TEKNOLOGI OLEOKIMIA
PEMBUATAN BIOPELUMAS
OLEH :
NURUL AINI/110405014
CICI NOVITA SARI/110405022
WIDYA GEMA BESTARI/110405028
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini pelumas yang beredar di pasar umumnya disintesis menggunakan bahan baku
berasal dari turunan minyak bumi. Di samping ketersediaannya yang terbatas dan tidak
dapat diperbaharui, penggunaan minyak bumi sebagai bahan baku pelumas dinilai tidak
ramah lingkungan. Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan keprihatinan
masyarakat international terhadap polusi lingkungan yang disebabkan oleh pemakaian
pelumas dari minyak bumi, permintaan dunia terhadap pelumas yang ramah lingkungan juga
cenderung semakin meningkat. Pelumas dari minyak bumi menggunakan 1,1% dari total
produksi minyak bumi dunia yang setara dengan 40 juta ton/tahun. Penggunaan pelumas
tersebut meliputi kebutuhan untuk pelumas mesin 48%, process oil 15,3%, hydrolic oil
10,2%, dan penggunaan lainya 26,5% (Wahyuni dan Setiawan, 2013).
Selama ini bahan baku pembuatan base oil (pelumas adasar) adalah dari mineral oil,
padahal ketersediaan mineral oil semakin menipis (Phina, 2012). Penggunaan minyak
petroleum sebagai bahan pelumas juga banyak dilakukan. Namun, penggunaan ekstensif
pelumas berbasis minyak bumi telah menyebabkan masalah lingkungan yang serius karena
faktanya minyak pelumas berbahan petroleum kurang biodegradable. Sehingga tumpahan
pelumas yang berasal dari mesin atau akibat dari kecelakaan kerja dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan dan sangat berbahaya (Joaquin et al., 2011).
Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknologi untuk mencari pengganti berupa sumber
daya alam yang dapat diperbarui. Salah satu sumber yang dikembangkan berasal dari tumbuh
tumbuhan (minyak nabati). Minyak nabati menjadi alternatif karena sifatnya yang lebih
mudah diuraikan oleh alam. Sifat lainnya adalah tidak beracun dan sumbernya yang
melimpah karena dapat diperbaharui. Hal ini juga mendukung upaya pelestarian lingkungan,
mendorong berkembangnya sektor pertanian, dan mengurangi kerusakan di bumi. Kebutuhan
akan pelumas yang besar ini memberikan peluang bagi biolubricant seperti minyak jarak
sebagai alternatif substitusinya (Phina, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelumas
Kontak mekanik
antara elemen satu dengan yang lain adalah hal yang tidak bisa
dihindari pada permesinan. Kontak mekanik yang terjadi dapat memberikan keausan pada
mesin (Darmanto, 2011). Keausan (wear) adalah hilangnya materi dari permukaan benda
padat sebagai akibat dari gerakan mekanik (Sukirno, 2010). Pemberian pelumas pada mesin
dapat meminimalkan keausan pada suatu mesin (Darmanto, 2011).
Pelumas adalah substansi atau material yang dapat menurunkan gesekan dan keausan
serta memberikan smooth running dan umur yang memuaskan untuk suatu elemen mesin.
Minyak pelumas digunakan sebagai salah satu pendeteksi dini terhadap kegagalan mesin
(Jain dan Suhane, 2012).
Pelumasan sangat penting dalam hampir berbagai aspek yang berkontribusi terhadap
perkembangan masyarakat pada saat ini seperti perindustrian, transportasi, rekonstruksi,
mesin, dan lain-lain (Jain dan Suhane, 2013).
