercemarnya lingkungan. Pengawasan merupakan salah satu
sarana penegakan hukum lingkungan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan di bidang lingkungan hidup.
272
273
terhadap
mendapatkan surat tugas untuk melaksanakan pengawasan lingkungan hidup pada Instansi
BLHD dan tenaga pengawas (sanitasi) di rumah sakit serta pihak-pihak lain yang terkait
dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan limbah rumah sakit dan pencemaran
yang ditimbulkannya, termasuk masyarakat yang bertempat tinggal disekitar rumah sakit
yang berpotensi terkena dampak dari kegiatan rumah sakit.
Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu
penarikan sampel yang didasarkan atas pertimbangan tertentu. Sampel yang dijadikan
responden dalam penelitian ini adalah seluruh pejabat pengawas Lingkungan Hidup
Daerah BLHD Kota Makassar atau Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan melaksanakan
pengawasan lingkungan hidup yaitu sebanyak 14 orang, tenaga pengawas(sanitasi)
limbah cair di RSUD Labuang Baji dan RSUD Haji masing-masing sebanyak 1 orang,
serta kelompok masyarakat yang berada disekitar rumah sakit yaitu kelompok masyarakat
disekitar RSUD Labuang baji berjumlah 15 orang (20% dari sekitar 80 rumah yang
berada didekat RSUD Labuang Baji), dan kelompok masyarakat disekitar RSUD Haji
yang berjumlah 15 orang (20% dari sekitar 75 rumah yang berada didekat RSUD Haji)
dengan pertimbangan bahwa kedua rumah sakit tersebut berada pada kawasan pemukiman
penduduk dan termasuk rumah sakit yang diduga tidak memiliki instalasi IPAL.
Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara menguraikan kenyataankenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, lalu diinterpretasikan secara sistematis
dengan persoalan yang ada, terutama yang mengatur tentang pelaksanaan pengawasan
terhadap pengelolaan limbah dan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
bisa ditimbulkan. Selanjutnya, dikelompokkan dan diinterpretasi dengan menggunakan
cara penafsiran hukum dan konstruksi hukum serta dianalisis secara yuridis kualitatif.6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dasar Hukum Pengaturan Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit
Rumah sakit dalam melaksanakan berbagai kegiatannya menghasilkan berbagai
macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas. Hal ini mempunyai konsekuensi
perlunya pengolahan limbah rumah sakit sebagai bagian dari penyehatan lingkungan yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan.
Terkait dengan upaya pengolahan limbah cair, terdapat beberapa aturan yang
mengatur tentang pengolahan limbah cair rumah sakit, yaitu:
Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Ilmu Hukum. (Bandung. Mandar Maju, 2008), hlm. 34.
275
dilakukan secara represif, yaitu upaya penegak hukum kepada siapa yang melanggar
ketentuan-ketentuan
perundangan
yang
berlaku.
Penegakan
hukum
lingkungan
277
pengawasan ini dapat dilakukan secara berkala dan impromptu sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan penegakan hukum secara represif dilakukan terhadap pelaku yang benar-benar
telah melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, baik secara pidana
atau perdata
Pengawasan Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit oleh Badan Lingkungan Hidup
Daerah
Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan
peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengawasan lingkungan hidup merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh Pegawai Negeri yang mendapat surat tugas untuk melakukan
pengawasan lingkungan hidup atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di pusat
atau daerah (KepMen Lingkungan Hidup No.56 tahun 2002)
Adapun tujuan pengawasan lingkungan hidup adalah untuk memantau, mengevaluasi
dan menetapkan status ketaatan penanggungjawab usaha dan atau kegiatan terhadap:
1. Kewajiban yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
2. Kewajiban untuk melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan
sebagaimana tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) atau persyaratan lingkungan yang tercantum dalam izin yang
terkait.
Adapun sasaran pengawasan lingkungan hidup adalah untuk mendapatkan data dan
informasi secara umum berupa fakta-fakta yang menggambarkan kinerja atau status ketaatan
suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian
pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan, serta perizinan yang terkait.
Pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup merupakan salah satu tugas dan wewenang dari pemerintah
daerah sesuai dengan amanat Pasal 63 UUPPLH, Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2009
tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Makassar.
278
279
pengawas lingkungan hidup yang bertugas di BLHD Kota Makassar dari aspek latar
belakang pendidikan maupun jumlah tenaga pengawas.
Tabel 1. Tingkat pendidikan formal tenaga pengawas lingkungan hidup BLHD Kota Makassar
No.
1.
2.
3.
4.
Kualifikasi Pendidikan
Srata dua
Srata Satu
Diploma
SMA dan sederajat
Jumlah
Jumlah
Persentase
2
9
1
2
14,3%
64,3%
7,1%
14,3%
14
100%
Jumlah
9
6
3
5
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah aparat pengawas lingkungan hidup
sebanyak 14 orang dengan rincian latar belakang pendidikan formil yaitu S2 sebanyak
2 orang, S1 sebanyak 9 orang, diploma sebanyak 1 orang dan lainnya sebanyak 2 orang.
Dan sebanyak 9 orang yang telah mengikuti Diklat dibidang Lingkungan Hidup antara
lain Diklat AMDAL, Diklat Air dan Udara, Diklat Limbah B3 dan sisanya sebanyak 5
orang belum pernah mengikuti Pendidikan dan Latihan di bidang Lingkungan Hidup.
Salah satu yang menjadi kendala dalam ketersediaan tenaga pengawas adalah adanya
mutasi pegawai negeri sipil, sehingga tenaga pengawas yang telah dilantik sebagai Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup kemudian mengalami mutasi menyebabkan berkurangnya
tenaga pengawas di BLHD Kota Makassar.
Berdasarkan jumlah tenaga pengawas diatas sebanyak 14 orang sangat tidak
sebanding dengan jumlah usaha ataupun industry yang akan diawasi dan dipantau yaitu
sebanyak 200 buah rumah makan/restoran,188 hotel dan kurang lebih 200 buah industri,
17 buah Rumah Sakit Umum, 14 buah Rumah Sakit Bersalin dan 44 buah Puskesmas
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
281
sehingga pengawasan lingkungan hidup yang optimal belum dapat tercapai. Selain itu
masih terdapat tenaga pengawas yang belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan
di bidang lingkungan hidup, sehingga dapat mempengaruhi kinerja dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai tenaga pengawas.
Pelaksanaan Pengawasan Pengolahan Limbah Cair
Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan
peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengawasan lingkungan hidup merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung oleh Pegawai Negeri yang mendapat surat tugas untuk melakukan
pengawasan lingkungan hidup atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di pusat
atau daerah.8
Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan wawancara dengan nara sumber yang
berkompeten yaitu Kasubid Pengendalian Pencemaran Air, Udara dan Tanah dan Kasubid
Pengawasan Limbah B3 dan Domestik, terdapat 2 jenis pengawasan yang dilakukan BLHD
Kota Makassar terhadap pengolahan limbah cair rumah sakit yang beroperasi dikawasan
kota Makassar, yaitu:
Pengawasan pasif
Pengawasan pasif adalah pengawasan yang bersifat administratif. Pengawasan ini
dilaksanakan dengan cara memeriksa dan membuat tanggapan terhadap laporan hasil
pengawasan dan pemantauan pengolahan limbah cair rumah sakit yang dikirim dari setiap
rumah sakit ke BLHD Kota Makassar setiap enam bulan sekali. Kewajiban rumah sakit
untuk memberikan laporan pengelolaan lingkungan diatur dalam UUPPLH Pasal 68.
Dengan melakukan pengawasan yang bersifat administrasi, akan dapat diketahui profil
pengolahan limbah cair rumah sakit dan riwayat ketaatan rumah sakit dalam memenuhi
ketentuan izin dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun pengawasan yang bersifat pasif ini belum dapat dilakukan dengan optimal.
Hal ini dapat dilihat dengan tidak terdokumentasikannnya riwayat ketaatan rumah sakit
dalam pengolahan limbah cairnya secara lengkap dan rutin pada BLHD Kota Makassar.
Sebagian besar pengelola rumah sakit tidak menyerahkan laporan pelaksanaan pengolahan
limbah cairnya secara periodik. Sehingga hal ini menyebabkan data ketaatan rumah sakit
282
10
283
yang tidak memadai, sehingga tidak semua rumah sakit dapat dilakukan pengawasan dan
pemantuan lingkungan hidup secara berkala 2x setahun tapi hanya beberapa rumah sakit saja.
Sehingga secara umum, frekuensi pengawasan hanya dapat dilakukan maksimal sebanyak
1x dalam setahun untuk setiap rumah sakit. Hasil pengawasan kemudian dilaporkan kepada
Kepala BLHD Kota Makassar, BLHD Propinsi dan Kementrian Lingkungan Hidup setiap
6 bulan.
Baku mutu limbah cair rumah sakit
BLHD Kota Makassar mengukur parameter limbah cair Rumah Sakit mangacu pada
Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria
Kerusakan Lingkungan Hidup. Parameter limbah cair yang ditetapkan dalam Pergub ini
agak lebih ketat dibandingkan dengan parameter limbah cair yang diatur oleh Kementrian
Lingkungan Hidup No 58 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan
Rumah Sakit. Berdasarkan Pergub No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria
Kerusakan lingkungan Hidup lampiran II poin D.2 Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan
RS terdapat beberapa parameter yang wajib dilakukan uji mutu lingkungan dan tidak boleh
melebihi dari batas yang ditentukan (Tabel 3).
Tabel 3. Baku mutu air limbah, berdasarkan Pergub No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan
Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup
No.
1
2
Parameter
FISIKA
- Suhu
KIMIA
- pH
- BOD
- COD
- DO
- NH3 Bebas
- TSS
Mikrobiologi
- MPN Coliform
Satuan
Batas Max
Spesifikasi Metode
30C
SNI 06-6989.23-2005
mg/sL
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
6,0-9,0
30
70
(-)
0,1
30
SNI 06-6989.11-2004
SNI 06-2503.1991
SNI 06-2504.1991
SNI 06-6989.14-2004
Fotometrik
SNI 06-6989.03-2004
Jumlah/100 mL 10.000
IKM/5.4.9/BTKL-MKS
Dalam melaksanakan pengawasan pengolahan limbah cair rumah sakit, BLHD Kota
Makassar tidak melakukan pemeriksaan parameter limbah cair secara lengkap terhadap
semua rumah sakit. BLHD Kota Makassar hanya melakukan pemeriksaan/pengujian
terhadap parameter pH dan DO saja. Adapun rumah sakit yang dilakukan pemeriksaan
parameter baku mutu air limbah secara lengkap yaitu sebanyak 3 rumah sakit saja antara
lain RS Wahidin, RS Pelamonia dan RS Ibnu Sina. Salah satu faktor yang menjadi kendala
284
adalah mahalnya biaya dalam melakukan pengujian parameter limbah cair rumah sakit
dan minimnya peralatan yang dimiliki oleh BLHD Kota Makassar, sehingga pemeriksaan
lengkap dan rutin dengan menggunakan fasilitas laboratorium lingkungan yang terakreditasi
hanya dapat dilakukan untuk 3 rumah sakit saja dari 17 rumah sakit umum tipa A dan B
yang ada. Hal tersebut berakibat tidak dapat dikumpulkannya informasi dan fakta lapangan
yang lengkap dan valid.11
Pengawasan pasif yang belum optimal dan tidak diikuti dengan pengawasan aktif
yang maksimal, menyebabkan BLHD Kota Makassar belum memiliki data/fakta yang
akurat terhadap tingkat ketaatan rumah sakit dalam mematuhi peraturan perundangundangan yang ada. Padahal data dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh tenaga
pengawas dapat digunakan dalam menerapkan sanksi administrasi, perdata maupun pidana,
sehingga validitas data tersebut sangat penting. Sehingga secara tidak langsung hal tersebut
berpengaruh dalam penegakan hukum lingkungan.
