PENDAHULUAN
Ada dua masalah dasar pertanian tanaman padi di Indonesia khususnya
dalam 15 tahun terakhir, yaitu kemandegan pertanian padi dilihat dari segi
produktivitas usaha dan kesejahteraan petani. Suatu hasil studi menunjukkan
adanya kecenderungan menurun pada angka kenaikan produktivitas pertanian
tanaman padi sejak paruh kedua 1980-an (Simatupang, 1999). Sementara itu data
statistik terbaru menunjukkan peningkatan gejala guremisasi dalam komunitas
petani tanaman pangan di Indonesia. Resultan dari kecenderungan penurunan
produktivitas dan penyempitan pada tingkat penguasaan lahan, ditambah dengan
harga gabah yang rendah, tidak bisa lain adalah tingkat kesejahteraan yang rendah
pada mayoritas petani gurem/kecil.
Kondisi pertanian padi semacam itu harus ditafsir sebagai suatu gejala
menuju krisis. Bukannya tidak ada upaya-upaya besar yang telah dilakukan
untuk keluar dari kondisi tersebut, khususnya berupa rekayasa teknologi produksi,
tetapi situasi justru cenderung memburuk. Karena itu, suatu langkah korektif jelas
tidak memadai lagi jika hanya berhenti pada upaya rekayasa teknologi produksi,
apalagi jika itu terfokus pada pupuk dan obat-obatan pertanian seperti selama ini.
Langkah koreksi harus naik ke arah yang lebih tinggi, yakni paradigma yang
memayungi kegiatan pertanian padi kita.
Hendak dikatakan di sini, paradigma pertanian yang kita anut selama ini
tidak mampu lagi memberi jawaban atas masalah-masalah dasar pertanian tersebut
di atas. Ini yang disebut sebagai krisis paradigma. Implikasinya, pertanian padi
kita dimungkinkan selamat dari kondisi krisis jika, dan hanya jika, paradigma
lama tadi diganti dengan suatu paradigma baru. Tanpa langkah mendasar
seperti itu, apapun upaya untuk keluar dari masalah, termasuk kebijakan
revitalisasi pertanian (berparadigma lama) yang baru dikeluarkan pemerintah,
tidak akan membuahkan hasil yang subtantif.
Tulisan ini bermaksud membuka jalan untuk suatu pergeseran dari
paradigma lama ke paradigma baru di bidang pertanian khususnya tanaman
pangan padi. Suatu situasi krisis paradigma lama akan ditunjukkan lebih dahulu,
PARADIGMA EKOLOGI BUDAYA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN PADI Felix Sitorus
167
168
169
170
171
tanah, dan tenaga petani tidak lebih dari sekadar faktor produksi, sama seperti
pupuk dan obat-obatan kimiawi (dan air irigasi). Asumsi yang ditegakkan di sini,
dan hal itu sungguh menyesatkan, adalah bahwa teknologi pupuk dan obat-obatan
dapat mengatasi keterbatasan benih, tanah, dan tenaga petani. Artinya, tidak
masalah jika benih tidak unggul, tanah tidak subur, dan tenaga petani terbatas
karena semua masalah itu dapat diatasi dengan kemajuan teknologi pupuk dan
obat-obatan. Seperti diungkapkan di atas, anggapan tersebut mengandung
kepalsuan yang menyesatkan.
Kesesatan yang diakibatkan oleh kepalsuan asumsi paradigma pertanian
rekayasa tersebut, seperti sudah disinggung di muka, pertama adalah
pengabaian terhadap peran sentral benih sebagai salah satu dari tiga unsur dasar
pembentuk pertanian. Saat ini penggunaan pupuk kimiawi misalnya sudah
mencakup sekitar 90 persen dari areal tanam padi nasional. Sementara itu
penggunaan benih padi unggul (VPT) baru mencakup sekitar 30 persen dari areal
tanam. Artinya sekitar 60 persen dari areal tanam tidak menggunakan benih
unggul, sehingga penggunaan pupuk di areal tersebut sebenarnya menjadi tidak
efektif dan tidak efisien, atau dengan kata lain telah terjadi suatu pemborosan
berskala nasional.
