Anda di halaman 1dari 11

PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PASIEN SEBAGAI


KONSUMEN JASA PELAYANAN
KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum

kesehatan

eksistensinya

masih

sangat

relatif

baru,

dalam

perkembangannya di Indonesia, semula di kembangkan oleh Fred Ameln dan


Almarhum Prof. Oetama dalam bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan
kehidupan yang pesat di bidang kesehatan dalam bentuk sistem kesehatan
nasional mengakibatkan di perlukannya pengaturan yang lebih luas, dari hukum
kedokteran ke hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (hukum kesehatan).
Hukum kesehatan yang ada di Indonesia dewasa initidak dapat lepas dari
sistem hukum yang dianut oleh suatu negara dan atau masyarakat, maka ada 2
(dua) sistem hukum di dunia yang dimaksud adalah sistem hukum sipil
kodifikasi dan sistem hukum kebiasaan common law system. Kemudian di
mungkinkan ada sistem hukum campuran, khususnya bagi suatu masyarakat
majemuk (Pluralistik) seperti Indonesia memungkinkan menganut sistem hukum
campuran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan
maupun bagi penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan
diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi
perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan
kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan
hukum bagi para pihak yang terkait.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara
pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian

yaitu : a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara


rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar
perawatan
perawatan.

dan
b).

di

mana

Perjanjian

tenaga

perawatan

pelayanan

melakukan

medis

di

tindakan

mana

terdapat

kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada
rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln,
1991: 75-76).
Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan pasal
1320 KUHPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri
harus di laksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338
dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan di atas maka proses
terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi
dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak
dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah
sakit.
Perjanjian yang terjadi antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan
dan rumah sakit adalah berlaku secara sah sebagai undang-undang mengikat
bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatannya, perjanjian itu harus
dilaksanakan berdasarkan dengan itikad baik dari pasien dan dokter/tenaga
kesehatan serta rumah sakit. Maka para pihak paham akan posisinya, sehingga
kepastian dan rasa perlindungan hukum bagi yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan

dapat

terwujud

secara

baik

dan optimal.

Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan.


Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi
pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki
tanggungjawab

terhadap

pengobatan

yang

sedang

dilakukan.

Tindakan

pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan


wewenang dokter.
Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan
mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus
melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya

( Harian Kompas, 15 April 2004).Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi


pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada
dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggungjawab
terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan.
Perlindungan terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup, cuma
sangat di sayangkan kaidah-kaidah dasar dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang memerlukan peraturan pelaksanaan
sampai akhir abad ke 20 dan memasuki abad ke 21, masih belum mendapatkan
realisasinya, karena pemerintah cq Departemen Kesehatan RI. Sampai saat ini
baru sanggup membuat beberapa peraturan pelaksanaan antara lain peraturan
pemerintah No 32tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/tenaga
kesehatan agar tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien,
sekaligus pasien mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab
rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan.
Dalam kaitan dengan tanggungjawab rumah sakit, maka pada prinsipnya
rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3)
KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi
dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata)
(Fred Ameln, 1991: 71).
Peran

dan

fungsi

Rumah

Sakit

sebagai

tempat

untuk

melakukan

pelayanan kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3


(tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari : 1). Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;
2). Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan
3). Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran
dan/atau medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).
Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur itu akan bermanfaat bagi pasien
dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit, di sebabkan karena adanya
hubungan

yang

saling

melengkapi

unsur

tersebut.

Pelayanan

kesehatan

memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan


maksimal, dengan manfaat yang dapat di rasakan oleh penerima jasa pelayanan

kesehatan (pasien) dan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter/tenaga


kesehatan dan rumah sakit).
Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami
adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien
(kontrak-terapetik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta
hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia
jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29).
Memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan
standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktek medik, penaganan
penderita gawat darurat, rekam medis, euthanasia dan lain-lain adalah
pengetahuan masa kini yang perlu untuk didalami secara profesional. Agar tidak
terjadi tindakan medik yang menimbulkan kesalahan dan atau kelalaian dari
dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit, yang akan menimbulkan kerugian
bagi

pasien

sebagai

penerima

jasa

pelayanan

kesehatan.

Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan,


sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban
antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian
yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana
apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata
schuld yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih
sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana
agar dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana.
Sebagai kesalahan tadi, culpa misalnya, ia mengandung 2 unsur ataupun
persyaratan, yaitu : (1). kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang
voorzichtig. (2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang
dapat voorzien) (Oemar Seno Adji,1991: 125). Suatu hubungan kausal
yang

lebih

merupakan

dipertanggungjawabkan

kesalahan

karena

tidak

profesi
memenuhi

dokter,

dan

kewajiban

dan

dapat
dapat

dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum.


Jika pasal 322 KUHP dapat memidanakan seorang dokter karena
melanggar

kewajibannya

untuk

merahasiakan

apa

yang

menjadi

pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut pula

Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1966 di mana Menteri Kesehatan dapat


mengambil tindakan administratif terhadap seorang dokter,yamg tidak dapat
dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP (Oemar Seno Adji, 1999: 45).
Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan,
pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang
dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah
sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Masih terdapat peraturan-peraturan pidana
lainnya bersangkutan dengan kesalahan/kelalaian dari seorang dokter/tenaga
kesehatan seperti pasal 351,356 KUHP mengenai penganiayaan, di mana
penganiayaan tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan
pasal 359,360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512
KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Dokter/tenaga
tanggungjawab
menimbulkan

kesehatan

hukum,
kerugian

apabila
bagi

dan

rumah

melakukan

pasien

sebagai

sakit

dapat

dimintakan

kelalaian/kesalahan
konsumen

jasa

yang

pelayanan

kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran (medical


liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat
berlindung

dengan

kesalahan/kelalaian

dalih
dokter

perbuatan
yang

yang

menimbulkan

tidak

sengaja,

sebab

kerugian

terhadap

pasien

menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi (Wila Chandrawila
Supriadi, 2001: 31).
Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang
diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat
menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan
interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi
perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan
pasien

atau

dokter/tenaga

konsumen/penerima
kesehatan

dan

jasa

rumah

pelayanan

sakit

terdapat

kesehatan
dalam

terhadap

pasal

1365

KUHPerdata.
Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam
bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum,

perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan.


Dan rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan
sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan.
Makassar merupakan kota metropolitan satu-satunya di Indonesia Timur,
semua aspek kehidupan berpusat di Makassar, termasuk dalam hal ini di bidang
kesehatan.

Sudah

barang

tentu

terjadi

kesalahan/kelalaian

pada

bidang

kesehatan, sebagaimana yang terjadi di rumah sakit Akademis pihak rumah


sakit tidak menerima pasien, hanya karena pasien tidak membayar uang panjar.
Deputi Menko Kesra bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup, sekaligus
sebagai Direktur Rumah Sakit Islam Faisal Makassar mengatakan:
Saya tidak percaya ada kejadian seperti itu. Sebab setahu saya dan
memang begitu kode etik rumah sakit di seluruh Indonesia, untuk kasus
emergency

seperti

kecelakaan

lalulintas,

orang

hamil,

luka

tikam

dan

sebagainya, itu tidak ada pembicaraan uang panjar. Karena itu bila RS Akademis
ada