Kendala dalam melaksanakan tugas pengawasan antara lain:12
a. Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai dibandingkan
dengan usaha/kegiatan yang akan diawasi. Adanya mutasi pagawai terhadap tenaga
pengawas yang telah mengikuti Diklat Lingkungan Hidup menjadi salah satu penyebab
minimnya jumlah tenaga pengawas lingkungan hidup di BLHD Kota Makassar.
b. Pendanaan yang masih minim. Padahal salah satu kunci pengawasan adalah
pemeriksaan/pengujian terhadap effluent air limbah rumah sakit. Tetapi hal tersebut
belum dilakukan secara optimal karena terkendala oleh mahalnya biaya untuk
melakukan pengujian tersebut.
c. Peralatan pengujian yang tidak lengkap.
d. Masih kurangnya informasi/pemahaman tentang peraturan perundang-undangan
dibidang lingkungan hidup khususnya oleh pengelola rumah sakit.
e. Rendahnya partisipasi masyarakat, terutama dalam mengajukan gugatan ataupun
pengaduan terhadap pencemaran lingkungan hidup disekitar mereka.
Kendala-kendala di atas berakibat secara langsung terhadap belum optimalnya
pelaksanaan pengawasan limbah cair rumah sakit, baik pengawasan yang bersifat pasif
maupun yang bersifat aktif.
Jenis Pelanggaran yang Ditemukan dalam Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit
Berdasarkan data yang diperoleh dari BLHD Kota Makassar sejak tahun 2010 sampai
2013 ditemukan beberapa pelanggaran terkait peraturan yang berlaku yang diantaranya
Wawancara Kasubid Pengendalian Pencemaran Air, Udara, dan tanah tanggal 12 November 2012
Ibid.
11
12
285
Jumlah RSU
16
1
2
15
5
12
2
15
15
2
3
4
5
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 17 rumah sakit umum yang ada
dikota Makassar hampir semua Rumah Sakit Umum Tipe A dab B telah memiliki Instalasi
pengolahan Air Limbah (IPAL). Hanya 1 rumah sakit saja yang belum memiliki IPAL.
Rumah sakit tersebut masih melakukan pengolahan limbah cairnya dengan menggunakan
konsep septictank konvensional.
Walaupun sebagian besar Rumah Sakit Umum yang ada di Kota Makassar telah
memilki IPAL untuk pengolahan limbah cairnya, namun tidak semua instalasi yang dimiliki
itu layak sehingga sebagian besar air limbah yang dibuang ke lingkungan tidak memenuhi
parameter yang telah ditetapkan atau telah melewati baku mutu yang telah ditetapkan
dalam perundang-undangan. Salah satu penyebabnya karena masih minimnya tenaga teknis
IPAL di rumah sakit yang dapat mengontrol operasional IPAL yang ada di rumah sakit . (
wawancara Kasubid Pengendalian Pencemaran Air tanggal 12 Maret 2013).
Setelah IPAL, aturan yang lainnya adalah memasang alat ukur debit harian di bagian
outlet. Namun aturan ini tidak dipatuhi oleh sebagian besar rumah sakit, Selain itu, diwajibkan
pula mempunyai dokumen Izin Pembuang Limbah Cair (IPLC) untuk pembuangan limbah
cair ke lingkungan yang sebelumnya telah memenuhi baku mutu lingkungan. Sedangkan
aturan bagi limbah cair sebelum mencapai IPAL dan setelahnya adalah saluran pembuangan
yang kedap air serta dipisahkan dengan saluran air hujan. Mengingat salah satu hambatan
dalam penegakan hukum salah satunya adalah izin yang lebih mengarah pada penonjolan
kebutuhan administratif.13
13 Muh. Erwin. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup.
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 120.
286
Secara umum, sebagian besar rumah sakit yang beroperasi di Kawasan Kota Makassar
belum memenuhi persyaratan teknis tersebut. Pembuangan limbah cair rumah sakit yang
tidak memenuhi baku mutu ini akan berpotensi mencemari air tanah (air sumur penduduk),
air permukaan (sungai-sungai) serta mencemari laut. Dapatkah dibayangkan bagaimana
kondisi lingkungan kawasan ini untuk waktu yang akan datang setelah terbangun dan
beroperasinya berbagai kegiatan di dalamnya. Padahal menurut Pasal 65 ayat (1) UUPPLH,
ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
Strategi penanganan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh BLHD Kota
Makassar mengacu kepada konsep kebijakan berupa pembinaan. Hal ini sesuai dengan
penjelasan yang disampaikan oleh Kasubbid Pengawasan Limbah B3 dan domestik bahwa
BLHD Kota sebagai salah satu Unit Kerja di lingkungan Pemerintah Kota Makassar
sebaiknya mengedepankan aspek pembinaan dengan penegakan hukum administrasi. Hal ini
sesuai dengan sifat kelembagaan BLHD sebagai aparat birokrasi dan sekaligus memenuhi
asas ultimum remedium sebagaimana dianut oleh UUPPLH, dimana aspek hukum pidana
baru diberlakukan apabila sanksi administrasi dan/atau sanksi hukum lainnya tidak efektif.
Adapun sanksi pencabutan izin usaha belum pernah dilakukan oleh BLHD Kota Makassar,
demikian halnya dengan penjatuhan sanksi perdata maupun pidana.
Kegiatan pegawasan limbah cair di RSUD Labuang Baji
Secara operasional, RSUD Labuang Baji membebaskan rata-rata 140 m air limbah
per hari, dimana 117 m merupakan air limbah umum, dan 23 m merupakan air limbah
klinis/medis. Air limbah yang dibebaskan ini kualitasnya melampaui baku mutu lingkungan
yang berlaku sehingga mempunyai potensi untuk terinfiltrasi/perkolasi dan menyebar lebih
luas ke badan air lain.
Dalam Struktutur Organisasi Badan Pengelola RSUD Labuang Baji, manajemen
Pengelolaan Lingkungan berada pada Sub Bagian Umum/Lingkungan. Tenaga sanitasi di
RSUD Labuang Baji sebanyak 11 orang dengan rincian D3 kesling sebanyak 4 orang,SMA
sebanyak 4 orang, SMP sebanyak 2 orang dan tenaga swakelola sebanyak 2 orang.
Salah satu yang menjadi kendala dalam pengawasan dan pemantauan pengolahan
limbah cair RSUD Labuang Baji menurut Mustamin,Ka.Instalasi Sanitasi RSUD Labuang
Baji, tanggal 13 Maret 2013 adalah minimnya alokasi anggaran khususnya dalam
melaksanakan pemeriksaan berkala terhadap kualitas limbah cair RS, sehingga kegiatan
pemeriksaan berkala terhadap kualitas effluent limbah cair yang seyogyanya dilakukan
minimal 2x setahun hanya dapat dilakukan maksimal sebanyak 1x setahun. Keterlambatan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
287
anggaran yang keluar dan dalam jumlah yang tidak mencukupi merupakan kendala yang
utama dalam melaksanakan pengolahan limbah cair rumah sakit.
Sedangkan pengawasan yang dilakukan BLHD Kota Makassar, hanya dilakukan
sebanyak 1x dalam setahun dan sejauh ini belum pernah memberikan sanksi baik teguran
maupun sanksi administrasi lainnya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak rumah
sakit. BLHD Kota Makassar hanya memberikan masukan dan saran untuk memperbaiki
lagi pengolahan limbah cair rumah sakit.
Berdasarkan data diatas, secara garis besar RSUD Labuang baji belum melaksanakan
pengawasan pengolahan limbah cair secara optimal. Walaupun kualitas air limbah RSUD
Labuang Baji yang dibuang ke lingkungan melampaui batas Baku Mutu Air Limbah
yang ditetapkan dalam peraturan, namun sejauh ini belum pernah ada keluhan ataupun
pengaduan dari warga sekitar rumah sakit yang terkait dengan pencemaran limbah cair
rumah sakit, baik yang disampaikan langsung
PENUTUP
Kesimpulan
Berangkat dari indikator penelitian, sebagaimana yang telah diuraikan pada
pembahasan dan analisis di atas, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pengawasan terhadap pengolahan limbah cair rumah sakit masih belum
berjalan secara efektif baik oleh BLHD, internal rumah sakit dan pengawasan eksternal
oleh masyarakat sekitar rumah sakit. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya tingkat
kepatuhan/ketaatan penanggung jawab rumah sakit terhadap aspek perizinan dan
ketentuan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Hal tersebut berpotensi
cukup besar terhadap pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan
kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya. Banyaknya pelanggaran yang terjadi
terhadap ketentuan perundang-undangan dalam pengolahan limbah cair rumah sakit
menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum melalui upaya yang sifatnya
preventif melalui pengawasan masih belum dapat dilaksanakan secara efektif.
2. Pelaksanaan pengawasan dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, anggaran,
koordinasi dan sikap pengelola lingkungan rumah sakit. Keempat hal tersebut dapat
menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan pengawasan.
Saran
1. Perlunya peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang kompeten
di bidang lingkungan hidup, khususnya tenaga pengawas lingkungan hidup dan
288
289
290
E-mail: rahailemiliana@yahoo.co.id
Abstract
Indonesian positive law now specifically set form of protection against victims of
crime (rape victim) both in the prevention, management and resolution of cases, although
the implementation has not gone up. This study aimed to (1) form of legal protection for
victims of crime of rape in Merauke Regency, (2) Efforts to do to provide legal protection for
victims of crime of rape in Merauke. The experiment was conducted in Merauke. Sampling
was done purposively sampled based on the determination of specific objectives set out in
the study. The data was collected through observations, interviews and documentation.
Data were analyzed with qualitative normative analysis. The results showed that victims of
rape are victims both times (revictimisasi), because there are often blamed and not given
maximum protection. It is important to provide protection for victims of crime and rape are
considering losses due to post-rape victim. Forms of legal protection for victims of crime
(rape) in Merauke Regency can be 1. Provision of adequate space in the Special Service
Police Resort Merauke, 2.adanya assistants from Merauke district government agencies
namely Women Empowerment and Family Planning Merauke and social institutions that
Integrated Service Centre for Women and Children Merauke district that serves accompany
victims and families, 3. Good attitude of law enforcement officers who handle cases of rape
so victims feel comfortable.
Keywords: Form of Protection, Remedy
Abstrak
Hukum positif Indonesia saat ini sudah mengatur secara khusus bentuk perlindungan
terhadap korban tindak pidana kejahatan (korban perkosaan) baik dalam upaya pencegahan,
penanggulangan dan penyelesaian kasus, walaupun dalam pengimplementasian belum
berjalan maksimal. Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) bentuk perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana pemerkosaan di Kabupaten Merauke, (2) Upaya yang
dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
pemerkosaan di Kabupaten Merauke. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Merauke.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu penetapan sampel berdasarkan
tujuan tertentu yang ditetapkan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis dengan analisis normatif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban pemerkosaan menjadi korban
kedua kali (revictimisasi), karena masih sering dipersalahkan dan tidak diberi perlindungan
maksimal. Penting untuk memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
adalah mengingat akibat dan kerugian yang dialami korban pasca perkosaan. Bentuk
perlindungan hukum terhadap korban kejahatan (perkosaan) di Kabupaten Merauke dapat
berupa: 1) Penyediaan fasilitas Ruang Pelayanan Khusus yang memadai di Kepolisian
Resort Merauke; 2) Adanya tenaga pendamping dari instansi Pemerintah Kabupaten
Merauke yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten
Merauke dan lembaga sosial yaitu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Merauke yang berfungsi mendampingi korban dan
keluarga; dan 3) Sikap yang baik dari aparat penegak hukum yang menangani kasus
perkosaan agar korban merasa nyaman.
