Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN
Autisme, merupakan salah satu gangguan perkembangan yang semakin
meningkat saat ini, menimbulkan kecemasan yang dalam bagi para orangtua.
Hingga saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan
autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan dan
penanganan yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan
yang disebabkan oleh faktor psikologis yaitu pola pengasuhan orangtua yang
tidak hangat secara emosional, tetapi barulah sekitar tahun 1960 dimulai
penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh
adanya abnormalitas pada otak (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku
dan interaksi sosial. Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun.
Beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami
ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit
membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi
tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem
limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis
memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada anak autistik.
Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi mengakibatkan
anak autistik kesulitan mengendalikan emosi, mudah mengamuk, marah,
agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa. Selain
itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan
tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut
(Moetrasi dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anakanak autistik adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan
menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut
sendiri dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar
dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada

rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa
takut atau suatu cara untuk lari dari situasi yang membingungkan (Azwandi,
2005).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin,
di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok
etnis dan budaya di dunia. Jumlah anak yang terkena autisme semakin
meningkat pesat di berbagai belahan dunia, kondisi ini menyebabkan banyak
orangtua menjadi was-was sehingga sedikit saja anak menunjukkan gejala
yang dirasa kurang normal selalu dikaitkan dengan gangguan autisme. Di
California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autisme perharinya. Di Amerika Serikat disebutkan autisme terjadi pada 15.000-60.000
anak dibawah 15 tahun. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta lebih,
hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun
diperkirakan jumlah anak autisme dapat mencapai 150-200 ribu orang.
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Yeni,
Murni, & Oktora, 2009).
Autisme termasuk kasus yang jarang, biasanya identifikasinya melalui
pemeriksaan yang teliti di rumah sakit, dokter atau sekolah khusus. Dewasa
ini terdapat kecenderungan peningkatan kasus-kasus autisme pada anak
(autisme infantil) yang datang pada praktek neurologi dan praktek dokter
lainnya. Umumnya keluhan utama yang disampaikan oleh orang tua adalah
keterlambatan bicara, perilaku aneh dan acuh tak acuh, atau cemas apakah
anaknya tuli (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).
Terapi anak autisme membutuhkan deteksi dini, intervensi edukasi yang
intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik,
dan peran serta orang tua sehingga melibatkan banyak bidang, baik bidang
kedokteran, pendidikan, psikologi maupun bidang sosial. Dalam bidang
kedokteran, untuk menangani masalah autisme dengan pengobatan
khususnya medika mentosa, di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan
memberikan latihan pada orang tua penderita. Terapi perkembangan perilaku

dapat dilakukan dalam bidang psikologi, sedangkan mendirikan yayasan


autisme sebagai lembaga yang mampu secara profesional menangani masalah
autisme adalah salah satu contoh yang dilakukan dalam bidang sosial (Yeni,
Murni, & Oktora, 2009).
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan
pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi,
perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi. Sejauh ini masih
belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor
risikonya sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar
gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari
kejadian autisme (Yeni, Murni, & Oktora, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Autisme
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum (1982), autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata
lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada
melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
penderita autisme sering disebut orang yang hidup di alamnya sendiri.
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang
ditandai dengan munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya
(Sadock, 2007).
B. Epidemiologi
Penyandang autisme pada anak (autisme infantile) dalam kurun waktu
10 sampai 20 tahun terakhir semakin meningkat di dunia. Prevalensi anak
autis di dunia pada tahun 1987 diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran.
Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1
berbanding 500 kelahiran. Sedangkan, pada tahun 2000 prevalensi anak
autisme meningkat menjadi 1 banding 150 kelahiran dan tahun 2001
perbandingannya

berubah

menjadi

1:100

kelahiran.

Secara

global

prevalensinya berkisar 4 per 10.000 penduduk, dan pengidap autisme lakilaki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4 kalinya). Sedangkan
penyandang autis di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 anak (Lubis,
2009).

Penelitian yang dilakukan di Brick Township, New Jersey

melaporkan angka prevalensi autis yaitu 40 per 10.000 untuk anak 3-10 tahun
dengan autisme dan 67 per 10.000 untuk seluruh spektrum autisme pada
anak-anak. Penelitian terbaru di Canada menyatakan bahwa prevalensi

autisme mencapai 0,6 sampai 0,7% atau satu berbanding 150 kelahiran
(Fombonne, 2009).
C. Etiologi
Etiologi pasti dari autis belum sepenuhnya jelas. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang aurisme infantil yaitu:
1. Teori psikoanalitik
Teori yang dikemukakan oleh Bruto Bettelheim (1967) menyatakan
bahwa autisme terjadi karena penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak
menolak orang tuanya dan mampu merasakan persaan negatif mereka.
Anak tersebut meyakini bahwa dia tidak memiliki dampak apapun pada
dunia sehingga menciptakan benteng kekosongan untuk melindungi
dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Lubis, 2009).
2. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali beresiko
lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara
kandung yang juga autis sekitar 3% (Kasran, 2003). Kelainan dari gen
pembentuk

metalotianin

juga

berpengaruh

pada

kejadian

autis.

Metalotianin adalah kelompok protein yang merupakan mekanisme


kontrol tubuh terhadap tembaga dan seng. Fungsi lainnya yaitu
perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat, pematangan saluran
cerna,

dan penguat

sistem

imun.

Disfungsi

metalotianin

akan

menyebabkan penurunan produksi asam lambung, ketidakmampuan


tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sisten imun yang sering
ditemukan pada orang autis. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab
lebih berisikonya laki-laki dibanding perempuan. Hal ini disebabkan
karena sintesis metalotianin ditingkatkan oleh estrogen dan progesteron
(Kasran, 2003).
3. Studi biokimia dan riset neurologis
Pemeriksaan post-mortem otak dari beberapa penderita autistik
menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem limbik yang kurang

berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua daerah ini


bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar.
Penelitian ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di
serebelum. Dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI),
telah ditemukan dua daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada
individu autistik secara nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu
dari kedua daerah ini dipahami sebagai pusat yang bertanggung jawab
atas perhatian. Dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderitapenderita autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan
cairan serebrospinal dibandingkan dengan orang normal (Kasran, 2003).
D. Patogenesis Autisme
Penyebab terjadinya autisme sangat beraneka ragam dan tidak ada
satupun yang spesifik sebagai penyebab utama dari autisme. Ada indikasi
bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian autisme. Dalam suatu studi
yang melibatkan anak kembar terlihat bahwa dua kembar monozygot
(kembar identik) kemungkinan 90% akan sama-sama mengalami autisme;
kemungkinan pada dua kembar dizygot (kembar fraternal) hanya sekitar 510% saja (Kasran, 2003).
Sampai sejauh ini tidak ada gen spesifik autisme yang teridentifikasi
meskipun baru-baru ini telah dikemukakan terdapat keterkaitan antara gen
serotonin-transporter. Selain itu adanya teori opioid yang mengemukakan
bahwa autisme timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat
oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen
dan opioid merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan casein
makanan. Meskipun kebenarannya diragukan, teori ini menarik banyak
perhatian. Pada dasarnya, teori ini mengemukakan adanya barrier yang
defisien di dalam mukosa usus, di darah-otak (blood-brain) atau oleh karena
adanya kegagalan peptida usus dan peptida yang beredar dalam darah untuk
mengubah opioid menjadi metabolit yang tidak bersifat racun dan
menimbulkan penyakit (Kasran, 2003). Barrier yang defektif ini mungkin

diwarisi (inherited) atau sekunder karena suatu kelainan. Berbagai uraian


tentang abnormalitas neural pada autisme telah menimbulkan banyak
spekulasi mengenai penyakit ini. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun,
baik teori anatomis yang sesuai maupun teori patofisiologi autisme atau tes
diagnostik biologik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebab
utama autisme. Beberapa peneliti telah mengamati beberapa abnormalitas
jaringan otak pada individu yang mengalami autisme, tetapi sebab dari
abnormalitas ini belum diketahui, demikian juga pengaruhnya terhadap
perilaku (Kasran, 2003).
Kelainan yang dapat dilihat terbagi menjadi dua tipe, disfungsi dalam
stuktur neural dari jaringan otak dan abnormalitas biokimia jaringan otak.
Dalam kaitannya dengan struktur otak, pemeriksaan post-mortem otak dari
beberapa penderita autistik menunjukkan adanya dua daerah di dalam sistem
limbik yang kurang berkembang yaitu amygdala dan hippocampus. Kedua
daerah ini bertanggung jawab atas emosi, agresi, sensory input, dan belajar.
Peneliti ini juga menemukan adanya defisiensi sel Purkinye di serebelum.
Dengan menggunakan magnetic resonance imaging, telah ditemukan dua
daerah di serebelum, lobulus VI dan VII, yang pada individu autistik secara
nyata lebih kecil dari pada orang normal. Satu dari kedua daerah ini dipahami
sebagai pusat yang bertanggung jawab atas perhatian. Didukung oleh studi
empiris neurofarmakologis dan neurokimia pada autisme, perhatian banyak
dipusatkan pada neurotransmitter dan neuromodulator, pertama sistem
dopamine mesolimbik, kemudian sistem opioid endogen dan oksitosin,
selanjutnya pada serotonin, dan ditemukan adanya hubungan antara autisme
dengan kelainan-kelainan pada sistem tersebut (Kasran, 2003).
Sedangkan dari segi biokimia jaringan otak, banyak penderita-penderita
autistik menunjukkan kenaikan dari serotonin dalam darah dan cairan
serebrospinal dibandingkan dengan orang normal. Perlu disinggung bahwa
abnormalitas serotonin ini juga tampak pada penderita down syndrome,
kelainan hiperaktivirtas, dan depresi unipoler. Juga terbukti bahwa pada
individu autistik terdapat kenaikan dari beta-endorphins, suatu substansi di

