Anda di halaman 1dari 8

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Komunitas Bulu Babi (Echonoidea) di Pulau Cingkuak, Pulau


Sikuai dan Pulau Setan Sumatera Barat
Indra Junaidi Zakaria
Jurusan Biologi Fmipa Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Kota Padang,
Sumatera Barat, Email korespondensi: indrajunaidi@fmipa.unand.ac.id
Abstrak. Penelitian dilakukan dari April-Oktober 2007 di perairan Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan, Propinsi Sumatera Barat, dengan metode survei dan pengambilan
sampel menggunakan petak tunggal ukuran 50 x 50 meter yang terdiri dari plot-plot
berukuran 5 x 5 meter. Data yang diambil adalah jumlah individu dan jenis serta faktor
lingkungan perairan. Hasil penelitian, di Pulau Cingkuak, ditemukan bulu babi sebanyak 301
individu dari dua jenis bulu babi, yaitu: Echinotrix deadema (191 individu; 0,076 ind/m2;
63,46%) dan E. calamaris (110 individu; 0,044 ind/m2; 36,54%). Kemudian di Pulau Sikuai,
didapatkan 543 individu dari tujuh jenis, dimana Diadema setosum (345 individu0; 138
ind/m2; 63,54%,) sebagai jenis terbanyak dan diikuti berturut-turut jenis E. deadema (114
individu; 0,046 ind/m2; 21,00%), E. calamaris (60 individu; 0,024 ind/m2; 11,05%), D.
Antillarum (9 individu; 0,004 ind/m2; 1,66%), D. Savingii (6 individu; 0,002 ind/m2; 1,00%),
Echinometra mathaei (6 individu; 0,002 ind/m2; 1,00%) dan Arbacia lixula (3 individu;
0,001 ind/m2; 0,55%). Selanjutnya di Pulau Setan, bulu babi dijumpai sebanyak 525
individu dari 5 jenis, dengan perincian sebagai berikut: D. Setosum (438 individu; 0,175
ind/m2; 83,43%,), D. antillarum (45 individu; 0,018 ind/m2; 8,57%), E. deadema (18
individu; 0,007 ind/m2; 3,43%), E. calamaris (15 individu; 0,006 ind/m2; 2,86%) dan E.
mathaei (9 individu; 0,004 ind/m2; 1,7%.). Nilai indeks keanekaragaman bulu babi di Pulau
Cingkuak sebesar H= 0,658, di Pulau Sikuai adalah H=1,061 dan di Pulau Setan nilai yaitu
H=0.649. Ketiga lokasi ini tergolong kategori keanekaragaman sedang. Hasil pengukuran
kualitas perairan (suhu, kecerahan, kedalaman, substrat, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO),
kabrodioksida bebas, BOD, fosfat dan nitrat) pada daerah studi masih dalam taraf toleransi
hidup yang baik bagi bulu babi.
Kata kunci: bulu babi, kepadatan, komunitas, struktur komunitas,

PENDAHULUAN
Bulu babi (Sea Urchin) merupakan salah
satu potensi sumberdaya perikanan yang
mempunyai manfaat besar bagi kehidupan
manusia. Masyarakat Jepang sangat
mengemari produk bulu babi terutama telur
atau gonadnya. Telur bulu babi terasa
lembut dan lezat serta mempunyai nilai gizi
yang tinggi. Produk ini dikenal dengan
uni mempunyai harga jual yang sangat
mahal. Untuk satu kilogram uni harganya
berkisar antara 50 sampai 500 US dolar,
yang dinilai dari kualitas telur, terutama
warna dan tektur. Bulu babi tidak hanya
disukai oleh masyarakat Jepang, juga
dikonsumsi oleh masyarakat yang tinggal di

California Amerika Serikat, Chili, Rusia,


Kanada dan Korea Selatan.
Di Indonesia umumnya dan di Propinsi
Sumatera Barat khususnya, bulu babi
sebagai sumberdaya perikanan belum
banyak diketahui dan dimanfaatkan.
Pemanfaatan bulu babi dalam kurun waktu
sekarang masih terbatas hanya sebagai
pakan ternak tambahan dan sebagai lauk
pauk sebagian kecil masyarakat terutama
masyarakat pesisir yang masuk kategori
miskin, atau lebih sering hanya dianggap
sebagai hewan pengganggu pariwisata
pantai karena durinya yang mempunyai
racun (toksin) dan memakan rumput laut
yang dibudidayakan oleh nelayan. Padahal
hewan ini mempunyai nilai ekonomis
Semirata 2013 FMIPA Unila |381

