SIFILIS
BLOK TROPICAL MEDICINE
Tutor :
dr. Baskoro Adi Prabowo
Disusun oleh :
KELOMPOK 11
Khoirul Anam
G1A009003
Saidatun Nisa
G1A009090
Khafizati Amalina FR
G1A009136
Masrurotut Daroen
G1A009036
Rostikawaty Azizah
G1A009022
G1A009047
Fawzia Merdhiana
G1A009098
Noeray Pratiwi
G1A009039
Rahmat Husein
G1A009072
G1A009121
Esti Setyaningsih
G1A009106
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan referat di Blok
Tropical Medicine ini.
Dalam penyusunan referat ini kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan
referat ini, khususnya kepada :
1. dr.Indah Rahmawati, Sp.P, dr. OctaviaPermata Sari dan dr. Viva Ratih Bening
Ati selaku PIC dari pengelola Blok Tropikal Medicine.
2. dr. Baskoro Adi Prabowo selaku pembimbing dari penyusunan referat
kelompok 11.
3. Teman-teman kelompok 11 yang telah membantu dan bekerja sama dalam
penyusunan refrat.
Referat ini dibuat dengan judul Shifilis. Penyusunan laporan referat ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dalam blok
tropical
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Treponema pallidum, yang menyerang manusia, bersifat kronis, sistemik
dan dapat mengenai semua bagian tubuh, dapat bersifat laten selama
bertahun-tahun, menular serta dapat diobati. Sifilis dijumpai di seluruh
dunia (terutama negara berkembang), namun sulit untuk membandingkan
insidensi dari satu negara dengan negara yang lain karena ada perbedaan
pelaporan (Murtiastuti, 2008; Partogi, 2008).
Asal penyakit ini tak jelas. Ada yang menganggap penyakit ini
berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Columbus
waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada abad ke-15
terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860 morbiditas sifilis di Eropa
menurun cepat, mungkin karena perbaikan sosioekonomi. Pada abad ke-18
baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh
sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama.
Selama Perang Dunia kedua insidensnya meningkat dan mencapai
puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun (Natahusada et al, 2005).
Sifilis terdistribusi di seluruh dunia, dan merupakan masalah yang
utama pada negara berkembang. Dilihat dari usia, kasus sifilis banyak
ditemukan pada orang dengan rentang usia 20-30 tahun. Empat puluh
persen
(RSCM)
bulan
Januari-Desember
2005,
proporsi
kepositivab kasus baru sifilis stadium I (SI) sebesar 0,14%, sifilis stadium
II (SII) 0,7% dan sifilis laten (S laten) 0,56% (Hutapea et al, 2002; Marra,
2004).
Sifilis paling sering dijumpai pada usia 20-30 tahun. Di Indonesia,
prevalensi
sifilis
terlihat
menurun
sejak
dilakukannya
program
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa
laten tanpa manifestasi lesi di tubuh dan dapat ditularkan kepada bayi di
dalam kandungan.
B. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman
ialah
Treponema
pallidum,
yang
termasuk
ordo
C. Epidemiologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit
kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika
Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat
sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian
menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan
masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anakanak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi
adalah golongan usia muda berusia antara 20 29 tahun, yang aktif
secara seksual (Liu,2009).
Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih
disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun
1981-1989 insidensi sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat
meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000 penduduk. Dibanyak wilayah
di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian
selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi
sifilis pada kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang,
prostitusi, AIDS dan hubungan seks pertama kali pada usia muda. Pada
tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis sebanyak 8 %
dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun 2006
2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000
populasi (Liu,2009).
D. Faktor Resiko
1. Hubungan seks yang tidak sehat
2. Berganti-ganti pasangan seksual
3. Seks tanpa pengaman, misal kondom
4. Mengenal seks sejak dini tanpa edukasi yang baik
5. Penyalahgunaan NAPZA
6. Penggunaan jarum suntik bergantian
7. Kurang memperhaikan kebersihan dan kesehatan alat genital
(Liu,2009).