dalam badan yang mirip opiat. Diperkirakan adanya ketidakpekaan individu


autistik terhadap rasa sakit disebabkan oleh karena peningkatan kadar
betaendorphins ini (Kasran, 2003).
E. Karakteristik, Gambaran Klinis, Kriteria Diagnosis, dan Diagnosis
Banding Autisme Infantil
1. Karakteristik
a. Kecenderungannya untuk melengkungkan punggungya ke belakang
menjauhi pengasuhnya atau yang merawatnya, untuk menghindari
kontak fisik. Mereka umumnya digambarkan sebagai bayi-bayi yang
pasif atau kelewat gaduh (overlay agitated). Bayi yang pasif adalah
mereka yang kebanyakan diam sepanjang waktu dan tidak banyak
tuntutan pada orangtuanya. Sedangkan bayi yang gaduh adalah yang
hampir selalu menangis tidak ada hentinya pada waktu terjaga (Rapin,
1997).
Kira-kira

separuh

dari

anak-anak

autistik

menunjukkan

perkembangan yang normal sampai pada usia 1,5-3 tahun; kemudian


gejala-gejala autisme mulai timbul. Individu demikian ini sering
disebut sebagai menderita autisme regresif. Dibandingkan temanteman sebayanya, anak-anak autistik seringkali ketinggalan dalam hal
komunikasi, ketrampilan sosial dan kognisi. Di samping itu, perilaku
disfungsional mulai tampak, seperti misalnya, aktivitas repetitif dan
perilaku

yang

tidak

bertujuan

(non-goal

directed

behavior)

(mengayun-ayunkan badan tiada hentinya, melipatlipat tangan),


mencederai diri sendiri, bermasalah dalam makan dan tidur, tidak
peka terhadap rasa sakit. Perilaku mencederai diri sendiri seperti
menggigit diri sendiri dan membenturkan kepala mungkin merupakan
bentuk stereotipi yang berat dan menurut teori yang baru disebabkan
oleh peningkatan endorphin (Rapin, 1997).
b. Salah satu karakterisitk yang paling umum pada anak-anak autistik
adalah perilaku yang perseverative, kehendak yang kaku untuk

melakukan atau berada dalam keadaan yang sama terus-menerus.


Apabila seseorang berusaha untuk mengubah aktivitasnya, meskipun
kecil saja, atau bilamana anak-anak ini merasa terganggu perilaku
ritualnya, mereka akan marah sekali (tantrum). Sebagian dari individu
yang autistik ada kalanya dapat mengalami kesulitan dalam masa
transisinya ke pubertas karena perubahan-perubahan hormonal yang
terjadi; masalah gangguan perilaku bisa menjadi lebih sering dan
lebih berat pada periode ini. Namun demikian, masih banyak juga
anak-anak autistik yang melewati masa pubertasnya dengan tenang.
Umumnya gejala autisme berupa suatu gangguan sosiabilitasnya,
kelainan komunikasi timbal-balik verbal dan nonverbal serta defisit
minat dan aktivitas anak. Meskipun kurangnya dorongan untuk
berkomunikasi atau menahan bicara memegang peranan pada semua
anak yang pendiam, anak-anak dengan autisme benar-benar
mengalami gangguan berbahasa. Pemahaman dan penggunaan bahasa
untuk komunikasi serta geraktubuh (gesture) benar-benar defisien.
Ketidak

mampuan

untuk

menerjemahkan

stimuli

akustik

menyebabkan anak-anak autistik mengalami agnosia auditorik verbal;


mereka tidak mengerti bahasa atau hanya mengerti sedikit sehingga
tidak dapat berbicara dan tetap tinggal dalam situasi nonverbal
(Rapin, 1997).
c. Anak-anak dengan autisme yang tidak begitu berat, dengan kelainan
reseptif-ekspresif, menunjukkan daya pengertian (comprehension)
yang lebih baik dari pada kemampuannya untuk berekspresi sehingga
pada mereka itu tampak artikulasinya buruk dan mereka tidak
memiliki kepandaian gramatis. Kelompok anak-anak autistik lain
yang kepandaian bicaranya terlambat, mungkin dapat berkembang
cepat dari keadaan diam menjadi lancar berbicara dengan kalimatkalimat yang jelas dan tersusun baik, tetapi mereka ini cenderung
repetitif, non-komunikatif dan sering pula ditandai dengan echolalia
yang berkelebihan (Rapin, 1997).

d. Sekitar

75%

penderita

autisme

adalah

mereka

dengan

keterbelakangan mental (mentally retarded). Derajat kognitif individu


ini secara bermakna berkaitan dengan beratnya gejala autisme. Tes IQ
pra-sekolah tidak dapat meramalkan hasil yang dapat diandalkan
karena beberapa anak dengan program perawatan yang efektif
menunjukkan perbaikan yang nyata. Hasil dari uji neuropsikologis
secara khas menunjukkan suatu profil kognitif yang tidak merata, di
mana keterampilan nonverbal umumnya lebih tinggi dari pada
keterampilan verbal (kecuali pada sindrom asperger di mana pola
yang sebaliknya terlihat). Pemahaman yang buruk dari apa yang
orang lain pikirkan, menetap sepanjang hidup dan kreativitas mereka
biasanya terbatas. Anak-anak autistik dapat menunjukan reaksi yang
paradoksikal

terhadap

suatu

stimuli

sensori;

kadang-kadang

hipersensitif dan kadang-kadang tidak menghiraukan suara atau bunyi


tertentu, stimuli taktil atau rasa sakit. Persepsi visual biasanya jauh
lebih baik dari pada persepsi auditorik (Rapin, 1997).
2. Gambaran Klinis
Tanda-tanda awal pada pasien autisme berkaitan dengan usia anak.
Usia anak dimana sindroma autisme dapat dikenal merupakan kunci
untuk segera melakukan intervensi berupa pelatihan dan pendidikan dini.
National Academy of Science USA menganjurkan bahwa pendidikan dini
merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak dengan sindroma
autisme. Pada umumnya semua peneliti sepakat bahwa sindroma autisme
merupakan diagnosis sekelompok anak dengan kekurangan dalam bidang
sosialisasi, komunikasi dan afeksi. Mereka juga sepakat bahwa mengenal
tanda-tanda awal autisme yaitu sejak usia dini (bayi baru lahir bahkan
sebelum lahir) sangat penting untuk upaya penanggulangan.
Gejala autisme infantil dapat timbul sebelum anak mencapai usia 3
tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah
terlihat sejak lahir. Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa

keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat
menonjol adalah tidak ada kontak mata dan kurang minat untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup
dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu:
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak social
ke dalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal
ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan
bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. Gangguan
dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak
melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain
sendiri.
b. Kelemahan kognitif
Sebagian besar ( 70%) anak autis mengalami retardasi mental
(IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal
yang berkaitan dengan kemampuan sensori montor. Terapi yang
dijalankan anak autis meningkatkan hubungan social mereka tapi
tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang
dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama
sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh
penarikan diri dari lingkungan social.
c. Kekurangan dalam bahasa
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti
terlambat bicara. Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara,
yang

lainnya

hanya

mengoceh,

merengek,

menjerit,

atau

menunjukkan ekolali, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain.


Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau
potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak
autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri
mereka sebagai orang kedua kamu atau orang ketiga dia. Intinya

anak autis tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak
dapat terlibat dalam pembicaraan normal.
d. Tingkah laku stereotip
Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya
perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan (deficient) seperti
impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan pandangan
mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton. Anak
autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus
menerus tanpa tujuan yang jelas. Sering berputar-putar, berjingkatjingkat, dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang
ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menariknarik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan
akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku
yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik
pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya pada
roda mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan
lingkungan dan kebiasaan yang monoton.
3. Kriteria Diagnosis Gangguan Autisme
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnosis gangguan
autisme adalah:
A. Sejumlah enam hal atau lebih dari 1, 2, dan 3, paling sedikit dua dari
1 dan satu masing-masing dari 2 dan 3:
1. Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi social sebagai
manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut:
a. Hendaya di dalam perilaku non verbal seperti pandangan mata
ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, dan gerak terhadap
rutinitas dalam interaksi social.
b. Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai
tingkat perkembangannya.

c. Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat


atau

pencapaian

akan

orang

lain,

seperti

kurang

memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang


menarik.
d. Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.
2. Secara fluktuatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai
menifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara
(tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasi
alternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru)
b. Individu berbicara secara adekuat, hendaya dalam menilai atau
meneruskan pembicaraan orang lain.
c. Menggunakan kata berulang kali, stereotip dan kata-kata aneh.
d. Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau
pura-pura bermain seuai tingkat perkembangan.
3. Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai
manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut:
a. Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau
kelainan dalam intensitas maupun focus perhatian akan
sesuatu yang terbatas.
b. Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau
ritual pun tidak fungsional.
c. Gerakan stereotip dan berulang misalnya memukul, memutar
arah jari dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh
tubuhnya.
d. Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotip.
B. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang
berikut ini dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :
1. Interaksi sosial
2. Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
3. Permainan simbol atau imaginatif.

C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan


disintegrasi masa anak.
Autisme infantil berdasarkan pedoman diagnostik PPDGJ III, antara
lain:
a. Biasanya tidak ada riwayat perkembangan abnormal yang jelas, tetapi
jika dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun.
b. Selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam interaksi sosialnya. Ini
berbentuk tidak adanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio
emosional yang tampak bagai kurangnya respon terhadap emosi orang
lain dan/atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks
sosial; buruk dalam menggunakan isyarat social dan lemah dalam
integrasi perilaku sosial, emosional dan komunikatif; dan khususnya,
kurangnya respon timbal balik sosial emosional.
c. Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini
berbentuk kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan bahasa yang
ada; hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial;
buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam
percakapan; buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif
kurang dalam kreativitas dan fantasi dalam proses pikir; kurangnya
respons emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang
lain; hendaya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan
modulasi

komunikatif;

dan

kurangnya

isyarat

tubuh

untuk

menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.


d. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang
terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk kecendrungan
untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari; ini
biasanya berlaku untuk kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang
rutin dan pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak, terdapat
kelekatan yang aneh terhadap benda yang tak lembut. Anak dapat
memaksa suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan yang
sebetulnya tidak perlu; dapat menjadi preokupasi yang stereotipik

dengan perhatian pada tanggal, rute atau jadwal; sering terdapat


stereotipik motorik; sering menunjukkan perhatian yang khusus
terhadap unsur sampingan dari benda (seperti bau dan rasa); dan
terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata
ruang dari lingkungan pribadi (seperti perpindahan dari hiasan dalam
rumah).
e. Anak autisme sering menunjukkan beberapa masalah yang tak khas
seperti ketakutan/fobia, gangguan tidur dan makan, mengadat
(terpertantrum) dan agresivitas. Mencederai diri sendiri (seperti
menggigit tangan) sering kali terjadi, khususnya jika terkait dengan
retardasi mental. Kebanyakan individu dengan autis kurang dalam
spontanitas, inisiatif dan kreativitas dalam mengatur waktu luang dan
mempunyai kesulitan dalam melaksanakan konsep untuk menuliskan
sesuatu dalam pekerjaan (meskipun tugas mereka tetap dilaksanakan
baik).
Abnormalitas perkembangan harus tampak dalam usia 3 tahun
untuk dapat menegakkan diagnosis, tetapi sindrom ini dapat didiagnosis
pada semua usia.
4. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding autisme infantil, antara lain:
a. Gangguan perkembangan pervasif yang lainnya
Beberapa kelainan yang dimasukkan dalam kelompok ini adalah
anak-anak yang mempunyai ciri-ciri autisme, yaitu gangguan
perkembangan sosial, bahasa, dan perilaku, namun cirri lainnya
berbeda dengan autism infantil. Gangguan ini adalah sebagai berikut:
1) Sindroma Rett
Sindroma Rett adalah penyakit otak yang progresif tapi
khusus mengenai anak perempuan. Perkembangan anak sampai
usia 5 bulan normal, namun setelah itu mundur. Umumnya
kemunduran yang terjadi sangat parah meliputi perkembangan
bahasa, interaksi sosial maupun motoriknya.

2) Sindroma Asperger
Pada sindroma Asperger mempunyai ketiga ciri autism
namun masih memiliki intelegensia yang baik dan kemampuan
bahasanya juga hanya terganggu dalam derajat ringan. Oleh
karena itu, sindroma Asperger sering disebut sebagai high
functioning autism.
Gangguan Asperger berbeda dengan autism infantil. Onset
usia autisme infantile terjadi lebih awal dan tingkat keparahannya
lebih parah dibandingkan gangguan Asperger. Pasien autisme
infantil menunjukkan penundaan dan penyimpangan dalam
kemahiran berbahasa serta adanya gangguan kognitif. Oral
vocabulary test menunjukkan keadaan yang lebih baik pada
gangguan Asperger. Defisit sosial dan komunikasi lebih berat pada
autisme. Selain itu ditemukan adanya manerisme motorik
sedangkan pada gangguan Asperger yang menonjol adalah
perhatian terbatas dan motorik yang canggung, serta gagal
mengerti isyarat nonverbal. Lebih sulit membedakan gangguan
Asperger dengan autisme infantil tanpa retardasi mental.
Gangguan Asperger biasanya memperlihatkan gambaran IQ yang
lebih baik daripada autisme infantil, kecuali autisme infantil high
functioning. Batas antara gangguan Asperger dan high functioning
autism untuk gangguan berbahasa dan gangguan belajar sangat
kabur. Gangguan Asperger mempunyai verbal intelligence yang
normal sedangkan autisme infantil mempunyai verbal intelligence
yang kurang. Gangguan Asperger mempunyai empati yang lebih
baik dibandingkan dengan autisme infantil, sekalipun keduanya
mengalami kesulitan berempati
3) Sindroma Disintegratif
Sindroma ini ditandai dengan kemunduran dari apa yang
telah dicapai setelah umur 2 tahun, paling sering sekitar umur 3-4

tahun. Gangguan ini sangat jarang terjadi dan paling sering


mengenai anak laki-laki dibanding perempuan.
b. Gangguan perkembangan bahasa (disfasia)
Disfasia terjadi karena gangguan perkembangan otak hemisfer
kiri, sebagai daerah pusat berbahasa. Ada beberapa subtipe gangguan
ini yang menyerupai dengan autism infantil khususnya ditinjau dari
perkembangan bahasa wicaranya. Bedanya pada disfasia tidak
terdapat perilaku repetitive maupun obsesif.
Kriteria
Insidensi
Ratio jenis kelamin

Autisme Infantil
2-5 dalam 10.000
3-4 : 1

Disfasia
5 dalam 10.000
sama atau hampir

(Laki-laki:Perempuan)
Riwayat keluarga adanya

25 % kasus

sama
25 % kasus

gangguan bahasa
Ketulian yang

sangat jarang

tidak jarang

berhubungan
Komunikasi nonverbal
Kelainan bahasa

tidak ada/rudimenter
lebih sering

Ada
lebih jarang

keterlambatan bicara /

(misalnya ekolalia, frasa


stereotipik di luar
konteks)
Gangguan artikulasi
Tingkat intelegensia

lebih jarang
lebih sering
sering
terganggu walaupun mungkin
parah

terganggu, seringkali

tidak rata, rendah

kurang parah
lebih rata, walaupun

pada skor verbal,

IQ verbal lebih

rendah pada sub test

rendah dari IQ

Perilaku autistik,

pemahaman
lebih sering dan

kinerja
tidak ada atau jika

gangguan kehuidupan

lebih parah

ada, kurang parah

Pola test IQ

sosial, aktivitas
stereotipik dan ritualistik

Permainan imaginatif

tidak ada/rudimenter

biasanya ada

c. Skizofrenia dengan onset masa anak-anak


Skizofrenia jarang pada anak-anak di bawah 5 tahun.
Skizofrenia disertai dengan halusinasi atau waham, dengan insidensi
kejang dan retardasi mental yang lebih rendah dan dengan IQ yang
lebih tinggi dibandingkan dengan anak autistik.
Kriteria