Kata kunci: bentuk perlindungan, upaya hukum
PENDAHULUAN
Hukum positif Indonesia saat ini sudah mengatur secara khusus bentuk perlindungan
terhadap korban tindak pidana kejahatan, baik dalam upaya pencegahan, penanggulangan
dan penyelesaian kasus, walaupun dalam pengimplementasian belum berjalan maksimal.
Penerapan Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari sudut hukum acara pidana,
kedudukan korban tindak pidana masih sangat pasif karena kepentingannya sebatas
diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Orientasi hukum selama ini selalu ditujukan kepada
penanganan tindak pidana kejahatan untuk mengubah dan memberikan sanksi hukum
kepada para pelanggarnya. Dari keadaan ini terbentuk dua implikasi pokok yaitu kurangnya
perlindungan hukum bagi korban dan putusan Hakim yang kurang memenuhi rasa keadilan
bagi korban, pelaku dan masyarakat.
Kehidupan dan perkembangan sosial dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, banyak
terjadi tindak pidana kejahatan dengan kekerasan terutama kekerasan seksual tindak pidana
perkosaan terhadap perempuan dan anak-anak. Tindak pidana perkosaan cukup mendapat
perhatian dari berbagai pihak yaitu: Pemerintah, masyarakat, terutama Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang berbasis pada masalah sosial terhadap perempuan dan anak-anak,
praktisi dan pemerhati masalah-masalah sosial dengan kekerasan.
Tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan klasik yang termasuk dalam kategori
delik kekerasan yang dilakukan oleh pihak laki-laki untuk melampiaskan nafsu seksual
terhadap korban yaitu perempuan dan anak dengan memanfaatkan kelemahan fisik korban,
situasi dan kondisi yang merugikan pihak korban. Tindakan sewenang-wenang oleh pelaku
terhadap keberadaan dan citra seksual perempuan telah ditempatkan sebagai obyek seksual
laki-laki ternyata berdampak jauh pada kehidupan perempuan. Perempuan terpaksa harus
selalu siap untuk menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan baik secara fisik
maupun secara psikis.
294
Perkosaan merupakan tindak pidana kesusilaan yang meresahkan, kadang kala tindak
pidana ini disertai dengan tindak pidana lain, misalnya pencurian, penganiayaan bahkan
pembunuhan. Modus operandi tindak pidana ini semakin meningkat dari segi kualitas,
kadang dilakukan dengan cara sangat biadab misalnya perkosaan dilakukan di depan
sesama pelaku.
Kerugian yang ditimbulkan tindak perkosaan tidak terbatas pada kerugian fisik saja
melainkan dapat berupa kerugian non fisik, berupa penderitaan yang sangat membebani
kehidupan korban. Akibat tindak pidana perkosaan membuat korban tidak lagi menikmati
kehidupan tenang dan aman. Korban merasa malu, merasa telah dinodai, merasa harga diri
telah dihancurkan, korban selalu dikejar kecemasan dan kekuatiran akan kegadisan yang
hilang dan bisa dipersoalkan oleh suami jika korban menikah.
Korban perkosaan seringkali
tekanan psikologis, juga dalam penyelesaian kasus tindak pidana perkosaan paling banyak
menimbulkan kesulitan baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap
penjatuhan putusan termasuk dalam hal pembuktian pelaku tindak pidana perkosaan karena
pada umumnya peristiwa ini terjadi tanpa kehadiran orang lain. Banyak tindak pidana
perkosaan telah diproses ke pengadilan. Tetapi dalam penyelesaian kasus, pelaku tidak
dijatuhi hukuman maksimal sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPid).
Pasal yang mengatur tentang perkosaan yaitu pasal 285 KUHPid. Unsur-unsur
objektif yang terkandung dalam Pasal 285 KUHPid, yaitu:1
1) barangsiapa;
Menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak
pidana yang diatur dalam pasal 285 KUHPid maka ia dapat disebut sebagai pelaku
dari tindak pidana perkosaan
2) dengan kekerasan atau;
Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan
kekerasan, bahkan didalam yurisprudensi pun tidak dijumpai adanya suatu putusan
kasasi yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk memberikan arti yang setepattepatnya bagi kata kekerasan tersebut.
3) dengan ancaman akan memakai kekerasan;
Tentang apa yang dimaksud dengan ancaman akan memakai kekerasan itu pun,
Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasannya.
Lamintang dkk. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 97.
1
295
4) memaksa;
Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan
dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia
mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian memaksa
seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua
pakaian yang dikenakan oleh wanita itu sendiri. Hal ini kiranya sudah jelas, bahwa
keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari dipakainya ancaman akan
memakai kekerasan oleh pelaku atau oleh salah satu seorang dari para pelaku.
5) seorang wanita;
Bagi kejahatan terhadap kesusilaan, KUHPid telah menyebutkan adanya berbagai
wanita yaitu:
a. Wanita yang belum mencapai umur dua belas tahun pasal 287 ayat (2) kuhpid,
b. Wanita yang belum mencapai umur lima belas tahun pasal 287 ayat (1) kuhpid dan
pasal 290 angka tiga kuhpid,
c. Wanita yang belum dapat dinikahi pasal 288 ayat (1) kuhpid,
d. Wanita pada umumnya. Adapun yang dimaksud dalam pasal 285 kuhpid ialah
wanita pada umumnya.
6) mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan;
Undang-undang mensyaratkan bahwa perbuatan mengadakan hubungan kelamin
yang dipaksakan oleh pelaku harus dilakukan di luar perkawinan.
7) dengan dirinya.
Dimaksud dengan dirinya ialah diri orang yang dengan kekerasan atau dengan
ancaman akan memakai kekerasan telah memaksa korban untuk mengadakan
hubungan kelamin di luar perkawinan
Merujuk pada unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHPid di atas, menurut
Andi Hamzah2 bagian inti delik perkosaan adalah:
1) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Perbuatan yang dilakukan harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
2) Memaksa.
Perbuatan yang dilakukan harus dengan paksa sehingga perempuan itu tidak dapat
melawan dan terpaksa melakukan persetubuhan.
3) Dengan perempuan yang bukan istrinya.
Perempuan yang disetubuhi tersebut bukan istrinya, artinya tidak dinikahi secara sah.
Andi Hamzah. Delik-Delik Tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP. (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), hlm. 15.
2
296
4) Terjadi persetubuhan.
Melakukan persetubuhan, berarti terjadi hubungan biologis antara pembuat dan
perempuan yang dipaksa tersebut.
Walaupun rumusan pasal tersebut tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur
kesengajaan pada pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang pasal 285 KUHPid,
tetapi dengan dicantumkan unsur memaksa dalam rumusan ketentuan pidana dalam pasal
285 KUHPid kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti dimaksudkan
pasal 285 KUHPid harus dilakukan dengan sengaja. Unsur kesengajaan tersebut harus
dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh Hakim pada sidang pengadilan
yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku tindak pidana perkosaan dan oleh Jaksa
Penuntut Umum telah mendakwa pelaku melanggar pasal 285 KUHPid.
Perbuatan memaksa merupakan perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan
menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar
orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya
sendiri.3
Alasan utama yang menyebabkan banyak kasus tindak pidana perkosaan tidak
diketahui atau disembunyikan oleh korban sendiri dan tidak dilaporkan oleh korban atau
keluarga kepada aparat penegak hukum untuk diproses secara hukum dikarenakan korban
merasa malu dan tidak ingin aib dirinya diketahui oleh orang lain dan korban merasa takut
akan ancaman pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut
kepada polisi.
Kondisi ini tentu saja sangat merugikan korban apalagi pada sebagian besar kasus
tindak pidana perkosaan, pelaku selalu menganiaya korban terlebih dahulu. Korban secara
psikologis sangat tertekan sehingga dapat berdampak buruk pada keadaan mental dan
kejiwaan dan juga dapat berpengaruh pada proses penegakan hukum dalam penyelesaian
kasus tersebut untuk mewujudkan rasa keadilan sesuai harapan korban dan masyarakat.
Diharapkan dari pengaduan korban perkosaan, maka kasus dapat terbuka dan segera
dilakukan proses pemeriksaan di tingkat Kepolisian agar korban dapat memperoleh
perlindungan hukum dan rasa keadilan.
Kedudukan korban pada peristiwa pidana sebagai pihak yang mengalami penderitaan
dan kerugian atas perbuatan pelaku, maka berdasarkan hukum positif pihak korban
dapat menuntut kerugian atau meminta ganti rugi terhadap pihak terpidana. Hak korban
tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari
Chazawi Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 63.
3
297
perlindungan terhadap HAM di bidang jaminan sosial. Hal ini merupakan bagian mutlak
yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan sosial, baik oleh
lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif maupun oleh lembaga sosial.
Dibutuhkan perhatian serius dan perlindungan hukum optimal bagi korban tindak
pidana perkosaan. Baik dilakukan melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana
kepedulian sosial tertentu secara terpadu dan terintegrasi terhadap kepentingan korban
tindak pidana perkosaan agar tujuan dari pemerataan keadilan dan kesejahteraan umum
bagi masyarakat dapat tercapai. Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak pidana perkosaan
akan selalu berkembang secara kualitatif maupun kuantitatif dan dapat terjadi dimana saja
dan kapan saja.
Di kabupaten Merauke, tindak pidana perkosaan termasuk tindak pidana yang
meresahkan masyarakat. Tingginya peredaran dan konsumsi minuman keras (miras)
termasuk miras lokal menjadi salah satu penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan.
Lebih buruk lagi bahwa tindak pidana ini menjadi salah satu mata rantai penyebaran
penyakit HIV/AIDS, dimana penderita HIV/AIDS di kabupaten Merauke termasuk dalam
kategori jumlah yang tertinggi di Provinsi Papua.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya
terkait bagaimanakah dasar hukum mengenai pengaturan dan bentuk perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perkosaan di Kabupaten Merauke?
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
di Kabupaten Merauke dilakukan di Kepolisian Resort Merauke, Pengadilan Negeri
Merauke, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke,
Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Merauke.
Tipe Penelitian
Penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap korban dalam tindak pidana
perkosaan menggunakan spesifikasi yaitu deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan.Penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala lainnya.
298
299
perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan (seksual) dapat memperoleh
perlindungan hukum dan rasa keadilan.
Faktor belum dapat diterapkan perlindungan hukum yang maksimal terhadap
korban tindak pidana perkosaan dapat disebabkan oleh penetapan Undang-undang, aparat
penegak hukum, budaya dan adat istiadat masyarakat, masih terbatasnya sarana dan
fasilitas penunjang. Menjadi paradigma dasar bahwa korban perkosaan adalah pihak yang
paling dirugikan, karena Negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi serta
jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban perkosaan sebagaimana
diamanatkan UUD NRI 1945 BAB XA Mengenai HAM.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan merupakan menjadi bagian
dari perlindungan terhadap HAM. Bagi WNI perlindungan HAM dijamin dalam UUD NRI
1945. Rumusan HAM yang masuk dalam UUD NRI 1945 dapat dibagi ke dalam berbagai
aspek, yaitu:
Penting untuk memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan tidak
lepas dari akibat yang dialami korban pasca perkosaan. Korban tidak saja mengalami
penderitaan secara fisik tetapi juga penderitaan secara psikis.
