Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi
klinis yang sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug.
Manfaat preparat ini cukup besar karena efek samping yang tidak diharapkan
cukup banyak, maka dalam penggunaanya dibatasi, termasuk dalam bidang
dermatologi kortikosteroid merupakan pengobatan yang sering diberikan kepada
pasien.
Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan
oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan
darah, kadar gula darah, otot, dan resistensi tubuh.
Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut
sangat

menolong

penderita.

Berbagai

penyakit

yang

dahulu

lama

penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis, penyakit berat yang


dulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat
ditekan berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula Sindroma Steven
Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik
Pengobatan berbagai penyakit kulit dengan menggunakan kortikosteroid
sudah menjadi kegiatan sehari-hari dalam poliklinik kulit. Sejak salep
hidrokortison asetat pertama kali dilaporkan penggunaanya oleh Sulzberger pada
tahun 1952, perkembangan pengobatan kortikosteroid berjalan dengan pesat.
Semakin maju ilmu pengetahuan semakin banyak pula ditemukan jenis
kortikosteroid yang dapat digunakan dan efek samping yang semakin sedikit. Hal
ini berkat kemahuan dalam pengetahuan mengenai mekanisme kerja serta
pemahaman patogenesis berbagai penyakit. Dengan berbagai kemajuan ini
kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena
posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2
dengan berat kira-kira 15% berat badan.
Klasifikasi berdasarkan jenisnya :
Elastis dan longgar : pada palpebra, bibir, dan preputium
Tebal dan tegang : pada telapak kaki dan tangan orang dewasa
Tipis : pada wajah
Lembut : pada leher dan badan
Berambut kasar : pada kepala
Anatomi kulit secara histopatologik ada 3 bagian, diantarnya sebagai
berikut :
Lapisan Epidermis (kutikel)

1. Stratum Korneum (lapisan tanduk)

Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang
mati, tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat
tanduk)
2. Stratum Lusidum
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng
tanpa inti, protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut
eleidin. Lapisan ini lebih jelas tampak pada telapak tangan dan
kaki.
3. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma
berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri
dari keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4. Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer
(lapisan akanta )
Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya
jernih karena banyak mengandung glikogen, selnya akan
semakin gepeng bila semakin dekat ke permukaan. Di antara
stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel (intercellular
bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga
terdapat pula sel Langerhans.
5. Stratum Basalis
Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal
pada

perbatasan

dermo-epidermal

berbaris

seperti

pagar

(palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi reproduktif.


Sel kolumnar => protoplasma basofilik inti lonjong besar,

di hubungkan oleh jembatan antar sel.


Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell => sel
berwarna muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap,

mengandung pigmen (melanosomes)


Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin) terdiri dari lapisan
elastik dan fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel
rambut.
1. Pars Papilare

Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf


dan pembuluh darah.
2. Pars Retikulare
Bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri dari serabut
penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks)
lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut
kolagen dibentuk oleh fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan
(bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin.
Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia,
menjadi kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen
muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf,
dan mudah mengembang serta lebih elastis.

Lapisan Subkutis (hipodermis) merupakan lapisan paling dalam, terdiri


dari jaringan ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan
inti mendesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini
berkelompok dan dipisahkan oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel
lemak disebut dengan panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat saraf tepi, pembuluh darah, dan getah

bening. Lapisan lemak berfungsi juga sebagai bantalan, ketebalannya


berbeda pada beberapa kulit. Di kelopak mata dan penis lebih tipis, di
perut lebih tebal (sampai 3 cm). Vaskularisasi di kuli diatur pleksus
superfisialis (terletak di bagian atas dermis) dan pleksus profunda
(terletak di subkutis)

Adneksa Kulit
1. Kelenjar Keringat (glandula sudorifera)
Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan
glukosa. pH nya sekitar 4-6,8. Kelenjar Ekrin bentuknya kecilkecil, terletak dangkal di dermis dengan secret encer. Kelenjar
Ekrin terbentuk sempurna pada minggu ke 28 kehamilan dan
berfungsi 40 minggu setelah kelahiran. Salurannya berbentuk spiral
dan bermuara langsung pada kulit dan terbanyak pada telapak
tangan, kaki, dahi, dan aksila. Sekresi tergantung beberapa faktor
dan saraf kolinergik, faktor panas, stress emosional.
Kelenjar Apokrin bentuknya lebih besar, terletak lebih
dalam, secretnya lebih kental. Dipengaruhi oleh saraf adrenergik,
terdapat di aksila, aerola mammae, pubis, labia minora, saluran