Dalam pelumas seringkali ditambahkan bahan aditif. Bahan tambahan aditif itu ialah zat
kimia yang ditambahkan pada minyak dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat tertentu
dari minyak yang bersangkutan. Berbagai macam bahan tambahan itu diberi nama menurut
sifat yang diperbaikinya dalam minyak. Jenis bahan tambahan yang umunya sering
ditambahkan adalah sebagai berikut :
a. Bahan tambahan untuk menurunkan titik beku
b. Bahan tambahan untuk meningkatkan indeks viskositas
c. Bahan tambahan pemurni dan penyebar
Aditif ini menjaga supaya bagian-bagaian zat arang tetap tinggal melayang- layang dan
mencegah melekat pada logam, dengan demikian pesawat yang bersangkutan tetap dalam
kondisi bersih.
Aditif antioksidan mengurangi ketuaan minyak, jadi minyak yang diberi aditif
antioksidan tidak cepat mengoksida sehingga pengasaman dapat dicegah. Aditif antikorosi
memberi lapisan pelindung pada bagian mesin dengan demikian dapat dicegah termakanya
oleh asam yang terjadi dalam minyak. Aditif dapat mencegah dua bagian permukaan logam
yang saling bersinggungan berpadu dan juga meningkatkan daya lumas minyak. Minyak yang
diberi aditif dapat meningkatkan nilai tekanan batas, tahan terhadap tekanan tinggi (Prodi,
2003).
Saat ini sebagian besar bahan pelumas yang digunakan berasal dari minyak petroleum.
Namun, penggunaan ekstensif pelumas berbasis minyak bumi telah menyebabkan masalah
lingkungan yang serius karena faktanya minyak pelumas berbahan petroleum kurang
biodegradable. Sehingga tumpahan pelumas yang berasal dari mesin atau akibat dari
kecelakaan kerja dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sangat berbahaya. Untuk
meningkatkan kepedulian dan keamanan terhadap lingkungan, disamping meningkatnya
harga minyak bumi maka dilakukan suatu pengembangan baru yaitu biopelumas yang sedikit
memberikan kontaminan dan lebih cepat terurai (Joaquin et al., 2011).
Biopelumas merupakan zat yang berasal dari minyak nabati dan aditif (Wagner et al.,
2001). Minyak nabati biasanya diperoleh dari ekstraksi tumbuhan dengan mengambil bagian
yang sesuai dari tanaman tersebut dapat berupa daun, biji, akar dan lain lain (Jain dan
Suhane, 2013).
Bahan biopelumas berasal dari alam. Biopelumas lebih disukai karena gampang terurai
dan memiliki toksisitas yang rendah terhadap lingkungan. Keuntungan utama dari
biopelumas adalah indeks viskositas yang tingi, sehingga memungkinkan viskositas untuk
berada dalam keadaan yang hampir stabil pada suhu yang konstan tidak seperti pada minyak
mineral (Jeffrey, 2007).
Viskositas adalah ukuran tahanan mengalir suatu minyak merupakan sifat yang penting
dari minyak pelumas. Beberapa pengujian telah dikembangkan untuk menentukan viskositas,
antara lain pengujian Saybolt, Redwood, Engler, dan Viscosity Kinematic. Viskositas semua
cairan tergantung pada suhu. Bila suhu meningkat maka daya kohesi antar molekul
berkurang. Sebagai jenis minyak perubahan viskositasnya sangat drastis dibandingkan yang
lainnya. Titik beku suatu minyak adalah suhu dimana minyak berhenti mengalir atau dapat
juga disebut titik cair yaitu suhu terendah dimana minyak masih mengalir. Pengetahuan
mengenai hal ini penting dalam pemakaian minyak pada suhu yang rendah (Prodi, 2003).
2.2 Fungsi Pelumas
a. Mengurangi gesekan (reduce friction)
Tujuan utama dari pelumas adalah untuk menurunkan gesekan, pelumasan berfungsi
untuk memisahkan dua permukaan yang bergerak dengan memberikan selaput
pelumas diantara dua permukaan tersebut.