Penderitaan korban tindak pidana perkosaan dalam proses peradilan dapat dibagi
sebagai berikut:
1. Sebelum sidang pengadilan
a. Korban tindak pidana perkosaan menderita secara fisik, mental dan sosial karena
korban berusaha melapor pada polisi dalam keadaan sakit dan tertekan jiwa.
b. Untuk kepentingan pembuktian adanya tindak pidana perkosaan, korban dengan
menahan malu harus menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya kepada
polisi.
c. Korban merasa takut dengan ancaman pelaku. Bila korban melaporkan perbuatan
pelaku, maka korban akan menerima pembalasan.
2. Pemeriksaan dalam sidang pengadilan
Korban tindak pidana perkosaan harus hadir dalam persidangan pengadilan atas ongkos
sendiri untuk menjadi saksi. Korban dalam memberikan kesaksian harus mengulang
cerita mengenai pengalaman pahit dan membuat rekonstruksi peristiwa perkosaan.
Korban dihadapkan pada pelaku sekaligus orang yang dibenci. Selain itu korban harus
menghadapi pengacara pelaku yang berusaha menghilangkan kesalahan pelaku. Jaksa
dalam peradilan pidana, mewakili pihak korban. Tetapi dapat terjadi perwakilan Jaksa
tidak menguntungkan korban. Tidak jarang terjadi bahwa korban menghadapi pelaku
tindak pidana perkosaan yang lebih mampu secara mental, fisik, sosial. Disini perlu
300
disediakan pendamping atau pengacara untuk membela pihak korban tindak pidana
perkosaan.
3. Setelah sidang pengadilan
Korban tindak pidana perkosaan masih menghadapi berbagai macam kesulitan,
terutama tidak mendapat ganti kerugian dari siapapun. Pemeliharaan kesehatan tetap
menjadi tanggungannya. Korban tetap dihinggapi rasa takut akan ancaman dari
pelaku. Ada kemungkinan korban tidak diterima dalam keluarga serta lingkungannya
seperti semula. Penderitaan mental bertambah, pengetahuan bahwa pelaku tindak
pidana perkosaan telah dihukum bukanlah penanggulangan permasalahan.
Setelah mengetahui beratnya penderitaan korban akibat perkosaan, maka sudah
menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada korban (perkosaan)
yang diimplementasikan dalam peraturan perundang- undangan sebagai produk hukum
yang berpihak kepada korban (perkosaan).
Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula
beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks
hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil,
hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Asas-asas yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
a. Asas manfaat
Perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik
materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi
masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana
serta menciptakan ketertiban masyarakat.
b. Asas keadilan
Penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat
mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada
pelaku kejahatan.
c. Asas keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat
yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas
keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak
korban.
d. Asas kepastian hukum
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
301
Tahun
2010
2011
2012
Total
Frekuensi (F)
28
20
27
75
Prosentase (%)
37.3
26.7
36
100
Data pada tabel 1.menunjukkan bahwa perkara perkosaan yang dilaporkan pada
Kepolisian Resort Merauke dari tahun 2010-2012 berjumlah 75 kasus. Masing-masing
berjumlah 28 kasus (37.3 %) pada tahun 2010, 20 kasus (26.7 %) pada tahun 2011 dan 27
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
303
Tahun
2010
2011
2012
Total
Frekuensi (F)
27
20
27
74
Prosentase (%)
36.5
27
36.5
100
Tahun
1-10
4
2
3
9
12
2010
2011
2012
Total
Prosentase (%)
Kelompok Usia
11-20
21-30
22
1
16
2
24
0
62
3
82.7
4
31-40
1
0
0
1
1.3
Jumlah
28
20
27
75
100
Tabel 3 menunjukkan data usia korban perkosaan dari tahun 2010-2012. Masingmasing usia 1-10 berjumlah 9 kasus (12%), usia 11-20 berjumlah 62 kasus (82.7 %), usia
21-30 berjumlah 3 kasus (4 %) dan usia 31-40 berjumlah 1 kasus (1.3 %).
Tabel 4. Data usia pelaku tindak pidana perkosaan
No.
Tahun
1.
2.
3.
2010
2011
2012
11-20
6
5
11
Kelompok Usia
21-30
31-40
14
6
14
1
11
5
41-50
2
0
0
Jumlah
28
20
27
Total
22
39
12
75
Prosentase (%)
29.3
52
16
2.7
100
Tabel 4 menunjukkan data usia pelaku perkosaan dari tahun 2010-2012. Masingmasing usia 11-20 berjumlah 22 kasus (29.3%), usia 21-30 berjumlah 39 kasus (52 %), usia
31-40 berjumlah 12 kasus (16 %) dan usia 41-50 berjumlah 2 kasus (2.7 %)
304
Tabel 5. Data kekerasan terhadap perempuan dan anak pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Keluarga Berencana Kabupaten Merauke
No.
1
2
3
Tahun
2010
2011
2012
Total
Frekuensi (F)
6
6
7
19
Prosentase (%)
31.6
31.6
36.8
100
Tahun
Frekuensi (F)
Prosentase (%)
2012
100
100
Total
Sumber: Data Hasil Olahan 2012
305
pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan
salah satu perwujudan dari perlindungan HAM serta instrumen penyeimbang. Dari
sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan dan keluarganya memperoleh
perlindungan.
Saran
Berdasarkan temuan penelitian di atas, seyogianya aparat penegak hukum dalam
memberi pelayanan dan perlindungan kepada korban perkosaan dapat membantu korban
untuk mendapatkan hak yang dimungkinkan. Selain itu, dibutuhkan upaya dalam
mengoptimalkan fungsi Pusat Pelayanan Terpadu Pelayanan Perempuan dan Anak yang
telah dibentuk oleh Pemerintah Daerah, sehingga tingginya korban perkosaan dapat ditekan
dan selanjutnya dicegah. Dari aspek korban, korban perkosaan sangat membutuhkan
dukungan moril, karena itu peran keluarga, lingkungan dan masyarakat sangat penting
dalam melakukan langkah-langkah pencegahan (preventif).
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2011. Delik-Delik Tertentu (Special Delicten) di dalam KUHP. Jakarta:
Sinar Grafika.
Chazawi Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Lamintang. P.A.F dan Theo. 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma
Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sumber lainnya:
Tim Jaringan Pendokumentasian Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua.
2010, Stop Sudah Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Perempuan Papua
1963-2009. Edisi Laporan 19 April 2010, Merauke.
306
E-mail: audrey_sentosa83@yahoo.co.id
Abstract
Credit home equity loan are loans given by banks to customers for purchase of
land and/or buildings owned in order to pay installments to the bank mortgage lenders.
The research was conducted as an empirical juridical study. The research samples were
obtained by using the purposive sampling method. This study used primary data obtained
from interviews with stakeholders, and secondary data as supporting data obtained from
primary and secondary legal materials. The data were analyzed by using descriptive
qualitative method. The result reveal that unrecorded credit take-over is applicable only
for people who make it (the seller and the buyer). The bank will only consider the seller as
the legitimate bank debtor, so that the buyer as the recipient of the credit take-over will not
obtain adequate legal protection.
Keywords: Credit Agreement, Take-Over
Abstrak
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada
debitur untuk membeli tanah dan/atau bangunan guna dimiliki dengan membayar angsuran
cicilan kepada bank pemberi kredit. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris.
Sampel penelitian ditetapkan dengan purposive sampling. Data yang diteliti meliputi data
primer yaitu data yang diperoleh dari informasi yang di dapat dari hasil wawancara dengan
pihak-pihak terkait, dan data sekunder merupakan data yang mendukung keteranganketerangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari bahan hukum,
yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, data tersebut di analisis secara
deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perjanjian
pengalihan kredit (over kredit) secara di bawah tangan hanya berlaku bagi para pihak
yang membuatnya saja dalam hal ini pihak penjual dan pembeli, di mana pihak bank tetap
hanya mengakui pihak penjual sebagai debitur bank yang sah sehingga pihak pembeli
selaku penerima pengalihan kredit tersebut tidak memperoleh perlindungan hukum yang
kuat.
Kata kunci: Perjanjian Kredit, Pengalihan
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan Iingkungan hidup yang baik dan sehat, yang
merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis
dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun
manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.
Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat
tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Hal mengenai
pembangunan perumahan dan permukiman itu diatur oleh pemerintah dalam suatu peraturan
perundang-undangan tentang Perumahan dan Permukiman, yang mana dimaksudkan
untuk memberikan arahan bagi pembangunan sektor perumahan dan permukiman. Adapun
peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang.
Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh
setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat
yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam
menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat.
Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan
fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu
menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi
daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Adapun realisasi dari pembangunan perumahan dan permukiman dilaksanakan
melalui berbagai program, antara lain Program Perumahan Rakyat, Program Penyediaan
Air Bersih, dan Program Penyehatan Lingkungan Permukiman dan juga dilaksanakan lewat
program penunjangnya yang berupa pengembangan sistem pembiayaan, pengembangan
teknologi perumahan dan permukiman yang memberi dukungan operasional dalam rangka
pembangunan fisik perumahan dan permukiman, serta pemantapan dan peningkatan
kelembangaan maupun penyiapan peraturan perundang-undangan.
Adanya pembangunan ekonomi sudah tentu menimbulkan perubahan sosial
kemasyarakatan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat umum.
310
311
Nasabah KPR yang karena kebutuhan ekonomi atau sebab-sebab lainnya, bermaksud
untuk mengalihkan rumah yang menjadi objek KPR tersebut kepada pihak lain atau disebut
juga pengalihan kredit (over credit). Pengalihan kredit (over credit) artinya mengalihkan
kewajiban untuk melunasi kredit dari pihak satu ke pihak lainnya yang mana dalam praktik
pengalihan kredit (over credit) pemilikan rumah tersebut seringkali dilakukan oleh pihak
debitur kepada pihak lain dengan alasan kondisi keuangan.
Selain hal tersebut di atas, yang juga menjadi alasan bagi debitur untuk melakukan
pengalihan atas objek perjanjian kredit adalah untuk menghindari terjadinya wanprestasi.
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar objek perjanjian kredit tidak disita oleh pihak
bank selaku kreditur. Adapun cara pengalihan yang seringkali ditempuh oleh debitur antara
lain dengan menjual kembali atau mengalihkan apa yang menjadi objek dalam perjanjian
kredit tersebut kepada pihak yang mampu dan berkeinginan untuk melanjutkan pembayaran
angsuran kredit pemilikan rumah tersebut. Meskipun objek perjanjian kredit tersebut masih
dalam agunan bank, yang mana berarti sertipikat sebagai tanda bukti kepemilikan yang sah
atas objek perjanjian kredit tersebut masih berada di bank sampai agunan tersebut lunas.
Selain daripada itu, hal pengalihan ini seringkali juga dilakukan tanpa adanya
persetujuan terlebih dahulu dari bank yang bersangkutan dan dilakukan dengan perjanjian
pengalihan kredit secara di bawah tangan antara para pihak. Padahal dalam prosedur
formal pengalihan kredit pemilikan rumah tersebut harus dilakukan atas sepengetahuan
dan persetujuan terlebih dahulu dari pihak bank.
Baik perjanjian kredit maupun perjanjian pengalihan kredit, keduanya merupakan
bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan tunduk pada hukum perjanjian.
