Judul.................................................................................................................................
i
Lembar Pengesahan.........................................................................................................
ii
Kata Pengantar.................................................................................................................
iii
Daftar Isi..........................................................................................................................
iv
Daftar Gambar.................................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
1
BAB II STUDI KASUS
2.1 Identitas........................................................................................................
3
2.2 Anamnesis....................................................................................................
3
2.3 Pemeriksaan Klinis.......................................................................................
4
2.4 Status Dermatologi.......................................................................................
7
2.5 Diagnosis Banding.......................................................................................
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tinea adalah penyakit kulit termasuk dalam dermatofitosis yang
disebabkan oleh dermatofita. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna
keratin. Macam genus yang termasuk dalam dermatofita adalah Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermphyton. Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat
paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Sinonim untuk penyakit ini adalah
eczema, marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan ringworm of the groin. Tinea
corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh lesi inflamasi
ataupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut)
seperti: bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Sinonim penyakit
ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine
trichophytique. Tinea ini meliputi semua dermatofitosis superfisialis yang tidak
termasuk bentuk tinea kapitis, barbe, cruris, pedis et manum, dan unguium. 1.2
Tinea cruris dan corporis terdapat di seluruh dunia, terutama pada daerah
tropis dan insidennya meningkat pada kelembaban udara yang tinggi. Penyakit ini
masih banyak terdapat di Indonesia dan masih merupakan salah satu penyakit
rakyat.3 Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah
dermatitis. Di daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan
Manado, keadaannya kurang lebih sama, yakni menempati urutan kedua sampai
keempat terbanyak dibandingkan golongan penyakit lainnya.4 Tinea cruris dan
corporis dapat menyerang semua umur. Pada tinea corporis dapat menyerang pria
dan wanita, sedangkan tinea cruris lebih banyak terjadi pada laki-laki. Kebersihan
badan dan lingkungan yang kurang, sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan penyakit ini.2
Cara penularannya dapat langsung dari tanah, hewan dan manusia ke
manusia dan secara tidak langsung, yaitu kontak dengan benda yang sudah
terkontaminasi, misalnya dari tanaman yang terkena jamur, kateter, pakaian yang
lembab, dan air.2,4 Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan
1
suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan infeksi. Penularan juga dapat
terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak
langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar
mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain. 2.5
Penulis membahas kasus tinea cruris et corporis yang diderita pasien
selama setahun tanpa pengobatan, menyebabkan gambaran lesi yang khas dari
penyakit dermatofita ini. Pasien memiliki pola perilaku yang mendukung faktor
predisposisi tinea untuk semakin berkembang. Tinea pada pasien didapatkan pada
lipatan tubuh yang lembab dan berkeringat, pasien juga memiliki tubuh gemuk.
Aktifitas pasien cenderung berkeringat dan pasien memakai pakaian yang
berlapis. Pasien dapat diberikan terapi antifungi sistemik dan lokal. Dalam kasus
ini pasien diberi obat Griseofulvin dan Metokonazole krim.
Pembahasan penyakit ini penting karena, penyakit ini banyak ditemui di
Poli Kulit, juga pada masyarakat umum, dan merupakan kompetensi dokter umum
untuk dapat mengobati penyakit ini. Karenanya penting bagi dokter untuk
mendiagnosis tinea dan memberikan terapi yang tepat.
BAB II
STUDI KASUS
2.1 Identitas
Nama Penderita
No. RM.
: 193116
Umur
: 16 tahun
Alamat
Pekerjaan
: Pelajar
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : gatal-gatal di lipatan paha, perut, siku, dan lutut
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
Gatal-gatal di lipatan paha, perut bagian bawah, siku kanan, dan lutut kanan.
Pertama kali gatal di lipatan paha satu tahun yang lalu. Awal munculnya
kemerahan pada lipatan paha, ada bintil-bintil yang gatal, dan terasa panas.
Semakin terasa gatal kalau berkeringat, apalagi setelah berolahraga. Gatalgatal pada lipatan paha yang awalnya berwarna kemerahan lama-lama berubah
warna kehitaman sampai sekarang. Enam bulan yang lalu terasa gatal juga
pada siku kanan dan lutut kanan. Tetapi yang paling gatal adalah lipatan paha.