Minyak tumbuh tumbuhan diperoleh dengan cara memeras biji atau buah. Pada
minyak tumbuh tumbuhan yang terpenting dalam teknik ialah minyak lobak
(rape oil), minyak biji katun dan biji risinus.
b. Minyak Hewan
Minyak yang diperoleh dari hewan. Minyak ini umumnya dibuat dari bagian tubuh
hewan. Minyak hewan memiliki daya lumas yang baik, oleh sebab itu minyak
tersebut dinamakan minyak berlemak. Kelemahan dari minyak ini cepat menjadi
tengik.
c. Minyak mineral
Minyak mineral diperoleh dengan cara distilasi (penyulingan) minyak bumi secara
bertahap. Minyak mineral lebih murni dari pada minyak tumbuh tumbuhan atau
minyak hewan, akan tetapi lebih tahan lama dari kedua macam minyak tersebut.
Namun daya lumas dari minyak mineral tidak sebaik minyak tumbuh-tumbuhan
dan minyak hewan.
d. Minyak kompon
Minyak ini merupakan campuran dari minyak mineral dengan sedikit minyak
tumbuh tumbuhan atau minyak hewan. Campuran ini mempunyai daya lumas
yang lebih sempura dari pada minyak mineral.
(Prodi, 2003)
3. Titik Nyala
Titik nyala pada minyak lumas adalah temperatur minimal minyak lumas yang
merupakan indikator mudah terbakarnya minyak lumas tersebut pada temperatur operasi
mesin.
4. Titik Tuang
Titik tuang dari minyak pelumas merupakan indikator mudah atau tidaknya minyak
lumas tersebut membeku pada temperatur tersebut. Apabila minyak lumas tersebut cepat
membeku, maka akan menyebabkan mesin tidak dapat dipompakan dan pelumasan tidak
terjadi. Selain itu juga , mengindikasikan jenis minyak lumas dasar yang digunakan (Eni,
2014).
2.5 Proses Pembuatan Pelumas
1. Reaksi epoksidasi
Epoksida dihasilkan oleh reaksi ikatan ganda dengan peroksida. Asam karboksilat
yang dihasilkan adalah asam yang lebih kuat dari ikatan hidrogen peroksida yang kuat
dan dapat menyebabkan reaksi pembukaan cincin berturut-turut, terutama dalam kasus
asam format. Epoksida sangat reaktif dan mudah mengalami reaksi pembukaan cincin
dalam asam. Banyak penelitian telah menunjukkan pentingnya penggunaan katalis untuk
tujuan epoksidasi.
satu yang paling umum digunakan adalah reaksi pembukaan cincin. Pembukaan cincin
terjadi melalui pembelahan salah satu ikatan karbon oksigen. Hal ini dapat dimulai
dengan oleh elektrofil atau nukleofil, atau dikatalisasi oleh salah satu asam atau basa.
Sebagai contoh, hidrolisis asam-katalis dari epoksida sering digunakan untuk
mempersiapkan glikol. Penambahan nukleofilik dari kelompok karboksil ke pusat
epoksida dapat dengan mudah dilakukan dengan protonasi menggunakan katalis asam
padat. Tingkat pembukaan cincin oxirane dari lemak terepoksidasi asam sangat
tergantung pada sifat dan struktur asam karboksilat.
Katalis asam membantu pembukaan cincin epoksida dengan berkontribusi
menyediakan leaving group yang lebih baik saat terjadi serangan nukleofilik pada
karbon. Katalisis ini sangat penting jika nukleofil tersebut lemah seperti air atau
alkohol. Dengan tidak adanya katalis asam maka leaving group harus merupakan ion
alkoksida yang kuat. Bagaimanapun reaksi seperti itu sangat tidak ramah lingkungan.
3. Reaksi Esterifikasi dan Transesterifikasi
Asam lemak diubah menjadi ester melalui reaksi dengan alkohol berlebih
menggunakan katalis asam atau lipase. Boraks trifluoride, asam sulfat, atau anhidrat
hidrogen klorida dalam metanol umumnya digunakan untuk membentuk metil ester.
Reaksi dilakukan dalam 30 menit menggunakan refluks kondensor.