Pada dasarnya suatu perjanjian dibuat untuk lebih memberikan kekuatan hukum dalam
pelaksanaan suatu transaksi. Oleh karena itu, dalam merancang suatu perjanjian yang baik
harus dapat merumuskan segala hak dan kewajiban utama para pihak, objek perjanjian, dan
kaidah-kaidah tentang hal-hal yang harus diantisipasi sebagai akibat hukum yang muncul
dari pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Lembaga hukum over credit sendiri hanya mengacu pada Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak.
Dengan mekanisme over credit pihak Debitur menjual rumah KPR nya kepada pihak
ketiga. Hanya saja rumah (termasuk sebidang tanah tempat berdiri rumah tersebut) yang
dijadikan objek jual beli masih dalam status jaminan (Hak Tanggungan) di Bank.
Sejatinya perjanjian over credit ini memberikan kemudahan bagi pihak yang
melakukan over credit karena dengan mudah mendapatkan rumah dengan harga yang
terjangkau, sekaligus menyelamatkan kelangsungan proses Kredit Pemilikan Rumah yang
312
tentunya berujung pada stabilitas ekonomi. Dalam perjanjian KPR yang dibuat antara bank
dan debitur pengguna fasilitas KPR telah tertuang suatu klausula yang menyebutkan bahwa
setiap peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dengan sepengetahuan bank. Bank
telah menerapkan ketentuan-ketentuan yang sejauh mungkin menghindari adanya peralihan
hak tanpa sepengetahuan bank. Namun ternyata dalam praktik di masyarakat, perjanjian
over kredit atau alih debitur atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tidak selalu melibatkan
pihak Bank (kreditur), masih ditemukan peralihan tanah dan bangunan melalui notaris dan
melalui akta di bawah tangan antara dua pihak yaitu debitur lama dan debitur penerima
pengalihan kredit.
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan
upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit
yang tidak dilunasi oleh debitur baik seluruhnya maupun sebagian akan merupakan
kerugian bagi bank.3 Kerugian dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan
usaha bank. Oleh karena itu, sekecil apa pun nilai uang dari kredit yang telah diberikan
kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum
pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan
ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit, untuk pengamanannya
dapat ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan ketentuan
hukum.4
Praktik over credit dilakukan antara debitur lama selaku penjual dengan debitur
baru selaku pembeli melalui perjanjian pengikatan jual beli di bawah tangan atau dengan
akta Notaris. Pihak pembeli over credit dikuasakan untuk membayar cicilan kepada Bbnk
selaku kreditur tetapi tetap menggunakan atas nama debitur lama. Faktanya, bahwa debitur
baru selaku pihak yang dikuasakan tersebut menggantikan posisi debitur lama untuk
melanjutkan sisa angsuran pada bank namun bank sama sekali tidak mengetahuinya.
Jika dalam pelaksanaanya pihak yang menerima over kredit tidak mengalami kesulitan
dalam pembayarannya maka tidak menimbulkan persoalan, sebaliknya akan menimbulkan
permasalahan jika pihak penerima over kredit dengan sesuatu alasan tidak melakukan
pembayaran cicilan. Dalam kondisi tidak sanggup membayar tersebut setelah beberapa
jangka waktu tertentu sesuai perjanjian, bank mengajukan somasi untuk pembayaran dan
setelah tidak melaksanakan somasi maka bank melakukan permohonan eksekusi melalui
bank atas atau atas kekuasaan sendiri sesuai perjanjian. Umumnya dalam keadaan demikian,
pihak pembeli atau penerima over credit melakukan perlawanan kepada bank dengan alasan
3
4
M. Bahsan, Hukum Jaminan Kredit Perbankan, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2007, Hal.21
Ibid., Hal.105
313
bahwa atas objek tersebut telah dialihkan atau dijual oleh debitur lam amelalui over credit.5
Umumnya pihak bank tetap melakukan eksekusi dengan alasan bahwa peralihan
hak melalui over credit antara debitur lama dengan debitur baru atau pembeli over credit
adalah bertentangan dengan perjanjian KPR. Dalam keadaan seperti ini tentunya tidak ada
perlindungan hukum yang dapat diberikan untuk pembeli over credit, begitupula pihak
debitur lama tidak dapat dilindungi atas perbuatan pengalihan alih debitur tesebut dan pihak
bank berada pada posisi yang menguntungkan oleh karena terdapat klausula yang melarang
alih debitur atas tanah dan/atau bangunan tanpa sepengetahuan bank pemberi kredit.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan sebelumnya, dirumuskan rumusan
masalaha sebagai berukut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah
tangan terhadap keabsahan kepemilikan rumah objek KPR?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum pihak penerima pengalihan kredit dalam
perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah tangan?
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang akan dilakukan adalah di kota Makassar karena kota Makassar
sebagai barometer kegiatan bisnis di Sulawesi dan sebagai gerbang kegiatan perekonomian
di kawasan Indonesia Timur. Sebagai pusat kegiatan bisnis atau perekonomian dan berbagai
macam bank berdiri di Makassar baik bank pemerintah maupun bank swasta juga bankbank asing. Penelitian dilakukan di Bank BTN Cabang Makassar karena Bank BTN sebagai
pelopor bank yang memberikan fasilitas KPR.
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis dan empiris. Pendekatan secara yuridis
karena penelitian ini bertitik tolak dengan menggunakan kaidah hukum yaitu ditinjau
dari sudut hukum perjanjian dan berbagai peraturan perundangan-undangan. Sedangkan
pendekatan secara empiris karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
tentang konsekwensi hukum dari perbuatan over credit tanpa melibatkan bank sebagai
pemberi kredit (kreditur).
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hal.25
5
314
315
tanahnya. Adapun perjanjian kredit tersebut hanya mengikat pihak bank BTN selaku
pemberi pinjaman dan debitur selaku peminjam.
Hasil penelitian mengenai praktik Pengalihan hak kredit/over kredit pada Perumahan
Anging Mamiri Residence khususnya pada tipe rumah sederhana yaitu tipe 46/112 M2
pada periode Oktober-Desember 2012. Dari 20 (dua puluh) responden yaitu konsumen atau
calon nasabah debitur yang akan membeli rumah Perumahan Anging Mamiri Residence
pada tipe rumah sederhana dapat disimpulkan:
1. 85% (delapan puluh lima persen) konsumen membeli pada developer dengan cara
mengajukan Kredit Pemilikan Rumah baik pada PT (Persero) Bank Tabungan Negara
(BTN) atau pada bank swasta yang ada kerjasama dengan developer.
2. 10% (sepuluh persen) membeli secara over kredit dengan menggunakan tata cara
pengikatan jual-beli dan kuasa yang dilakukan dihadapan notaris.
3. 5% (lima persen) over kredit dengan tata cara alih debitur atau novasi subyektif pasif.
Terhadap debitur yang melakukan pengalihan, penjualan atau apapun yang berkaitan
dengan perjanjian kredit tersebut sama sekali tidak dibenarkan oleh bank BTN. Hal ini
dikarenakan perjanjian kredit hanya mengikat pihak bank dan debitur pertama saja. Dengan
demikian, segala bentuk pengalihan, penjualan atau apapun yang dilakukan oleh debitur
pertama terkait dengan perjanjian kredit tersebut yang mana dilakukan tanpa adanya izin
tertulis terlebih dahulu dari bank BTN adalah tindakan wanprestasi dan segala bentuk
tindakan tersebut tidak akan mengikat pihak ketiga yaitu debitur baru. Meskipun sebenarnya
di antara debitur pertama dan debitur baru telah dilakukan suatu tindakan hukum berupa
pengalihan debitur. Sehingga, terhadap tindakan tersebut di atas pihak bank hanya akan
tetap menganggap debitur pertama yang melakukan perjanjian kredit dan perjanjian kredit
tersebut tidak berlaku bagi pihak ketiga atau debitur baru.
Dasar bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian
dikuatkan dengan adanya Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: Perjanjian
hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya. Jadi dalam hal ini tidak mengikat
pihak ketiga yaitu pihak yang menerima pengalihan kredit dari debitur pertama, karena
perjanjian dalam KPR hanya mengikat pembeli (debitur) pertama dengan bank dan tidak
mengikat pembeli secara di bawah tangan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak bank.
Menurut Dino Irwin Tengkano,6 pengalihan kredit yang dilakukan debitur secara di
bawah tangan seringkali terjadi di lingkungan masyarakat dalam praktik perbankan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena debitur terbentur masalah keuangan
sehingga debitur tersebut tidak sanggup lagi untuk melunasi dan membayar angsuran
316
atau cicilan kredit KPR tiap bulannya sesuai yang telah diperjanjikan dengan pihak bank
pemberi kredit.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan dengan cara alih debitur secara di bawah
tangan antara para pihak tanpa melibatkan notaris terdapat beberapa keuntungan dan
kelemahan yaitu:
1. Keuntungannya:
a. Prosesnya lebih mudah dan cepat.
b. Biaya relatif lebih murah.
c. Suku bunga dan angsuran tetap/tidak berubah.
2. Kelemahannya:
a. Pada prinsipnya secara legalitas (dari segi hukum) tidak dapat dibenarkan, sebab
pengalihan hak atas sesuatu yang masih menjadi agunan Bank, tanpa sepengetahuan
pihak Bank yang bersangkutan dari segi hukum tidak dapat dibenarkan.
b. Apabila kreditnya lunas maka sertipikat (agunan) hanya dapat diserahkan oleh
pihak Bank kepada pihak I (penjual), karena sertipikat masih atas nama pihak I.
Kecuali pihak pembeli dapat menunjukkan kepada pihak Bank surat kuasa secara
notariil dari pihak penjual untuk pengambilan sertipikat tersebut.
c. Apabila pihak I meninggal dunia, maka dimungkinkan ahli warisnya akan tetap
mengakui bahwa tanah dan rumah tersebut masih menjadi haknya, meskipun pihak
pembeli menunjukkan bukti kuitansi pembayaran. Dan apabila hal ini diproses
secara hukum (gugatan) maka pihak ahli waris mempunyai kekuatan hukum yang
lebih kuat.
d. Apabila debitur lama (penjual) tidak beritikad baik dan datang ke bank untuk
melunasi sisa kreditnya, maka bank akan menyerahkan sertipikat rumah yang
telah dijual kepada yang bersangkutan.
Pengalihan kredit pada Bank BTN yang dilakukan secara di bawah tangan dapat
diartikan merupakan suatu tindakan pengalihan kredit (over kredit) yang dilakukan hanya
di antara para pihak saja dan tanpa sepengetahuan pihak bank. Tindakan tersebut oleh bank
dianggap sebagai tindakan hukum sepihak dan karenanya pihak bank pemberi kredit, dalam
hal ini Bank BTN tetap mengakui pihak debitur pertama sebagai pihak yang terikat dengan
perjanjian kredit tersebut. Akibatnya muncul risiko yang besar bagi pihak debitur yang
menerima pengalihan. Hal ini dikarenakan segala sesuatu mengenai objek dan pemilikan
rumah yang menjadi agunan dalam perjanjian kredit serta semua data yang masih disimpan
oleh bank pemberi kredit terkait dengan perjanjian kredit tersebut masih tetap tertulis dan
terdaftar atas nama debitur yang mengalihkan.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
317
Hal-hal yang menjadi alasan terjadinya penggantian debitur dalam pengalihan kredit
(over kredit) tersebut di atas, antara lain:
a. Keluarga dari debitur lama, yang lebih mampu untuk dapat membayar dan
melunasi pembayaran angsuran atau cicilan kredit KPR yang telah tertunggak
oleh debitur lama;
b. Debitur baru merasa pernah berhutang budi pada debitur lama dan dengan
sukarela menyediakan diri untuk menggantikan debitur lama dalam memenuhi
kewajibannya terhadap bank pemberi kredit;
c. Karena masih kurangnya kesadaran masyarakat akan akibat yang ditimbulkan dari
dilakukannya pengalihan kredit secara di bawah tangan.