Indra Junaidi Zakaria: Komunitas Bulu Babi (Echonoidea) di Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan Sumatera Barat

sebagai komoditas ekspor dan bernilai gizi


yang cukup tinggi, terutama gonadnya.
Di perairan pantai Sumatera Barat dan
juga di beberapa daerah lain di Indonesia
belum banyak dilakukan penelitian tentang
bulu babi, baik besarnya potensi,
identifikasi jenis-jenis yang ada, struktur
dan komposisi. Oleh sebab itu dilakukan
penelitian struktur dan komposisi, yang
merupakan
informasi
awal
untuk
melakukan pembudidayaan. Sebab, jika
bulu babi dimanfaatkan secara ekonomis
dan berkelanjutan tanpa adanya upaya
pembudidayaan, kelestariannya di perairan
akan terganggu. Terganggunya kelestarian
bulu babi yang merupakan salah satu
bagian rantai makanan di perairan pantai,
terutama di ekosistem terumbu karang,
otomatis akan menggangu keseimbangan
ekosistem tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April
sampai Oktober 2007, bertempat di perairan
Pulau Cingkuak, Kabupaten Pesisir Selatan,
Pulau Sikuai dan Pulau Setan, Kota Padang,
Propinsi Sumatera Barat. Identifikasi dan
perhitungan
sampel
dilakukan
di
laboratorium Ekologi Perairan, Jurusan
Biologi Fakutas MIPA Universitas Andalas.
Bahan yang dipakai adalah sampel bulu
babi yang didapatkan dari lokasi penelitian.
Kemudian bahan kimia yang diperlukan
adalah MnSO4, KOH/KI, H2S04, Na2S2O3
(Thiosuifat), amilum, NaOH, phenolptaiin
(pp), lugol dan aquades, formalin 4% dan
alkohol 70% serta bahan kimia untuk
analisa fosfat dan nitrat.
Peralatan yang digunakan adalah tali
plastik,
thermometer,
hand
refraktosalinometer, sechi disc, meteran,
timbangan, jangka sorong, peralatan untuk
analisa kualitas air, cool box, kertas pH
universal, pinset, disecting microscope,
petridish, gunting. Selanjutnya juga dipakai
camera digital dan peralatan selam SCUBA
serta alat tulis.

Metode penelitian adalah metode survei.


Teknik pengambilan sampel dilakukan pada
lokasi dimana bulu babi tersebut ditemukan
dengan menggunakan petak tunggal ukuran
50 x 50 meter dan terdiri dari plot-plot
berukuran 5 x 5 meter, yang terbuat dari tali
plastik.
Petak diletakan dari daerah surut
terendah ke arah laut dengan mengikuti
kontur rataan terumbu karang. Pengamatan
dan koleksi sampel langsung dilakukan di
lapangan. Jika perairan cukup dalam untuk
mengamati dan mengkoleksinya dilakukan
dengan penyelaman (menggunakan alat
SCUBA diving). Data yang diambil adalah
jumlah individu dan jenis. Kemudian untuk
identifikasi dan analisis data dilaksanakan
di
Laboratorium
Ekologi
Perairan
Universitas
Andalas
Padang
dan
menggunakan literatur yang sesuai dan
pengidentifikasian.
Faktor lingkungan yang diukur adalah
suhu, kecerahan, salinitas, pH, kedalaman
dan substrat dasar perairan, phospat, nitrat,
oksigen terlarut, BOD dan kadar
karbondioksida bebas. Semua faktor
lingkungan ini diukur langsung di lokasi
penelitian dan di Laboratorium Ekologi
Perairan Universitas Andalas Padang.
Data yang diperoleh dianalisis untuk
menghitung kepadatan, kepadatan relatif
dan Indeks Diversitas dengan indeks
diversitas Shannon-Wiener.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Komunitas Bulu Babi
Dari tiga lokasi penelitian (Pulau
Cingkuak, Kabupaten Pesisir Selatan, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan, Kota Padang)
didapatkan komposisi komunitas bulu babi
(Echinoidea) seperti yang tertera pada
Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1 menunjukkan
total individu bulu babi yang ditemukan di
Pulau Cingkuak sebanyak 301 individu dari
dua jenis bulu babi, yaitu: Echinotrix
deadema (191 individu) lebih banyak
dibandingan E. calamaris (110 individu).

