PENDAHULUAN
Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin
meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua.
Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan
autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan
penanganan yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan
yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang
tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai
penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh
adanya abnormalitas pada otak (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku
dan interaksi sosial. Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun.
Beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami
ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit
membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi
tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem
limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis
memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada anak autistik.
Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi mengakibatkan
anak autistik kesulitan mengendalikan emosi, mudah mengamuk, marah,
agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa. Selain
itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan
tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut
(Moetrasi dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anakanak autistik adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan
menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut
sendiri dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar
dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada
rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa
takut atau suatu cara untuk lari dari situasi yang membingungkan (Azwandi,
2005).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin,
di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok
etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin
meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak
orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala
yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di
California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme perharinya. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000
anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih,
hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun
diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai 150-200 ribu orang.
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Yeni,
Murni, & Oktora, 2009).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui
pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa
ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak
(autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter
lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah
keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah
anaknya tuli (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang
intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik,
dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang
kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang
kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan
khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan
memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata
lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada
melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang
ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya
(Sadock, 2007).
B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu
10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak
autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran.
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1
berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak
autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001
perbandingannya
berubah
menjadi
1:100
kelahiran.
Secara
global
prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme lakilaki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan
penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis,
2009).
melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun
dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada
anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi
autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran
(Fombonne, 2009).
C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang aurisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan
bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak
menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka.
Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada
dunia sehingga menciptakan benteng kekosongan untuk melindungi
dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko
lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara
kandung yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen
pembentuk
metalotianin
juga
berpengaruh
pada
kejadian
autis.
dan penguat
sistem
imun.
Disfungsi
metalotianin
akan
separuh
dari
anak-anak
autistik
menunjukkan
yang
tidak
bertujuan
(non-goal
directed
behavior)
mampuan
untuk
menerjemahkan
stimuli
akustik
d. Sekitar
75%
penderita
autisme
adalah
mereka
dengan
terhadap
suatu
stimuli
sensori;
kadang-kadang
keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat
menonjol adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup
dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social
ke dalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal
ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan
bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. Gangguan
dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak
melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain
sendiri.
b. Kelemahan kognitif
Sebagian besar ( 70%) anak autis mengalami retardasi mental
(IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal
yang berkaitan dengan kemampuan sensori montor. Terapi yang
dijalankan anak autis meningkatkan hubungan social mereka tapi
tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang
dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama
sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh
penarikan diri dari lingkungan social.
c. Kekurangan dalam bahasa
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti
terlambat bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara,
yang
lainnya
hanya
mengoceh,
merengek,
menjerit,
atau
anak autis tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak
dapat terlibat dalam pembicaraan normal.
d. Tingkah laku stereotip
Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya
perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti
impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan
mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Anak
autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus
menerus tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-putar, berjingkatjingkat, dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang
ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menariknarik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan
akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku
yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik
pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada
roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan
lingkungan dan kebiasaan yang monoton.
3. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan
autisme adalah:
A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari
1 dan satu masing-masing dari 2 dan 3:
1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai
manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut:
a. Hendaya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan mata
ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap
rutinitas dalam interaksi social.
b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai
tingkat perkembangannya.
pencapaian
akan
orang
lain,
seperti
kurang
komunikatif;
dan
kurangnya
isyarat
tubuh
untuk
2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism
namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan
bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh
karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai high
functioning autism.
Gangguan Asperger berbeda dengan autism infantil. Onset
usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya
lebih parah dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme
infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam
kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif. Oral
vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada
gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada
autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik
sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah
perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal
mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan
Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental.
Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang
lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high
functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning
autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat
kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang
normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence
yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya
mengalami kesulitan berempati
3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang
telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4
Autisme Infantil
2-5 dalam 10.000
3-4 : 1
Disfasia
5 dalam 10.000
sama atau hampir
(Laki-laki:Perempuan)
Riwayat keluarga adanya
25 % kasus
sama
25 % kasus
gangguan bahasa
Ketulian yang
sangat jarang
tidak jarang
berhubungan
Komunikasi nonverbal
Kelainan bahasa
tidak ada/rudimenter
lebih sering
Ada
lebih jarang
keterlambatan bicara /
lebih jarang
lebih sering
sering
terganggu walaupun mungkin
parah
terganggu, seringkali
kurang parah
lebih rata, walaupun
IQ verbal lebih
rendah dari IQ
Perilaku autistik,
pemahaman
lebih sering dan
kinerja
tidak ada atau jika
gangguan kehuidupan
lebih parah
Pola test IQ
sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik
Permainan imaginatif
tidak ada/rudimenter
biasanya ada
Autisme Infantil
Skizofrenia dengan
onset masa anak-
Usia onset
Insidensi
<36 bulan
2-5 dalam 10.000
anak
>5 tahun
Tidak diketahui,
kemungkinan sama
atau bahkan lebih
jarang
1,67:1
3-4:1
(Laki-laki:Perempuan)
Status sosioekonomi
sosioekonomi
rendah
Lebih jarang pada
gangguan
skizofrenia
otak
Karakteristik perilaku
Autistic
Gagal untuk
Halusinasi dan
mengembangkan
waham, gangguan
pikiran
bicara (ekolalia);
frasa stereotipik;
tidak ada atau
buruknya
pemahaman bahasa;
kegigihan atas
kesamaan dan
Fungsi adaptif
stereotipik.