Alkohol berlebih tidak bisa selalu digunakan, misalnya, dalam sintesis triasilgliserol
menggunakan gliserol dilindungi. misalnya, dalam sintesis asil gliserol, sebuah asam
lemak yang lebih reaktif seperti asam klorida atau anhidrida digunakan, atau asam lemak
bereaksi langsung dengan alkohol, menggunakan dicyclohexylcarbodiimide dan 4dimetilaminopiridin sebagai kopling agen. Beberapa kelompok asam lemak yang lebih
jarang adalah asam sensitif, misalnya, epoksida, siklopropana, siklopropena, dan
senyawa hidroksi, dan karenanya diperlukan metode yang tidak melibatkan katalis asam.
Reaksi dengan diazometana atau trimethylsilyldiazometana yang kurang berbahaya
mungkin saja dilakukan. Banyak penelitian telah dilakukan pada proses esterifikasi
menggunakan katalis dan alkohol yang berbeda. Poliester (pelumas) disintesis dari
esterifikasi minyak nabati dan dilanjutkan dengan transesterifikasi (Salimot, 2014).
BAB III
APLIKASI PEMBUATAN BIOPELUMAS
3.1 Pembuatan Pelumas dari Minyak Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas)
Bahan dan reagen yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai
berikut: Minyak mentah jarak, metanol, kalium hidroksida, etilen glikol, asam klorida, asam
sulfat, heksana, natrium metoksida (30% dalam metanol), metil ester dan indikator
fenolftalein. Produk yang dihasilkan adalah polyol ester.
Sifat sifat bahan baku dan produk
a. Minyak biji jarak pagar (jatropha curcas)
Warna : kuning keemasan
Total kandungan lemak : 59,32
FFA (asam oleat) : 1,89
Nilai asam (mg KOH/g) : 3,76
Nilai iodin : 104,90
Mudah larut dalam air. Larut dalam etil alkohol. Reaktif dengan agen pengoksidasi,
agen pereduksi, asam, alkali, metal, material organik. Korosif terhadap aluminium,
tembaga, stainless steel. Tidak korosif terhadap kaca.
(ScienceLab, 2013)
e. Kalium Hidroksida (KOH)
Wujud : Padatan berwarna putih
Berat molekul : 56,11 g/mol
Titik didih : 1384C
Titik leleh : 380C
Spesifik gravity : 2,044
Larut dalam air. Tidak larut dalam dietil eter. Sangat reaktif terhadap asam, reaktif
dengan materi organik dan metal. Korosif terhadap aluminium dan zinc. Tidak korosif
terhadap stainless steel. Higroskopik (menyerap kelembaban dari udara)
(ScienceLab, 2013)
f. Etilen Glikol
Nama lain : glykol alkohol, Tescol
Wujud : cairan tidak berwarna
Titik didih : 197,6C
Titik leleh : -13C
Spesifik gravity : 1,1088
Tekanan uap : 6 mmHg
Densitas uap : 2,14
Larut dalam air, aseton, dietil eter. Tidak bercampur dengan gliserol, alkohol alifatik,
asam asetat, keton, aldehid, piridin. Tidak larut dalam benzene, petroleum eter.
Reaktif dengan agen pengoksidasi, asam, alkali. Higroskopi. Tidak korosif terhadap
kaca.
(ScienceLab, 2013)
g. Sodium Metoksida (CH3ONa)
Wujud : padatan berwarna putih
Berat molekul : 54,03 g/mol
Titik leleh : >126C
Spesifik gravity : 1.1
Densitas uap : 1,1
Larut dalam metanol dan etanol. Reaktif dengan agen pengoksidasi, asam.
(ScienceLab, 2013)
h. Phenolphtalein (C20H14O4)
Wujud : padatan berwarna kuning
Berat molekul : 318,33 g/mol
Titik leleh : 260C
Spesifik gravity : 1,299
Larut dalam aseton, dietil eter. Reaktif dengan agen pengoksidasi.
i. Polyol Ester
Wujud : cair berwarna kuning
Spesifik gravity : <1,0 g/cc pada 25C
Tekanan uap : 4 x 10-6 kPa (25C)
Kelarutan dalam air : 0,06 mg/L (20C)
pH : netral
Kelarutan dalam air (25C) dapat diabaikan
(NICNAS, 1996 dan NRI, 2013).
