*)
1
Berbagai pengamat mengatakan bahwa Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) memiliki
ideologi yang jelas, namun ayat (4) dari pasal tersebut, yang menyatakan: Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. sebagai hasil
amandemen keempat UUD 1945, dipandang mengalami disorientasi (Sukardi Rinakit).
Hubungan yang bersifat publik tersebut secara jelas dijabarkan dalam Pasal
2 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa HMN memberi wewenang untuk:
pertama,
mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; kedua,
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; ketiga, menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dalam
perkembangan selanjutnya, pasca reformasi, Mahkamah Konstitusi R.I. (MK
RI),
juga
berkontribusi
menjelaskan
makna
HMN.
Dalam
berbagai
melakukan pengelolaan
privat,
seperti:
menggunakan,
mengalihkan
(memindahkan,
Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal, PT.Citra Aditya Bakti, 1996, h.115,
bahw di dalam
menyatakan
yang meliputi: asas tertutup, hak atas kebendaan baru tidak dapat dibuat selain yang
telah disebut secara limitatif dalam Undang-Undang;
b. asas absolut, hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap siapapun, sehingga setiap
orang harus menghormati hak tersebut;
c. asas
dapat
diserahkan,
bahwa
pemilikan
benda
mengandung
wewenang
untuk
menyerahkan bendanya;
d. asas mengikuti (droit de suite), hak kebendaan mengikuti bendanya di tangan siapapun
berada;
e. asas publisitas, pendaftaran benda merupakan bukti kepemilikan;
f.
asas individual, obyek hak kebendaan hanya terhadap benda yang dapat ditentukan;
g. asas totalitas, hak milik hanya dapat diletakkan terhadap benda secara totalitas atau
secara keseluruhan dan tidak pada bagian-bagian benda;
h. asas pelekatan (asesi), yaitu asas yang melekatkan benda pelengkap pada benda
pokoknya;
dengan hak perorangan (personlijk recht). Hak Kebendaan yang melekat pada
bendanya
dapat
dipertahankan
kepada
siapa
pun,
sedangkan
Hak
Hak Kebendaan
Hak Perorangan
Sifat
hubunga
n
Tidak
ada
hubungan
kepemilikan
/
kepunyaan
yang ada hanya hubungan
hukum
antar
subjek
berkenaan dengan objek
Isi
kewenan
gan
Daya
lekat
haknya
Pembeb
anan
dengan
hak lain
Sumber: Diringkas dari L.J. van Apeldoorn dan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
i.
asas besit merupakan titel sempurna, asas ini berlaku bagi benda bergerak dan terdapat
dalam Pasal 1977 KUH Perdata (asas ini sekarang hanya dapat berlaku bagi benda
bergerak tidak atas nama ataupun tidak terdaftar).
dimungkinkan
timbulnya
hak-hak
atas
tanah.
Hak-hak
itu
tanda-tanda
larangan
maka
lahirlah
Hak
Terdahulu.
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan (Edisi
Revisi), Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 229.
Seminar Nasional Pertanahan, Denpasar-Bali, 22 Mei 2013Page 5
Proses lahirnya hak atas tanah ini menurut Herman Soesangobeng, bila
disederhanakan akan tampak sebagaimana pada ragaan berikut ini. 5
Ragaan -2
Proses Lahirnya Hak Atas Tanah dari Tanah Ulayat
TAHAPAN
NO.
1.
2.
3.
4.
5.
JENIS HAK
Hak Wenang Pilih
Hak Terdahulu
Hak Menikmati
Hak Pakai
Hak Milik
seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas
tanah negara. Sebab, UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan jika
jangka waktu hak atas tanah yang terbatas itu berakhir, maka status
tanahnya menjadi tanah Negara. Namun, praktik administrasi pertanahan
selama ini menunjukkan bahwa kepada bekas pemegang hak atas tanah
tetap ada apa yang disebut oleh birokrasi pertanahan sebagai hak
prioritas atau hak keperdataan. Pendirian semacam ini tampak jelas
pada Surat Kepala BPN No. 540-1-434-DI tanggal 22 Februari 2006, yang
menyatakan bahwa meskipun HGU yang sudah berakhir jangka waktunya
berstatus sebagai tanah yang langsung dikuasai negara, namun
5
Ibid hlm. 6.
tidak
bekas
pemegang
hak
itu
sebagai
kebijakan
pemutusan
HGU
sebagai
tindakan
pidana
korupsi,
karena
dipandang
kepada Kepala Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara. Surat tersebut ditandatangani
oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan atas nama Kepala BPN.
7
hlm. 65.
9
Oloan Sitorus, Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha
tanah
negara harus dimengerti dalam konteksnya dengan Pasal 4 ayat (2) UUPA
yang menyatakan bahwa hak atas tanah adalah hak yang memberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, termasuk
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sepanjang
berhubungan langsung dengan penggunaannya. Konsekuensinya, jika hak
atas tanah tersebut berhenti karena sesuatu perbuatan atau peristiwa
hukum
tertentu,
maka
berhenti/habis
pula
kewenangan
untuk
untuk
pemberian
hak
kepada
pembelinya,
sekiranya
yang
dahulu.
Hubungan
hukum
terdahulu
itulah
yang
12
dalam
praktik
Dalam pemahaman
yang seperti ini, maka ketika hak atas tanah yang berjangka waktu
sementara (HGU, HGB, HP) berakhir jangka waktunya, maka hak
keperdataan, atau hak prioritas dari bekas pemegang hak belum tentu
berakhir serta merta. Penulis berpendapat bahwa Hak keperdataan atau
hak prioritas ini lahir dari kewajiban hukum si bekas pemegang hak,
yang secara hukum wajib menjaga tanah bekas hak yang dipunyainya
sebelumnya. Hukum mewajibkan kewajiban menjaga tanah tersebut, agar
dapat dihindari kemungkinan terjadinya anarkhisme ataupun okupasi
tanah yang tidak berdasarkan hukum. Dalam pada itulah, maka ketika
tanah negara bekas tanah hak, akan diberikan kepada pihak lain, maka
pihak
lain
yang
akan
menerima
hak
tersebut
harus
melakukan
11
Di dalam Pasal 1 butir 3 PP No. 11 Tahun 2010, alas-hak ini disebut sebagai dasar
penguasaan atas tanah. Dalam ketentuan tersebut dirumuskan bahwa dasar penguasaan atas
tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi
orang atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah.
Terhadap tanah negara bekas hak, kiranya juga tidak patut secara hukum
diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran terhadap prinsip
nasionalitas
dalam
UUPA,
seperti
orang
asing
yang
13
melakukan
Sebagaimana
UU No. 51 Prp. Tahun 1960 juga menyatakan bahwa tidak selalu harus
dilakukan tuntutan pidana. Menurut Pasal 3 dan 5 diadakan penyelesaian secara lain
dengan mengingat kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana
peruntukan serta penggunaan tanah bersangkutan. Misalnya, rakyat yang
mendudukinya dapat dipindahkan ke tempat lain.
15
Oloan Sitorus, dkk, Penguasaan Tanah Melalui Penyelundupan Hukum Oleh Orang
Asing di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat (Studi di Kabupaten Lombok Barat,
Lombok Utara, Lombok Tengah, dan Kota Mataram), Laporan Penelitian Strategis, Dosen STPN,
2012, hlm. 80.
orang asing. Dalam pada itu, kalau pihak yang melanggar ketentuan Pasal
26 ayat (2) UUPA itu masih menguasai tanah Negara tersebut, maka
penguasaan itu dapat dikategorikan sebagai penguasaan ilegal. Penegasan
bahwa penguasaan tanah negara sebagai akibat pelanggaran Pasal 26 ayat
(2) UUPA sebagai penguasaan ilegal, juga seyogianyalah diatur di dalam
RUU Pertanahan yang sedang disusun sekarang ini.16
antara
orang
dengan
tanah
diakomodasi
dengan
hak,
17
Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan: Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi
(garis bawah dari penulis), yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum. Selanjutnya, Pasal 8 UUPA menyatakan: Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi (garis bawah dari penulis), air dan ruang angkasa. Selanjutnya, Penjelasan Pasal
8 UUPA secara gamblang menyatakan: Karena menurut ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) hakhak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang
yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di
dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang
dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi
perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya. Kiranya, tegas bahwa UUPA memang
sejak awal dimaksudkan sebagai induk dari semua aturan hukum mengenai kekayaan alam
yang terkandung di dalam bumi, air dan ruang angkasa.
belum
memiliki
alas-hak.
Selain
itu,
pada
penetapan
hubungan hukum berupa hak atas tanah dalam skala besar bahkan harus
didahului ijin lokasi, yakni ijin untuk memastikan bahwa tanah yang akan
diperoleh telah sesuai dengan tata ruang. Mencermati karakter hukum
yang terdapat pada hubungan hukum dengan tanah dan bahan tambang
penting dilakukan ketika kenyataan menunjukkan bahwa pemberian
kedua hubungan hukum itu dapat terjadi di atas ruang atau di lokasi yang
sama.
18
Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan: Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat
1 pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undangundang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
19
selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Pasal 36 ayat
(1) UU Minerba menyatakan bahwa IUP terdiri atas 2 (dua) tahap, yakni IUP Eksplorasi
meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan (vide Pasal 1 butir 8);
dan IUP Operasi Produksi yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan (vide Pasal 1 butir 9).
berkoordinasi
dengan
Pemerintah
Daerah
(Pemda)
dan
(WUP).22
WUP
ditetapkan
oleh
Pemerintah
setelah
20
yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terkait dengan batasan adminstrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
21
22
Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) ; (b) Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); dan (c)
Wilayah Pencadangan Negara (WPN). WUP adalah adalah bagian dari WP yang telah memiliki
ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi (Pasal 1 butir 30). WPR adalah bagian
dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat (Pasal 1 butir 32). WPN
adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional (Pasal 1 butir
33).
23
Pasal 16 UU Minerba menyatakan bahwa Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau
beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota,
dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
(satu)
provinsi
setelah
mendapatkan
rekomendasi
dari
bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. IUP diberikan Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah
provinsi
setelah
mendapatkan
rekomendasi
dari
gubernur
dan
Yogyakarta, 2004, hlm. 185, menyatakan: Selama ada pengusahaan bahan galian,
selama itu pula ada tumpang tindih mengingat karakteristik bahan galian itu sendiri.
Tumpang tindih antara hutan, tambang, tanah adalah sesuatu yang alami, karena
hampir semua bahan galian tambang terdapat di bawah tanah yang di atasnya
ditumbuhi hutan, sehingga tidak bisa dihindari tetapi harus dihadapi dengan
kemampuan membuat regulasi yang tumpang tindih atau harmonis
25
Konflik dalam bentuk tumpang tindih pemegang izin pertambangan dan penguna
tanah (permukaan bumi) seperti kehutanan/perkebunan/pertanian, hampir tidak bisa
dihindarkan. Apalagi, kenyataan penambangan di Indonesia saat ini yang pada umumnya
masih harus melakukan penambangan terbuka, dalam arti hampir tidak bisa dihindari
tindakan mengelupas permukaan bumi dalam bentang lahan yang luas.
kehadiran
pemegang
ijin
usaha
pertambangan.
Bahkan,
Ijin
Usaha
pemanfaatan
pertimbangan
Pertambangan
sumberdaya
apakah
agraria
yang
(IUP),
sebagai
hubungan
di
tubuh
bumi?
membuat
posisi
pemegang
hukum
PertimbanganIUP
selalu
sekiranya
dalam
praktiknya
setiap
IUP
diposisikan
selalu
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
untuk
Oleh karena itu, dipandang penting untuk melakukan kajian tentang konflik
hubungan hukum antara hak atas tanah dengan IUP di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai
salah provinsi yang banyak memiliki dinamika hubungan hukum antara hak atas tanah
dengan IUP. Oleh karena setelah era otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) tampak
intensif menggunakan kewenangan pemberian ijinnya untuk memanfaatkan sumberdaya
agraria. Dalam pada itu, pemberian IUP akan dikapitalisasi Pemerintah Daerah sebagai salah
satu andalan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bahkan, IUP akan semakin banyak
diterbitkan sebagai mesin uang bagi elit politik hingga menjelang Pemilu atau pemilihan
Kepala Daerah. Perhatikan http://cetak.kompas.com /read/2013/01/17/04154754/
izin.tambangmeningkat. jelang.pemilu,
27 Ardian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 170.
28
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 27, yang mengutip pandangan A.M Donner, yang
menyatakan perizinan (vergunningen) dibedakan dalam tiga kategori, yakni lisensi,
dispensasi, dan konsesi. Izin dalam arti luas (perizinan) ialah suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk
dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Makna hukum yang dapat ditemukan dalam izin menurut pendapat di atas
adalah adanya perkenan untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilarang,
sehingga akan dapat ditemukan dalam berbagai wujud perizinan, seperti izin,
Seminar Nasional Pertanahan, Denpasar-Bali, 22 Mei 2013Page 17
perizinan yaitu izin yang merupakan salah satu instrumen yang paling
banyak digunakan dalam hukum administrasi.
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
tertentu
yang
sebenarnya dilarang.29
Secara sekilas pengertian izin dengan konsesi tidak berbeda. Masingmasing
berisi
perkenan
bagi
yuridis
bagi
hubungan
hukum
pengambilan
kekayaan
tambang (di dalam tubuh bumi) sejak Indonesia merdeka berubah sesuai
hubungan negara dengan kekayaan alam yang terkandung di wilayah
Indonesia. Pasal 8 UUPA, menggunakan istilah kuasa pertambangan.
konsesi
dalam
aturan
keagrariaan
nasional.
Dalam
babakan
pemerintahan
yang
sudah
mempunyai
politik
1967
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Pertambangan
untuk
mempercepat
terlaksananya
pembangunan
ekonomi
dalam Pasal 4 ayat (2) hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja,
maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaankekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu
maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri.
Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya
(garis bawah dari peneliti).
32
nasional
dan
dalam
rangka
memperkembangkan
usaha-usaha
pertambangan di Indonesia.
Meskipun hubungan hukum pengambilan kekayaan tambang disebut
kuasa pertambangan, namun hakikatnya secara hukum adalah ijin, yakni
persetujuan penguasa, dalam hal ini otoritas pertambangan, untuk
mengambil kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi,
berdasarkan UU Pertambangan. Terminologi ijin akhirnya secara eksplisit
disebut dalam UU Minerba. Berdasarkan UU Minerba, Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) bukanlah pemilikan hak atas tanah (Pasal 138), tetapi
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan (Pasal 1 butir 7). Pasal 36
ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa IUP terdiri atas 2 (dua) tahap,
yakni IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan (vide Pasal 1 butir 8); dan IUP Operasi Produksi yang
meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
33
UU No. 37 Prp Tahun 1960 ini adalah pengganti Indische Mijnwet (IM). IM
dipandang tidak dapat lagi dijadikan dasar untuk mencapai cita-cita Bangsa
Indonesia merdeka, karena tidak selaras dengan cita-cita dasar negara Indonesia,
garis-garis besar haluan negara sebagaimana termaktub dalam Manifesto Politik RI,
dan perkembangan kepentingan nasional dalam pertambangan, yang secara
mendalam harus ditinjau baik dari sudut politis, ekonomis, maupun dari sudut sosial
dan strategis. Perkembangan kepentingan nasional itu meliputi pokok-pokok
persoalan sebagai berikut: (a) penguasaam bahan-bahan galian yang berada di dalam,
di bawah dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia; (b) pembagian bahan
galian dalam beberapa golongan, yang didasarkan atas pentingnya bahan galian itu;
(c) sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus dilakukan oleh
negara, Perusahaan Negara Daerah atau usaha-usaha lainnya berdasarkan asas
kekeluargaan; (d) pengertian konsesi ditiadakan, sedangkan wewenang kuasa untuk
melakukan usaha pertambangan diberikan berdasarkan kuasa pertambangan (garis
bawah dari penulis); dan (e) adanya peraturan peralihan untuk mencegah kekosongan
(vacuum) dalam menghadapi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang ini.
34
serta pengangkutan dan penjualan (vide Pasal 1 butir 9). Menurut Budi
Santoso, lingkup kegiatan dan implikasi dari kedua tahapan itu kadangkadang
tidak
begitu
dipahami
oleh
Pemerintah
Daerah
sehingga
perizinan
antara
kuasa
pertambangan
dengan
perizinan
perkebunan. Beberapa upaya yang ditempuh oleh para pihak yaitu dengan
cara musyawarah antara para pihak, upaya mediasi dengan bantuan
mediator, dan melalui jalur pengadilan. Secara umum para pihak lebih
35
http://budisansblog.blogspot.com/2012/06/tumpang-tindih-lahan-siapa-
Belitung
pengaturan
terdapat
penguasaan
kegamangan birokrasi
dan
pemilikan
pertanahan dalam
serta
penggunaan
dan
untuk
diformulasikan.
Pengalaman
Arie
Yuriwin
sebagai
37
Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012), STPN Press,
Yogyakarta, 2012, hlm. 21-25
Seminar Nasional Pertanahan, Denpasar-Bali, 22 Mei 2013Page 22
pasca
tambang.
mengintroduksi
Berbagai
kebijakan
fakta
tanah
menunjukkan
pasca
pentingnya
segera
Pertama,
otoritas
tambang.
Daftar Pustaka
Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang
Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.
38
Senthot Sudirman, Senthot, dkk, 2012, Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria
Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012), STPN Press, Yogyakarta.
Sitorus, Oloan, 2008, Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di
Provinsi Sumatera Utara, Jurnal Bhumi STPN, No. 24 Tahun 8, Desember 2008.
Sustiyadi,
Nasional.
Sutedi, Ardian, 2010, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta.
http://cetak.kompas.com/read/2013/01/17/04154754/izin.tambang.
meningkat.jelang.pemilu,
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?
lang=id&id=9057&type=10#.UQHaufIU-NY, Potensi Tambang Sulawesi Tenggara dalam
Kepungan Investor, Diunduh 25 Januari 2013.