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Kemudian di Pulau Sikuai (Tabel 2), total


individu bulu babi ditemukan sebanyak 543
individu dari tujuh jenis, dimana Diadema
setosum (345 individu) sebagai jenis yang
terbanyak dan diikuti berturut-turut jenis
Echinotrix deadema (114 individu), E.
calamaris
(60
individu),
Diadema
Antillarum (9 individu), D. savingii (6
individu),
Echinometra
mathaei
(6
individu) dan Arbacia lixula (3 individu).
Selanjutnya di Pulau Setan (Tabel 3), bulu
babi dijumpai sebanyak 525 individu dari 5
jenis, dengan perincian sebagai berikut: D.
Setosum (438 individu) merupakan jenis
yang terbanyak serta D. antillarum (45
individu), E. deadema (18 individu), E.

calamaris (15 individu) dan E. mathaei (9


individu).
Di Pulau Sikuai, ditemukan jumlah total
individu dan jenis bulu babi lebih banyak
dibandingkan dengan Pulau Setan dan
Pulau Cingkuak. Hasil penelitian ini juga
menunjukkan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah total individu dan jenis bulu
babi yang ditemukan di Pulau Pasumpahan,
Kota Padang, yang merupakan hasil
penelitian [5]. Dari penelitian tersebut
ditemukan 4 jenis bulu babi, yaitu D.
setosum, D. antillarum, Tripneutes gratilla
dan E. callamaris.

Tabel 1. Komposisi komunitas bulu babi di Pulau Cingkuak

No
1
2

Jenis
E. deadema
E. calamaris

Jumlah (Individu)
191
110
301

K (ind/m2)
0,076
0,044

KR (%)
63,46
36,54

Tabel 2. Komposisi komunitas bulu babi di Pulau Sikuai

No
1
2
3
4
5
6
7

Jenis
D. setosum
E. deadema
E. calamaris
D. antillarum
D. savingii
E. mathaei
A. lixula

Jumlah (individu)
345
114
60
9
6
6
3
543

K (ind/m2)
0,138
0,046
0,024
0,004
0,002
0,002
0,001

KR (%)
63,54
21,00
11,05
1,66
1,10
1,10
0,55

K (ind/m2)
0,175
0,018
0,007
0,006
0,004

KR (%)
83,43
8,57
3,43
2,86
1,71

Tabel 3. Komposisi komunitas bulu babi di Pulau Setan

No
1
2
3
4
5

Jenis
D. setosum
D. antilallarum
E. deadema
E. calamaris
E. mathaei

Jumlah (individu)
438
45
18
15
9
525

Semirata 2013 FMIPA Unila |383

Indra Junaidi Zakaria: Komunitas Bulu Babi (Echonoidea) di Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan Sumatera Barat

Di Pulau Cingkuak, kepadatan dan


kepadatan relatif yang terbesar adalah bulu
babi jenis E. deadema dengan nilai 0,076
ind/m2 dan 63,46%, dan diikuti oleh jenis
E. calamaris dengan nilai 0,044 ind/m2 dan
36,54%. Untuk Pulau Sikuai, kepadatan dan
kepadatan relatif terbesar dari jenis D.
setosum dengan nilai 0,138 ind/m2 dan
63,54%, selanjutnya diikuti jenis E.
deadema (0,046 ind/m2 dan 21,00%), E.
calamaris (0,024 ind/m2 dan 11,05%), D.
Antillarum (0,004 ind/m2 dan 1,66%), D.
Savingii (0,002 ind/m2 dan 1,00%), E.
mathaei (0,002 ind/m2 dan 1,00%) dan A.
lixula (0,001 ind/m2 dan 0,55%). Kemudian
di Pulau Setan, kepadatan tertinggi dari
jenis D. setosum dengan nilai 0,175 ind/m2
dan 83,43%, D. Antillarum dengan nilai
0,018 ind/m2 dan 8,57%, E. deadema
(0,007 ind/m2 dan 3,43%), E. calamaris
(0,006 ind/m2 dan 2,86%) dan jenis E.
mathaei dengan nilai kepadatan 0,004
ind/m2 serta nilai kepadatan relatif 1,7%.
Secara umum jenis D. setosum
merupakan jenis yang terbanyak di temukan
dilokasi penelitian (kecuali di Pulau
Cingkuak karena tidak ditemukan).
Banyaknya bulu babi jenis D. setosum
disebabkan pada lokasi penelitian banyak
ditemukan turf alga, merupakan makanan
yang digemari oleh bulu babi jenis ini. D.
setosum suka hidup mengelompok dan
sering berada di perairan sedikit terbuka,
sehingga mudah dijumpai. Menurut D.
setosum juga sering ditemukan pada
berbagai tipe perairan, mulai dari perairan
yang bersih sampai ke perairan kurang
bersih. Kemudian jenis ini mampu bertahan
terhadap masukan sedimen dari daratan ke
perairan, sehingga dapat dijadikan sebagai
indikator lingkungan dari ekosistem
terumbu karang, dimana kehadiran populasi
bulu babi jenis ini dalam jumlah yang besar
maka kondisi terumbu karangnya kurang
baik. Pada perairan Pulau Sikuai dan Pulau
Setan kehadiran populasi bulu babi jenis D.
setosum cukup besar, keadaan ini