Kesimpulan tentang pemborosan tersebut berpangkal pada Teori
Kesejajaran Sadjad (Sadjad et al., 2001). Menurut teori ini, benih merupakan
penentu utama produktivitas, dalam arti semua unsur dasar lain dan faktor-faktor
(sarana) produksi tergantung pada kualitas benih. Kualitas benih akan menentukan
kualitas terapan teknologi dan manajemen. Berkenaan hubungan benih dan
pupuk, setinggi apapun dosis pupuk, jika benih yang digunakan bukan benih
unggul yang responsif terhadap pupuk, maka hanya sebagian kecil pupuk yang
terserap tanaman dan sebagian besar sisanya mubazir dan malahan merusak
struktur tanah.
Tidak hanya pupuk, pemborosan obat-obatan pertanian juga sebenarnya
terjadi karena penggunaan benih yang tidak tepat. Sebenarnya, menurut
pengetahuan lokal, petani sangat tahu benih padi yang resisten terhadap hama dan
penyakit dan sangat tahu bagaimana harus membudidayakannya. Tetapi
pengetahuan modern di bidang pertanian menyederhanakan, atau mungkin lebih
tepat menggampangkan, segala sesuatunya dengan cara menemukan berbagai
jenis obat-obatan pertanian yang berfungsi sebagai amunisi untuk memerangi
berbagai jenis hama dan penyakit. Faktanya, tidak ada racun yang ampuh
selamanya, karena hama dan bibit penyakit ternyata bermutasi juga sehingga
secara periodik muncul strand yang resisten terhadap obat-obatan. Industri obatobatan pertanian kemudian harus menemukan dan menghasilkan racun baru untuk
mengatasinya. Proses balas-membalas atau perang seperti ini telah terjadi di atas
lahan pertanian padi sejak 1970-an. Sejarah menunjukkan, manusia hanya bisa
mengendalikan alam untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi tidak pernah
mampu menaklukkannya secara permanen.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 3, September 2006 : 167-184
172
173
174
dasar. Pertama, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka tingkat
kemajuan atau mutu pertanian ditentukan oleh tingkat mutu teknologi benih.
Sesuai Teori Kesejajaran Sadjad tadi, semakin tinggi mutu teknologi benih, maka
(secara potensial) semakin tinggi pula mutu pertanian. Dewasa ini mutu kemajuan
pertanian padi Indonesia masih rendah karena baru sekitar 30 persen lahan
pertanian padi menggunakan benih unggul (bersertifikasi) yang dihasilkan melalui
teknologi tinggi.
Kedua, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka
penggunaan pupuk dan obat-obatan dapat lebih efisien dan efektif, karena jenis
dan jumlahnya sudah disesuaikan dengan kebutuhan yang dipersyaratkan oleh
kualitas benih. Sekarang penggunaan pupuk pada 60 persen lahan pertanian padi
tidak efektif dan tidak efisien, karena benih yang digunakan bukan benih unggul
yang responsif terhadap pupuk kimia.
OBAT-OBATAN
BENIH
BUDAYA
TENAGA
TANAH
ALAT/MESIN
Keterangan:
PUPUK
Interaksi
Mendukung
175
176
177
yang keberadaannya harus dijamin oleh negara. Jika tenaga sudah ada di tangan
petani, tanah juga dapat diakses melalui institusi penguasaan tanah tertentu, maka
benih selayaknya juga disediakan oleh negara untuk petani. Dengan kata lain,
dalam rangka Revitalisasi Pertanian, benih unggul harus tersedia bagi petani atas
biaya negara, tidak disubsidi tetapi gratis sebagai hak yang dijamin negara.
Jika benih disepakati sebagai patokan dasar taraf kemajuan pertanian,
maka industri penghasil faktor (sarana) produksi pupuk, obat-obatan dan alsintan
harus selalu mengacu pada kualitas yang dipersyaratkan benih unggul tersebut.
Jelas di sini, agroindustri pupuk, obat-obatan, dan alsintan harus mampu
menghasilkan faktor-faktor (sarana) produksi yang sejajar (setara) dengan kualitas
benih unggul dan bermutu yang digunakan petani. Pada saat yang sama, institusi
pasar di hilir juga harus mengantisipasi peningkatan kualitas pertanian, dengan
menciptakan kelembagaan pasar yang memberi surplus yang lebih besar lagi bagi
petani.