Hal ini tentu saja mempengaruhi keberadaan sertipikat yang diberikan oleh Bank
BTN dalam proses KPR tersebut di mana sertipikat masih tertulis atas nama debitur
pertama. Pencantuman nama pada sertipikat tersebut disesuaikan dengan perjanjian kredit
yang dilakukan oleh pihak debitur pertama dengan pihak bank. Yang mana pihak bank
hanya mengetahui dan mengenal debitur yang melakukan perjanjian kredit dengan Bank
BTN. Sedangkan, peralihan hak atau balik nama sertipikat sebagai bukti kepemilikan hak
dari debitur pertama kepada debitur yang menerima pengalihan secara di bawah tangan
tidak dapat dilaksanakan, karena peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan apabila
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Hal tersebut diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan
hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat dari pengalihan kredit yang dilakukan secara di bawah tangan tersebut maka debitur
yang menerima pengalihan kredit yang sudah melunasi angsuran kreditnya dan bermaksud
untuk mengambil sertipikat objek KPR yang masih disimpan oleh bank pemberi kredit serta
melakukan balik nama ke atas nama pihak debitur yang menerima pengalihan, diperlukan
suatu surat kuasa yang dibuat di hadapan Notaris untuk memperoleh kepastian hukum.
Dalam praktiknya, mengenai perjanjian pengikatan jual beli dan surat kuasa
merupakan suatu kesatuan akta yang dibuat oleh Notaris dalam rangka kepastian hukum
mengenai pengalihan hak kredit atau pelimpahan kewajiban angsuran kredit di antara para
pihak. Selain akta tersebut, Notaris juga membuat suatu surat kuasa dari pihak debitur
pertama kepada pihak debitur yang menerima pelimpahan kewajiban, yang mana surat
318
319
angsuran dari debitur pertama. Akibat dan permasalahan yang harus dihadapi oleh pihak
debitur penerima pengalihan kredit tersebut, antara lain:
1. Terjadinya wanprestasi pada debitur. Tindakan debitur pertama untuk mengalihkan
kreditnya atau melimpahkan kewajiban angsurannya kepada pihak lain merupakan
salah satu cara yang sering ditempuh guna menghindari terjadinya wanprestasi pada
debitur tersebut. Debitur pertama berusaha mencari jalan keluar dengan menjual
atau mengalihkan kewajiban angsuran kreditnya kepada pihak lain yang dianggap
sanggup untuk melanjutkan angsuran kreditnya. Apabila pengalihan kredit dilakukan
sesuai dengan peraturan bank pemberi kredit, maka segala permasalahan yang
timbul dapat diselesaikan secara prosedural dari bank pemberi kredit, yaitu menjadi
tanggung jawab debitur penerima pengalihan itu sendiri. Namun, dalam praktiknya
yang sering terjadi adalah sebagian masyarakat masih menggunakan cara pengalihan
kredit secara di bawah tangan yaitu hanya dilakukan di antara para pihak, yang mana
berarti segala risiko yang timbul masih melibatkan pihak debitur pertama yang terikat
dengan pihak bank.
2. Kerugian-kerugian yang diderita oleh debitur. Perjanjian kredit, khususnya perjanjian
kredit dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) apabila ditinjau dari peraturan perbankan
sangat merugikan debitur, dimana dalam perjanjian kredit yang merupakan kontrak
atau perjanjian baku, terdapat klausula yang secara tidak terinci ditentukan oleh
pihak bank, yaitu:
- Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam
hal penjualan barang agunan karena kredit debitur macet.
- Nasabah debitur diwajibkan untuk tunduk pada segala peraturan yang telah ada
dan yang masih akan ditentukan kemudian oleh bank.
- Nasabah debitur harus memenuhi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada
bank untuk melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank.
- Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan
ganti rugi yang diderita oleh debitur sebagai akibat dari tindakan tersebut.
- Kelalaian debitur dibuktikan secara sepihak oleh pihak bank semata-mata.
- Penetapan dan perhitungan bunga bank yang seringkali merugikan debitur.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas menyebabkan kedudukan debitur
menjadi semakin lemah. Hal ini dikarenakan bilamana terjadi hal seperti kredit macet
ataupun ketika agunan tersebut laku terjual maka pihak bank masih tetap meminta kehadiran
debitur pertama untuk menerima sisa pengembalian uang atau pembayaran. Sedangkan,
pihak debitur penerima pengalihan kredit tidak dapat menerima uang pengembalian
320
tersebut karena tidak ada kuasa untuk melakukan penerimaan atau pengembalian uang.
Selain kerugian-kerugian yang terkait dengan agunan dan kepemilikan rumah yang
tidak jelas, pihak debitur penerima pengalihan kredit juga mengalami beberapa kerugian
lainnya, antara lain yaitu:
a. Bilamana mengalami wanprestasi, tidak dapat mengalihkan lagi baik secara di bawah
tangan atau melalui alih debitur.
b. Tidak dapat melakukan penjualan agunan secara di bawah tangan.
c. Alternatif penyelesaian dengan pihak bank apabila rumah tersebut sampai disita atau
masuk dalam Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dan Badan Urusan Piutang
Lelang Negara (BUPLN), maka tetap harus menghadirkan debitur pertama untuk
menerima pengembalian uangnya dari bank, sedangkan pihak debitur pertama
kadangkala sulit untuk ditemui, atau telah meninggal dunia atau bahkan tidak
diketahui tempat tinggalnya yang terakhir.
d. Tidak dapat memanfaatkan fasilitas asuransi yang terkait dengan agunan rumah
tersebut.
e. Jangka waktu kredit dan pelunasan yang lama menyebabkan tarif pajak menjadi
semakin tinggi. Pajak tersebut antara lain yang terkait dengan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang mana harus menanggung pajak penjual
dan pembeli.
Kerugian yang paling fatal dari kerugian-kerugian tersebut di atas yang harus diderita
oleh debitur penerima pengalihan kredit adalah bilamana telah masuk dalam kategori
Non Performance Loan dari bank, sehingga bank akan mengambil tindakan-tindakan,
berupa penyitaan aset atau agunan ataupun perintah pengosongan dengan segera. Hal-hal
tersebut dapat dilakukan oleh pihak bank, dengan alasan bahwa rumah KPR tersebut masih
merupakan agunan bagi pihak bank dan karenanya pihak bank berhak untuk memperlakukan
agunan tersebut sesuai dengan peraturan perbankan.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak dan kewajiban dari debitur KPR adalah
berbanding terbalik dengan hak dan kewajiban bank yang termuat dalam perjanjian kredit
rumah KPR. Perlu ditegaskan di sini bahwa dalam perjanjian kredit rumah KPR, hak dan
kewajiban debitur terdiri atas penyerahan tanah dan bangunan (rumah) yang dibiayai
sebagai jaminan bank dan diikat dengan Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (5) huruf b, c dan d perjanjian kredit bank BTN, terhadap
objek jaminan tersebut ditegaskan bahwa debitur tidak diperkenankan untuk menyewakan
kepada pihak lain, dijual atau dengan cara apapun juga dibebankan atau dialihkan kepada
pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pihak bank, walaupun perjanjian pengalihan kredit
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
321
ini merupakan bentuk perjanjian yang berkembang dalam masyarakat saat ini.
Akan tetapi mengingat objek pengalihan kredit disini adalah bangunan (rumah),
maka para pihak juga harus mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perumahan. Hal ini penting agar transaksi yang dilakukan tidak akan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Adapun peraturan perundang-undangan
yang dimaksud adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Permukiman.
Terkait dengan Hak Tanggungan atas objek jaminan dalam KPR tersebut di atas,
maka salah satu bidang hukum yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan
tindakan hukum pengalihan kredit (over kredit) adalah hukum jaminan. Pemberian fasilitas
kredit memang memerlukan jaminan keamanan bagi pemberi kredit. Secara hukum, jaminan
berfungsi untuk menutup hutang debitur jika debitur wanprestasi. Dengan demikian,
jaminan merupakan salah satu unsur penting sekaligus sarana perlindungan hukum bagi
bank BTN (kreditur) dalam menjamin pelunasan hutang debitur.
Lembaga jaminan memang banyak bentuknya dan salah satunya adalah Hak
Tanggungan. Keberadaan lembaga jaminan berupa Hak Tanggungan sangatlah penting
terutama jika dilihat dari objek Hak Tanggungan itu sendiri yaitu tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah.
Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah atau dikenal
sebagai Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1
UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hak tanggungan pada
dasarnya merupakan salah satu bentuk hak jaminan. Selain terkait dengan hak jaminan, hak
tanggungan juga terkait dengan aspek lain, yakni perkreditan dan perlindungan hukum bagi
para pihak yang terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hak tanggungan pada
dasarnya mengandung 3 (tiga) aspek yaitu hak jaminan atas tanah, kegiatan perkreditan dan
perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.7
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2, cet. 3,
Ind-Hill Co, Jakarta, 2009, hal.142
7
322
Dengan demikian, perbuatan hukum berupa pengalihan kredit terkait erat dengan
Hak Tanggungan. Hal mana terlihat dari status rumah KPR (yang biasanya berstatus HGB)
merupakan hak jaminan yang dibebani hak tanggungan oleh Bank BTN pada hak atas tanah
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu
untuk pelunasan hutang tertentu (kredit KPR), yang mana memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada bank BTN terhadap kreditur-kreditur lain. Oleh karena itu, debitur
pertama yang melakukan pengalihan kredit rumah kepada debitur lainnya (penerima
pengalihan) sebenarnya secara hukum tidak dapat begitu saja melakukan pengalihan kredit
secara di bawah tangan. Hal ini dikarenakan rumah sebagai objek jaminan tersebut masih
berstatus KPR yang juga dibebani dengan Hak Tanggungan.
Perlindungan Hukum Debitur dan Bank sebagai Kreditur atas Objek KPR
Pembelian rumah KPR melalui pengalihan kredit yang dilakukan secara di bawah
tangan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan jual beli. Jual beli merupakan suatu
bentuk perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban atau perikatan untuk memberikan
sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kepada pembeli kebendaan
yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Jual beli tanah dan bangunan melalui pengalihan kredit yang dilakukan secara dibawah
tangan melekat 2 (dua) dimensi hukum yaitu hukum kebendaan dan hukum perjanjian.
Dengan demikian, pelaksanaan pengalihan harus memperhatikan 2 (dua) dimensi hukum
tersebut. Debitur yang mengalihkan kredit dan debitur yang menerima pengalihan kredit
rumah KPR, masing-masing bertindak selaku penjual dan pembeli memiliki hak dan
kewajiban. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan dokumen-dokumen agunan kredit,
sedangkan pihak pembeli berkewajiban untuk melanjutkan pembayaran harga agunan
yang telah disepakati.
Pasal 1457 KUH Perdatamenegaskan bahwa:
Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan.
Penjualan rumah KPR dengan cara pengalihan kredit, merupakan perbuatan hukum
jual beli adalah perjanjian yang bersifat konsensual, yang mengandung konsekwensi
debitur yang menerima pengalihan kredit (pembeli) terikat dengan kewajiban untuk
membayar harga pembelian, sedangkan debitur yang mengalihkan kredit (penjual) terikat
untuk menyerahkan kebendaan berupa rumah KPR yang dijual tersebut.8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Jual Beli, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.125.