Autisme Infantil

Skizofrenia dengan
onset masa anak-

Usia onset
Insidensi

<36 bulan
2-5 dalam 10.000

anak
>5 tahun
Tidak diketahui,
kemungkinan sama
atau bahkan lebih
jarang
1,67:1

Rasio jenis kelamin

3-4:1

(Laki-laki:Perempuan)
Status sosioekonomi

Lebih sering pada Lebih sering pada


sosioekonomi tinggi

sosioekonomi

Penyulit prenatal dan

Lebih sering pada

rendah
Lebih jarang pada

perinatal dan disfungsi

gangguan

skizofrenia

otak
Karakteristik perilaku

Autistic
Gagal untuk

Halusinasi dan

mengembangkan

waham, gangguan

hubungan : tidak ada

pikiran

bicara (ekolalia);
frasa stereotipik;
tidak ada atau
buruknya
pemahaman bahasa;
kegigihan atas
kesamaan dan

Fungsi adaptif

stereotipik.
Biasanya

Tingkat inteligensi

terganggu
Pada sebagian besar

Dalam

kasus

normal

Kejang grand mal

selalu Pemburukan fungsi

subnormal,

sering

terganggu

parah

(70%)
4-32%

rentang

Tidak ada atau


insidensi rendah

d. Retardasi Mental (RM)


Hal yang tidak mudah untuk membedakan autisme infantil
dengan retardasi mental, sebab autisme juga sering disertai retardasi
mental. Kira-kira 40% anak autistik adalah teretardasi sedang, berat
atau sangat berat, dan anak yang teretardasi mungkin memiliki gejala
perilaku yang termasuk ciri autistik. Pada retardasi mental tidak
terdapat 3 ciri pokok autism secara lengkap. Retardasi mental adalah
gangguan intelegensi, biasanya diketahui setelah anak sekolah karena
ketidaksanggupan anak mengikuti

pelajaran formal. Pembagian

retardasi mental mental dilihat dari kemampuan Intelligent Quetient


(IQ), retardasi mental ringan IQ 55-70, RM sedang IQ 40-55, RM
berat 25-40, RM sangat berat IQ < 25.
Ciri utama yang membedakan antara gangguan autistik dan
retardasi mental adalah:
1) Anak teretardasi mental biasanya berhubungan dengan orang tua
atau anak-anak lain dengan cara yang sesuai dengan umur
mentalnya.
2) Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang
lain.
3) Mereka memilki sifat gangguan yang relatif tetap tanpa
pembelahan fungsi

e. Afasia didapat dengan kejang


Afasia didapat dengan kejang adalah kondisi yang jarang yang
kadang sulit dibedakan dari gangguan autistik dan gangguan
disintegratif masa anak-anak. Anak-anak dengan kondisi ini normal
untuk beberapa tahun sebelum kehilangan bahasa reseptif dan
ekspresifnya selama periode beberapa minggu atau beberapa bulan.
Sebagian akan mengalami kejang dan kelainan EEG menyeluruh pada
saat onset, tetapi tanda tersebut biasanya tidak menetap. Suatu
gangguan yang jelas dalam pemahaman bahasa yang terjadi
kemudian, ditandai oleh pola berbicara yang menyimpang dan
gangguan bicara. Beberapa anak pulih tetapi dengan gangguan bahasa
residual yang cukup besar
f. Ketulian kongenital atau gangguan pendengaraan parah
Anak-anak autistik sering kali dianggap tuli oleh karena anakanak tersebut sering membisu atau menunjukkan tidak adanya minat
secara selektif terhadap bahasa ucapan. Ciri-ciri yang membedakan
yaitu bayi autistik mungkin jarang berceloteh sedangkan bayi yang
tuli memiliki riwayat celoteh yang relatif normal dan selanjutnya
secara bertahap menghilang dan berhenti pada usia 6 bulan-1 tahun.
Anak yang tuli berespon hanya terhadap suara yang keras,
sedangkan anak autistik mungkin mengabaikan suara keras atau
normal dan berespon hanya terhadap suara lunak atau lemah. Hal
yang terpenting, audiogram atau potensial cetusan auditorik
menyatakan kehilangan yang bermakna pada anak yang tuli. Tidak
seperti anak-anak autistik, anak-anak tuli biasanya dekat dengan
orang tuanya, mencari kasih sayang orang tua dan sebagai bayi
senang digendong.
g. Pemutusan psikososial
Gangguan parah dalam lingkungan fisik dan emosional (seperti
pemisahan dari ibu, kekerdilan psikososial, perawatan di rumah sakit,
dan gagal tumbuh) dapat menyebabkan anak tampak apatis, menarik

diri, dan terasing. Keterampilan bahasa dan motorik dapat terlambat.


Anak-anak dengan tanda tersebut hampir selalu membaik dengan
cepat

jika

ditempatkan

dalam

lingkungan

psikososial

yang

menyenangkan dan diperkaya, yang tidak terjadi pada anak autistik.


F. Anamnesis dan Pemeriksaan Psikiatri Autisme Infantil
1. Anamnesis
Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun.
Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat
sejak lahir. Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi
atau anak menurut usia:
a. Usia 0-6 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
4) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
5) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
6) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
b. Usia 6-12 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4) Sulit bila digendong
5) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
6) Tidak ditemukan senyum sosial
7) Tidak ada kontak mata
8) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
c. Usia 1-2 tahun
1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3) Tidak mengeluarkan kata

4) Tidak tertarik pada boneka


5) Memperhatikan tangannya sendiri
6) Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
7) Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
d. Usia 2-3 tahun
1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
2) Melihat orang sebagai benda
3) Kontak mata terbatas
4) Tertarik pada benda tertentu
5) Kaku bila digendong
e. Usia 4-5 tahun
1) Sering didapatkan ekolalia (membeo)
2) Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
3) Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
4) Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
5) Temperamen tantrum atau agresif
Secara umum ada beberapa gejala autisme yang akan tampak
semakin jelas saat anak telah mencapai usia 3 tahun, yaitu (Sartika,
Dinda. 2011):
a. Interaksi sosial
1) tidak tertarik bermain bersama teman
2) lebih suka menyendiri
3) tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk
bertatapan
4) senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa
yang ia inginkan
b. Komunikasi
1) perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
2) senang meniru atau membeo (ekolali)
3) anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara
tapi kemudian sirna

4) mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak


dapat dimengerti orang lain
5) bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian
tersebut tanpa mengerti artinya
6) sebagian dari anak ini tidak berbicara (nonverbal) atau sedikit
bicara (kurang verbal) sampai usia dewasa
c. Pola bermain
1) tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya
2) senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda
sepeda, gasing.
3) tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik atau
rodanya diputar-putar.
4) dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
terus dan dibawa kemana-mana.
d. Gangguan sensoris
1) bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
2) sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti
senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
3) dapat sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka
dipeluk.
4) dapat sangat sensitif terhadap rasa takut dan rasa sakit.
e. Perkembangan terlambat atau tidak normal
1) perkembangan tidak sesuai seperti pada anak normal, khususnya
dalam keterampilan sosial, komunikasi, dan kognisi.
2) dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya,
kemudian menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat
bicara kemudian hilang.
f. Penampakan gejala
1) gejala di atas dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih
kecil. Biasanya sebelum usia 3 tahun gejala sudah ada.

2) pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun, gejala tampak agak
berkurang.
Gejala yang juga sering tampak adalah dalam bidang :
a. Perilaku
1) memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyanggoyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar,
mendekatkan mata ke TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan
gerakan yang diulang-ulang.
2) tidak suka pada perubahan
3) dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong
b. Emosi
1) sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa,
menangis tanpa alasan.
2) kadang suka menyerang dan merusak.
3) kadang berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri
4) tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
2. Pemeriksaan Psikiatri
a. Kesan Umum : tampak sakit jiwa
b. Kesadaran : compos mentis
c. Sikap : hipoaktif
d. Tingkah laku : senyum sendiri, bicara sendiri, stereotipi
e. Orientasi : baik/buruk
f. Bentuk pikir : autistik
g. Isi pikir : waham bizarre
h. Progresi pikir : neologisme, ekolali, inkoherensi, irrelevansi
i. Roman muka : sedikit mimik
j. Afek : inappropiate
k. Persepsi : halusinasi (+)
l. Perhatian : sulit ditarik, sulit dicantum

m. Hubungan jiwa : sulit


n. Insigth : buruk
G. Penatalaksanaan Autisme
Autisme masih mempunyai harapan untuk sembuh walaupun tidak
sembuh

secara total, karena ada kelainan pada otaknya. Namun dapat

diusahakan agar sel-sel otak yang yang masih baik dapat mengambil alih dan
berfungsi menggantikan sel yang rusak asal dilakukan dengan cepat dan tepat
dan

dimulai

sejak

gejalanya

masih

ringan.

