PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Kimia medisinal merupakan perpaduan dari beberapa cabang ilmu yang
meliputi ilmu kimia, farmasi, dan biologi. Pada awal perkembangannya, kimia
medisinal dikenal dengan nama kimia farmasi (Pharmaceutical Chemistry) atau
kimia terapi (Therapeutical Chemistry), yang menggambarkan pada sekitar abad
ke sembilan belas, para ahli kimia dan farmasi bekerja sama di dalam
laboratorium untuk mempelajari dan memurnikan obat dari bahan alam.
Beberapa tugas dari ahli kimia medisinal dewasa ini dimasukkan dalam bidang
ilmu biokimia dan farmasi.
Pada tahun 1876, seorang ahli farmakologi asal Belanda, Buchheim, menulis
bahwa misi dari farmakologi adalah untuk menetapkan zat aktif (alami) dalam
obat, dan menemukan sifat-sifat kimia yang bertanggung jawab terhadap
aktivitasnya serta membuat senyawa sintetik yang lebih efektif. Untuk
mempelajari perubahan obat yang berada dalam organisme, para ahli kimia dan
farmasi melakukan serangkaian isolasi dan identifikasi kandungan kimia
tanaman nabati dengan latar belakang pengobatan tradisional.
Mereka juga mulai melakukan sintesis dari senyawa yang mempunyai
kemiripan rumus struktur dari beberapa prototipe senyawa yang mempunyai
aktivitas terapeutik yang potensial. Secara bertahap hal ini membuka jalan untuk
penelitian baru dengan memilih senyawa organik sintesis, yang mempunyai atau
tidak mempunyai hubungan khasiat dengan obat yang didapat dari alam.
Semakin banyak senyawa obat yang mempunyai aktivitas biologi diketahui,
didapatkan bahwa senyawa sintesis sering lebih berguna secara medis bila
dibandingkan dengan senyawa bahan alam, mungkin karena metabolit dari
tanaman pada umumnya tidak dimaksudkan secara alami sebagai senyawa yang
bernilai terapeutik, dalam sistem kehidupan binatang dan manusia.
Perbandingan rumus struktur senyawa kimia dengan sifat-sifat biologis
memacu untuk memformulasikan hipotesis pada mekanisme aktivitas obat.
Beberapa hipotesis yang modern telah mendorong memajukan dalam
merencanakan rancangan obat, tetapi modifikasi molekuler secara sistematik
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa saja Ikatan Kimia yang mempengaruhi Interaksi Obat-Reseptor?
2. Bagaimana teori Interaksi Obat-Reseptor?
I.3
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui Ikatan Kimia yang mempengaruhi Interaksi Obat-Reseptor
2. Mengetahui Ikatan Kimia yang mempengaruhi Interaksi Obat-Reseptor
BAB II
ISI
II.1 Ikatan Kimia Pada Interaksi Obat Dengan Reseptor
Respons biologis terjadi akibat adanya interaksi molekulekul obat dengan
gugus fungsional molekulekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena
kekuatan ikatan kimia. Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat
reseptor :
- ikatan kovalen,
- ikatan ion-ion (reinforce ions),
- ikatan ion (elektrostatik),
- ikatan hidrogenogen,2
- ikatan ion-dipol,
- ikatan dipol-dipol,
- ikatan van der waals dan
- ikatan hidrogenofob
Akan tetapi, perlu diingat bahwa aturanoktet tidak selalui dipatuhi, terdapat
beberapa senyawa kovalen yang melanggar aturan oktet. Contohnya adalah ikatan
antara H dan O dalam H2O. Konfigurasi elektron H dan O adalah H memerlukan 1
elektron dan Omemerlukan 2 elektron. Agar atom O dan H mengikuti kaidah
oktet, jumlahatom H yang diberikan harus menjadi dua, sedangkan atom O satu,
sehinggarumus molekulekul senyawa adalah H2O.
Contoh obat yang mekanisme kerjanya melibatkan ikatan kovalen:
1. Turunan nitrogen mustar
adalah senyawa pengalkilasi yang pada umumnya digunakan sebagai obat
antikanker. Contoh: mekloretamin, siklofosfamid, klorambusil dan tiotepa
Mekanisme kerja:
Senyawa dapat melepas ion Cl-kat membentuk ion antara yang tidak stabil
yaitu ion etilen imonium, diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium
yang bersifat reaktif. Ion ini dapat bereaksi via reaksi alkilasi, dengan gugus
elektron donor, seperti gugus karboksilat, fosfat dan sulfhidrogenil pada as amino,
as nukleat dan protein yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel
akibatnya proses pembentukn sel menjadi terganggu dan pertumbuhan sel kanker
dihambat
3. Senyawa organofosfat
Suatu insektisida dapat berinteraksi dengan gugus serin, suatu gugus
fungsional dari sisi aktif enzim asetikolinesterase. Atom P akan berikatan dengan
atom O gugus serin via reaksi fosforilasi membentk ikatan kovalen sehinnga
fungsi
enzim
menjadi
terganggu.