Pembuatan pelumas dari minyak jarak terdiri dari tiga tahap yaitu ekstraksi minyak dari
tanaman jarak, proses esterifikasi dan proses transesterifikasi. Minyak diekstraksi melalui
metode ekstraksi pelarut.
3.1.1 Persapan bahan baku
Langkah langkah dalam persiapan bahan baku antara lain :
(i) Dilewatkan biji jarak ke dalam suatu alat yang disebut dengan corrugated
roller mills hingga ukuran biji menjadi 3 mm
(ii) Dilakukan pemanasan terhadap bahan tersebut 80C dengan steam dan
dilembabkan agar kandungan air naik 11 hingga 12%
(iii) Dilakukan pengelupasan bahan di antara sepasang gulungan agar ketebalan
menjadi 0,25 mm atau bahkan lebih tipis
(iv) Bahan tersebut siap untuk diekstraksi
3.1.2 Proses ekstraksi
Biji jarak pagar yang telah dihancurkan tersebut ditempatkan dalam 5 L labu
leher tiga. Heksana digunakan sebagai pelarut untuk mengekstrak minyak. Volume
heksana yang digunakan dilakukan dengan rasio 6: 1. Sebuah pendingin refluk dipasang
dan campuran dipanaskan pada suhu 60C dan diaduk selama sekitar 8 jam. Kemudian
dihasilkan campuran minyak dan pelarut dan disaring untuk menghilangkan
metanol yang digunakan adalah 3,5:1, jumlah katalis yang digunakan adalah
0,8% w/w dari total reaktan dan reaksi dilakukan pada suhu 120C selama dua
jam tiga puluh menit (2,5 jam).
3.2 Inovasi Yang Ditawarkan
Proses pembuatan pelumas di atas menggunakan proses esterifikasi menggunakan katalis
asam sulfat. Sedangkan untuk proses transesterifikasi tahap satu yaitu untuk mensintesis metil
ester digunakan katalis kalium hidroksida. Untuk proses transesterifikasi tahap dua yaitu
untuk menghasilkan pelumas (dalam kasus ini polyol ester) digunakan katalis natrium
metoksida.
Katalis basa yang masih mengandung air dapat menyebabkan saponifikasi ester.
Sedangkan asam lemak bebas dapat bereaksi dengan katalis alkali yang akan menghasilkan
air dan sabun. Sabun dapat menyebabkan pembentukan emulsi. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya konsumsi katalis dan timbulnya berbagai kesulitan dalam proses pemurnian.
Selain penggunaan katalis basa cair, dapat digunakan pula katalis asam cair (Wahyuni dan
Setyawan, 2013). Meskipun reaksi yang menggunakan katalis asam homogen lebih cepat
seperti asam sulfat dan asam phospat, tetapi katalis tersebut susah dipisahkan dari produk
(Oh, dkk., 2013). Katalis asam akan tetap efektif pada minyak nabati yang mengandung asam
lemak bebas > 1%, sedagkan katalis basa akan rusak (tidak stabil) dalam kondisi tersebut
(Wahyuni dan Setyawan, 2103).
Katalis asam heterogen memiliki lebih banyak keuntungan daripada katalis homogen,
antara lain lebih mudah dipisahkan, dapat digunakan kembali dan lebih ramah lingkungan.
Katalis tersebut juga dapat digunakan pada proses transesterifikasi dan esterifikasi sehingga
memberikan harga yang lebih murah (Hawash, dkk., 2014). Katalis cair sering menyebabkan
korosi (Oh, dkk., 2013).