Hal

terpenting

yang

mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti oleh
penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh
anak autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih
mempunyai harapan untuk lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan
bersosialisasi dengan masyarakat yang normal. Semakin cerdas anak,
semakin cepat kemajuannya (Handojo, 2004).
Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan
kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Tatalaksana
ini meliputi semua disiplin ilmu yang terkait seperti tenaga medis (psikiater,
dokter jiwa, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis
(tenaga pendidik, psikolog, alhli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial).
Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku
serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama
dalam penggunaan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui
suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra,
2003). Hal yang paling ditakuti jika anak tidak diterapi adalah ketidak
mampuan anak melakukan segala sesuatunya sendiri dengan kata lain anak:
tidak akan bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gosok gigi, dan
kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang
ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang
pasti dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak

pada saat pertama kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan
terapi. Anak penyandang autisme harus ditempa agar dapat hidup dan
berkembang layaknya anak normal, sebuah penelitian menunjukkan anak
yang diintervensi secara terus menerus selama lebih kurang 6 minggu secara
terstruktur memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh
fasilitasi dalam menjalankan terapi dimana pada saat anak diberikan terapi
perilaku mereka mendapatkan satu ruangan perorang sehingga anak bebas
dari gangguan dari lingkungan sekitamya seperti bunyi-bunyian. Ruangan
yang tenang dapat membantu anak untuk menerima materi dengan mudah
karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan terapis lebih konsentrasi
menangkap kemajuan yang diperlihatkan anak autistik.
Depdiknas mengungkapkan bahwa terdapat delapan jenis terapi sebagai
penunjang anak autistil. Kedelapan jenis terapi tersebut adalah :
1. Terapi wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena
anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara
lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan
dalam bicara dan berbahasa.
Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan,
yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam
suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam
suatu cara tertentu. Bahasa merupakan salah satu cara berkomunikasi.
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan
apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk
berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, member tanda) atau
auditorik. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin
saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat
menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak
mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata

yang benar untuk menyatakan keinginannya. Masalah bicara dan bahasa


sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali tumpang tindih.
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme
mempunyai keterlambatan dalam bicara dan kesulitan dalam berbahasa,
maka terapi ini adalah suatu keharusan (Y.Handoyo, 2003). Terapi wicara
yang dilakukan pada anak autisme disekolah ini banyak yang
memperlihatkan kemajuan dimana hal ini bisa disebabkan oleh karena
anak sudah pemah mempunyai konsep pemahaman, konsep ujaran
decoding (menerima atau memberi tanggapan) dan encoding (memberi
ransangan atau atau stimulus) sesuai umumya (Bonny Danuatmaja, 2003).
Selain itu anak yang bisa mengikuti terapi ini dengan baik telah sampai
pada terapi symptomatic jadi pemahaman sudah lebih baik. Terapi
symptomatic merupakan tahapan dari terapi wicara dimana terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai
kemampuan sendiri atau ekspresif (Bonny Danuatmaja, 2003).
Tahapan komunikasi anak autistik:
1. The Own Agenda Stage

Anak terlihat sibuk dengan dirinya sendiri

Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain

Mengambil sendiri makanan atau benda-benda

Interaksi hanya dengan orangtua atau pengasuh

Belum dapat bermain dengan benar

Menangis atau berteriak bila terganggu

2. The Requester Stage

Sadar bahwa tingkahlakunya mempengaruhi orang lain

Menarik tangan bila ingin sesuatu

Menyukai kegiatan fisik

Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri

Dapat mengikuti perintah sederhana

Memahami rutinitas sehari-hari

3. The Early communication Stage

Komunikasi dengan gesture, suara, gambar

Menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten

Komunikasi untuk pemenuhan kebutuhan

Memahami kalimat sederhana

Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal


konsep "Ya/Tidak"

4. The Partner Stage

Mulai melakukan percakapan sederhana

Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum


terpenuhi

Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan

Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar


atau tulisan

Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial

Terapi wicara yang dapat diberikan:


1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism),
yang sifatnya fungsional, maka terapis wicara akan mengikut
sertakan latihan-latihan Oral Peripheral Mechanism Exercises;
maupun Oral-Motor activities sesuai dengan organ bicara yang
mengalami kesulitan.
2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:
Artikulasi atau pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena
adanya gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara
dan Tempat Pengucapan (Place and manners of Articulation).
Kesulitan pada Artikulasi atau pengucapan, biasanya dapat dibagi
menjadi: substitution (penggantian), misalnya: rumah menjadi
lumah, omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu;
distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak

jelas); dan addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia,


latihan

yang

dapat

diberikan

antara

lain:

Proprioceptive

Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa:
Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas,
kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atributatribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa
perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara
ataupun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur,
jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
5. Pendengaran:
Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran
maka bantuan dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu
ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang
terkait;

(2)

Penggunaan

sensori

lainnya

untuk

membantu

komunikasi;
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara
dimana hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak
baik dan adanya gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga
perkembangan bahasa dan wicaranya belum mempunyai konsep
pemahaman dan ujaran dan belum terhubungnya antara pusat
pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat motoriknya (area

broca's) (Agus Suryana, 2004). Dari segi pendidikan, bahasa


memiliki kedudukan penting dan mendasar karena dengan memiliki
kemampuan bahasa, anak akan mengerti dan memahami materi yang
disampaikan

oleh

orang

lain

dan

akhimya

mampu

mengoperasikannya (Puspita, 2005). Komunikasi akan lebih baik


didapatkan oleh anak apabila selain disekolah anak juga diajarkan
berkomunikasi dengan baik oleh keluarga.
2. Terapi perilaku
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya.
Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak
heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih akan
mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari
solusinyadengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan
untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan menggantikannya
dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini
merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak
mata dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci terapi perilaku adalah
melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan
mengikuti terapi-terapi lainnya seperti terapi wicara, terapi okupasi,
fisioterapi, karena tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah
berhasil.
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik
dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang
berkekurangan (belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di
seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh
O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA). Dalam
terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement

positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak
ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons
negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak
mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini
diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan
mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap
instruksi yang diberikan.
Metode ABA lebih banyak diterapkan karena materi yang diajarkan
sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya
prompt (bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan
mendapatkan imbalan. Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat
mendukung dimana latihan dilakukan dengan berulang-ulang sampai anak
berespon dengan sendiri tanpa prompt serta adanya evaluasi yang sesuai
dengan kriteria yang sudah dibuat (Hardiono, 2005). Pada 10 anak yang
melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang memperlihatkan
kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh efek terapi
yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau
terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada
susunan saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada
otak mereka, contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6
(Pyridoksin) sehingga efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat
anak masih berada dalam keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang
diberikan (Y.Handoyo, 2003). Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat
penyaluran informasi antar otak semakin kacau mengingat obat yang dipakai
adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat (Agus Suryana,
2004).
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu,
tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor :
1). Berat ringannya derajat autisme,
2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi,
3). Intensitas terapi,

4). Metode terapi,


5). IQ anak,
6). Kemampuan berbahasa,
7). Masalah perilaku,
8). Peran serta orang tua dan lingkungan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-BC; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan
C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku)
berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak dengan autisme.
Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak dengan autism kemudian
memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya
sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan
cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence (konsekuensi
perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan.
3. Terapi okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki
koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk
melatih motorik halus anak. Hampir semua anak autis mempunyai
keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Beberapa penderita autis
memiliki gerakan yang kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pensil dengan cara yang benar, memegang sendok untuk menyuap, dan
sebagainya. Contohnya adalah floortime.
4. Terapi bermain
Terapi ini digunakan untuk melatih anak melalui belajar sambil bermain.
Meskipun terdengar aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebayanya berguna untuk
belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial.
Metode lain pada terapi bermain adalah Son rise. Son rise adalah program
terapi berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang mengalami gangguan
komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat membantu meningkatkan
kontak mata, menerima keberadaan orang lain. Dan yang lebih penting,

program ini, tidak memberikan punishment berupa kekerasan kepada anak.