E. Patofisiologi
primer
ditandai
dengan
timbulnya
Chancre
yang
kondiloma lata ini biasanya tumbuh pada tempat yang lembab dan
hangat seperti aksila, umbilicus, leher, dan selangkangan. Temuan kulit
lainnya dari sifilis sekunder adalah alopecia atau kebotakan. Selama
infeksi sekunder, reaksi kekebalan tubuh mencapai puncaknya dan titer
antibodi meningkat (Deshpande et.al,2009).
Sifilis laten adalah tahap di mana tahap sifilis sekunder telah
membaik, meskipun tetap seroreactive. Beberapa pasien kambuh dari
lesi kulit tahap sifilis sekunder pada periode ini. Sekitar sepertiga dari
pasien sifilis laten yang tidak diobati terus berkembang menjadi sifilis
tersier, sedangkan sisanya tetap asimtomatik (Euerle,2012).
Saat ini, penyakit sifilis tersier jarang terjadi. Pada tahap ini,
infeksi terutama mempengaruhi sistem kardiovaskular (80-85%) dan
SSP (5-10%), berkembang dalam hitungan bulan hingga tahun dan
melibatkan inflamasi jenis lambat pada jaringan. Ada 3 kategori umum
sifilis tersier, yaitu gummatous sifilis, sifilis kardiovaskular, dan
neurosifilis (Euerle,2012).
Sifilis Gummatous ditandai dengan lesi granulomatosa, yang
ditandai dengan jaringan nekrotik dengan tekstur karet. Gumma
terutama terbentuk dalam hati, tulang, dan testis tetapi dapat
mempengaruhi setiap organ. Pemeriksaan histologis menunjukkan
makrofag dan fibroblast palisade, serta sel-sel plasma. Gumma dapat
pecah dan membentuk bisul, hingga akhirnya terjadi fibrosis
(Euerle,2012).
Sifilis kardiovaskular terjadi setidaknya 10 tahun setelah infeksi
primer. Manifestasi paling umum adalah pembentukan aneurisma aorta
ascending, yang disebabkan oleh inflamasi kronis dari vasa vasorum,
kerusakan dinding arteri besar, atau dapat juga terjadi Insufisiensi katup
aorta (Euerle,2012).
Neurosifilis memiliki beberapa bentuk. Jika T.pallidum menyerang
SSP, dapat menghasilkan meningitis sifilis. Meningitis sifilis merupakan
manifestasi awal dari kelainan SSP, biasanya terjadi dalam waktu 6
bulan dari infeksi primer. CSF menunjukkan protein tinggi, glukosa
9
maka dapat muncul sifilis stadium II berbentuk guma yang hal tersebut
belum pasti diketahui sebabnya, namun trauma merupakan salah satu
faktor predisposisi. Pada guma umumnya tidak ditemukan Treponema
pallidum, reaksinya hebat dan bersifat destruktif serta berlangsung
bertahun. Treponema dapat mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem
saraf dalam waktu dini, namun kerusakan yang terjadi secara perlahanlahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat
menimbulkan gejala klinis (Workowski & Berman, 2010).
G. Penegakan Diagnosis
1. Tanda dan Gejala
Berdasarkan stadium penyakitnya gejala klinik dari penyakit
sifilis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu bentuk primer, sekunder
dan bentuk tertier. Sifilis primer biasanya bersifat asimptomatik, yang
didapatkan akibat penularan melalui kontak langsung pada permukaan
mukosa atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis sekunder dapat
timbul 8 minggu setelah terapi sifilis primer meskipun dilaporkan bahwa
sekitar 60% sifilis sekunder tidak mempunyai riwayat sifilis primer. Dan
sifilis tertier adalah bentuk laten dari penyakit ini yang biasanya muncul
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian dan 15% diantaranya
terjadi pada penderita yang tidak mendapat terapi, dimana lesi telah
menyebar sampai ke tulang, saluran cerna, sistim saraf dan sistim
kardiovaskuler. Terdapat bentuk lain dari penyakit sifilis yang banyak
ditemukan 5 di wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut Endemik
Sifilis, merupakan penyakit infeksi kronik nonveneral yang disebabkan
oleh T. pallidum subspecies endemicum. Penyebaran terjadi melalui
kontak langsung pada lesi yang aktif, jari-jari dan peralatan makan atau
minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007).