Beberapa katalis padat yang bersifat asam untuk memproduki ester dari minyak nabati
telah dikembangkan, seperti amberlyst-15 dan asam zeolit padat. Namun, amberlyst-15
dilaporkan sebagai katalis yang efektif dalam reaksi esterifikasi, namun aktivitas katlis ini
menurun pada reaksi yang berlangsung dengan kondisi temperatur 120C. Katalis asam
zeolit padat juga telah dicoba dalam proses esterifikasi, namun zeolit padat memiliki poripori yang kecil sehingga penggunaannya terbatas (Oh, dkk., 2013).
Kemudian muncullah suatu katalis yang mungkin dapat menggantikan beberapa katalis
di atas, yaitu sulfated zirconia. Sulfated zirconia merupakan katalis asam heterogen yang
memiliki kekuatan asam yang lebih tinggi daripada katalis asam heterogen lainnya (Hawash,
dkk., 2014). Katalis ini sangat efektif memiliki permukaan pori yang lebuih besar sehingga
menghasilkan yield yang besar pula. Katalis tersebut juga dapat direcycle atau digunakan
kembali. Hal ini dikarenakan katalis tersebut setelah digunakan yang kemudian dipisahkan
dan dicuci serta dikeringkan dapat digunakan kembali. Sulfated zirconia memiliki gugus
tertragonal yang tetap stabil walaupun telah digunakan dan aktivitas katalisnya menurun
setelah digunakan hingga lima kali proses reaksi (Oh, dkk., 2013).
Biji Jarak
Pagar
Hammer
Mill
Impeller
Humidifier
Crusher rol
Ekstraktor
steam
Metanol
Gliserol
Metanol
Reaktor
Transesterifikasi
Tahap I
Clarifier
Heksana
r
S-ZrO2
Reaktor
Esterifikasi
Rotary
Evaporator
Air
S-ZrO2
Acetone
Washing
Tank
Heksana
Dryer
Etilen
Glikol
S-ZrO2
Clarifier
Reaktor
Transesterifikasi
Tahap II
Polyol
Ester
Gambar 3.1 Diagram Balok Pembuatan Biopelumas Menggunakan Katalis Sulfated Zirconia
Skala Pabrik
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang kami peroleh adalah :
1. Pelumas adalah substansi atau material yang dapat menurunkan gesekan dan
keausan serta memberikan smooth running dan umur yang memuaskan untuk
suatu elemen mesin
2. Biopelumas merupakan zat yang berasal dari minyak nabati dan aditif
3. Pelumas dapat dibuat dengan reaksi epoksidasi, reaksi pembukaan cincin oksiran,
reaksi esterifikasi dan transesterifikasi
4. Katalis asam heterogen lebih baik penggunaannya dalam pembuatan pelumas
5. Sulfated zirconia merupakan katalis asam heterogen yang memiliki kekuatan asam
lebih tinggi daripada katalis asam heterogen lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Bashar Mudhaffar., Yusop, Rahimi M., Salimon, Jumat., Yousif, Emad., Salih,
Nadia. Physical and Chemical Properties Analysis of Jatropha curcas Seed Oil for
Industrial Applications. International Journal of Chemical, Nuclear, Metallurgical and
Materials Engineering, Volume 7, Nomor 12. 2013
Bilal S, Mohammed-Dabo I. A, Nuhu M, Kasim S.A, Almustapha I. H dan Yamusa Y. A.
Production of Biolubricant from Jatropha curcas Seed Oil. Journal of Chemical
Engineering and Materials Science, ISSN : 2141-6605, Volume 4, Nomor 6, Halaman
72-79. 2013
Darmanto, Mengenal Pelumas Pada Mesin, Momentum Jurnal, Vol 7, No 1, hal : 5 10,
2011
Eni, 2014. Requirements and characteristics of lubricants. http://www.eni.com/en_HU
/products-services/automotive-lubricants/requirements characteristics-lubricants. html
diakses pada tanggal 11 desember 2014.
Hawash, S.I., Kader, E. Abdel., Farah, Joseph Y dan Diwani, G.I.EI. Biodiesel Production by
Esterification / Transesterification of Jatropha Oil over Sulfated Zirconia. International
Journal of Innovative Science, Engineering & Technology, Volume 1, Nomor 7,
Halaman 86-96. 2014.