Proses ini dilakukan dengan harapan, anak mereka dapat berubah dan
menjadi kondisi yang lebih baik.
Metode ini tidak bisa diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus,
terutama kasus autis yang masih berada pada tahap kurikulum awal.
Kemampuan perkembangan bermain, merupakan hal yang penting dalam
program ini, selain juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program son
rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak secara
positif, dengan rasa cinta, akan membuat anak menjalin interaksi dengan kita,
dibandingan bila kita mengedepankan sikap marah dan sebagainya.
5. Terapi integrasi sensorik
Tujuan dari terapi ini adalah untuk melatih kepekaan dan koordinasi daya
indra anak autis. Terapi integrasi auditori, digunakan untuk melatih kepekaan
pendengaran supaya lebih sempurna.
6. Terapi biomedik
Terapi biomedis adalah suatu bentuk terapi yang bertujuan memperbaiki
metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplementasi. Terapi ini
dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan pencernaan, alergi, daya tahan
tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini
akhirnya mempengaruhi fungsi otak (Widyawati dkk, 2003).
Menurut Shattock (2002), protokol terapi biomedis terdiri dari 3 tahapan dan
ditambah dengan 1 tahap intervensi tambahan, yaitu:
a. Tahapan Genjatan Senjata (Ceasefire)
Tahap ini dilakukan dengan diet susu dan gandum. Anak autis diduga
mengalami kelebihan opioid dalam tubuhnya. Opioid berkumpul di otak,
bereaksi dan berfungsi seperti morfin sehingga mengacaukan otak anak.
Opioid berasal dari kasein (protein dari susu sapi atau domba) dan glutein
(protein dari gandum) yang dikonsumsi anak lewat makanan sehari-hari.
Pada anak yang memiliki pencernaan normal, protein dari susu sapi dan
gandum dapat dicerna sempurna sehingga rantai protein terurai total.
Namun, anak yang pencernaannya tidak sempurna sulit mencerna sehingga

rantai protein tidak terurai total, melainkan menjadi rantairantai pendek


asam amino, yang disebut peptida. Di dalam otak, peptida akan diikat
opioid reseptor (penerima opioid), yang kemudian berfungsi dan bereaksi
seperti morfin.
b. Menilai Problem dan Mencari
Persamaan
Tahap ini dilakukan dengan menggunakan buku harian makanan dan
pemeriksaan laboratorium. Buku harian makanan (food diary), diisi
dengan mencatat apa saja yang dikonsumsi anak setiap hari, juga perilaku,
dan kemampuan yang dicapai anak.
Setelah melakukan diet bebas kasein dan bebas glutein, anak melakukan
tes laboratorium. Hasil tes akan lebih akurat setelah tubuh bersih dari
kasein dan glutein. Biasanya hasil uji laboratorium sebelum dan sesudah
tes akan menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah kasein dan glutein
dibuang dari menu anak terlihat perbaikan fungsi usus sehingga vitamin
dan mineral terserap lebih baik, penurunan jumlah alergi, dan
menunjukkan adanya kesembuhan infeksi jamur.
c. Proses Membangun Kembali (Rekonstruksi)
Tujuan akhir dari terapi biomedisadalah agar anak dapat mengkonsumsi
makanan senormal mungkin. Jika kadar peptida yang merusak bisa
mengurangi di dalam usus maka daya rembes dinding usus dan sawar otak
(blood brain barrier) dapat diperbaiki. Dengan demikian, resiko buruk
dapat dikurangi.
Inilah tujuan akhir dari fase reskonstruksi.
Pada tahap ketiga ini ahli medis akan merekomendasikan pemberian
suplemen atau makanan tambahan berdasarkan hasil uji laboratorium.
Dengan demikian, penanganan anak autis satu dengan yang lainnya
berbeda.
d. Intervensi Tambahan

Intervensi tambahan sengaja ditempatkan dibagian akhir karena walaupun


ditunjang

teori maupun eksperimen, pemakaian supplemen, seperti

hormon sekretin pada intervensi tambahan masih dalam tahap percobaan.


Pemakaian vitamin B6 (piridoksin) dosis tinggi banyak ditentang, karena
secara teoritis mengandung resiko. Begitu juga pemakaian DMG (dimethyl
glycine), meski efektif, belum dapat diterangkan cara kerjanya.
7. Terapi medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi
ini seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang
mempunyai potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan
bersama-sama dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.
a)

Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik


adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga
dengan agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai
alternatif.

Neuroleptik
Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat menurunkan
agresifitas dan agitasi.
Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat menurunkan
agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan stereotipik.
Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.

Agonis reseptor alfa adrenergik


Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas, impulsifitas
dan hiperaktifitas.

Beta adrenergik blocker


Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas.

b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi

Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi


perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap
perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
c) Jika inatensi menjadi target terapi
Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan
mengurangi destruksibilitas.
d) Jika insomnia menjadi target terapi
Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat
mengatasi keluhan ini.
e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama
Ganguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan
pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan
logam berat yang terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini untuk
membuang racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan
setelah hasil tes laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme
yang ada diperbaiki dengan obat-obatan maupun pengaturan diet.
8. Terapi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat
bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga yang dapat
berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling mendukung.
Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan manajemen
terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali
kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan autisme. Faktorfaktor peran orangtua yang bertanggungjawab dalam pengasuhan anak adalah
sebagai berikut:
a. Pengawasan yang Membimbing
b. Pemberian Contoh yang Baik
c. Pendekatan Pribadi

Menurut Puspita (2004), ada dua bentuk-bentuk peran orangtua dalam


penanganan anak autis adalah sebagai berikut:
a. Memahami keadaan anak apa adanya
b. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak
Menurut Maccoby dalam Puspita (2004), ciri-ciri peran orangtua dalam
penanganan anak autis yaitu mengungkapkan perasaan, pikiran, serta sikap
terhadap anaknya adalah sebagai berikut:
a. Orangtua yang Menerima Anak
1). Orangtua yang hangat
2). Komunikasi orangtua dan anak yang lancar, hangat, dan terbuka
3). Menghargai anak
b. Sikap Orangtua yang Menolak Anak
c. Sikap Orangtua yang Keras
Peran orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis sangat penting,
terutama pada pemberian food supplement (pemakaian obat, vitamin dan
mineral) dan program diet yang akan dilakukan. Pemakaian obat atau food
supplement harus dipahami benar apa, bagaimana, dan sesuaikah dengan
kebutuhan anak. Orangtua harus mengetahui bahwa obat dan food
supplement terbuat dari zat kimia (Widyawati dkk, 2003).
H. Prognosis
Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Bagi banyak
anak, gejala autisme membaik dengan pengobatan dan tergantung pada umur.
Beberapa anak autis tumbuh dengan

menjalani kehidupan normal atau

mendekati normal. Anak-anak dengan kemunduran kemampuan bahasa di


awal kehidupan, biasanya sebelum usia 3 tahun, mempunyai resiko epilepsi
atau aktivitas kejang otak. Selama masa remaja, beberapa anak dengan
autisme dapat menjadi depresi atau mengalami masalah perilaku. Dukungan
dan layanan tetap dibutuhkan oleh penderita autis walaupun umur bertambah,
tetapi ada pulayang dapat bekerja dengan sukses dan hidup mandiri dalam lingkungan
yang juga mendukung.

Prognosis anak autisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:


1. Berat ringannya gejala atau kelainan otak.
2. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. Bicara dan bahasa, 20 % anak autis tidak mampu berbicara seumur
hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan
kefasihan yang berbeda-beda.
5. Terapi yang intensif dan terpadu.
Penanganan/intervensi terapi pada anak autisme harus dilakukan
dengan intensif dan terpadu. Seluruh keluarga harus terlibat untuk
memacu

komunikasi

dengan

anak.

Penanganan

anak

autisme

memerlukan kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai


disiplin ilmu antara lain psikiater, psikolog, neurolog, dokter anak,
terapis bicara dan pendidik.
Prognosis untuk penderita autisme tidak selalu buruk. Pada gangguan
autisme, anak yang mempunyai IQ diatas 70 dan mampu menggunakan
komunikasi bahasa mempunyai prognosis yang baik. Berdasarkan gangguan
pada otak, autisme tidak dapat sembuh total tetapi gejalanya dapat dikurangi,
perilaku dapat diubah ke arah positif dengan berbagai terapi.
I. Deteksi Dini
a. Definisi Deteksi Dini
Deteksi dini adalah upaya penyaringan yang dilaksanakan untuk
menemukan penyimpangan kelainan tumbuh kembang secara dini dan mengetahui
serta mengenal faktor-faktor resiko terjadinya kelainan tumbuh kembang tersebut
(Ismail, 2009). Deteksi dini gangguan tumbuh kembang balita dapat dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis rutin, skrining perkembangan dan
pemeriksaan lanjutan. Skrining merupakan hal yang sangat penting dan
dianjurkan untuk melakukan skrining perkembangan terhadap semua anak.