Disamping itu terdapat juga bentuk sifilis tertier yang dapat
timbul 1 10 tahun setelah terinfeksi dengan tanda khas berupa adanya
gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis tertier ini tidak mendapat
12
terapi, dapat terjadi komplikasi yang lebih berat berupa neurosifilis dan
kardiovaskuler sifilis (Bockenstedt L.K, 2003).
a. Sifilis Primer
Sifilis primer terjadi karena kontak langsung dengan lesi
infeksi penderita melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit timbul
dalam 10 90 hari setelah terpapar, kebanyakan pada alat genital
namun dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang lain. Tanda
klinis yang pertama kali muncul adalah timbul lesi primer berupa
ulkus dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna, jumlah
lesi biasanya hanya satu, meskipun dapat juga multipel. Lesi jarang
terjadi pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering pada vagina
atau serviks., 3 minggu (10-90 hari) setelah coitus suspectus
(hubungan seksual yang dicurigai sebagai penyebab infeksi). Ulkus
ini disebut ulkus durum atau chancre (syphilitic ulcer) yaitu suatu
ulcerasi pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang terexposure
terutama pada penis, vagina, atau rectum. Kadang-kadang terdapat
lesi multipel, menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu dapat terjadi
pembengkakan kelenjar limfe lokal dan biasanya sembuh spontan
(Palacios R et all. 2007).
Biasanya soliter, tidak nyeri (indolen), bagian tepi lesi
meninggi dan keras(indurasi), dasar bersih, tanpa eksudat, ukuran
bervariasi dari beberapa mm sampai 1-2 cm. Terdapat limfadenopati
inguinal medial unilateral/bilateral, tidak terdapat gejala. Adanya
ulkus disertai pembesaran kelenjar getah bening disebut kompleks
primer.Bila tidak diobati, ulkus akan menetap selama 2-6 minggu,
lalu sembuh spontan. Pada ulkus dapat ditemukan gerakan T.
Pallidum.
13
14
Makulopapular
moth-eaten alopecia
condiloma lata
c. Sifilis Laten
Disebut sifilis laten apabila tidak tanda-tanda dan gejala
penyakit tetapi terdapat bukti serologik. Sifilis laten dapat dibedakan
atas tipe early atau late. Disebut tipe early bila selama 2 tahun
serologik positif tetapi tidak ada gejala penyakit. Sedang tipe late
bila 6 infeksi lebih dari 2 tahun tanpa bukti klinik yang jelas.
Pembagian ini berguna dalam pemberian terapi pada penderita dan
resiko transmisi ke orang lain. Dalam perjalanan penyakit sifilis
selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur
hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat
ini. (Sacher R.A, McPerson R.A, 2007).
d. Sifilis Tertier
Sifilis tertier biasanya muncul dalam waktu 1 10 tahun
setelah infeksi pertama, pada beberapa kasus dapat mencapai masa
sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya gumma yang lunak, suatu
bentuk tumor akibat proses inflamasi yang dikenal dengan
granuloma, bersifat kronik dan dapat muncul kembali bila sistim
imun tubuh tidak sempurna. Guma umumnya satu, dapat multipel,
ukuran milier sampai berdiameter beberapa sentimeter. Guma dapat
timbul pada semua jaringan dan organ, termasuk tulang rawan pada
hidung dan dasar mulut. Guma juga dapat ditemukan pada organ
15
tabes
dorsalis
atau
paresis.