Biasanya
Tingkat inteligensi
terganggu
Pada sebagian besar
Dalam
kasus
normal
subnormal,
sering
terganggu
parah
(70%)
4-32%
rentang
jika
ditempatkan
dalam
lingkungan
psikososial
yang
2) pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun, gejala tampak agak
berkurang.
Gejala yang juga sering tampak adalah dalam bidang :
a. Perilaku
1) memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyanggoyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar,
mendekatkan mata ke TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan
gerakan yang diulang-ulang.
2) tidak suka pada perubahan
3) dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong
b. Emosi
1) sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan.
2) kadang suka menyerang dan merusak.
3) kadang berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri
4) tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
2. Pemeriksaan Psikiatri
a. Kesan Umum : tampak sakit jiwa
b. Kesadaran : compos mentis
c. Sikap : hipoaktif
d. Tingkah laku : senyum sendiri, bicara sendiri, stereotipi
e. Orientasi : baik/buruk
f. Bentuk pikir : autistik
g. Isi pikir : waham bizarre
h. Progresi pikir : neologisme, ekolali, inkoherensi, irrelevansi
i. Roman muka : sedikit mimik
j. Afek : inappropiate
k. Persepsi : halusinasi (+)
l. Perhatian : sulit ditarik, sulit dicantum
diusahakan agar sel-sel otak yang yang masih baik dapat mengambil alih dan
berfungsi menggantikan sel yang rusak asal dilakukan dengan cepat dan tepat
dan
dimulai
sejak
gejalanya
masih
ringan.
Hal
terpenting
yang
mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti oleh
penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh
anak autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih
mempunyai harapan untuk lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan
bersosialisasi dengan masyarakat yang normal. Semakin cerdas anak,
semakin cepat kemajuannya (Handojo, 2004).
Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan
kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Tatalaksana
ini meliputi semua disiplin ilmu yang terkait seperti tenaga medis (psikiater,
dokter jiwa, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis
(tenaga pendidik, psikolog, alhli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial).
Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku
serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama
dalam penggunaan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui
suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra,
2003). Hal yang paling ditakuti jika anak tidak diterapi adalah ketidak
mampuan anak melakukan segala sesuatunya sendiri dengan kata lain anak:
tidak akan bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gosok gigi, dan
kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang
ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang
pasti dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak
pada saat pertama kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan
terapi. Anak penyandang autisme harus ditempa agar dapat hidup dan
berkembang layaknya anak normal, sebuah penelitian menunjukkan anak
yang diintervensi secara terus menerus selama lebih kurang 6 minggu secara
terstruktur memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh
fasilitasi dalam menjalankan terapi dimana pada saat anak diberikan terapi
perilaku mereka mendapatkan satu ruangan perorang sehingga anak bebas
dari gangguan dari lingkungan sekitamya seperti bunyi-bunyian. Ruangan
yang tenang dapat membantu anak untuk menerima materi dengan mudah
karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan terapis lebih konsentrasi
menangkap kemajuan yang diperlihatkan anak autistik.
Depdiknas mengungkapkan bahwa terdapat delapan jenis terapi sebagai
penunjang anak autistil. Kedelapan jenis terapi tersebut adalah :
1. Terapi wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena
anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara
lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan
dalam bicara dan berbahasa.
Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan,
yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam
suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam
suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi.
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan
apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk
berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, member tanda) atau
auditorik. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin
saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat
menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak
mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata
yang
dapat
diberikan
antara
lain:
Proprioceptive
Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa:
Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas,
kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atributatribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa
perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara
ataupun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur,
jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
5. Pendengaran:
Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran
maka bantuan dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu
ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang
terkait;
(2)
Penggunaan
sensori
lainnya
untuk
membantu
komunikasi;
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara
dimana hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak
baik dan adanya gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga
perkembangan bahasa dan wicaranya belum mempunyai konsep
pemahaman dan ujaran dan belum terhubungnya antara pusat
pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat motoriknya (area
oleh
orang
lain
dan
akhimya
mampu
positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak
ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons
negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak
mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini
diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan
mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap
instruksi yang diberikan.