berhubungan dengan kondisi terumbu


karangnya banyak yang rusak dan
ditumbuhi oleh truf alga. Disamping itu
juga, sedimentasi di perairan ini cukup
tinggi, ini dibuktikan dengan kecerahan
perairan yang cukup rendah berkisar antara
8,5 -19 meter dari hasil penelitian ini dan 2
sampai 18 meter hasil penelitian.
Di Lokasi penelitian, D. setosum banyak
ditemukan pada berbagai zona di terumbu
karang antara Iain ditemukan pada zona
pasir, zona pertumbuhan alga, zona Iamun
sampai daerah tubir dimana zona
penyebarannya lebih banyak dibandingkan
dengan bulu babi jenis yang Iain. D.
setosum berukuran kecil banyak ditemukan
pada daerah karang mati yang dekat dengan
daerah pasang surut, sedangkan yang
dewasanya banyak ditemukan pada daerah
tubir karena pada daerah ini lubang-lubang
karang lebih besar.
Jenis bulu babi Iain yang ditemukan di
lokasi penelitian dengan keberadaan yang
berbeda adalah: E. deadema, E. calamaris,
D. Antillarum, D. savingii, E. mathaei dan
A. lixula. Kesemuanya jenis bulu babi
tersebut memiliki kepadatan dan kepadatan
relatif lebih rendah dari jenis D. Setosum,
dan tidak begitu jauh berbeda diantara
jenis-jenis tersebut. Selanjutnya hewanhewan ini ditemukan hidup sendiri-sendiri,
namun ada juga ditemukan hidup
berkelompok pada beberapa tempat.
BuIu babi umumnya hewan nokturnal
atau aktiv di malam hari, sepanjang siang
mereka bersembunyi di celah-celah karang
dan keluar pada malam hari untuk mencari
makanan. Karena penelitian ini dilakukan
pada siang hari, jadi berkemungkinan ada
bulu babi lain yang tidak terhitung.
Struktur Komunitas Bulu Babi
Untuk mengetahui struktur komunitas
bulu babi dilakukan analisis diversitas yang
meliputi indeks keanekaragaman. Indeks ini
menunjukkan tinggi atau rendahnya
keanekaragaman jenis suatu komunitas.

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H) bulu babi di Pulau Cingkuak

No

Jenis

1
2

E. deadema
E. calamaris

K
(ind/m2)
0,076
0,044

Pi

- Pi ln Pi

0,635
0,366

0,289
0,398
H = 0,658

Tabel 5. Nilai Indeks Keanekaragaman (H) bulu babi di Pulau Sikuai

No
1
2
3
4
5
6
7

Jenis
D. setosum
E. deadema
E. calamaris
D.antillarum
D.savingii
E.mathaei
A. lixula