pembicaraan

panjar,

maka

itu

pelanggaran

berat,

lebih

lanjut

ia

mengatakan bahwa keputusan dan kebijakan dokter atau petugas paramedis


serta RS Akademis yang mengeluarkan pasienya hanya karena tidak adanya
persetujuan uang panjar perawatan, bukan hanya tidak bisa dibenarkan, tapi
sudah tidak bisa ditolerir dan dapat dimintai pertanggungjawaban di jalur hukum
(Harian Fajar, 12 November 2002).
Keluarga pasien dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik
Kedokteran (MKEK), pengadilan dan terhadap pihak yang terkait, karena merasa
di rugikan dan di perlakukan tidak manusiawi. Maka dapat menggugat ganti rugi
kepada pihak dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit karena telah melakukan
perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian diakibatkan oleh
kelalaian/kesalahan dalam melakukan tindakan medik.
Maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi pasien (penerima jasa
pelayanan kesehatan), yang senantiasa diabaikan haknya untuk mendapatkan
perawatan kesehatan. Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima
(konsumen) jasa pelayanan kesehatan dan pemberi (produsen) jasa pelayanan
kesehatan, diantaranya pada pasal 53, 54 dan 55 (UU No. 23/1992). Jika

terjadi sengketa antara para pihak dalam pelayanan kesehatan, maka untuk
menyelesaikan sengketa atau perselisihan harus mengacu pada Undang-undang
kesehatan dan Undang-undang perlindungan konsumen serta prosesnya melalui
lembaga pengadilan, mediasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal terjadi sengketa antara
pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan (jasa YANKES) dengan konsumen jasa
pelayanan kesehatan (jasa YANKES), tersedia 2 (dua) jalur, yaitu jalur litigasi
yaitu penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan dan jalur nonlitigasi yaitu
penyelesaian sengketa melalui peradilan(Hermien Hadiati Koeswadji, 2002:
196).
Proses penyelesaian dari perselisihan kesalahan dan atau kelalaian
kesehatan, dapat dilakukan diluar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan
keinginan

para

pihak

yang

berselisih

menyangkut

masalah

kesehatan.

Penyelesaian yang sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan


dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ARD). Di Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) 90 persen kasus diselesaikan lewat
ARD.

Hanya

satu

kasus

yang

diselesaikan

di

pengadilan,

yaitu

kasus

tertinggalnya kateter dalam tubuh korban selama dua tahun di sebuah RS


Jakarta Selatan tahun 2000 ( Harian Kompas, 21 Mei 2002).
Profesi kedokteran memang banyak berkaitan dengan problema etik yang
dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik antara pemberi jasa pelayanan
kesehatan dengan penerima jasa pelayanan kesehatan, karena itu dibutuhkan
suatu

wadah/lembaga

yang

khusus

dapat

menjadi

penyaring

untuk

menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa pelayanan kesehatan (rumah


sakit, dokter dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa pelayanan kesehatan
(pasien).
Salah satu lembaga yang juga bisa dilaksanakan adalah Ombudsmen yang
melibatkan orang luar, agar peradilan sengketa antara dokter/tenaga kesehatan
dan rumah sakit dengan pasien dapat diberlakukan secara adil dan dapat
dipercaya semua pihak yang terlibat dalam sengketa kesehatan. Lembaga
dengan

sistem

Ombudsmen

dan Indonesia dapat

sudah

mengadopsi

dilaksanakan

untuk

di

menentukan

berbagai
bahwa

negara,

pelayanan

kesehatan tidak melanggar ketentuan Undang-undang yang ada dan masih


berlaku.

Sumber: http://www.skripsi-tesis.com/06/15/perlindungan-hukum-terhadappasien-sebagai-konsumen-jasa-pelayanan-kesehatan-pdf-doc.htm

SUMBER LAIN NIH DEE:


Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999).
Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan UndangUndang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur
dalam pasal 52 UU No. 29/2004 adalah:
a)
b)
c)
d)
e)

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana


dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);
meminta pendapat dokter atau dokter lain;
mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
menolak tindakan medis;
mendapatkan isi rekam medis.

Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, yaitu:
a)

memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit;
b) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
n)
o)
p)
q)
r)

memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya;
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu
tidak mengganggu pasien lainnya;
memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah
Sakit;
mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana; dan
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien
adalah:
1.

Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum
maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 UUPK)
2.
Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undangundang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran
hak-hak pasien.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2431

Anda mungkin juga menyukai