Kalau terasa gatal pasien mengoleskan minyak tawon.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) : tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Keluarga : tidak ada keluarga yang sakit seperti ini
: lipatan paha
Distribusi
: terlokalisir
Ruam
2.4.2 Lokasi
Distribusi
: terdistribusi
Ruam
2.4.3 Lokasi
: siku kanan
Distribusi
: terlokalisir
Ruam
2.4.4 Lokasi
: lutut kanan
Distribusi
: terlokalisir
Ruam
2.7 Diagnosa
Tinea cruris et korporis
2.8 Terapi
Griseofulvin 500 mg/hari lamanya 2 minggu
Topikal: Miconazole 2%
Untuk anti gatalnya : Loratadine 10 mg
2.9 Saran
-. Menjaga kebersihan diri dengan baik, mandi rutin 2x sehari
-. Mengganti pakaiannya dengan yang baru apabila berkeringat
-. Memakai pakaian longgar dan tidak berlapis-lagi lagi
BAB III
PEMBAHASAN
Tinea cruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat
paha, genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian
bawah. Tinea cruris disebut jugaexzema marginatum, dhobie icth, jockey itch,
ringworm of the groin. Sedangkan tinea corporis disebut juga tinea sirsinata,
tinea globrosa, atau kurap. 1 Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita
pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) di daerah muka, lengan, badan,
dan glutea. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau
sebaliknya tinea cruris et corporis.
pada lipatan paha, perut, lutut, dan siku. Gatal sudah dirasakan 1 tahun yang lalu
dan pasien belum pernah berobat.
Tinea cruris dan corporis dapat menyerang semua umur. Pada tinea
corporis dapat menyerang pria dan wanita, sedangkan tinea cruris lebih banyak
terjadi pada laki-laki. Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit ini.4 Pasien adalah remaja laki-laki
berusia 16 tahun yang sering berkeringat.
Mekanisme imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama
melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti
gizi, keadaan hormonal, usia dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari
kulit dan mukosa, sekresi permukaan, dan respon radang. Produksi keringat dan
sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik termasuk asam laktat dan asam
lemak yang mempunyai pH yang rendah untuk menambah potensi anti jamur.4
Usia pasien adalah 16 tahun, dengan aktifitas yang aktif, suka berolah raga, suka
memakai pakaian berlapis, dan pasien memiliki badan yang gemuk, pasien merasa
semakin gatal setelah selesai berolah raga.
Penyebab yang umum dari tinea cruris adalah Trichophyton rubrum dan
Epidermophyton floccosum, dapat menular melalui seperti handuk, sprei, atau
infeksi berulang dari tangan penderita pada tangan dan kaki. Tinea menyerang
keratin yang dapat menyerang sampai pada lapisan epidermis. Imunitas dari host
dapat mempengaruhi serangan lebih lanjut. Faktor resiko dari infeksi tinea cruris
atau infeksi berulang termasuk memakai pakaian yang ketat atau pakaian yang
lembab atau pakaian dalam berlapis.6 Pasien suka memakai pakaian berlapis dan
lesi awal yang berasal dari lipatan paha menjalar ke perut, siku, dan lututnya.
Mula-mula timbul lesi kulit berupa bercak eritematosa yang gatal,
terutama bila berkeringat. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas,
terutama pada daerah kulit yang lembab.4 Pasien mengaku awalnya muncul lesi
berbintil-bintil pada lipat pahanya yang kemerahan, semakin gatal setelah
berkeringat terutama setelah berolahraga. Pasien juga memiliki tubuh yang gemuk
sehingga terdapat banyak daerah lipatan yang cenderung akan lembab setelah
berkeringat, apalagi pasien memiliki kecenderungan untuk melakukan aktifitas
yang memproduksi semakin banyak keringat. Sehingga hal ini menjadi faktor
tinea cruris pada pasien berkembang meluas mencangkup daerah lipatan paha
kanan dan kiri dan menyebar ke tempat lainnya, siku dan lutut pasien.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah
satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan
pinggir yang polisiklik karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. 1 Lesi pada
lipatan paha pasien, tampak plak yang hiperpigmentasi dengan likenifikasi dan
berskuama tipis, hal ini mungkin terjadi karena lesi sudah ada sejak setahun lalu.
Lesi mengalami hiperpigmentasi dan berlikenifikasi karena garukan pasien. Lesi
pada lutut dan siku pasien yang munculnya 6 bulan lalu masih tampak plak
eritematosa, ada bagian yang polisiklik, terdapat gambaran central healing.