K (ind/m2)
0,138
0,046
0,024
0,004
0,002
0,002
0,001

Pi
0,635
0,210
0,111
0,017
0,011
0,011
0,009

- Pi ln Pi
0,288
0,328
0,244
0,070
0,050
0,050
0,031
H = 1,061

Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H) bulu babi di Pulau Setan

No

Jenis

1
2
3
4
5

D. setosum
D. antilallarum
E. deadema
E. calamaris
E. mathaei

K
(ind/m2)
0,175
0,018
0,007
0,006
0,004

Semakin
tinggi
nilai
indeks
keanekaragamannya, maka semakin tinggi
juga keanekaragaman suatu komunitas.
Indeks keanekaragaman bulu babi yang
ditemukan dapat dilihat pada Tabel 4,5 dan
6. Dari Tabel 4, menunjukan bahwa indeks
keanekaragaman bulu babi di Pulau
Cingkuak sebesar H= 0,658. Kemudian di
Pulau Sikuai, nilai indeks keanekaragaman
bulu babi adalah H= 1,061 (Tabel 5).
Selanjutnya di Pulau Setan nilai indek
keanekaragamannya yaitu H= 0.649 (Tabel
6). Dari ketiga lokasi ini menunjukan
bahwa nilai indeks keanekaragaman Pulau
Sikuai lebih tinggi dibandingkan dengan
dua lokasi lain. Namun demikian, walaupun
ada perbedaan dari harga nilai indek, ketiga
lokasi ini masuk kedalam kategori
keanekaragaman sedang. Hal ini sesuai

Pi

- Pi ln Pi

0,834
0,086
0,034
0,029
0,017

0,151
0,211
0,115
0,103
0,069
H = 0,649

dengan pernyataan, bila nilai H 0,0 1 - 0,1


berarti keanekaragamannya rendah, nilai H
0,1 - 3,0 keanekaragamannya sedang dan
jika
nilai
H
lebih
dari
3,0
keanekaragamannya
tinggi.
Tinggi
rendahnya nilai indeks keanekaragaman
dari suatu komunitas di suatu tempat
tergantung pada kekayaan jenis dan
kepadatan antar jenis. Menurut penelitan
yang dilakukan oleh keanekaragam bulu
babi di Pulau Pasumpahan masuk ke dalam
kategori rendah dengan nlai indeks
keanekaragam yang didapat berkisar antara
0,005

0,278.
Sedangkan
keanekaragaman bulu babi di ketiga pulau
lokasi penelitian ini masuk ke dalam
kategori sedang. Penyebab kondisi ini
diduga terumbu karang d Pulau
Pasumpahan lebih bagus dibandingkan
Semirata 2013 FMIPA Unila |385

Indra Junaidi Zakaria: Komunitas Bulu Babi (Echonoidea) di Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan Sumatera Barat

dengan ketiga Pulau tersebut, dimana


terumbu karang Pulau Pasumpahan tidak
banyak dijumpai turf dan corallin alga,
yang merupakan sumber makanan bagi bulu
babi. Sedangkan kondsi terumbu karang
Pulau Setan, Pulau Sikuai dan Pulau
Cingkuak
banyak
yang
mengalami
kematian (rusak) yang ditumbuhi oleh alga
turf alga dan coralln alga. Dugaan lain
adalah
tingginya
sedimentasi
yang
mengandung zat nutrien di ketiga lokasi
penelitian, yang turut memicu tingginya
pertumbuhan dari turf algae. Salah satu
indikator tingginya diversitas bulu babi di
suatu
ekosistem
terumbu
karang,
menunjukan terumbu karang tersebut telah
mengalami degradasi akibat sedimentasi.
KUALITAS PERAIRAN
Hasil pengukuran kualitas perairan pada
daerah studi di Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan dapat dilihat pada
Tabel 7. Parameter yang diukur adalah:
suhu, kecerahan, kedalaman, substrat,
salinitas, pH, oksigen terlarut (DO),
kabrodioksida bebas, BOD, fosfat dan
nitrat. Hasil pengukuran kualitas perairan
pada daerah studi di Pulau Cingkuak, Pulau
Sikuai dan Pulau Setan masih dalam taraf
toleransi hidup yang baik bagi bulu babi.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Di Pulau Cingkuak, ditemukan bulu babi
sebanyak 301 individu dari dua jenis bulu
babi, yaitu: Echinotrix deadema (191
individu; 0,076 ind/m2; 63,46%) dan E.
calamaris (110 individu; 0,044 ind/m2;
36,54%), di Pulau Sikuai, 543 individu dari
tujuh jenis, yaitu: Diadema setosum (345
individu0; 138 ind/m2; 63,54%,), E.
deadema (114 individu; 0,046 ind/m2;
21,00%), E. calamaris (60 individu; 0,024
ind/m2; 11,05%), D. Antillarum (9 individu;
0,004 ind/m2; 1,66%), D. Savingii (6
individu;
0,002
ind/m2;
1,00%),
Echinometra mathaei (6 individu; 0,002
ind/m2; 1,00%) dan Arbacia lixula (3
individu; 0,001 ind/m2; 0,55%), di Pulau
Setan, 525 individu dari 5 jenis, dengan
perincian: D. Setosum (438 individu; 0,175
ind/m2; 83,43%,), D. antillarum (45
individu; 0,018 ind/m2; 8,57%), E. deadema
(18 individu; 0,007 ind/m2; 3,43%), E.
calamaris (15 individu; 0,006 ind/m2;
2,86%) dan E. mathaei (9 individu; 0,004
ind/m2; 1,7%.).

