Anda di halaman 1dari 18

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

HIPERBILIRUBINEMIA

Dewi Sulistiani
Reni sela Agustin

Pembimbing :
dr. Rita Anggraini Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RS HAJI MEDAN
PERIODE 2 MARET 9 MEI 2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Rita Anggraini Sp.A selaku pembimbing yang
telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaikbaiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan anak dengan judul
Hiperbilirubinemia pada kepaniteraan klinik senior di RS HAJI MEDAN.
Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke depan.
Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi rekanrekan yang ingin mengetahui masalah Hiperbilirubinemia.

Medan, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang.............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi......................................................................................................

2.2. Epidemiologi.............................................................................................

2.3. Patofisiologi...............................................................................................

2.4. Etiologi & Faktor Resiko...........................................................................

2.5. Klasifikasi..................................................................................................

2.6. Gejala Klinis..............................................................................................

2.7. Diagnosis...................................................................................................

2.8. Penatalaksanaan.........................................................................................

11

2.9. Pencegahan................................................................................................

12

2.10.Monitoring................................................................................................

13

2.11.Komplikasi................................................................................................

13

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan................................................................................................

15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................

16

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan

pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat
berwarna kuning, keadaan ini timbul akbiat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus
pada sclera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan
komponen hemoglobin mamalia.
Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses
glukorodinasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi
bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pada kebayakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi merupakan fenomena tansisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menyebabkan sekuele neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus
dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia. (1)

BAB II

PEMBAHASAN
2.1.

Definisi
Hiperbilirubinemia neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin total pada minggu

pertama kelahiran aterm. Gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Kadar normal bilirubin
maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 mol/L). (2)

2.2.

Epidemiologi
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar

neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa
angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di RSU
Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003). RSAB
Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan (tahun 2002). Di Hospital Bersalin
Kuala lumpur dengan tripple phototherapy tidak ada lagi kasus yang memerlukan tindakan
transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum Amsterdam
dengan double phototherapy (tahun 2003). (3)
Dari penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, sekitar 65% dari 4 juta bayi yang lahir
setiap tahunnya, mengalami hiperbilirubinemia. Penelitian cross-sectional yang dilakukan di
Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003,
menemukan angka kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebesar 58% (kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL) dan 29,3% (kadar bilirubin di atas 12 mg/dL) pada minggu pertama
kehidupan. (2)

2.3.

Patofisiologi
Bilirubin, sebagian besar terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem

retikuloendotelial (RES). Laju penghancuran hemoglobin pada neonatus cenderung lebih tinggi
daripada bayi yang lebih tua, dimana satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin

indirek. Pada cairan amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. (2)
Kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis
pada kejadian inkompatibilitas darah ABO dan Rh. Selain itu, peningkatan bilirubin amnion juga
terdapat pada obstruksi usus fetus. Mekanisme masuknya bilirubin ke cairan amnion belum
diketahui dengan jelas, tetapi diduga melalui mukosa saluran napas dan saluran cerna.(2)
Pembentukan bilirubin pada fetus dan neonatus diperkirakan sama besar, tetapi
kemampuan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Selain itu, terdapat
keterbatasan dalam kemampuannya untuk membentuk bilirubin terkonyugasi. Sehingga, hampir
semua bilirubin pada janin berada dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke
sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat
tergantung pada kadar albumin dalam serum. Dalam keadaan fisiologis, pada hampir semua
neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin pada masa neonatus. Pada masa janin, fungsi ini
dilakukan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini menyebabkan penumpukan
bilirubin dan disertai gejala hiperbilirubinemia. Pada bayi baru lahir, karena fungsi hepar yang
belum matang, gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis, karena kekurangan enzim
glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat
meninggi.(4)
Bayi yang lahir kurang bulan, kadar albumin biasanya rendah, hal ini menyebabkan kadar
bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek
yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Kapasitas pengikatan bilirubin indirek
maksimal neonatus yang mempunyai kadar albumin normal pada umumnya dicapai saat kadar
bilirubin indirek mencapai 20 mg%.(5)

Gambar 1. Metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin (5)


2.4.