178
di lokasi itu semula tidak ada sawah. Hal seperti itu terjadi karena proses
sosialisasi masyarakat petani sawah Jawa sudah membekali setiap orang dengan
sikap hidup, pengetahuan dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya
membekali mereka dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang
padi, niscaya mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru.
Tetapi budaya petani, dalam kaitan dengan pengolahan tanah, tidak
mungkin berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif
yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli. Budaya petani
akan lebih berkembang jika berorientasi pada pengembangan pengetahuan lokal,
yaitu interaksi antara pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan
ilmiah (scientific knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam
kerangka komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya
akan memperkaya pengetahuan lokal.
Sudah pasti survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk
memetakan potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu
tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri tanah
melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan dosis
pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak dikembangkan
pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami budaya petani yang
membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus mempelajari benih-benih tanaman
pangan khususnya padi yang dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini
penelitian tanah memang harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani
dan penelitian benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan
tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini.
Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan,
penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam rangka
mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan (khususnya padi) lahan
kering yang maju. Sementara penelitian lahan basah khususnya sawah tetap
dilakukan secara intensif untuk, pertama, mendukung pemulihan kualitas tanah
yang telah merosot akibat tindakan pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan;
kedua, meningkatkan mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah
utama secara alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama
akibat konversi.
Pemberdayaan Sosial Budaya Petani
Di muka sudah di sebutkan bahwa proses penyuluhan pertanian terutama
selama periode Revolusi Hijau adalah proses pembodohan dan pelemahan
secara sosial-budaya. Dalam periode tersebut petani padi telah kehilangan
pengetahuan dan teknologi asli karena diganti-paksa dengan pengetahuan dan
teknologi asing melalui proyek modernisasi pertanian. Tidak hanya pengetahuan
dan teknologi, organisasi sosial petani padi juga diganti paksa dari tipe
PARADIGMA EKOLOGI BUDAYA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN PADI Felix Sitorus
179
180
181
melibatkan institusi penelitian benih padi (a.l. Balai Penelitian Padi), institusi
penelitian tanah (a.l. Balai Penelitian Tanah, Bakosurtanal) dan penataan tanah
(Badan Pertanahan Nasional), dan industri benih padi (a.l. Sang Hyang Seri).
Proses-proses inovasi itu melibatkan juga organisasi korporasi petani, melalui
interaksinya dengan dua institusi tersebut terakhir.
INDUSTRI
SAPRODI
INDUSTRI
BENIH PADI
PASAR
SAPRODI
BUDAYA
TANI PADI
PASAR
KREDIT
PRODUKSI
BANK
PERTANIAN
ORGANISASI
KORPORASI
PETANI
PASAR
KREDIT
INVESTASI
ORGANISASI
PERDAGANGAN
BERAS (NEGARA &
SWASTA)
INSTITUSI
PENELITIAN
BENIH PADI
SINERGI
BENIH &
TANAH
INSTITUSI
PENELITIAN &
TATA TANAH
PASAR
PADI/
BERAS
KONSUMEN
RUMAHTANGGA &
INDUSTRI
182
sekarang, spesifikasi sebagian terbesar benih padi yang digunakan petani tidak
jelas, sehingga tidak bisa dilakukan perhitungan yang pasti tentang kebutuhan
misalnya pupuk dan obat-obatan. Petani selalu mengasumsikan semakin banyak
pupuk, semakin tinggi produksi.
Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, baik kredit produksi
pertanian primer maupun kredit investasi terkait dengan penanganan pascaproduksi. Jenis kredit pertama merupakan hasil interaksi antara organisasi petani
dengan institusi bank pertanian dan industri saprodi. Sedangkan jenis kredit kedua
merupakan hasil interaksi antara organisasi petani dengan institusi bank pertanian
dan organisasi perdagangan beras/padi (swasta dan milik negara/BULOG). Hal
yang sangat mendasar di sini adalah kebutuhan akan kehadiran institusi bank
pertanian. Sekarang ini di Indonesia tidak ada satu bank yang dapat disebut
sebagai bank pertanian, dalam arti menempatkan kredit petani/pertanian sebagai
bisnis utama (core business). Bank Rakyat Indonesia (BRI), sebagai satu-satunya
bank pemerintah yang memusatkan perhatian pada kredit mikro (untuk bisnis
mikro), juga tidak memiliki skim kredit komersil khusus pertanian. Bank ini hanya
melayani kredit pertanian, misalnya kredit Bimas dan Kredit Ketahanan Pangan,
sejauh itu merupakan kredit program.
Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi yang merupakan hasil interaksi
antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen
(rumahtangga dan industri). Jika organisasi petani memiliki kekuatan yang setara
dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi
penerima harga (price taker). Harga beras/padi benar-benar akan dihasilkan dari
kekuatan pasar yang menempatkan petani, pedagang, dan konsumen dalam
hubungan triangular yang simetris.
Gagasan Inkorporasi Beras ini dengan tegas menempatkan organisasi
petani sebagai simpul utama jaringan. Artinya, setiap langkah dari berbagai
kekuatan-kekuatan lain dalan jejaring inkorporasi itu harus selalu merujuk pada
kepentingan sosial-budaya dan sosial-ekonomi petani. Sebagai konsekuensinya,
Inkorporasi Beras mempersyaratkan kehadiran organisasi korporasi petani modern
yang kuat secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Jika tidak demikian, maka
ia tidak akan memperoleh manfaat apapun dari inkorporasi melainkan, seperti
gejala yang teramati selama ini, ia justru menjadi sapi perah bagi kekuatankekuatan sosial-ekonomi lain yang tergabung dalam jejaring Inkorporasi Beras
tersebut.
PENUTUP
Pokok-pokok pikiran dan gagasan yang dimajukan dalam tulisan ini harus
diuji baik pada tataran teori melalui diskusi panjang dan mendalam maupun pada
tataran empiri melalui uji-coba gagasan di lapangan. Gagasan Inkorporasi Beras,
PARADIGMA EKOLOGI BUDAYA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN PADI Felix Sitorus
183
bagaimanapun juga, layak dikaji lebih jauh secara kritis untuk kemudian diujicobakan melalui suatu proyek pemandu (pilot project). Dengan
menempatkannya dalam kerangka otonomi daerah (kabupaten), uji-coba gagasan
tersebut dapat dirancang dan dilakukan di dua kabupaten (Jawa dan Luar Jawa)
yang mengidentifikasi diri sebagai lumbung padi. Mengingat sifatnya yang
uji-coba maka jelas di situ diperlukan kehadiran suatu institusi penelitian sosialekonomi pertanian yang kuat (misalnya Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Balitbangtan, Deptan), untuk menjalankan suatu peran
penelitian-aksi (action research) sehingga dapat ditemukan suatu pola generik dari
gagasan tersebut. Pola generik itulah yang kemudian dapat diangkat menjadi
suatu kebijakan pengembangan pertanian padi nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in
Indonesia, Berkeley: Univ. of California Press.
Hayami, Y. and M. Kikuchi. 1981. Asian Village Economy at the Cross Roads: An
Economic Approach to Institutional Change, Tokyo: Univ. of Tokyo Press.
Husken, F. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial
di Jawa 1830-1980, Jakarta: Gramedia.
Pakpahan, A., H. Kartodirdjo, R. Wibowo, H. Nataatmadja, S. Sadjad, E. Haris dan H.
Wijaya. 2005. Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan
Sejahtera, Bogor: Himpunan Alumni IPB.
Sadjad, S., F.C. Suwarno, dan S. Hadi. 2001. Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia,
Jakarta: Gramedia.
Sajogyo. 1972. Modernization without Development in Rural Java, Bogor: Lembaga
Penelitian Sosiologi Pedesaan.
Simatupang, P. 1999. Alternatif Baru Kebijaksanaan Perberasan: Stabilisasi Harga On
Trend, Intensifikasi Berkelanjutan dan Jaring Pengaman Ketahanan Pangan
dalam T. Sudaryanto, I.W. Rusastra dan E. Jamal, Analisis dan Perspektif
Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi, Bogor: Pusat
Penelitian Sosial-Ekonomi Pertanian Balitbangtan.
Soetrisno, L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wiradi, G. dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam F. Kasryno
(Ed.), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
184