Metode ABA lebih banyak diterapkan karena materi yang diajarkan
sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya
prompt (bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan
mendapatkan imbalan. Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat
mendukung dimana latihan dilakukan dengan berulang-ulang sampai anak
berespon dengan sendiri tanpa prompt serta adanya evaluasi yang sesuai
dengan kriteria yang sudah dibuat (Hardiono, 2005). Pada 10 anak yang
melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang memperlihatkan
kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh efek terapi
yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau
terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada
susunan saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada
otak mereka, contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6
(Pyridoksin) sehingga efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat
anak masih berada dalam keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang
diberikan (Y.Handoyo, 2003). Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat
penyaluran informasi antar otak semakin kacau mengingat obat yang dipakai
adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat (Agus Suryana,
2004).
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu,
tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor :
1). Berat ringannya derajat autisme,
2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi,
3). Intensitas terapi,
Neuroleptik
Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
komunikasi
dengan
anak.
Penanganan
anak
autisme
Namun pada kenyataannya, hanya 23% dokter spesialis anak di Amerika yang
melakukan skrining gangguan perkembangan neurologis secara rutin (Ismail,
2009).
Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung
autism. Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism para klinisi sering
menggunakan pedoman DSM IV. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan
DSM-IV. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati
perilaku
anak
dalam
berkomunikasi,
bertingkah
laku
dan
tingkat
Bayi tidak menunjukkan kontak mata dan tidak bereaksi ketika diajak
berbicara/bercanda.
Cenderung sangat tenang, terlalu cuek dan diam atau sebaliknya sangat
rewel dan cerewet.
Lebih suka bermain-main sendiri dan tidak tertarik dengan anak lain.
perkembangan
yang
dilakukan
untuk
memantau
Selain
tahun-tahun
pertama
tumbuh
kembang
anak,
anak
belajar
anak akan dapat bertambah dengan stimulasi verbal dan anak-anak akan belajar
menirukan kata-kata yang didengarnya (Soetjinigsih, 1998).
Stimulasi visual dan verbal pada permulaan perkembangan anak, merupakan
stimulasi awal yang penting karena dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif,
misalnya mengangkat alis, membuka mulut dan mata seperti ekspresi keheranan,
dan lain-lain. Selain stimulasi tersebut di atas, anak juga memerlukan stimulasi
taktil. Kurangnya stimulasi taktil dapat menimbulkan penyimpangan perilaku
sosial, emosional dan motorik (Soetjinigsih, 1998).
Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak.
Stimulasi semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan rasa percaya diri pada
anak sehingga anak lebih responsif terhadap lingkungannya dan lebih berkembang
(Soetjinigsih, 1998).
Pada anak yang lebih besar yang sudah mampu berjalan dan berbicara, akan
senang melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap lingkungannya, yang
merupakan perwujudan dari motif kompetensinya. Motif kompetensi ini dapat
diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungannya, melalui jumlah reaksi yang
diberikan terhadap perilaku anak tersebut. Anak akan cenderung mengulangi
perilakunya lagi apabila terdapat reaksi yang sering diberikan terhadap perbuatan
anak. Di sini anak akan belajar menganalisis perilaku mana yang dapat
memberikan efek tertentu dan meletakkan hubungan antara perilaku tersebut
dengan akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian stimulasi verbal sangat
diperlukan pada tahap perkembangan ini. Dengan penguasaan bahasa, anak akan
mengembangkan inisiatif atau ide-ide melalui pertanyaan-pertanyaan, yang
selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya (Soetjinigsih, 1998).
Pada masa sekolah, perhatian anak mulai keluar dari lingkungan
keluarganya, perhatian mulai beralih ke teman sebayanya (peer group). Pada
tahap perkembangan ini, anak akan sangat beruntung jika mempunyai kesempatan
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Melalui sosialisasi anak akan
memperoleh banyak stimulasi sosial yang bermanfaat bagi perkembangan sosial
anak (Soetjinigsih, 1998).
b. Umur 3 - 6 bulan ditambah dengan bermain cilukba, melihat wajah bayi dan
pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, terlentang bolak-balik,
duduk.
c. Umur 6 - 9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak
bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih
berdiri berpegangan.
d. Umur 9 - 12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mamapapa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas,
menggelinding bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.
e. Umur 12 18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan
pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana
(puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya,
bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, lap. Latihlah berjalan
tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola,
melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana,
menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
f. Umur
18-24
bulan
ditambah
dengan
menanyakan,
menyebutkan,
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf.
Diakses tanggal: 22 Maret 2015.
Puspita, D. 2004. Makalah : Masalah Peran Keluarga pada Penanganan Individu
Autistic Spectrum Disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia
Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School
of Medicine New York; Chapter 42.
Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Shattock, P. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan Memperbaiki
Metabolisme Tubuh. Jakarta: Nirmala
Soedjatmiko. 2001. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari
Pediatri. Vol 3(3). 175-188.