telinga. Fungsinya belum diketahui, waktu lahir ukurannya kecil,


saat dewasa menjadi lebih besar dan mengeluarkan sekret.
2. Kelenjar Palit (glandula sebasea)
Terletak di seluruh permukaan kuli manusia kecuali telapak
tangan dan kaki. Disebut juga dengan kelenjar holokrin karena
tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi selsel kelenjar. Kelenjar palit biasanya terdapat di samping akar
rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel
rambut). Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas,
skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh
hormon androgen. Pada anak-anak, jumlahnya sedikit. Pada
dewasa menjadi lebih banyak dan berfungsi secara aktif.
3. Kuku merupakan bagian terminal lapisan tanduk (stratum

korneum) yang menebal. Pertumbuhannya 1 mm per minggu.


Nail root (akar kuku) adalah bagian kuku yang tertanam dalam

kulit jari

Nail Plate (badan kuku) adalah bagian kuku yang terbuka/ bebas.

Nail Groove (alur kuku) adalah sisi kuku yang mencekung


membentuk alur kuku

Eponikium adalah kulit tipis yang menutup kuku di bagian


proksimal

Hiponikium adalah kulit yang ditutupi bagian kuku yang bebas


4. Rambut
Jenis rambut dibagi menjadi 2 :
- Lanugo : rambut halus pada bayi, tidak mengandung pigmen.
- Rambut terminal : rambut yang lebih kasar dengan banyak
pigmen, mempunyai medula, terdapat pada orang dewasa.
Pada dewasa, selain di kepala, terdapat juga bulu mata,
rambut

ketiak,

rambut

kemaluan,

kumis,

janggut

yang

pertumbuhannya dipengaruhi oleh androgen (hormon seks).


Rambut halus di dahi dan badan lain disebut rambut velus.
Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan)
berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh 0,35 mm perhari.

Fase telogen (istirahat) berlangsung beberapa bulan. D antara


kedua fase tersebut terdapat fase katagen (involusi temporer). Pada
suatu saat 85% rambut mengalami fase anagen dan 15 % sisanya
dalam fase telogen.
Rambut normal dan sehat berkilat, elastis, tidak mudah
patah, dan elastis. Rambut mudah dibentuk dengan memperngaruhi
gugusan disulfida misalnya dengan panas atau bahan kimia.
2.2 Fisiologi Kulit
1. Fungsi Proteksi
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan
penunjang yang dapat melindungi tubuh dari gangguan :
- Fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.
- Kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
- Panas : radiasi, sengatan sinar UV
- Infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
-

Melanosit => lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan

mengadakan tanning (penggelapan kulit)


Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan

air.
Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum =>

perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur


Proses keratinisasi => sebagai sawar (barrier) mekanis karena

sel mati melepaskan diri secara teratur.


2. Fungsi Absorpsi
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan
absorbsinya bergantung pada ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban,
metabolisme, dan jenis vehikulum. PEnyerapan dapat melalui
celah antar sel, menembus sel epidermis, melalui muara saluran
kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
Mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti
NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak
dengan bantuan hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum
7

untuk melindungi kulitnya dari cairan amnion, pada waktu lahir


ditemui sebagai Vernix Caseosa.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan
subkutis. Saraf sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang
erotik.
- Badan Ruffini di dermis dan subkutis => peka rangsangan
-

panas
Badan Krause di dermis => peka rangsangan dingin
Badan Taktik Meissner di papila dermis => peka rangsangan

rabaan
- Badan Merkel Ranvier di epidermis => peka rangsangan rabaan
- Badan Paccini di epidemis => peka rangsangan tekanan
5. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)
Dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot
berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah
sehingga mendapat nutrisi yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi
oleh saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi, dinding pembuluh
darah belum sempurna sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan
membuat kulit bayi terlihat lebih edematosa (banyak mengandung
air dan Na).
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang
terdiri dari butiran pigmen (melanosomes).
7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan
pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan
berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas sel makin
menjadi gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin
lama inti makin menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk
yang amorf. Proses ini berlangsung 14-21 hari dan memberi
perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan
sinar matahari. Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari
hal tersebut. Pemberian vit D sistemik masih tetap diperlukan.
8

2.3 Kortikosteroid
2.2.1 Definisi
Adalah kelompok hormon steroid yang diproduksi di
korteks adrenal atau dibuat secara sintetis. Ada dua jenis
kortikosteroid : glukokortikoid dan mineralokortikoid. Mereka
memiliki berbagai fungsi metabolisme dan beberapa digunakan
untuk mengobati peradangan.
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks
dan medulla, sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona
yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai
peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid
yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan
khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototipe
untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan
glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik,
misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang
efek

utamanya

terhadap

keseimbangan

air

dan

elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, sedangkan


pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam
terapi. Prototip dari

golongan

ini

adalah desoksikortikosteron.

Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi


yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol, meskipun demikian
sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi
karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua
yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.
2.2.2 Klasifikasi kortikosteroid
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam
aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang
9

sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan


penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan
menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi antiinflamasi, dosis ekuivalen dan potensi retensi Na+.

Berdasarkan

tabel

diatas,

Betamethason

dan

Deksamethason mempunyai potensi anti inflamasi yang tinggi dan


tidak

mempunyai

potensi

untuk

retensi

Na+.

Selain

itu

Bethamethason dan Dexamethason juga memiliki durasi yang


paling panjang. Sedangkan Fluodrocortisone mempunyai efek
retensi Na+ yang paling tinggi dengan potensi anti-inflamasi yang
sedang. Kortison dan Hidrokortison mempunyai durasi yang paling
pendek. Perlu diingat bahwa semakin tinggi potensinya, semakin
tinggi pula efek samping yang ditimbulkan.
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu
vasokonstriksi, antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi.
Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di
bagian

superfisial

eritema. Kemampuan

dermis,
untuk

yang

menyebabkan

akan

mengurangi

vasokontriksi

ini

biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya


vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui
aktivitas

klinik

dari

suatu

agen.

kortikosteroid topikal beserta potensinya.

10

Berikut

macam-macam

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu


merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu
diperhatikan

bahwa

kortikosteroid

topikal

bersifat paliatifdan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan


merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut
dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anakanak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan
kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik,
dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada
psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis
numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui,
kortikosteroid dipakai dengan harapan agar remisi lebih cepat

11

terjadi. Yang

harus

diperhatikan

steroidnya. Dermatosis

yang

adalah

kurang

kadar
responsif

kandungan
terhadap

kortikosteroid ialah lupus eritematousus diskoid, psoriasis di


telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum,
vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,
eksantema fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan
salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta
pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak
digunakan adalah prednison karena telah lama digunakan dan
harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon
karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan
dipakai pada pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada
penyakit berat dan sukar menelan, misalnyatoksik epidermal
nekrolisis dan

sindrom Stevens-Jhonson harus

diberikan

kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa


kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti
dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus
dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak
memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap
pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam
jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko
efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna
dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit
bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih
cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat
terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada
bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka

12

penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit


yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu,
pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder
karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan
secara tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang
ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu
hamil kecuali dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk
wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin
(standar

pelayanan). Percobaan

penggunaan

kortikosteroid

pada

pada
kulit

hewan

menunjukkan

hewan

hamil

akan

menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan


pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi
mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di
absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada
penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan
steroid

potensi

tinggi. Analisis

yang

baru

saja

dilakukan

memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara


kehamilan terutama trisemester pertama dengan bimbing sumbing.
Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat
penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik
yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan
kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison
dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan.Belum
diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi melalui
ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang
menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi
penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan

13

mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari


tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna
yang

sebelumnya

memiliki

gangguan

jiwa

dan

sedang

menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat


menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.
2.2.3 Farmakokinetik
Pada orang dewasa normal, dengan tidak adanya stres, 1020 mg kortisol disekresikan setiap hari. Tingkat sekresi
mengikuti ritme sirkadian yang diatur oleh ACTH yang mana
akan mencapai puncaknya di pagi hari dan sesudah makan.
Dalam plasma, kortisol yang beredar terikat oleh protein.
Cortikosteroid-Binding Globulin (CBG), 2-globulin disintesis
oleh hati, mengikat 90% dari sirkulasi hormon dalam keadaan
normal. Sisanya adalah bebas tanpa ikatan albumin (sekitar 510%) atau bonding lemah dengan albumin (sekitar 5%) dan
tersedia untuk mengerahkan efeknya pada sel target. Ketika
kadar plasma kortisol melebihi 20-30 g / dL, CBG akan
mengalmi saturasi, dan konsentrasi kortisol bebas akan
meningkat cepat. CBG meningkat pada kehamilan dan keadaan
hipertiroidisme. CBG menurun pada keadaan hipotiroidisme,
cacat genetik pada sintesis, dan negara-negara kekurangan
protein. Albumin memiliki kapasitas besar tetapi afinitasnya
cendrung rendah untuk kortisol. Kortikosteroid sintetis seperti
deksametason sebagian besar terikat albumin bukan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi biasanya sekitar 60-90
menit,

