Anda di halaman 1dari 3

Menanti jkn berkeadilan

www.jamsosindonesia.com, 2013

Asuransi dan Jaminan Kesehatan


Daftar peraturan dan Perundangan terkait Asuransi Kesehatan :

UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN

UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah

PP No 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Nasional

UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN

UU 24 tahun 2011 tentang BPJS

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No 40 / 2004


Sebuah kegembiraan luar biasa bagi bangsa Indonesia hadir pasca reformasi politik tahun

1999.

Kegembiraan itu adalah Negara menjamin pelayanan kesehatan berkeadilan. Negara

menciptakan identitas baru bagi Bangsa Indonesia, yaitu pelayanan kesehatan non diskriminatif bagi
seluruh penduduk Indonesia di seluruh penjuru tanah air. Mendapatkan pelayanan kesehatan
berkeadilan mudah. Hanya dengan mendaftar menjadi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) lalu membayar iuran JKN secara berkesinambungan. Peserta JKN berhak atas pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka berhak atas
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai.
Dengan kata lain, setiap warga Negara NRI yang telah menjadi peserta JKN, berhak atas manfaat
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Tanpa kecuali. Norma ini diatur dalam UU SJSN dan
bertujuan untuk mengoperasionalkan hak konstitusional warga Negara atas jaminan sosial. Oleh
karenanya, norma ini mengikat dan harus dipatuhi oleh penyelenggara Negara dan warga Negara.
HAMBATAN REGULASI
Ternyata cita-cita Negara menjamin pelayanan kesehatan berkeadilan tidaklah berjalan mulus.
Sandungan pertama muncul dari regulasi. Penyelenggara Negara membentuk regulasi yang tidak
sepenuhnya mengoperasikan norma pelayanan kesehatan berkeadilan. Prinsip ekuitas dalam UU SJSN
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya, hanya dilaksanakan
sebagian. Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (PerPres JK). Perpres JK
memecah pelayanan kesehatan menjadi dua bagian, yaitu manfaat medis dan manfaat non medis, lalu
mengikatkannya kepada besaran iuran. Manfaat medis tidak terikat dengan iuran yang dibayarkan,

sedangkan manfaat non medis terikat dengan iuran yang dibayarkan. PerPres JK menjamin setiap
Peserta JKN mendapatkan hak yang sama atas manfaat medis. Setiap Peserta memperoleh pelayanan
konsultasi dokter, operasi, obat dan alat medis sesuai kebutuhan medisnya, tidak dibedakan berapa
iuran yang telah dibayarkannya. Mengiur sedikit atau mengiur banyak, Peserta memperoleh pelayanan
yang sama untuk kebutuhan medis yang sama. Lain halnya dengan pelayanan non medis. Perpres JK
membedakan hak atas manfaat akomodasi atau ruang perawatan inap. Peserta berhak atas ruang rawat
inap di rumah sakit sesuai besaran iuran yang dibayarkannya kepada BPJS Kesehatan. PerPres JK
menyediakan tiga kelas ruang rawat inap. Terendah adalah ruang perawatan kelas III, kemudian kelas
II dan tertinggi adalah kelas I. Ruang perawatan kelas III untuk dua kelompok Peserta. Kelompok
pertama adalah fakir miskin dan warga Negara tidak mampu yang menjadi Penerima Bantuan Iuran.
Kelompok kedua adalah pekerja mandiri atau individu yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan
di ruang perawatan kelas III. Ruang perawatan kelas II untuk tiga kelompok Peserta. Kelompok
pertama yang berhak atas ruang perawatan kelas II adalah pegawai negeri sipil, pensiunan, anggota
POLRI, atau prajurit TNI, yang bergolongan I atau II beserta anggota keluarganya. Kelompok kedua
adalah pekerja penerima upah bulanan sampai dengan dua kali penghasilan tidak kena pajak dengan
status kawin dengan satu anak (PTKP-K1), beserta anggota keluarganya. Hingga tahun ini, PTKP-K1
setahun adalah Rp 28.350.000,00 atau Rp 2.362.500,00 per bulan. Pekerja yang berupah Rp
2.362.500,00 per bulan atau lebih rendah berhak atas ruang perawatan kelas II. Kelompok ketiga
adalah pekerja mandiri atau individu yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan di ruang
perawatan kelas II. Ruang perawatan kelas I untuk lima kelompok Peserta. Kelompok pertama yang
berhak atas ruang perawatan kelas I adalah Pejabat Negara dan anggota keluarganya. Kelompok kedua
adalah pegawai negeri sipil, pensiunan, anggota POLRI, atau prajurit TNI, yang bergolongan III atau
IV beserta anggota keluarganya. Kelompok ketiga adalah Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta
anggota keluarganya. Kelompok keempat adalah pekerja penerima upah bulanan sampai dengan dua
kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan satu anak (PTKP-K1) atau mereka yang
berupah di atas Rp 2.362.500,00 per bulan pada tahun ini, beserta anggota keluarganya. Kelompok
kelima adalah pekerja mandiri atau individu yang membayar iuran untuk manfaat pelayanan di ruang
perawatan kelas I.
ROADMAP GANJIL
Latar belakang muculnya perbedaan manfaat JKN dapat ditelusuri dalam Peta Jalan (roadmap) Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 yang disusun oleh Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan
Sosial Nasional beserta 12 lembaga lainnya. Pada halaman 82 tertera kesepakatan lintas kementerian
dan DJSN mengenai manfaat JKN, semua layanan yang mempunyai indikasi medis dijamin dan pada
tahap awal selama besaran iuran belum sama, maka layanan non-medis berupa tempat perawatan
dan kelas perawatan masih dimungkinkan berbeda. Penerima Bantuan Iuran berhak mendapatkan
manfaat rawat inap kelas III, sedangkan yang membayar iuran dirawat di kelas II atau kelas I,
tergantung besaran upah atau golongan pangkat pegawai negeri.