Isah, A. G., Abdulkadir, M., Onifade, K. R., Musa, U., Garba, M. U., Bawa, A. A and Sani, Y.
Regeneration of Used Engine Oil Proceedings of the World Congress on Engineering
2013 Vol I, 2013.
Jain, Amit Kumar dan Amit Suhane. Research Approach and Prospects of Non Edible
Vegetable Oil as a Potential Resource for Biolubricants, Advanced Engineering and
Applied Sciences : An International Journal, Vol 1 (Desember, 2012), hal : 23-32
Jain, Amit Kumar dan Amit Duhane, Capability of Biolubricants in Industrial and
Maintenance Applications, International Journal of Current Engineering and
Technology ISSN : 2277-4106, Vol 3, (Maret, 2013), No 1, hal : 179 183
Jeffrey, S. M. (2007). Bio Lubricants Manual
Joaquin J. Salas, M.Victoria Ruiz-Mndez y Rafael Garcs grasas y aceites, Prologe:
Biodegradable lubricants from vegetable oils,ISSN : 0017-3495, Vol 62 , No 1, 2011
Oh, Jinho., Yang, Sungeun., Kim, Chanyeon., Choi, Inchang., Kim, Jae Hyun dan Lee,
Hyunjoo. Synthesis of Biolubricants using Sulfated Zirconia Catalysts. Journal of
Applied Catalyst A : General, Volume 455, Halaman 164-171. 2013.
Pramono, Agus. Menentukan Pemakain Pelumas Bahan Bakar dan Bahan Pelumas Mesin
Diesel. Jurnal Teknis. Vol 6. No 1. hal : 10 17. 2010
Prodi. 2003. Bahan Pelumas. Bagian Proyek Pengembangan Kurikulum DIKMENJUR.
Direktorat Pendididkan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional.
National Industrial Chemicals Notification and Assessment Scheme. Polyol Ester. 1996
National Refrigerants, Inc. Material Safety Data Sheet National Polyolester Lubricant. 2013.
Phina, 2012. Pabrik Base Oil dari Minyak Dedak Padi (RBO) dengan Proses Esterifikasi.
Institute Sepuluh November.
Salimon, Jumat., Abdullah, Bashar Mudhaffar., Yusop, Rahimi M dan Salih, Nadia.
Synthesis, Reactivity adn Application Studies for Different Biolubricants. Chemistry
Central Journal, Volume 8, Nomor 16, Halaman 1-11. 2014
ScienceLab. Material Safety Data Sheet Hexane. 2013
_________. Material Safety Data Sheet Sulfuric Acid. 2013
_________. Material Safety Data Sheet Potassium Hydroxide. 2013
_________. Material Safety Data Sheet Methanol. 2013
_________. Material Safety Data Sheet Etylen Glycol. 2013
_________. Material Safety Data Sheet Sodium Methoxide. 2013
Sukirno, 2010. Pelumasan dan Teknologi Pelumas. Lecture Note. Departemen Teknik
Kimia.Universitas Indonesia : Depok
Wagner, H., Luther, R., Mang, T, Lubricant base fluids based on renewable raw materials :
Their catalytic manufacture and modification, Appl. Catal. A: Gen. Vol 221, hal :
429442, 2001
Wahyuni, Sri dan Setyawan, Heru. Sisntesis Silika Tersulfonasi dari Waterglass dengan
Tempat PEF sebagai Katalis Asam Padat dalam Pembuatan Pelumas dari Minyak
Nabati, Jurnal Menara Perkebunan, Volume 81, Nomor 2, Halaman 67-75. 2013.
Yanto Tri, Naufalin, Rifd dan Erminawati, 2013. Karakteristik Pelumas Food Grade Grease
Berbahan Dasar Minyak Sawit Dengan Tambahan Antioksidan, Jurnal Teknologi
Pertanian. Vol. 14 No. 1, 2013