323
Sebagai suatu bentuk penguasaan atas rumah, hak harus diimbangi dengan
kewajiban. Yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan
oleh seseorang. Hak dan kewajiban memiliki hubungan yang erat di mana hak senantiasa
mencerminkan kewajiban dan demikian pula sebaliknya. Hak tidak untuk digunakan oleh
pemiliknya secara mutlak, akan tetapi harus digunakan dalam menjalankan peran sosialnya
guna kepentingan masyarakat pada umumnya.
Mengingat adanya hubungan yang erat antara hak dan kewajiban maka para pihak
yang memiliki hak seringkali juga dibebani dengan kewajiban. Hal ini berlaku pula terhadap
debitur yang penerima pengalihan dan debitur yang mengalihkan kepemilikan rumah objek
KPR secara di bawah tangan dalam rangka menjalankan perannya masing-masing.
Pada dasarnya alih debitur objek KPR di Bank BTN tidak dilarang sepanjang sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan bank pemberi kredit atau sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku dalam hal ini aturan hukum yang berkaitan dengan jual beli maupun
ketentuan lainya yang berkaitan dengan hak tanggungan.
Beberapa langkah yang paling ideal dalam melakukan pengalihan kredit di bawah
tangan yaitu:
a. Sebelum terjadinya pengalihan kredit secara di bawah tangan, debitur pertama diberi
kesempatan untuk menyelesaikan segala kewajibannya terlebih dahulu, terutama
yang terkait dengan pembayaran angsuran kredit yang wajib dibayar setiap bulannya
kepada pihak bank. Itikad baik debitur selaku pihak yang melakukan perjanjian
kredit dengan bank pemberi kredit sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan segala
sesuatu yang menjadi kewajibannya.
b. Pembeli (debitur baru) sebaiknya melakukan balik nama sertipikat melalui proses
alih debitur secara resmi. Alih debitur tersebut dapat dilakukan dengan membuktikan
terlebih dahulu keabsahan perjanjian tersebut dan apabila perjanjian tersebut dapat
terbukti, maka proses alih debitur dapat dilaksanakan di hadapan pejabat yang
berwenang.
c. Memberikan informasi yang jelas dan terperinci mengenai segala risiko yang dapat
merugikan pembeli (debitur baru). Risiko tersebut dapat berupa proses panjang
yang harus dipenuhi dalam melakukan proses balik nama sertipikat dan surat Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB).
d. Apabila pembeli (debitur baru) telah melunasi seluruh kewajiban hutang atas nama
debitur pertama dan telah menerima pernyataan lunas dari bank maka debitur baru
pada waktu akan mengambil dokumen-dokumen seperti sertipikat dan IMB harus
dapat menunjukkan Akta Notaril yang didalamnya menyatakan bahwa telah terjadi
324
pemindahan dan pengalihan hak atas rumah KPR dari debitur pertama kepada debitur
baru yang menerima pengalihan kredit tersebut. Kemudian kepada debitur baru akan
diberikan kuasa guna pengambilan dokumen-dokumen terkait seperti sertipikat dan
IMB dari pihak Bank BTN.
Segala hal mengenai surat jual beli secara di bawah tangan yang dibuat antara debitur
pertama dan debitur baru harus mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri. Bilamana
debitur baru tidak dapat memenuhi hal tesebut diatas, maka proses penyelesaian dilakukan
melalui Pengadilan Negeri. Bank sama sekali tidak mengizinkan seorang debitur untuk
mengalihkan over credit secara dibawah tangan oleh debitur yang terikat perjanjian kredit
dengan bank, dengan demikian bank menganggap bahwa kehadiran debitur baru selaku
pembeli dibawah tangan sama sekali tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat
perjanjian kredit dengan seorang debitur.
Tidak ada perlindungan hukum apapun yang dapat diberikan terhadap pembeli
dibawah tangan terhadap objek jaminan yang terikat perjanjian kredit dengan bank dengan
alasan sebagai berikut:
a. Tanah dan bangunan objek jaminan KPR adalah obyek jaminan yang terikat Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang KPR debitur.
b. Dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) telah diperjanjikan bahwa debitur
dilarang untuk mengalihkan dan atau melepaskan haknya atas obyek jaminan tanpa
seizin dan persetujuan pihak bank selaku kreditur.
c. Jika terjadi pengalihan rumah KPR secara di bawah tangan maka debitur telah
melakukan wanprestasi terhadap perjanjian yang telah disepakati bahkan lebih jauh
debitur telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni tanpa hak telah melakukan
perbuatan yang dapat merugikan pihak lain;
d. Peralihan hak atas tanah terjadi dengan ditandatanganinya akta peralihan hak atas
tanah di hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), sehingga apabila peralihan hak atas tanah dilakukan secara di bawah tangan
adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Sehingga secara
hukum debitur lama adalah tetap sebagai pemilik yang sah atas tanah dan bangunan
objek jual beli dibawah tangan tersebut.
Oleh karena perjanjian jual beli di bawah tangan terhadap objek jaminan KPR tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka seorang pembeli akan mengalami
hambatan dalam proses pengambilan sertifikat pada bank yang terikat hak tanggungan oleh
karena berdasarkan perjanjian kredit bank hanya memberikan sertifikat kepada debitur yang
terikat perjanjian kredit. Kesulitan akan dihadapi oleh pembeli dibawah tangan apabila
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
325
penjual tidak bersedia atau tidak ada itikad baik untuk menghadap bank atau tidak lagi
diketahui keberadaanya. Dengan demikian perlindungan hukum bagi debitur pembeli over
credit di bawah tangan tersebut sangat lemah.
Terdapat 2 (dua) permasalahan pokok dalam pembelian tanah dan bangunan over
credit secara dibawah tangan yang akan dihadapi pembeli adalah sebagai berikut:
1. Debitur telah melunasi utang KPR kepada bank tetapi sertifikat tidak diserahkan oleh
bank karena debitur selaku pembeli over credit tidak terikat perjanjian kredit atau
bukan pihak dalam perjanjian kredit dengan bank.
2. Debitur baru tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun atas objek yang
dibelinya termasuk mengalihkan atau menjual atau dijadikan objek jaminan kredit
karena tidak ada alas hak apapun yang bersifat otentik yang mendukung perbuatan
hukum tersebut.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, pihak pembeli over credit tidak ada pilihan lain
selain melakukan gugatan dihadapan Pengadilan Negeri dengan menggugat debitur lama
dan bank untuk menyerahkan sertifikat hak milik atas tanah dan bangunan yang dibelinya
tersebut dengan dasar perjanjian jual beli dibawah tangan tersebut.
Jika pengadilan memutuskan bahwa jual beli tersebut adalah sah dan pembeli sebagai
pembeli yang beritikad baik serta bank dihukum untuk menyerahkan sertifikat tersebut
kepada penggugat maka akan memudahkan pembeli untuk mengambil setifikat tersebut
pada bank dan bank tidak mengalami kesulitan untuk menyerahkan sertifikat kepada bank
dengan dasar putusan tersebut, dengan demikian ini adalah bentuk perlindungan hukum
kepada pembeli. Namun sebaliknya jika pengadilan memutuskan:
1. Jual beli tersebut adalah tidak sah atau tidak berkekuatan hukum.
2. Menyatakan penjual adalah penjual yang tidak benar atau beritikad buruk (setelah
dalam pertimbangannya bahwa objek jual beli antara Penggugat dan Tergugat terikat
jaminan KPR).
3. Menyatakan pembeli objek KPR adalah pembeli yang ceroboh.
4. Menyatakan tindakan bank tidak menyerahkan sertifikat atas nama Tergugat (Penjual)
kepada Penggugat adalah beralasan hukum.
Dalam praktiknya, terdapat putusan pengadilan bahkan telah menjadi jurisprudensi
yang membatalkan transaksi jual beli dalam masyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam
beberapa jurisprudensi sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1816K/Pdt/1989 tanggal 22-10-19929 yang
menyatakan bahwa:
9
326
Pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai yang beritikad baik, karena pembelian
dilakukan dengan ceroboh, ialah pada saat pembelian ia sama sekali tidak meneliti
hak dan status para penjual atas tanah terperkara. Karena itu ia tidak pantas dilindungi
dalam transaksi itu.
2. Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 380K/Sip/1975 tanggal 15-4-197610 yang
menyatakan bahwa:
Untuk sahnya perjanjian jual beli tanah diperlukan syarat terang dan penguatan dari
pejabat yang berwenang.
Apabila pengadilan telah memutuskan seperti tersebut di atas, dengan menolak
gugatan penggugat maka penggugat atau pembeli over credit dibawah tangan akan terus
mengalami kesulitan dan tidak ada kepastian hukum atas tanah yang dibelinya tersebut
selain tetap berusaha menghadirkan debitur lama dihadapan bank. Sedangkan perlindungan
hukum bagi bank selaku kreditur adalah terdapat pada perjanjian KPR dan Ketentuan
Undang-Undang Hak Tanggungan.
Pasal 14 ayat (5) Perjanjian Kredit Bank BTN11 secara tegas menentukan bahwa
pihak debitur dilarang untuk menjual, menegalihkan, menghibahkan atau menukar atau
tindakan apapun yang bermaksud mengalihkan objek jaminan yang tersebut perjanjian ini
tanpa sepengetahuan kreditur.
Pasal 14 ayat (5) Perjanjian Kredit Bank BTN, dengan ditanda tanganinya perjanjian
ini maka debitur berdasarkan perjanjian ini tidak diperkenankan atau dilarang untuk
melakukan jual beli, tukar menukar, menghibahkan atau tindakan apapun yang bermaksud
mengalihkan tanah dan bangunan tersebut dalam perjanjian ini kepada pihak lain tanpa
sepengetahuan atau dengan cara apapun tanpa seiizin kreditur, jika debitur dengan sengaja
dan tanpa alasan apapun juga mengingkari perjanjian ini maka perbuatan tersebut apapun
bentuknya adalah batal demi hukum dan bank dapat melakukan tindakan segera untuk
mengsongkan objek jaminan KPR ini setelah diberitahukan kepada debitur secara patut.
Dengan demikian, nyata bahwa bank tidak memberikan celah apapun atau bahkan
dilarang untuk melakukan transaksi jual beli objek jaminan KPR tanpa melibatkan bank
atau Notaris, hal ini membawa akibat hukum bahwa tidak ada perlindungan hukum
apapun kepada pembeli selain mengajukan gugatan dihadapan pengadilan yang tentunya
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Selain perlindungan sebagaimana
klausula perjanjian KPR tersebut, bank selaku kreditur juga dilindungi dengan UndangUndang Hak Tanggungan.
10
11
Ibid.,
Perjanjian KPR Bank BTN
327
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT memberikan hak istimewa (privilege)
atau memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit
de preference) dalam tangan siapa pun obyek itu berada (droit de suite).12
Pasal 7 UUHT menyebutkan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya
dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada yang berarti bahwa hak itu terus mengikuti
bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada walaupun telah
dialihkan kepemilikannya.
Pengalihan hak atas rumah dan tanah secara hukum baru terjadi apabila telah
dilakukannya jual beli yang aktanya dibuat dengan Akta PPAT dan kemudian ada balik
nama sertipikat menjadi atas nama pembeli. Dengan demikian, rumah itu masih milik
debitur yang menjadi jaminan hutangnya kepada Bank.