Mungkin karena lesi pada lutut, dan siku tidak begitu gatal dan tidak lama
munculnya seperti pada lipatan paha sehingga lesinya tampak lebih khas lesi dari
tinea.
Tinea corporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak
menunjukkan tanda-tanda radang yang akut, kelainan ini biasanya terjadi pada
bagian tubuh dan tidak jarang bersama-sama dengan tinea cruris.4 Pasien awalnya
10
menderita tinea cruris dan berkembang menjadi tinea corporis, lesi yang diderita
termasuk lesi yang kronik, dalam waktu 1 tahun tanpa pengobatan. Tidak tampak
tanda-tanda keradangan akut pada lesi.
Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, dapat menyebar luas dan
kadang berbentuk lingkaran yang dapat diasumsikan sebagai penampakan
granulomatosa.4 Pada pasien lesi yang sudah kronik menyebar dan tampak
menghitam. Lesi polisiklik tampak paling jelas pada lutut dan siku kiri pasien.
Tidak didapatkan gambaran penampakan granulomatosa.
Diagnosis banding yang penulis usulkan untuk laporan kasus ini dengan
lesi seperti gambaran pada pasien adalah tinea cruris et corporis, eritrasma,
kandidiasis intertriginosa, dermatitis numularis, dan dermatitis seboroik.
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Cornebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi
berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha, kadang
dapat terlihat merah kecoklat-coklatan tergantung dari area lesi dan warna kulit
penderita.1
Kandidiasis intertriginosa adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
jamur. Dapat terjadi infeksi dengan faktor eksogen yang berhubungan dengan
kelembapan dan kebersihan kulit. Lesi terdapat di daerah lipatan kulit diantaranya
di ketiak, lipat paha, berupa bercak berbatas tegas, bersisik, basah, dan
eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan
pustul-pustul kecil.1
Dermatitis numularis adalah peradangan kulit dengan bentuk lesinya
seperti mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi
berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah. Penderita umumnya
mengeluh gatal.1
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang terjadi pada daerah
seboroik. Lesinya berupa eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan,
batasnya agak kurang tegas. Dapat mengenai liang telinga luar, lipatan nasolabial,
daerah sternal, areola mamae, lipatan dibawah mamae pada wanita, interskapular,
umbilikus, lipat paha, dan daerah anogenital.
11
12
berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin sehingga sel baru ini akan resisten
terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan
diganti oleh sel yang normal. Pada infeksi yang sukar, lama terapi bisa mencapai
12 bulan. Di Indonesia, griseofulvin makrokristal tersedia dalam bentuk tablet
berisi 125 mg dan 150 mg dan tablet yang mengandung partikel ultramikrokristal
tersedia dalam takaran 330 mg. Kontraindikasi pada pasien yang menderita
kegagalan
hepatoseluler
atau
porifiria,
lupus
eritematus,
kondisi
yang
asam.
Ketokonazole
merupakan
antijamur
sistemik
peroral
yang
13
indinavir).
Kontraindikasi
pemberian
ketokonazole
dengan
14
15
katun dan tidak ketat, menggunakan sabun ringan dan menjaga agar kulit yang
sakit tetap kering.9
Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan
lingkungan. Prognosis tinea cruris dan corporis adalah baik. Penting juga untuk
menghilangkan sumber penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih
lanjut.1,10
Penyebab kegagalan pengobatan termasuk infeksi ulang, ketidakpekaan
relatif organisme, penyerapan suboptimal dari obat, dan kurangnya kepatuhan
dengan pengobatan jangka panjang. Prognosis pada tinea cruris dan corporis
tergolong baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2009. Pioderma. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Mansjoer, Arif., Suprohaita.,Wardhani,Wahyu Ika., dkk. 2008. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
3. Hartadi, Hardjono, Naoryda. 1991. Dermatomikologi. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP. hal:9-11
4. Harahap Marwali, 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
Hal: 77-8
5. Siregar R. S. 2005. Atlas Berwarna, Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2.
Jakarta: EGC, hal 65 71.
6. Elewski BE. Tinea cruris. In: Demis DJ, ed. Clinical Dermatology. Vol 3.
Unit 17-10. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 1999:1-5.
7.
Arnold, Harry, L., et al. 1990. Andrews Diseases of The Skin: Clinical
Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Company. p:331-353.
17