Namun pada kenyataannya, hanya 23% dokter spesialis anak di Amerika yang
melakukan skrining gangguan perkembangan neurologis secara rutin (Ismail,
2009).
Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung
autism. Untuk menetapkan diagnosis gangguan autism para klinisi sering
menggunakan pedoman DSM IV. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan
DSM-IV. Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati
perilaku

anak

dalam

berkomunikasi,

bertingkah

laku

dan

tingkat

perkembangannya. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autism yang


disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang
lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab
lain tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autistik ini banyak sekali ragamnya
sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada
beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit
anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang
autism. Dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional yang hanya mempunyai
sedikit pengetahuan dan wawasan mengenai autisme akan mengalami kesulitan
dalam men-diagnosa autisme. Kesulitan dalam pemahaman autism dapat menjurus
pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang
secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit. Hasil
pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari
kemampuan dan perilaku seorang anak. Secara sekilas, penyandang autistik dapat
terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan
pendengaran atau bahkan berperilaku aneh. Yang lebih menyulitkan lagi adalah
semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan. Karenanya sangatlah
penting untuk membedakan antara autis dengan yang lainnya sehingga diagnosa
yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan
terapi yang tepat. Orangtua dan guru anak autistik sering bertanya bagaimana
caranya mengidentifikasi gangguan perkembangan pada anak, baik di lingkungan
sekolah maupun lingkungan keluarga.

b. Tujuan Deteksi Dini


Menurut Soetjiningsih (1998), tujuan deteksi dini pada anak adalah untuk
mengetahui kelainan perkembangan dan hal-hal yang merupakan risiko terjadinya
kelainan perkembangan tersebut. Selain itu dengan deteksi dini dapat diketahui
berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan atau konseling
genetik, serta dapat mengetahui kapan anak perlu dibawa ke pusat rujukan yang
lebih tinggi.
c. Tatacara Deteksi Dini pada Anak Autis
Dalam mendeteksi gejala autis, perlu untuk disesuaikan dengan kondisi saat
itu, baik itu dimulai dari deteksi awal saat masa kehamilan hingga deteksi pada
masa tumbuh dan kembang anak autis.
Gejala awal secara umum : Meskipun penyebab Autisttik hingga
kini belum terungkap, namun pengalaman menunjukan bahwa yang
penting adalah mendeteksi gejala pada usia sedini mungkkin. Salah
satu yang disarankan oleh para ahli adalah mengecek apakah bayi
pada usia satu tahun bisa merespon jika namanya di panggil.
Sebenarnya anak sudah bisa dideteksi pada usia 6-7 bulan karena
pada usia tersebut anak sudah mulai berinteraksi dengan
orangtuanya. Jika dia mengalami gangguan autism, maka biasanya
dia tidak mau kontak mata denagan orang lain, terlalu diam atau
malah terlalu ramai dan sering menangis. Terapi berdasarkan hasil
riset yang dilkukan oleh para ahli Amerika Serikat, gejala autism
berbeda-beda, karenanya mengecek suara rutin apakah balita bisa
merespon saat di panggil merupakan cara terbaik untuk mendeteksi
adanya gangguan autism
Deteksi Dini Sejak Dalam Kandungan Sampai sejauh ini dengan
kemajuan teknologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu
mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa
pemeriksaan biomolekular pada janin bayi untuk mendeteksi autism

sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas kebutuhan


untuk penelitian.
Mendeteksiteksi Autistik pada Balita
Mendeteksi adanya autis pada balita dapat di lihat dari adanya kebiasaan
kebiasaan beriku t
-

Bayi tidak menunjukkan kontak mata dan tidak bereaksi ketika diajak
berbicara/bercanda.

Cenderung sangat tenang, terlalu cuek dan diam atau sebaliknya sangat
rewel dan cerewet.

Lebih suka bermain-main sendiri dan tidak tertarik dengan anak lain.

Mengamati benda-benda bergerak di sekitarnya atau menonton TV


selama berjam-jam dan sangat marah jika diganggu.

Tidak mampu memanggil orang-orang terdekat sampai usia 18 bulan.

Bermain dengan benda-benda yang bukan mainan atau bermain dengan


cara kurang variatif.

Tidak mampu bermain pura-pura (pretend play).

Berperilaku aneh dan stereotif tanpa ada sesuatu penyebab seperti


melompat -lompat, jinjit-jinjit, mengepak-kepakkan tangan, berputarputar, bergerak tanpa tujuan, tertawa atau menangis sendiri, dsb.
Skrining Perkembangan
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat,

sederhana dan murah untuk populasi yang asimptomatik tetapi mempunyai


resiko tinggi atau dicurigai mempunyai masalah. Skrining perkembangan
harus dilakukan secara periodik pada bayi atau anak dengan risiko tinggi
(berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin). Sedangkan bayi atau
anak dengan risiko rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi
atau dijawab oleh orangtua. Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan
tumbuh kembang dilanjutkan dengan tes skrining (Soedjatmiko, 2001).
Skrining

perkembangan

yang

dilakukan

untuk

memantau

perkembangan motorik pada penelitian ini adalah Kuesioner Pra Skrening

Perkembangan (KPSP). Kuesioner ini diterjemahkan dan dimodifikasi dari


Denver Prescrening Developmental Questionnaire (PDQ) oleh Tim Depkes
RI yang terdiri dari beberapa dokter spesialis anak, psikiater anak, neurolog,
THT, mata dan lain-lain pada tahun 1986. Kuesioner ini dilaksanakan untuk
skrining pendahuluan bayi umur 3 bulan sampai anak umur 6 tahun yang
bisa dilakukan oleh orangtua atau petugas medis (Soedjatmiko, 2001).
Dalam skrining ini, setiap umur tertentu ada 10 pertanyaan tentang
kemampuan perkembangan anak, yang harus diisi (atau dijawab) oleh
orangtua dengan ya atau tidak, sehingga hanya membutuhkan waktu 10-15
menit. Jika jawaban ya sebanyak 6 atau kurang maka anak dicurigai ada
gangguan perkembangan dan perlu dirujuk, atau dilakukan tes skrining
dengan Denver II. Jika jawaban ya sebanyak 7-8, perlu diperiksa ulang 1
minggu kemudian. Jika jawaban ya 9-10, anak dianggap tidak ada
gangguan, tetapi pada umur berikutnya dilakukan KPSP lagi (Soedjatmiko,
2001).
Untuk memperluas jangkauan skrining perkembangan, Frankenburg
dkk., (1976) menganjurkan agar lebih banyak menggunakan PDQ, karena
mudah, cepat, murah dan dapat dikerjakan sendiri oleh orangtua atau
dibacakan oleh orang lain (misalnya paramedis atau kader kesehatan). Jika
dengan PDQ dicurigai ada gangguan perkembangan, anak tersebut dirujuk
untuk dilakukan skrining dengan Denver II yang lebih rumit, lama dan harus
dilakukan oleh tenaga terlatih. Kuesionor ini sampai sekarang masih
dianjurkan oleh Depkes untuk digunakan di tingkat pelayanan kesehatan
primer (dokter keluarga, puskesmas) (Soedjatmiko, 2001).
J. Stimulasi Dini
a. Definisi
Stimulasi merupakan suatu perangsanganan yang datangnya dari lingkungan
di luar individu anak. Stimulasi dapat juga berfungsi sebagai penguat
(reinforcement). Anak yang banyak mendapatkan stimulasi akan lebih cepat
berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi dan
pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhan-

kebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya (Soetjinigsih,


1998).
Stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi lahir (bahkan
sebaiknya sejak janin 6 bulan di dalam kandungan) dilakukan setiap hari, untuk
merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan,
pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan
dan jari-jari, mengajak berkomunikasi, serta merangsang perasaan yang
menyenangkan dan pikiran bayi dan balita. Rangsangan yang dilakukan sejak
lahir, terus menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan
memacu berbagai aspek kecerdasan anak (kecerdasan multipel) yaitu kecerdasan :
logiko-matematik, emosi, komunikasi bahasa (linguistik), kecerdasan musikal,
gerak (kinestetik), visuo-spasial, senirupa, dan lain-lain (Soedjatmiko, 2012).
b. Bentuk Stimulasi
Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhankebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Pieget dan Kohberg
dalam Hurlock (1999) mengatakan, rangsangan dan stimulasi adalah upaya dalam
memperkuat perkembangan anak seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki
anak. Pada awal perkembangan kognitif, anak berada dalam tahap sensori
motorik. Pada tahap ini keadaan kognitif anak akan memperlihatkan aktifitasaktifitas motoriknya, yang merupakan hasil dari stimulasi sensorik. Misalnya
pemberian stimulasi visual pada ranjang bayi akan meningkatkan perhatian anak
terhadap lingkungannya, bayi akan gembira dengan tertawa-tertawa dan
menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya.