Etiologi Dan Faktor Risiko


Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh penyebab tunggal
ataupun

dapat

disebabkan

oleh

beberapa

faktor.

Secara

garis

besar

etiologi

hiperbilirubinemia neonatus dapat dibagi: (2)


1. Produksi yang berlebihan
Bilirubin yang terbentuk melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6PD, enzim piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. (2)
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Crigler-Najjar). Selain itu dapat
disebabkan oleh defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar. (2)
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian dibawa ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat dan sulfafurazol.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. (2)

4. Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar
hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat
infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (2)
Tabel 1. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Neonatarum (2)
Faktor Maternal

Faktor Neonatus

Komplikasi kehamilan (DM,


inkompatibilitas ABO, Rh)

Trauma kelahiran: cephalohematoma, cutaneous


bruising, instrumented delivery

ASI

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,


sulfisoxazol)

Penggunaan infus oksitosin dalam


larutan hopotonik
Obat:diazepam (Valium), oxytocin
(Pitocin)
Ras atau kelompok etnik tertentu
(Asia, Amerika,Yunani)

Infeksi: TORCH (toxoplasmosis, other viruses,


rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses)
Rendahnya asupan ASI
Faktor genetik
Polisitemia
Prematuritas

2.5.

Klasifikasi
1. Hiperbilirubinemia Fisiologi
Hiperbilirubinemia fisiologi mengenai hampir semua neonatus. Biasanya, setiap

neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada
hari ketiga hidupnya. Pola hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut:
kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar
5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL.
Pola hiperbilirubinemia fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.
Misalnya, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari

ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Faktor yang
dapat mempengaruhi munculnya hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir adalah
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80
hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses pengambilan dan konjugasi di hepar yang belum
matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik. (2,6)
2. Hiperbilirubinemia pada bayi mendapat ASI (Breastmilk jaundice)

Hiperbilirubinemia pada pemberian ASI dapat terjadi berkepanjangan pada sebagian bayi
yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang
diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak terdapat faktor risiko lain, ibu
tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila keadaan umum
bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar
bilirubin. (2,6)
3. Hiperbilirubinemia patologi
Hiperbilirubinemia patologi adalah hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan dengan
kadar bilirubin > 18 mg/dL yang terjadi pada hari pertama atau disebabkan oleh proses yang
abnormal. Paling umum patologi disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin pada anemia
hemolitik, biasanya dari inkompatibilitas tipe darah, polisitemia, dan hematoma. (2)

2.6.

Gejala Klinis
Penentuan kadar bilirubin secara klinis bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar

dan tabel berikut : (2)

Gambar 2. Pembagian hiperbilirubinemia menurut Kramer


Tabel 2. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah hiperbilirubinemia menurut Kramer.

Daerah
hiperbilirubinemia

Prematur

Aterm

Kepala dan leher

48

48

Dada sampai pusat

5 12

5 12

Pusat bagian bawah sampai lutut

7 15

8 16

Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu


sampai pergelangan tangan

9 18

11 18

> 10

> 15

Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan


telapak tangan

2.7.

Penjelasan

Kadar bilirubin
(mg/dL)

Diagnosis
Untuk menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan yang banyak

dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar dapat memperkirakan
penyebabnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab
terjadinya hiperbilirubinemia yaitu : (2)
a. Hiperbilirubinemia yang timbul pada 24 jam pertama (2)
Penyebab hiperbilirubinemia yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).

3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.


Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
1. Kadar bilirubin serum berkala
2. Darah tepi lengkap
3. Golongan darah ibu dan bayi
4. Uji Coombs
5. Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G6PD, biakan darah atau biopsi hepar

bila perlu.
b. Hiperbilirubinemia yang timbul 24-72 jam sesudah lahir (2)
a. Biasanya hiperbilirubinemia fisiologis.
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan
lain. Hal ini dapat diduga peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi
5 mg%/24 jam.
c. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
d. Polisitemia
e. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
f. Hipoksia
g. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
h. Dehidrasi asidosis
i. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan hiperbilirubinemia tidak cepat, dapat
dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G6PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
c. Hiperbilirubinemia yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir
minggu pertama (2)
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD

d. Pengaruh obat
e. Sindrom Crigler-Najjar
f.Sindrom Gilbert
d. Hiperbilirubinemia yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya 2
a. Biasanya karena obstruksi
b. Hipotiroidisme
c. Breast milk jaundice
d. Infeksi
e. Neonatal hepatitis
f. Galaktosemia
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
b. Pemeriksaan darah tepi
c. Pemeriksaan penyaring G6PD
d. Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi
e. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Hiperbilirubinemia baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan
selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang
menjadi kern icterus.
Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang diberikan
ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin mencapai puncak
pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak akan tercapai sebelum
umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat diberikan,
kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong
risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat,
lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin. (3)

Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum


bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar
bilirubin total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar. (3)
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain :

Golongan darah dan Coombs test


Darah lengkap dan hapusan darah
Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan

tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar. (3)

2.8.

Penatalaksanaan
a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi (2)
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat

diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum
transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari
ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan
transfusi tukar. Glukosa perlu diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energy.

b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi (2)


Indikasi terapi sinar adalah:
1. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.
2. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat
diberikan dosis kedua selama 24 jam.
c. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (2)

a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL


b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Gambar 3. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry

Tabel 3. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum (2)


Terapi Sinar
Usia

Hari 1

Tranfusi Tukar

Bayi Sehat

Faktor Resiko

Bayi Sehat

Faktor resiko

mg/dL

mg/dL

mmol/L

mg/dL

mmol/L

mg/dL

15

260

13

220

mmol/L

Setiap ikterus yang terlihat

mmol/L

Hari 2

15

260

13

220

19

330

15

260

Hari 3

18

310

16

270

30

510

20

340

Hari 4 dst

20

340

17

290

30

510

20

340

d. Terapi suportif, antara lain : (2)


a. Minum ASI atau pemberian ASI peras.
b. Infus cairan dengan dosis rumatan.

2.9.

Pencegahan
Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan : (2)
a.

Pengawasan antenatal yang baik

b.

Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.

c.

Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus

d.

Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir

e.

Pemberian makanan yang dini

f.Pencegahan infeksi
g.

Pemberian ASI eksklusif

h.

Bila memungkinkan, skrining golongan darah ibu dan ayah sebelum lahir.

i. Bila ada riwayat bayi kuning dalam keluarga, periksa kadar G6PD
2.10.

Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain (2)

1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi
mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau
bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.

2.2.

Komplikasi
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau

ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang
otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan
melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak,

asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus.(7)
Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat
tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain :(7)
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut: (2)
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Hiperbilirubinemia neonatorum adalah peningkatan kadar bilirubin total pada minggu

pertama kelahiran aterm. Gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Kadar normal bilirubin
maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 mol/L)
Penentuan kadar bilirubin secara klinis bisa dilakukan dengan cara Kramer .Untuk
menetapkan penyebab hiperbilirubinemia dibutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal,
sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus agar dapat memperkirakan penyebabnya.
Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau
ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang
otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan
melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak,
asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus.(7)
Pada bayi sehat yang menyusui, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL
dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat
tertunda hingga umur 2-3 minggu

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan
Dokter Anak Indonesia: Jakarta

2. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana
Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta
3. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2010 Buku Panduan
Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit. Kementrian kesehatan RI: Jakarta
4. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of
Health Malaysia. 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia
5. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J
Med 2009;344:581-90.
6. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and
breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
7. Abdul Bari S. 2008. Buku Acuan Nasional Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Anda mungkin juga menyukai