Sedang
komplikasi
16
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung
organisme dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi
fluoresen langsung dan kedua dengan mendeteksi adanya antibodi
dalam serum dan cairan serebrospinal. Tes serologis merupakan tes
konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap organisme penyebab
sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis
infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya
gejala-gejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat
digunakan dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis
antibodi non treponema dan antibodi treponema (Sacher R.A,
McPerson R.A, 2004).
a. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh
penyakit sifilis atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk
setelah penyakit menyebar ke kelenjar limpe regional dan
menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat menimbulkan reaksi
silang dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes serologis non
treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari
lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining
adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal
Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen
(RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4 6 minggu terinfeksi
(positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut).
Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti
kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan
infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal
dan lipoid sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah
(Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) :
1) Veneral Disease Research Laboratory (VDRL)
Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis
juga dapat digunakan untuk monitoring respon terapi, deteksi
17
partikel
pigmen
merah
yang
terlihat
ketika
palsu. Positif palsu terjadi karena adanya penyakit bersifat akut seperti
hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan
pada jaringan penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi karena
tingginya titer antibodi (prozone phenomenon) yang sering ditemukan
pada sifilis sekunder.
b. Antibodi Treponemal
Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
antigen treponema dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes
skrining nontreponemal atau konfirmasi adanya proses infeksi pada
hasil negatif tes nontreponemal pada fase late atau laten disease
dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu ;
1) grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang
terdapat pada semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan
pada penggunaan beberapa strain saprofitik dari treponema, yaitu
Reiter Protein Complement Fixation (RPCF) .
2) Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen
dari T. pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah :
a) Treponema pallidum Complement Fixation
Pada prinsipnya, merupakan tes yang sederhana.
Virulen T. pallidum yang diperoleh dari orang yang terinfeksi
dengan mengsentrifugasi diferensial treponema yang telah
disiapkan, kemudian fraksi lipid dihapus oleh aseton dan eter
ekstraksi berturut-turut, dan protein aktif yang seperti antigen
kemudian dihapus dari treponema kering dengan 0,2 persen
larutan natrium desoxycholate. Antigen yang dihasilkan
digunakan dalam fiksasi komplemen-konvensional untuk
menguji. mirip dengan teknik Kolmer volume kelima.
b) Treponemal Wassermann (T-WR)
Secara teknik dan ekonomis, TWR dibandingkan
dengan TPI yang jelas adalah lebih praktis dan prosedur
spesifik yang digunakan untuk serologis rutin diagnosis atau
pengecualian dari infeksi treponemal.
20
tes
serum
pasien
diinaktifkan
dengan
FTA adalah
cukup baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup
praktis, mudah dan sederhana serta harganya relatif murah.
Sebagai antigen dipakai T .pallidum strain Nichol dan sebagai
carrier digunakan sel darah merah kalkun. Sel darah merah
kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan Ab serum penderita
lalu diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam serum akan
mengikat antigen pada sel darah merah membentuk kompleks
Ag-Ab dan hasil positif dinilai dengan melihat adanya
aglutinasi.
h) Treponema pallidum Immune Adherence (TPIA)
Tes sederhana untuk dilakukan dan hasil yang sangat
spesifik untuk antibodi antitreponemal. Selain itu, suspensi
antigen bisa dipertahankan untuk waktu yang lama karena
pallidum telah dipanaskan.
i) Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) T. pallidum
3. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit sifilis biasanya secara tidak langsung
ditemukan pada pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit menular
seksual dan pengguna narkotika. Karena T. Pallidum tidak dapat
tumbuh pada media kultur maka digunakan metode lain untuk
mendiagnosis penyakit sifilis. Seperti mikroskop lapangan gelap atau
apusan cairan dari kulit atau jaringan. Bahan pemeriksaan adalah
transudat segar dari chancre pada infeksi primer atau kondiloma lata
pada infeksi sekunder. Hasil positif bila ditemukan spiroketa yang
motil, membentuk kumparan padat dan bergerak melengkung. Untuk
penderita dengan suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan dengan
sampel dari cairan cerebrospinal (Sacher R.A, McPerson 2008).
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa :
a. Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari
bagian dalam lesi, untuk melihat adanya T.pallidum.
22
lapangan
gelap
menggunakan
ramping,
erakan
minyak
lambat,
dan
angulasi.
c. Mikroskop fluoresen
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi
dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel
fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi.
d. Penentuan antibodi di dalam serum
Tes yang menentukan antibodi non spesifik.
1) Tes Wasserman
2) Tes Kahn
3) Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)
4) Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
5) Tes Automated reagin
e. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter
Protein Complement Fixation)
Yang menenutkan antibodi spesifik yaitu :
1) Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
2) Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed)
3) Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Asaay)
4) Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay).
H. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga
diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersenggama.
Pengobatan dimulai sedini mungkin. Pengobatannya menggunakan
penisilin dan antibiotik lain. (Natahusada dan Djuanda, 2006)
1. Penisilin
23
Pengobatan
Pemantauan serologik
1. Penisilin G bezantin
dosis 4,8 juta unit secara
IM (2,4 juta) dan
diberikan satu kali
seminggu
2. Penisilin G prokain
dalam akua dosis total 6
juta unit, diberi 0,6 juta
unit/hari selama 10 hari
3. PAM (penisilin prokain
+2% aluminium
monostrerat). Dosis total
4,8 juta unit, diberikan
1,2 juta unit/kali 2 kali
seminggu
1. Penisilin G bezantin,
dosis total 7,2 juta unit
2. Penisilin G prokain
dalam akua, dosis total
12 juta unit (0,6 juta
unit/hari)
3. PAM dosis total 7,2 juta
unit (1,2 juta unit/kali, 2
kali seminggu)
1. Penisilin G benzatin
dosis total 9,6 juta unit
2. Penisilin G prokain
dalam akua, dosis total
24
pada
ujung
pembuluh
darah
disertai
degenerasi
25
berdasarkan
kelainan
pada
likuor
dan
fibroblas. Pembentukan
jaringan
fibrotik
infeksi
pertama.
Kira-kira
seperempat
kasus
radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torakolumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena,
misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus
oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas
berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa
nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi
dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsurangsur
terutama
akibat
demielinisasi
dan
degenerasi
korteks
menipis
dan
terjadi
hidrosefalus
(Natahusada, 2010).
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang
terjadi berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi
kemunduran intelektual, kemudian kehilangan dekorum,
bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat
terjadi depresif atau maniacal. Gejala lain di antaranya ialah
disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng,
dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi
kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia
urin, dan akhirnya meninggal (Natahusada, 2010).
d. Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi
akibat perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan
menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat solitar
27
28
BAB III
PEMBAHASAN
A. Terapi Lama
Pengobatan sifilis pada dasarnya didasarkan dan dibedakan atas
stadium dan jenis dari sifilisnya. Semakin pengobatan dimulai pada
stadium sedini mungkin maka akan semakin baik juga hasilnya,
Sedangkan sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut.
Teori lama penatalaksanaan siphilis adalah penggunaan penisilin dan
antibiotik lain.
a. Penisilin
Penisilin merupakan pilihan pengobatan dikarenakan dapat
menembus plasenta sedingga mencegah infeksi pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi, teori lain menyebutkan bahwa
pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi JarishHerxheime. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui,
mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang
dikeluaran oleh banyak T.Paliidum yang mati. Dijumpai sebanyak
50-80% pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas
jam pada suntikan penisilin yang pertama.
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum
biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula
berat seperti demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgi, malese,
berkeringat dan kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek
primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak
nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai 12
jam tanpa merugikan penderita pada S.I
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer
ialah
dengan
b. Antibiotik lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang
digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektifitas
penisilin. Digunakan tetrasiklin 4 X 500 mg/hari atau eritromisin 4
X 500 mg/hari atau deksisiklin 2 X 100 mg/hari . Lama pengobatan
15 hari bagi S I dan S II dan 20 hari bagi stadium laten. Eritrimisin
bagi
yang
hamil,
efektivitasnya
diragukan.
Doksisiliklin
30
4. Pada masa kehamilan, terapi yang sesuai dengan tahap sifilis tetap
dianjurkan dengan observasi berkelanjutan (Medscape, 2012).