Jual bel rumah KPR di Bank BTN secara di bawah tangan oleh debitur yang belum
melunasi hutangnya, merupakan suatu perbuatan melawan hukum karena rumah KPR
itu merupakan benda jaminan hutang debitur kepada Bank BTN, sehingga Bank BTN
dapat menuntut debitur untuk memberikan ganti kerugian dan segera melunasi seluruh
sisa hutangnya. Penjualan rumah KPR di bawah tangan oleh debitur, tidak menghapuskan
kewajiban debitur untuk melunasi hutangnya kepada Bank BTN.
Bank BTN sebagai pemegang jaminan dapat melakukan pembatalan atas jual beli
rumah KPR oleh oleh debitur lama yang dilakukan di bawah tangan. Surat jual beli yang
dibuat di bawah tangan dalam arti tidak melalui Pejabat Umum (PPAT) tidak dapat dipakai
sebagai alat balik nama sertifikat dari debitur lama kepada debitur baru. Karena akta jual
beli di bawah tangan tidak dapat digunakan sebagai alas hukum balik nama sertipikat,
maka dapat dikatakan jual beli tanah itu belum pernah terjadi.
Tindakan penyelamatan kredit apabila diketahui terjadi alih debitur dibawah tangan
atas objek KPR sebagai berikut:
a. Bank dapat memperingatkan kepada debitur segera melunasi seluruh sisa hutang sebab
meskipun rumah KPR telah dialihkan/dijual, secara hukum tidak menghilangkan
kewajiban debitur, dengan kata lain debitur tetap bertanggung jawab untuk melunasi
hutangnya.
b. Tindakan atau perbuatan debitur dengan menjual rumah KPR, tanpa seizin bank,
bank sebagai pemegang jaminan rumah KPR, dapat membatalkan penjualan rumah
tersebut, jika bank menghendaki. Secara yuridis, sebenarnya belum pernah terjadi
jual beli, karena untuk sahnya jual beli (berikut rumah), harus ada akta jual beli dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
12
328
13
329
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pada dasarnya alih debitur objek KPR di Bank BTN tidak dilarang sepanjang sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan bank pemberi kredit atau sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku dalam hal ini aturan hukum yang berkaitan dengan
jual beli maupun ketentuan lainya yang berkaitan dengan hak tanggungan. Namun,
pelaksanaan perjanjian jual beli rumah secara over kredit (alih debitur) melalui Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) Bank BTN hanya mengakui atau mengenal 2 (dua) cara,
yaitu melalui Bank BTN secara resmi atau melalui Notaris, sedangkan alih debitur
melalui perjanjian di bawah tangan tidak diakui karena tanpa melibatkan bank BTN
atau tanpa melibatkan pejabat yang berwenang seperti Notaris.
2. Perjanjian pengalihan kredit (over credit) secara di bawah tangan hanya berlaku bagi
para pihak yang membuatnya saja dalam hal ini debitur yang mengalihkan kredit dan
debitur yang menerima pengalihan kredit, pihak bank tetap hanya mengakui debitur
pertama yang mengajukan proses KPR di bank yang sah, sehingga debitur penerima
pengalihan kredit tersebut tidak memperoleh kepastian dan perlindungan hukum
oleh karena debitur penerima pengalihan kredit tidak mempunyai hubungan hukum
dengan bank. Oleh karena itu, perjanjian pengalihan kredit hendaknya dilakukan
secara resmi atau dengan akta notariil sehingga debitur penerima pengalihan kredit
memperoleh kepastian dan perlindungan hukum berdasarkan perjanjian over kredit
tersebut. Demikian pula dengan peran seorang Notaris yang harus dapat memberikan
saran dan masukan kepada debitur yang mengalihkan kredit maupun pihak penerima
pengalihan kredit agar perjanjian pengalihan kredit (over credit) tersebut dibuat
secara notariil dan dalam bentuk akta otentik.
Saran
1. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan secara over credit melalui Bank BTN
diharapkan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama sehingga masyarakat yang
berminat membeli tanah dan bangunan secara over credit tdak menganggap sebagai
suatu hambatan, begitupula agar masyarakat pembeli objek KPR secara over credit
agar dilakukan melalui proses resmi yaitu melalui bank pemberi kredit atau melalui
notaris agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami hambatan dan masyarakat
mendapat kepastian hukum apabila terjadi masalah dengan debitur lama atau debitur
baru dikemudian hari.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
331
332
Biodata Penulis
Rudy Susanto, S.Si., Apt
Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Farmasi Univerisitas Achmad Dahlan,
Yogyakarta tahun 2002. Menempuh pendidikan Profesi Apoteker pada tahun 2003.
PNS pada Dinas Kesehatan Kota Singkawang. Alamat instansi: Jl. Alianjang No. 11,
Kec. Singkawang Barat, 79112, Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
E-mail: reyvio@yahoo.com
Prof. Dr. Faisal Abdullah, S.H., M.S., DFM
Lahir di Pare-Pare, 24 Juni 1963. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum
Unhas tahun 1987. Meraih Magister Kependudukan tahun 1993 pada Program
Pascasarjana Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu
Hukum diraih tahun 2007 pada Program Pascasarjana Unhas. Mengikuti Program
Diploma Forensic and Human Rights tahun 2003 di Belanda. Sejak tahun 2008
diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Unhas. Saat
ini, penulis menduduki tugas lain sebagai Staf Ahli Menteri Pemuda & Olahraga.
Dr. Sabir Alwy, S.H., M.H
Lahir di Makassar, 5 Januari 1959. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Unhas tahun 1990. Kemudian, meraih Magister Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Gadja Mada pada tahun 2002. Gelar Doktor dalam bidang
Ilmu Hukum diraih pada tahun 2008 pada Program Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya. Saat ini sebagai Dosen Tetap Bagian Hukum Keperdataan pada
Fakultas Hukum Unhas. Juga menduduki tugas lain sebagai Wakil Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
E-mail: sabiralwy@yahoo.co.id
Mila Agustina Ansary, S.H
Lahir di Kendari, 5 Agustus 1980. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Unhas pada Tahun 2002. Saat ini sedang mengikuti Program Pendidikan
Magister Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas, yang
diselenggarakan atas Kerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan
Agung Angkatan III. Setelah diangkat menjadi Jaksa Penuntut Umum, saat ini
bertugas pada Kejaksaan Negeri Makassar sejak tahun 2005.
E-mail: mila.gustiana@gmail.com
Prof. Dr. M. Syukri Akub, S.H., M.H
Lahir di Soppeng, 24 November 1953. Meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Unhas tahun 1978. Menyelesaikan pendidikan Magister Hukum pada
Program Pascasarjana Unhas tahun 1998. Gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum
diraih pada tahun 2006 pada Program Pascasarjana Unhas. Pada tahun 2007 diangkat
sebagai Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Unhas. Juga menjabat
sebagai Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Unhas.
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
377
Biodata Penulis
Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.
Lahir di Beutang, Polewali Mandar, 24 Oktober 1963. Menyelesaikan studi S-1 Ilmu
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1987. Gelar Magister dan
Doktor Ilmu Hukum diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Peserta Sandwich Program dalam rangka Research Doctoral di Utrecht University,
Belanda. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris pada Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unhas periode 2004-2008 dan periode 2008-2012.
E-mail: syamsuddinmuchtar@yahoo.com
Imran Haris, SKM
Lahir di Maros, tanggal 21 Agustus 1978. Menammatkan pendidikan strata satu
(SKM) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin tahun 2002.
Sementara menempuh pendidikan Program Magister (S2) Hukum Kesehatan pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas tahun 2013, sebagai peserta tugas
belajar Kementerian Kesehatan dan didukung beasiswa dari Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPSDMK) Kementerian Kesehatan Angkatan I.
Saat ini bekerja sebagai PNS pada Dinas Kesehatan Kabupaten Maros sejak tahun
2003.
E-mail: imranharis_73@yahoo.co.id
Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H
Lahir di Sinjai, 18 Oktober 1966. Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin sejak tahun 2009. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 1989. Meraih Gelar Magister
Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga tahun 1998. Meraih gelar
Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin tahun 2007.
E-mail: irwansyahrawydharma@yahoo.com
Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H
Lahir di Parepare, 5 Oktober 1964. Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin (Unhas), Makassar. Lulus S1 (1988) di Fak. Hukum Unhas; S2 (1994)
di PPs Universitas Indonesia; dan S3 (2008) di PPs Unhas. Penulis pernah menjabat
Pembantu Dekan I (Bidang Akademik) Fak. Hukum Unhas (2002-2006). Karya
Ilmiah/Populer yang dihasilkan, antara lain dipublikasikan pada: Majalah Hukum
dan Pembangunan, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Hukum dan Dinamika
Masyarakat, Supremasi, Harian Kompas, dan The Indonesian Journal of
International Law. Saat ini aktif dalam kegiatan penelitian dan pembelajaran pada
Program Sarjana, Pascasarjana (Magister dan Doktor) di almamaternya.
E-mail: m_ashri@hotmail.com
378
379
Biodata Penulis
383
384
PERSYARATAN PENULISAN
1. Naskah merupakan laporan penelitian orisinal yang dibuat secara mandiri atau
berkelompok dan belum pernah diterbitkan sebelumnya.
2. Isi tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum dan ditulis dalam tata bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar.
3. Sistematika penulisan sedapatnya memuat: Judul (tidak lebih dari 12 kata; Nama Penulis
(tanpa gelar akademik); Abstrak maksimal 100 kata yang dibuat dalam Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris, yang berisi tujuan, metode dan hasil penelitian, serta kata kunci.
4. Sistematika penulisan terdiri dari: PENDAHULUAN; RUMUSAN MASALAH;
METODE PENELITIAN; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN; PENUTUP;
serta Daftar Pustaka (tersusun secara alpabetis).
5. Setiap naskah menggunakan teknik pengutipan Footnote.
6. Daftar pustaka atau rujukan sedapatnya bersumber dari jurnal ilmiah lain atau sejenisnya,
dengan kisaran waktu terbit kurang dari 10 tahun terakhir.
7. Penulisan dilakukan dengan aplikasi pengolah kata MS Word dengan menggunakan
Font Times New Roman ukuran 12 dengan jarak spasi 1,5 pada kertas ukuran A4.
8. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 halaman (termasuk daftar pustaka).
Ketentuan margin yaitu: top dan left margin 4 cm, right dan bottom margin 3 cm. Tulisan
diserahkan kepada redaksi berupa satu rangkap print-out dan soft copy dalam bentuk
CD-RW, berisi file tulisan dalam format doc.
9. Penulisan tidak menggunakan pemisahan bab dengan angka. Pembagian antara Judul,
Sub Judul, Sub Anak Judul dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
CAPITAL BOLD;
CAPITAL;
Bold;
Bold Italic; dan
Italic.
10. Tabel (jika ada) dbuat dengan model terbuka (tanpa garis vertikal).
11. Penulis melampirkan curriculum vitae singkat yang meliputi nama lengkap, gelar
akademik, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, lembaga tempat bertugas,
jabatan yang dipangku (jika ada) alamat lengkap (lembaga, rumah serta nomor telepon
kantor, rumah dan HP) serta alamat e-mail.
12. Setiap tulisan akan ditelaah oleh mitra bestari dan jika diperlukan, redaksi akan mengirim
kembali tulisan untuk diperbaiki sebelum dimuat. Pengiriman naskah perbaikan
dilakukan melalui e-mail kepada alamat e-mail redaksi.
13. Tulisan yang tidak dimuat dapat diambil kembali pada redaksi.
Jurnal Penelitian Hukum terbit setiap bulan Januari, Mei dan September.
Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke:
Alamat Redaksi:
JURNAL PENELITIAN HUKUM
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, Makassar, 90245.
Telepon: (0411) 584686 / 0811442470 / 081342439090
E-mail: jurnalpenelitianhukum@ymail.com
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013
385