Alasan perbedaan iuran sebagai dasar untuk membedakan hak atas ruang perawatan di rumah sakit
sangatlah tidak mendasar. Iuran JKN tidak akan pernah seragam. Bukankah JKN didanai oleh
kontribusi peserta yang besarnya proporsional terhadap pendapatan? Akan selamanya besaran iuran
berbeda-beda karena bergantung pada besaran pendapatan. Begitu pula dengan alasan PBI tidak
membayar iuran dari dompetnya sendiri sehingga mereka hanya berhak di ruang perawatan terendah,
bertentangan dengan prinsip ekuitas. Padahal, UU SJSN membebaskan warga negara NRI dari atribut
kemampuan membayar ketika sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan. Setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayari oleh Pemerintah berapa pun besarnya, berhak atas manfaat
JKN yang sama tanpa perbedaan. Jika besaran iuran yang dibayarkan oleh Pemerintah bagi fakir
miskin penerima bantuan iuran menjadi dasar pembeda manfaat, juga tidak tepat. Prinsip ekuitas tidak
membedakan kemampuan fiskal pemerintah. Memang sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa
Pemerintah akan mengiur dengan nominal terendah dalam daftar besaran iuran. Sebaliknya tidak
menutup kemungkinan bahwa Pemerintah mampu dan mau menyubsidi iuran PBI dalam nilai yang
tinggi, misalnya mendekati besaran iuran rata-rata yang dibayarkan oleh peserta.
Menunggu lima tahun
Kabar yang masih melegakan adalah praktek diskriminatif dalam JKN ada batasan waktu. Walaupun
PerPres JK tidak mengatur batas akhir perbedaan manfaat JKN, secercah harapan terbersit dalam
roadmap JKN. Paragraf ketiga pada halaman 82 menyatakan bahwa mulai tahun 2019 dan seterusnya
paket manfaat jaminan kesehatan diupayakan sama untuk semua peserta, baik manfaat medis maupun
non-medis. Kelas perawatan yang dituju adalah kelas I di mana satu kamar ditempati oleh tiga orang
atau setidak-tidaknya kelas II. Perubahan ini akan dilaksanakan terlebih dahulu dengan menyesuaikan
PerPres JK sebagaimana diagendakan dalam diagram pada halaman 32. Akankah janji ini terwujud?
Sulit menjawabnya karena Peta Jalan JKN tidak berkekuatan hukum mengikat dan tidak dapat
memaksa.

Tidak satu peraturan perundangan pun mewajibkan Penyelenggara Negara untuk

melaksanakan Peta Jalan JKN. Tak satu pasalpun dalam UU SJSN atau UU Rencana Pembangunan
mendelegasikan pengaturan penahapan JKN untuk diatur dalam Peta Jalan JKN. Sebaliknya, mungkin
pula JKN berkeadilan akan terwujud lebih cepat. Mungkin ada pihak yang mengajukan pengujian
disharmoni PerPres JK terhadap UU SJSN pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) ke Mahkamah Agung.
Mungkin Mahkamah Agung akan memerintahkan Pemerintah untuk segera menyesuaikan isi PerPres
JK dengan UU SJSN. Mungkin PerPres JK Pasal 23 wajib diubah. Semua janji perbaikan tidak pasti.
Hanya satu hal yang pasti yaitu pelayanan kesehatan diskriminatif akan menjadi identitas JKN di
Indonesia mulai tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai