Anda di halaman 1dari 25

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam

dengue/DF

dan

demam

berdarah

dengue/DBD

(dengue

haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus


dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.4
Menurut Ditjen PPM & PL (2001) dalam Fathi. et al. (2005), penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat infeksi virus Dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri-ciri demam tinggi
mendadak yang disertai manifestasi perdarahan dan mempunyai tendensi untuk
menimbulkan renjatan (shock).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005) dalam Pratiwi D.S. (2009),
kasus DBD ini cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas sejak tahun
1968. Keadaan ini sangat berhubungan dengan mobilitas penduduk, juga
disebabkan hubungan tranportasi yang semakin lancar serta virus Dengue dan
nyamuk penularnya yang semakin tersebar luas di seluruh wilayah di Indonesia.
Selain itu, tempat bagi nyamuk untuk bersarang semakin bertambah disebabkan
produksi sampah yang meningkat oleh karena kepadatan penduduk.5

2.2 Epidemiologi
Kasus demam berdarah dengue (BDB) sudah menjadi perhatian
internasional dengan jumlah kasus di seluruh dunia mencapai 50 juta pertahun.
Penyakit DBD disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik yang dikenal
serotipe 1-4 (virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) dari genus Flavivirus,
famili Flaviridae. Infeksi dengan satu dari empat serotipe ini tidak menyediakan
kekebalan protektif silang, sehingga orang yang tinggal di daerah endemik dapat
tertular oleh empat infeksi virus sepanjang waktu (Westway et al. 1985).6
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit berbasis vektor yang
menjadi penyebab kematian utama di banyak negara tropis.7
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.4
Kasus DBD dilaporkan terjadi pada tahun 1953 di Filipina kemuudian
disusul negara Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam puluhan, penyakit ini
mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara antara lain Singapura, Malaysia,
Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade tujuh puluhan, penyakit ini menyerang
kawasan pasifik termasuk kepulauan Polinesia. Penyakit DBD pertama kali di
Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu penyakit
tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD. Berdasarkan data

Departemen Kesehatan, pada tahun 2007 tercatat dua propinsi menyatakan angka
insiden luar biasa pada penyakit DBD, yaitu Banten dan Jawa Barat. Status KLB
tersebut didasarkan atas peningkatan kasus DBD sepanjang Januari hingga
pertengahan Februari di Banten dan Jawa Barat yang meningkat dua kali lipat
dibanding tahun 2006. Kabupaten Serang merupakan wilayah di Propinsi Banten
yang memiliki jumlah kasus terbesar kedua setelah Kabupaten Tangerang. Kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 2003 sebanyak 252 dengan kematian 10
kasus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran dan hubungan antara
faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari,
kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue
di Kabupaten Serang tahun 2007-2008.7

2.3 Etiologi
Penyebab utama penyakit ini disebabkan karena adanya serangan virus
yang menyebabkan serangkaian gangguan pada pembuluh darah kapiler dan
disistem pembekuan darah sehingga implikasinya menyebabkan berbagai
perdarahan-perdarahan. Vektor yang berperan dalam terjadinya penularanpenyakit
tersebut yakni nyamuk Aedes Aegypti.8
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor
Demam Berdarah Dengue (DBD). Nyamuk ini dapat mengandung virus DBD bila
menghisap darah penderita DBD. Virus tersebut akan masuk ke dalam intestinum
nyamuk dan bereplikasi dalam hemocoelum. Selanjutnya virus akan menuju ke
dalam kelenjar air liur nyamuk ini dan siap ditularkan.9

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus


dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype
dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan
West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).4
Aedes aegypti sering dikaitkan dengan tempat tinggal manusia. Larva
vektor ini kebanyakan ditemukan di dalam wadah buatan yang bisa menampung
air misalnya ban-ban buangan, pas-pas bunga, kolam terbiar, dan longkang,
namun bisa juga dijumpai di tempat penampungan air alamiah misalnya di dalam
lubang pohon, tempurung kelapa yang dibuang, daun pisang, pelepah daun keladi,
dan sebagainya. Nyamuk dewasa biasanya gemar berada di tempat-tempat gelap
yang tertutup seperti di dalam lemari dan di bawah tempat tidur. Spesies Aedes
aegypti ini selalunya aktif pada siang hari dengan waktu puncaknya ketika awal
pagi atau lewat siang. Nyamuk tersebut dikatakan terinfeksi apabila ia menghisap
darah dari orang yang darahnya mengandung virus Dengue dan nyamuk tersebut
menjadi infeksius setelah periode inkubasi ekstrinsik obligatori selama 10 hingga
12 hari. Setelah menjadi infeksius, nyamuk itu bisa menularkan virus Dengue
dengan menghisap darah atau hanya dengan menggigit kulit orang yang rentan
(Perez J.G.R. et al., 1998). Menurut Anwar (2000) yang dikutip dalam

Kusumawati Y. et al. (2007), bahwa faktor-faktor risiko yang mempengaruhi


terjadinya penyakit demam berdarah dengue antara lain:
1. Tingkat pengetahuan tentang tanda atau gejala
2. Cara penularan dan pencegahan penyakit DBD
3. Kebiasaan tidur siang
4. Kebiasaan menggantung pakaian
5. Kebiasaan membersihkan tempat penampungan air
6. Kebiasaan membersihkan halaman di sekitar rumah
7. Tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah yang terbuka
8. Tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah yang positif
jentik.
Semua faktor-faktor tersebut menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan dengan kejadian DBD.5
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu:
1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat
ke tempat lain;
2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO,
2000).4

2.4 Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berparan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE).
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi

interferon

gamma,

IL-2

dan

limfokin,

sedangkan

TH2

memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.


c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.4
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang

tinggi. Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan
peneliti lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang me-fagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-alfha, IL-1, PAF ( Platelet
Activating Factor), IL-6 yang mengakibatkan terjadinyadisfungsi sel endotel dan
terjadi kebocoran plasma.4

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue
atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam
2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien
sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).4
Ciri-ciri yang terdapat pada penderita penyakit DBD adalah demam yang
muncul secara tiba-tiba, biasanya berlangsung selama 2 hingga 7 hari, dan banyak
lagi tanda dan gejala yang tidak spesifik. Pada fase akut serangan penyakit ini,
agak sukar untuk membedakan DBD dengan demam Dengue yang biasa dan
penyakit-penyakit lain yang terdapat di negara tropikal. Tidak ada tanda
patognomonik untuk penyakit DBD pada fase akut (Gubler D.J., 1998). Penderita
DBD biasanya dikenal dengan gejala bintik-bintik atau ruam merah pada kulit

10

yang apabila diregangkan malah terlihat lebih jelas bintik-bintiknya. Hal itu
memang telah menjadi salah satu tanda bahwa seseorang itu telah digigit nyamuk
Aedes aegypti (Departemen Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009).5
Berikut adalah beberapa gejala DBD agar kita lebih berwaspada dan
berupaya untuk menanganinya:
a) Demam. DBD dimulai dengan demam tinggi secara tiba-tiba yang terusmenerus berlangsung selama 2 hingga 7 hari. Pada hari ke-3, panas mungkin turun
yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 mendadak turun. Jika suhu
tubuh tetap tinggi setelah hari ke-3, tes darah dianjurkan untuk dilakukan karena
jika penderita tidak ditangani dengan cepat dan tepat dalam waktu kurang dari 7
hari, penderita dapat meninggal dunia.
b) Tanda-tanda perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di semua organ berupa Uji
Torniquet (Rumple Leede) positif, petekie, purpura, ekimosis, perdarahan
konjungtiva, epistaksis, gusi berdarah, hematemesis, melena, dan hematuri. Untuk
membedakan petekie dengan bekas gigitan nyamuk, regangkan kulit, jika bintik
merah pada kulit tersebut hilang maka bukan petekie. Petekie sering ditemukan
terutama pada hari-hari pertama demam. Jika terdapat 10 atau lebih petekie pada
kulit seluas 1 inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar)
dekat lipat siku (fossa cubiti), maka Uji Torniquet dikatakan positif jika terdapat
10 atau lebih petekie pada kulit seluas 1 inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan
bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti), maka Uji Torniquet
dikatakan positif.

11

c) Pembesaran hati (hepatomegali). Selalunya ditemukan pada permulaan


penyakit. Pembesaran hati tidak sejajar dengan tingkat keparahan penyakit dan
sering ditemukan nyeri tekan tanpa disertai ikterus.
d) Renjatan (shock). Antara tanda-tanda renjatan adalah seperti kulit teraba
dingin dan lembap terutama pada ujung-ujung ekstremitas. Selain itu penderita
menjadi gelisah, sianosis di bibir, nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak teraba dan
penurunan tekanan darah, sistolik bisa menurun hingga di bawah 80 mmHg.
Renjatan disebabkan karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskuler melalui kapiler yang terganggu.
e) Trombositopeni. Berdasarkan kriteria WHO (1997) yang dikutip oleh Chen K.
et al. (2009), diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia ( < 100.000/ml)
4. Terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma sebagai berikut:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur


dan jenis kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,


dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Tanda

kebocoran

plasma

hipoproteinemia, hiponatremia.

seperti:

efusi

pleura,

asites,

12

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997 dalam Chen K. et


al., 2009), yaitu:
1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Penderita dikatakan mengalami trombositopeni jika jumlah trombosit
kurang daripada 100.000/mm3 dan biasanya ini ditemukan di antara hari ke-3
hingga 7 sakit. Pemeriksaan ulang perlu dilakukan sampai terbukti bahwa jumlah
trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan pada saat
pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap hari sampai suhu
turun.
f) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit). Pemeriksaan hematokrit secara
teratur perlu dilakukan karena penderita DBD selalunya mengalami peningkatan
hematokrit yang merupakan tanda terjadinya perembesan plasma. Pada umumnya
peningkatan hematokrit didahului oleh penurunan trombosit
g) Gejala klinis lain. Gejala klinis lain seperti nyeri otot, anoreksia, lemah, mual,
muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang. Pada beberapa kasus terjadi
hiperpireksia yang disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering

13

didiagnosis sebagai ensefalitis. Keluhan sakit perut yang hebat seringkali timbul
mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan (Departemen Kesehatan RI,
2005 dalam Pratiwi D.S., 2009).5

2.6 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Laboratorium
Melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue
(cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR
(Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris
yang dapat diperiksa antara lain :

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.

Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit:

Kebocoran

plasma

dibuktikan

dengan

ditemukannya

peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai


pada hari ke-3 demam.

14

Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau


FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.

Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal sebagai


parameter pemantauan pemberian cairan.

Elektolit : sebagai parameter pemantau cairan

Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.

Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.


IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari
ke-2.

Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. (WHO,
2006)

2. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG (WHO, 2006).

15

2.7 Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang
belakang dan perasaan lelah.
1. Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala.
Nyeri retro-oebital.
Mialgia / artralgia.
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif):
Leukopenia. leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif, ayau
ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan
waktu yang sama.
Ruam kulit
2. Demam Berdarah Dengue (DBD).
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini di bawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.

16

- Hematemesis atau melena.


Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
-

Penurunan

hematokrit

>20%

setelah

mendapat

terapi

cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.


- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan
DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma (WHO, 1997).
3. Sindrom Syok Dengue (SSD).
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.4

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.4

17

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

Perdarahan spontan

Syok (syok hipovolemi)

Perdarahan intravaskular menyeluruh

Efusi pleura.10

2.10 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahanfisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan
plasma dapatmengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap
adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah
terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase
demam (fase febris) ke fase penurunansuhu (fase afebris) yang biasanya terjadi
pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut
diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan
dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit
dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti
plasma,tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan
perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan

18

koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter
untuk dapatmengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok)dengan baik.
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan: Tirah baring, selama masih demam. Obat antipiretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi
<39C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau
asidosis.
Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadiselama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut

19

hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit
2. Demam Berdarah Dengue
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain
adalah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu
demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan
sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi
secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukanobservasi
klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
PrognosisDBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma,
yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada
umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah trombosit
sampai <100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada 10
lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer
laktats ebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus-menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/l.
Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah
sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.

20

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,


bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum,
muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadangdiperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa
antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat disederhanakan seperti tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Dosis Paracetamol Menurut Kelompok Umur
Parasetamol (tiap kali pemberian)
Umur ( Tahun )
Dosis (mg)
Tablet (1 tab = 500 mg)
<1
60
1/8
13
60 125
1/8 1/4
46
125 250
1/4 1/2
7 12
250 500
1/2 1
>12
500 - 1000
12
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, sertalarutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap
harus diberikan disamping larutan oralit .Bila terjadi kejang demam, disamping
antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periodekritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke
3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu

21

menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan


intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelumdijumpai perubahan
tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimalsatu kali sejak hari
sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak

tersedia,

pemeriksaan

hemoglobin

dapat

dipergunakan

sebagai

alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.


Untuk Puskesmas

yang

tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat

dipertimbangkan dengan menggunakan Hb sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x


kadar Hb penggantian volume plasma. Dasar patogenesis DBD adalah
perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-febris, fase
krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma
yang

hilang.

Walaupun

demikian,

penggantian

cairan

harus

diberikan

dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam
pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi
sehingga

mempercepat

terjadinya

syok.

Nilai

hematokrit

cenderung

meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung


dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di
dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat

22

7,46%

1-2

ml/kgBB

intravena

bolus

perlahan-lahan. Apabila

terdapat

hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yangdiberikan harus
sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuaicairan
untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit
6% (5sampai 8%). Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung
dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai
dengan derajat hemokonsentrasi. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) :

Kristaloid

Larutan ringer laktat (RL)

Larutan ringer asetat (RA)

Larutan garam faali (GF)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)(Catatan: Untuk


resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak bolehlarutan yang
mengandung dekstran)

Koloid Dekstran 40

Plasma Albumin

3. Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan
yang utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien
anak akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.
Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera

23

berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok
teratasi turunkan menjadi 10ml/kgBB.

Penggantian Volume Plasma Segera


Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB.

Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat
badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kgBB/jam, bila
tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila
syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10
ml/kgBB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid
tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, sebaiknya tidak
diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan
koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah
terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10
ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar
hematokrit

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,

maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

24

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya


dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien

syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus


diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.

Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap

pasien syok,terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).


Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata.

Kadangkala

sulit

untuk mengetahui

perdarahan

interna

(internal

haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya


dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada
pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan
hematologis tersebut juga menentukan prognosis.11

25

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara

teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah: Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30 menit atau lebihsering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan
klinis pasien stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dantetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.


Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume

intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum


cukup 1ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat
dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya
furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan
kreatinin tetap harus dilakukan.Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi,
pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin
perlu dipertimbangkan.

2.11 Pencegahan
Masyarakat umumnya memilih fogging atau penyemprotan sebagai cara
untuk memberantas penyakit DBD. Padahal untuk melakukan fogging tersebut
diperlukan beberapa prosedur yang sulit yang melibatkan Rumah Sakit terdekat.

26

Hal ini karena fogging yang terlalu sering tidak baik untuk kesehatan (Departemen
Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009). Pemberantasan nyamuk Aedes
aegypti dengan fogging (pengasapan) pada mulanya dianggap oleh masyarakat
sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi masalah penyakit demam
berdarah. Hal tersebut ternyata tidak selalu benar, karena pemberantasan nyamuk
Aedes aegypti dengan metode ini hanyalah bertujuan untuk membunuh nyamuk
dewasa yang infektif.
Gerakan 3M merupakan salah satu cara untuk memberantas nyamuk Aedes
aegypti,

yaitu

dengan

memberantas

jentik-jentiknya

di

tempat

berkembangbiaknya. Setiap keluarga harus melaksanakan 3M ini sekurangkurangnya sekali seminggu secara teratur karena kebanyakan tempat membiaknya
adalah di rumah-rumah dan tempat-tempat umum. Tindakan yang dilakukan
antaranya adalah menguras bak mandi sekurang-kurangnya seminggu sekali,
menutup rapat-rapat tempat penampungan air, mengganti air vas bunga atau
tanaman air seminggu sekali, mengganti air tempat minum burung, menimbun
barang-barang bekas yang dapat menampung air, menabur bubuk abete atau
altosid pada tempat-tempat penampungan air yang sulit dikuras atau di daerah
yang air bersih sulit didapat sehingga perlu penampungan air hujan, dan
memelihara ikan di tempat-tempat penampungan air (Kusumawati Y. et al., 2007).
Sejak kebelakangan ini, cara terefektif untuk memberantas DBD selain 3M
adalah melalui PSJN (Pemberantasan Sarang Jentik dan Nyamuk). Upaya dalam
menerapkan PSJN ini ditempuh dengan beberapa cara di antaranya adalah melalui
pemberdayaan masyarakat dengan pembinaan ratusan Kader Wamantik (Siswa
Pemantau Jentik) dan Bumantik (Ibu Pemantau Jentik) yang bertugas memantau

27

10 rumah di sekitarnya menyangkut keberadaan jentik di rumah mereka, tidak


lupa juga memberikan penyuluhan. Selain itu ikanisasi, abatesasi (temephos), dan
fogging dengan syarat dan persetujuan dari Rumah Sakit sekitar (Departemen
Kesehatan RI, 2005 dalam Pratiwi D.S., 2009).5

2.12 Prognosa
Pada demam dengat derajat 1 memiliki prognosa yang baik dan memburuk
bila ada syok atau perdarahan cukup berat.10

Anda mungkin juga menyukai