Sebelum pasien diberikan antibiotik, harus dilakukan uji pada kulit
terlebih dahulu sebagai suatu prosedur yang harus dilakukan ketika akan
memberikan semua jenis antibiotik, tanpa melihat ada atau tidaknya
riwayat alergi sebelumnya. Pasien dengan hasil tes negatif dapat
menerima pengobatan konvensional dengan Penisilin. Jika hasil tes
positif, maka hal ini harus benar-benar dipastikan, karena pasien nantinya
akan diberikan pengobatan alternatif yang sampai saat ini masih
dipertanyakan keefektifannya dalam semua tahap sifilis.
Banyak
32
BAB IV
KESIMPULAN
1. Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum,
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik selama perjalanan
penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa
manifestasi lesi di tubuh dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan.
2. Faktor resiko pada sifilis adalah :
a. Hubungan seks yang tidak sehat
b. Berganti-ganti pasangan seksual
c. Seks tanpa pengaman, misal kondom
d. Mengenal seks sejak dini tanpa edukasi yang baik
e. Penyalahgunaan NAPZA
f. Penggunaan jarum suntik bergantian
g. Kurang memperhaikan kebersihan dan kesehatan alat genital
3. Sifilis hampir selalu ditularkan melalui kontak seksual kecuali sifilis
Kongenital, T.palidum dapat menembus sawar plasenta hingga kemudian
menginfeksi neonates. Pada sifilis karena penularan, T.pallidum dengan
cepat menembus membran mukosa, kemudian dalam beberapa jam, ia
akan memasuki sistim limfatik dan darah hingga mengakibatkan infeksi
sistemik.
4. Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui beberapa tes :
a. Pemeriksaan lapangan gelap
b. Mikroskop fluoresen
c. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
1)
2)
3)
4)
Tes Wasserman
Tes Kahn
Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)
Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
34
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, Yaws, Bejel, and Pinta. 2001. Andrews Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 9th edition. Philadelphia : W.B.Saunders Company. 445-65.
Brian Euerle, MD, 2012.Syphilis Clinical Presentation. University of Maryland
School of Medicine .USA.http://emedicine.medscape.com/article/229461clinical
Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal Diseases : Syphillis and Lyme Disease in
Medical Immunology 10th ed, Mc Graw Hill.
Dewi, Kurnia. 2010. Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Penyakit Menular
Seksual. Semarang: Unimus.
Elsevier . 2009. Mosby's Medical Dictionary 8th edition. Elsevier, Inc,. Access at
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/endarteritis+obliterans
Euerle, Brian. 2012. Syphilis Treatment and Management. Maryland : Medscape
Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk Penyakit Sifilis dalam Imunoasai Terapan
pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press.
Healthcommunities. Syphilis Urologychannel. Healthcommunities.com, last
modified.
Hutapea, N.O., Syafei, R.R. Ramsi, F. Sulani, R. Hutapea, et al. 2002. Studi
penyakit menular Seksual (PMS) dikalangan pekerja seks di Sumatera
Utara. MDVI. Vol 29(3):119-24.
Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular
Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.
Knudsen, Richard. 2011. Neurosyphilis Overview of Syphilis of the CNS.
Department of Neurology, Seattle Children's Hospital, University of
Washington Medical Center. Washington.DC available access at :
http://emedicine.medscape.com/article/1169231overview#aw2aab6b5LaSala P.R, Smith M.B, 2007. Spirochaete Infections
in Henrys Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods
21sted, Saunders Elsevier.
Marra, M.C. 2004. Syphilis and Human Immunodeficiency Virus. Arch Neurol.
61: 1505-08.
Murtiastuti, D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Edisi 2. Sifilis.
Surabaya : Airlangga University Press. 145-8.
Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.
Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis infection on HIV viral load and CD4
cell counts in HIV-infected patients. J Acq Immun Defic Synd 44: Maret.
Partogi, Donna. 2008. Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis.
Medan: FK USU.
35
36