waktu

paruh

mungkin

akan

meningkat

ketika

hidrokortison (sediaan farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah


besar atau ketika penderita mengalami stres, hipotiroidisme, atau
penyakit hati. Hanya 1% dari kortisol yang diekskresikan tidak
berubah dalam urin sebagai kortisol bebas; sekitar 20% dari
kortisol

diubah

menjadi

kortison

oleh

11-dehidrogenase

hidroksisteroid di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor

14

mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Kebanyakan kortisol


diinaktifkan dalam hati dengan cara pengurangan ikatan ganda
(sekitar 4,5) pada Ring A dan konversi berikutnya menjadi
tetrahydrocortisol dan tetrahydrocortisone oleh dehidrogenase 3hidroksisteroid. Beberapa dikonversi

menjadi cortol dan

cortolone oleh pengurangan keton C20 dan ada sejumlah kecil


metabolit lainnya. Sekitar sepertiga dari kortisol yang dihasilkan
setiap hari diekskresikan dalam urin sebagai keton dihidroksi
metabolit dan diukur sebagai 17-hydroxysteroids. Banyak
kortisol metabolit yang terkonjugasi dengan asam glukuronat
atau sulfat di C3 dan C21 hidroksil, masing-masing, dalam hati;
mereka kemudian masuk kembali ke sirkulasi dan diekskresikan
dalam bentuk urin.
Pada beberapa spesies (Contoh : tikus) Corticosterone
merupakan

masuk

dalam

kategori

glukortikoid

mayor.

Corticosterone berikatan lebih lemah terhadap protein dan proses


metabolismenya lebih cepat. Untuk perjalanan molekulnya sama
dengan kortisol pada umumnya.

15

Gambar :Jalur Biosintesis dari Kortikosteroid


2.2.4 Mekanisme Kerja Kortikosteroid
Steroid yang beredar dalam darah 90% dalam bentuk terikat
yang Corticosteroid Binding globulin (CBG), namun memasuki sel
terlepas dari globulin sebagai molekul bebas. Reseptor Intraseluller
berikatan untuk menstabilkan protein, termasuk dua molekul Heat
Shock Protein 90 (Hsp90) dan beberapa molekul lain. Kompleks

16

reseptor ini mampu mengaktifkan transkripsi. Ketika kompleks


reseptor ini mengikat molekul kortisol, terbentuklah kompleks
reseptor yang tidak stabil dan Hsp90 dan molekul yang terkait
dilepaskan. Kompleks steroid-reseptor ini bisa masuk inti,
mengikat Glucocorticoid Response Element (GRE) pada gen, dan
diatur transkripsinya oleh RNA polimerase II dan faktor transkripsi
yang terkait. Berbagai faktor regulasi dapat mempengaruhi dalam
memfasilitasi (coactivators) atau menghambat (corepressor) respon
dari steroid. Yang dihasilkan mRNA diedit dan kemudian diekspor
ke sitoplasma untuk produksi protein yang membawa respon
hormon akhir.

2.2.5 Efek Kortikosteroid terhadap Sistem Tubuh


1. Metabolisme Karbohidrat
Glukokortikoid menstimulasi terjadinya glukoneogenesis
dan sintesis glycogen pada keadaan puasa. Sehingga output
glukosa pada liver meningkat dan berkurangnya distribusi
glukosa ke jaringan perifer. Karena adanya peningkatan glukosa

17

dalam darah, sehingga menstimulasi insulin dan menurunkan


uptake glukosa ke otot.
2. Metabolisme Protein
Kortikosteroid dapat menyebabkan efek katabolik dan
antianabolik. Efeknya berupa penurunan massa pada otot, dan
menipisnya kulit. Pada penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan osteoporosis pada cushing syndrome. Pada anakanak dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan.
3. Metabolisme Lipid
Peningkatan glukosa dalam darah, menstimulasi insulin dan
menurunkan uptake glukosa ke otot. Stimulasi dari insulin
menyebabkan peningkatan Lipogenesis dan sedikit menghambat
Lipolysis, sehingga deposit lemak meningkat, gliserol dan asam
lemak bebas meningkat. Deposit lemak meningkat terutama di
wajah, leher dan bahu.
4. Imun
Kortikosteroid hampir menurunkan semua gejala atau
manifestasi

dari

inflamasi.