Selain

stimulasi sensorik untuk

merangsang aktivitas ototnya, juga diperlukan stimulasi afektif dan selanjutnya


stimulasi yang mempunyai aspek sosial dan kognitif, sehingga akan terwujud
perkembangan yang optimal baik fisik, mental dan sosial (Soetjinigsih, 1998).
Pada

tahun-tahun

pertama

tumbuh

kembang

anak,

anak

belajar

mendengarkan, yang juga disebut periode kesiapan mendengarkan. Stimulasi


verbal pada periode ini sangat penting untuk perkembangan bahasa anak pada
tahun pertama kehidupannya, karena kualitas dan kuantitas vokalisasi seorang

anak akan dapat bertambah dengan stimulasi verbal dan anak-anak akan belajar
menirukan kata-kata yang didengarnya (Soetjinigsih, 1998).
Stimulasi visual dan verbal pada permulaan perkembangan anak, merupakan
stimulasi awal yang penting karena dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif,
misalnya mengangkat alis, membuka mulut dan mata seperti ekspresi keheranan,
dan lain-lain. Selain stimulasi tersebut di atas, anak juga memerlukan stimulasi
taktil. Kurangnya stimulasi taktil dapat menimbulkan penyimpangan perilaku
sosial, emosional dan motorik (Soetjinigsih, 1998).
Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak.
Stimulasi semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan rasa percaya diri pada
anak sehingga anak lebih responsif terhadap lingkungannya dan lebih berkembang
(Soetjinigsih, 1998).
Pada anak yang lebih besar yang sudah mampu berjalan dan berbicara, akan
senang melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap lingkungannya, yang
merupakan perwujudan dari motif kompetensinya. Motif kompetensi ini dapat
diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungannya, melalui jumlah reaksi yang
diberikan terhadap perilaku anak tersebut. Anak akan cenderung mengulangi
perilakunya lagi apabila terdapat reaksi yang sering diberikan terhadap perbuatan
anak. Di sini anak akan belajar menganalisis perilaku mana yang dapat
memberikan efek tertentu dan meletakkan hubungan antara perilaku tersebut
dengan akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian stimulasi verbal sangat
diperlukan pada tahap perkembangan ini. Dengan penguasaan bahasa, anak akan
mengembangkan inisiatif atau ide-ide melalui pertanyaan-pertanyaan, yang
selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya (Soetjinigsih, 1998).
Pada masa sekolah, perhatian anak mulai keluar dari lingkungan
keluarganya, perhatian mulai beralih ke teman sebayanya (peer group). Pada
tahap perkembangan ini, anak akan sangat beruntung jika mempunyai kesempatan
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Melalui sosialisasi anak akan
memperoleh banyak stimulasi sosial yang bermanfaat bagi perkembangan sosial
anak (Soetjinigsih, 1998).

c. Prinsip Dasar Melakukan Stimulasi


Secara garis besar, prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui oleh ibu
dalam melakukan stimulasi/ rangangan pada anak adalah (Kementerian Kesehatan
RI, 2010):
a. Stimulasi/rangsangan dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
b. Selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru
tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
c. Stimulasi/rangsangan dilakukan sesuai dengan kelompok umur anak.
d. Melakukan stimulasi/rangsangan dengan cara mengajak anak bermain,
bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.
e. Melakukan stimulasi/rangsangan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai
umur anak, terhadap ke 4 faktor kemampuan dasar anak (motorik halus,
motorik kasar, kemampuan bicara dan bahasa, serta sosialisasi dan
kemandirian).
f. Menggunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar
anak.
g. Memberikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
h. Memberikan anak pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.
d. Cara Melakukan Stimulasi Dini
Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan
bayi/balita, misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi
makanan, menggendong, mengajak jalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam
kendaraanm menjelang tidur, dan lain-lain. Menurut Soedjatmiko (2012),
stimulasi juga dilakukan sesuai usia dan tahap-tahap perkembangannya, yaitu :
a. Stimulasi untuk bayi umur 0 - 3 bulan dengan cara : mengusahakan rasa
nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata
bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau
musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda-benda berwarna
mencolok, benda-benda berbunyi, mengguling-gulingkan bayi ke kanan ke
kiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan.

b. Umur 3 - 6 bulan ditambah dengan bermain cilukba, melihat wajah bayi dan
pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, terlentang bolak-balik,
duduk.
c. Umur 6 - 9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak
bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih
berdiri berpegangan.
d. Umur 9 - 12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mamapapa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas,
menggelinding bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.
e. Umur 12 18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan
pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana
(puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya,
bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, lap. Latihlah berjalan
tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola,
melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana,
menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
f. Umur

18-24

bulan

ditambah

dengan

menanyakan,

menyebutkan,

menunjukkan bagian-bagian tubuh, menanyakan gambar atau menyebutkan


nama binantang dan benda-benda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang
kegiatan sehari-hari, latihan menggambar garis, mencuci tangan, memakai
celana dan baju, melempar bola, melompat.
g. Umur 2 3 tahun ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna,
menggunakan kata sifat, menyebutkan nama-nama teman, menghitung bendabenda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan,
menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri dengan satu kaki,
buang air kecil/ besar di toilet.
h. Setelah umur 3 tahun, selain mengembangkan kemampuan-kemampuan usia
sebelumnya, stimulasi juga diarahkan untuk kesiapan bersekolah antara lain :
memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung
sederhana, mengerti perintah sederhana, berbagi dengan teman dan

kemandirian (ditinggalkan di sekolah). Perangsangan dapat dilakukan di


rumah atau di kelompok bermain.
Stimulasi dilakukan setiap ada kesempatan berinteraksi dengan bayi,
dilakukan setiap hari, terus-menerus, bervariasi, disesuaikan dengan umur
perkembangan kemampuannya dan hendaknya dilakukan oleh keluarga (terutama
ibu atau pengganti ibu). Selain itu stimulasi juga harus dilakukan dalam suasana
yang menyenangkan dan penuh kegembiraan antara pengasuh dan bayinya.
Pengasuh yang sering marah,

bosan, sebal, maka tanpa disadari justru

memberikan rangsang emosinal yang negatif, karena pada prinsipnya semua


ucapan, sikap dan perbuatan pengasuh merupakan stimulasi yang direkam, diingat
dan akan ditiru atau bahkan menimbulkan ketakutan pada bayi (Soedjatmiko,
2012).
Dalam pemberian stimulasi, interaksi antara pengasuh dan bayi harus
dilakukan dalam suasana pola asuh yang demokratik (otoritatif), yaitu pengasuh
harus peka terhadap isyarat-isyarat bayi. Pengasuh harus memperhatikan minat,
keinginan, pendapat anak, tidak memaksakan kehendak, penuh kasih sayang dan
kegembiraan. Selain itu pengasuh juga harus bisa menciptakan rasa aman dan
nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba
berkreasi, memberi penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku anak
yang baik, memberikan koreksi dan bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak
dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan (Soedjatmiko, 2012).

BAB III
KESIMPULAN

1. Autisme merupakan gangguan pada anak yang ditandai dengan munculnya


gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan
pada interaksi sosial, dan perilakunya.
2. Beberapa faktor diduga menjadi penyebab autisme infantil antara lain teori
psikoanalitik, genetik, serta berdasarkan studi biokimia dan riset neurologis
3. Terapi wicara dan perilaku merupakan terapi yang sangat penting untuk
membangun anak yang dapat mandiri.
4. Faktor yang mempengaruhi prognosis autisme infantil antara lain berat
ringannya gejala, usia, kecerdasan, bicara dan bahasa, serta terapi intensif dan
terpadu.
5. Terapi pada autis umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan
secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

Fombonne, Eric. 2009. Epidemiology of Pervasive Developmental Disorders.


Pediatrics Research, 6 (65); 591-8.
Handojo, 2004. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar
Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer
Hurlock, E.B. 1999. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga
Ismael, Sofyan. 2010. A Journey to Child Development : dalam A Journey to
Child Neurodevelopment : Application in Daily Practice. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kasran, Suharko. 2003. Autisme: Konsep yang Sedang Berkembang. Bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jurnal
Kedokteran Trisakti, Vol. 22 No. 1; 24-30.
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2010. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia dan Japan International Cooperatation
Agency.
Lubis, Misbah. 2009. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis.
Diambil

dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14528/1/09E01232.pdf.
Diakses tanggal: 22 Maret 2015.
Puspita, D. 2004. Makalah : Masalah Peran Keluarga pada Penanganan Individu
Autistic Spectrum Disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia
Rapin, I. 1997. Autism. New Journal English Medicine, Vol 337; 97-104.
Sadock, B. J dan Alcot, V. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioural Sciences/Clinical Psychiatry. 10th Edition. University School
of Medicine New York; Chapter 42.
Sartika, Dinda. 2011. Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan. Skripsi: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Shattock, P. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan Memperbaiki
Metabolisme Tubuh. Jakarta: Nirmala
Soedjatmiko. 2001. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari
Pediatri. Vol 3(3). 175-188.

Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : EGC.


Soetjiningsih. 2010. Upaya Peningkatan Kualitas Tumbuh Kembang Anak :
dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi Pertama
IDAI. Yogyakarta : Sagung Seto.
Suryana, A. 2004. Terapi Autisme, anak berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta:
Progres Jakarta
Widyawati, I. Rosadi, D. E., dan Yulidar. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah.
Jakarta: Puspa Swara
Yeni, A. F., Murni, J. Y., & Oktora, R. 2009. Autisme dan Penatalaksanaan.
Diambil dari: http://www.Files-of-DrsMed.tk/. Diakses tanggal 23 Mei
2012.

Anda mungkin juga menyukai