Tabel 7. Kondisi kualitas perairan pada daerah studi di Pulau Cingkuak, Pulau Sikuai dan Pulau
Setan
Parameter
Suhu
Kecerahan
Kedalaman
Substrat

Satuan
C
Meter
Meter
-

Salinitas
pH
Oksigen terlarut
(DO)
Karbondioksida
Bebas
BOD
Fosfat
Nitrat

Ppm
Ppm
Ppm
mg/l
mg/l

P. Cingkuak
28 30
> 10
0 12
Karang
berpasir
35
7.7 8.5
7.8 8.4

P. Sikuai
28 - 32
> 15
0 19
Karang
berpasir
35
7.0 8.2
7.2 8.0

P. Setan
29 32
> 8.5
0 8.5
Karang berpasir
sedikit berlumpur
34 35
7.6 8.0
7.0 8.0

Tidak
terseteksi
3.3 4.1
0.22
0.83

Tidak
terdeteksi
3.5 4.6
0.34
0.84

Tidak terdeteksi
4.0 4.2
0.46
0.87

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

Dari nilai indeks keanekaragaman bulu


babi di Pulau Cingkuak sebesar H= 0,658,
di Pulau Sikuai adalah H=1,061 dan di
Pulau Setan nilai indek keanekaragamannya
yaitu H=0.649 dan ketiga lokasi ini masuk
kedalam kategori keanekaragaman sedang.
Hasil pengukuran kualitas perairan pada
daerah studi masih dalam taraf toleransi
hidup yang baik bagi bulu babi.
Dari hasil penelitian ada beberapa
penelitian lanjut yang perlu dilakukan,
diantaranya:
Penelitian seksualitas (siklus seksualitas,
gonad, sperma, fekunditas) dan penelitian
reproduksi tahap skala laboratorium.
Teknik budidaya skala laboratorium dan
aplikatif.

A. Soegianto (1994). Ekologi Kuantitatif.


Metode
Analisis
Populasi
dan
Comunitas. Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya, Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

H. Sugiarto dan Supardi. 1995. Beberapa


catatan tentang bulu babi marga
Deadema. Oceana XX (4): 34-41.

Terimakasih diucapkan kepada DP2M


DIKTI atas bantuan biaya penelitian dalam
bentuk
Hibah
Fundamental
Tahun
Anggaran 2007.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kurnia. 2006. Meraup Yen dengan
Merneithara
Bulu
Bahi.
www.
beritaiptek. Com/pilih berita. 3 Februari
2006.
A.C. Wardlaw. 1985. Pratical Statistics for
Experimental Biologist. John Wiley &
Sons LTD.
G.J. Bakkus. 1990. Quantitative Ecology
and
Marine
Biology.
A.A.
Balkema/Rotherdam.

Nasril, M. 2005. Studi Kelimpahan Bulu


(Echinoidea) di Perairan Pasumpahan
Kot Padang, Sumatera Barat. Skripis
Sarjana
Pemanfaatan
Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Bung Hatta,
Padang.
A. Aziz. 1995. Beherapa Catatan Mengenai
Fauna Echinodermata di Lombok.
Pengembangan dan Manfaat Potensi
Kelautan, Potensi
Biota, Teknik
Budidaya dan Kualitas Perairan.
Oseanologi LIPI Jakarta.

I.J. Zakaria. 2004. On the growth of newly


settled corals on concrete substrates in
coral reefs of Pandan and Setan Islands,
West Sumatera, Indonesia. Disertation
zur Erlangung des DOktorgrades der
Mathematische-naturwissenschaftlichen
Fakultaet
der
Christian-albrechtsuniversitaet zu Kiel.
T. Zubi. 2006. Invertebrates. Multi-celled
Animals (Metazoa).
http://www.starfish.ch/reef/echinoderms.
html. 24 Januari 2007
Michael. 1986. Ecological Methods for
Field and Laboratory Investigation. Tata
McGraw-Hill.
Publishing
Limited.
Nwew Delhi.

Semirata 2013 FMIPA Unila |387

Anda mungkin juga menyukai