Hal

ini

disebabkan

karena

kortikosteroid menurunkan distribusi, fungsi dan konsentrasi dari


leukosit. Inflamasi ditandai dengan adanya infiltrasi dan
ekstravasasi ke daerah yang terkena.
Kortikosteroid juga mengurangi fungsi dari makrofag dan
Antigen Presenting Cells (APC). Sehingga kemampuan sel ini
untuk respon terhadap antigen dan fagositosis berkurang. Selain
itu, makrofag juga kehilangan fungsinya untuk memproduksi
TNF , IL-1, dan plasminogen.
Selain menurunkan distribusi, fungsi dan konsentrasi dari
leukosit,

kortikosteroid

juga

mengurangi

prostaglandin,

leukotrien, dan Platelet-activating factor synthesis, yang


merupakan hasil dari aktivasi Phopholipase A2. Glukokortikoid
juga mengurangi Cyclooxygenase II.
5. Mood dan Tingkah laku
Perubahan Mood dan tingah laku dapat berupa euforia agak
sering pada penggunaan kortikosteroid dengan dosis yang tinggi.
6. Hematologi dan Vaskular

18

Platelet dan sel darah merah meningkat, tetapi jumlah


eosinofil dan limfosit menurun.
Efek terhadap sistem hematopoetik :
- Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid

pada

awalnya menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh


-

darah yang kecil di superfisial.


Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan
menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami
dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema,
inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.

7. Kulit
a. Efek Epidermal
Ini termasuk :
Penipisan

epidermal

yang

disertai

dengan

peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan


ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari
konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan
penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.
Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti
vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada
keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.

b. Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan
pada substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae
dan

keadaan

vaskulator

dermal

yang

lemah

akan

menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau


terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan
menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot
hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk
19

jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit


prematur.
8. Mata
Pada Mata bisa terjadi glaukoma sudut terbuka.

BAB 4
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kirakira 15% dari berat badan. Kulit merupakan organ yang essensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis

20

dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras dan juga bergantung
pada lokasi tubuh.
Kulit dibagi menjadi 3 lapisan yaitu Epidermis, Dermis dan Subkutan.
Lapisan Epidermis terdapat Sel pembentuk melanin (Melanosit) yang berada di
bagian stratum basale. Pada lapisan dermis jauh lebih tebal dibandingkan dengan
epidermis. Pada Epidermis terdapat kolagen, elastin dan retikulin yang dapat
membuat kulit menjadi elastis. Sedangkan pada Subkutis terdapat jaringan ikat
longgar yang berisi lemak. Subkutis merupakan lapisan paling dalam pada kulit.
Kortikosteroid adalah kelompok hormon steroid yang diproduksi di korteks
adrenal atau dibuat secara sintetis. Ada dua jenis kortikosteroid : glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Mereka memiliki berbagai fungsi metabolisme dan
beberapa digunakan untuk mengobati peradangan.
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik,
umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga
golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi anti-inflamasi, dosis ekuivalen dan
potensi retensi Na+.

Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,


antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi

21

eritema. Kemampuan

untuk

menyebabkan

vasokontriksi

ini

biasanya

berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini


digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.
Berikut macam-macam kortikosteroid topikal beserta potensinya.

Efeknya pada kulit dapat berupa penipisan epidermal yang disertai dengan
peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan
keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-epidermal. Sedangkan pada
lapisan dermal bisa terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada
substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator
dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau
terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat
untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan
membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

22

DAFTAR PUSTAKA
Abidin

Taufik. Oral

Corticosteroid. 2009.

Diunduh

dari

http://www.scribd.com/doc/13461798/Oral-Kortikosteroid
Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork; Mc Graw-Hill
Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327
Maftuhah. Husni, Abidin. Taufik, Oral Kortikosteroid. 2009. Fakultas Kedokteran
Universitas

Mataram.

darihttp://www.scribd.com/doc/13461799/kortikosteroid-topikal
23

Diunduh

Sutarman Putu Ngakan, Roma Julius. Pengaruh Kortikosteroid Terhadap Sistem


Imun. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin
Rumah Sakit Ujumg Pandang. Cermin Dunia Kedokteran No.85;1993. Diunduh
darihttp://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PengaruhKortikosteroid085.pdf/13Pe
ngaruhKortikosteroid085.html
Sularsito Adi Sri Dr, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat
Alergik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1995; 23-26
Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima,
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347
Agusni Indropo. Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Soetomo.
Surabaya;

2001.

Diunduh

darihttp://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bipkk/article/viewFile/191/191
Ganiswarna G Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit
FKUI, 1995 ; 484-50010)

24

Anda mungkin juga menyukai