Hambatan
yang
terjadi
tersebut
ikatan
kovalen
dan
menghasilkan
hambatan
yang
bersifat
5. Asam etakrinat
Merupakan suatu diuretik, strukturur mengandung gugus , -keto tidak
jenuh. Dapat membentuk ikatan kovalen dengan gugus SH dari enzim yang
bertanggungjawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk penyerapan
kembali ion Na+ di tubulus renalis. Ion Na+ yang tidak diserap kembali, kemudian
dikeluarkan dengan diikuti sejumlah air sehingga terjadi efek dieresis
Bila gugus C=O dihilangkan atau diganti dengan gugus lain, misal CH2,
aktivitas analgesiknya akan hilang Hal ini disebabkan oleh hilangnya daya tarik
menarik dipol-dipol dan kemampuan membentuk siklik, sehingga senyawa tidak
dapat berinteraksi secaraara serasi dengan reseptor analgesic
C. Ikatan Hidrogenogen
Adalah suatu ikatan antara atom H dengan atom lain yang bersifat
elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron bebas dengan oktet yang
lengkap, seperti: O, N, dan F Kekuatan bvariasi antara 1-10 kkal/molekul. Ikatan
Hidrogenogen ada dua, yaitu:
Ikatan Hidrogenogen intramolekulekul : ikatan hydrogen yang terjadi dalam 1
molekulekul
Ikatan Hidrogenogen intermolekulekul : ikatan hidrogenogen yang terjadi antar
molekulekul-molekulekul
Kekuatan ikatan hidrogenogen intermolekulekul lebih lemah dibanding ikatan
hidrogenogen intramolekulekul. Ikatan hidrogenogen dapat mempunyaiengaruhi
sifat-sifat kimia fisika senyawaa, seperti: T.D; T.L; Kelarutan dalam air,
kemampuan pemembentukn kelat dan keasaman Perubahan sifat-sifat tersebut
dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis senyawa
Asam
orto
hidrogenoksi
benzoat
mempunyai
ikatan
hydrogen
karena sifat kepolarisasian molekulekul atau atom. Intensitas ikatan Van Der
Waals (V) dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut
Meskipun secara individu lemah tetapi hasil penjumlahan ikatan Van Der
Waals mrpkn faktor pengikat yang cukup bermakna, terutama untuk senyawa yang
mempunyai BM tinggi. Ikatan Van Der waals terlibat pada interaksi cincin benzen
dengan daerah bidang datar reseptor dan pada interaksi rantai hidrogenokarbon
dengan makromolekulekul protein atau reseptor
Contoh ikatan hidrogenogen:
n-alkana dengan jumlah atom C > 80 mempunyai kekuatan ikatan 80
kkal/molekul, dan ini hampir sama dengan kekuatan ikatan kovalen
Cincin benzen mengandung 6 atom C mempunyai kekuatan ikatan yang hampir
sama dengan kekuatan ikatan hidrogenogen
Turunan isatin-b-tiosemikarbazon, suatu Obat antivirus, aktivitasnya ternyata
berhubungan dengan radius Van Der Waals dari substituen pada posisi 5 dan 6
E. Ikatan Ion
Adalah ikatan yang dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik antara ionion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik menarik akan makin berkurang
bila jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik
dengan jaraknya Energi (E) dari ikatan ion dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut:
Protein dan asam nukleat mempunyai gugus kation dan anion potensial tetapi
hanya beberapai saja yang dapat terionisasi pada pH fisiologis. Gugus kation
protein berupa gugus amino yang terdapat pada asam-asam amino, seperti lisin,
glutamin,asparagin, arginin,, glisin dan Histidin. Gugus anion protein berupa:
gugus karboksilat : pada asam aspartat dan glutamat;
gugus sulfhidrogenil : pada sistein dan metionin
Gugus fosforil : pada asam nukleat
Obat yang mengandung :
Gugus kation potensial : R3NH+, R4N+ dan R2C=NH2+
Gugus anion potensial : RCOO-, RSO3- dan RCOS- dapat membentuk ikatan
ion dengan gugus-gugus reseptor atau protein yang muatannya berlawanan.
Kemampuan interaksi gugus-gugus yang muatannya berlawanan tersebut
tergantung pada susunan makromolekulekul reseptor
F. Ikatan Hidrogenofob
Merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan daerah
nonpolar molekulekul obat dengan daerah nonpolar reseptor biologis. Daerah
nonpolar molekul O yang tidak lrt dalam air dan molekul molekul air di
sekelilingnya, akan bgabung melalui ikatan hidrogenogen membentuk struktur
quasicrystalline
(icebergs).
Bila
dua
daerah
non
polar, seperti
gugus
Senyawa dengan derajat kekhasan tinggi dapat memadukan bbgai ikatan lemah
ikatan hidrogenogen, ion, ion-dipol dipol-dipol dan van der waals pada
interaksinya dengan reseptor sehingga secara total akan menghasilkan ikatan yang
cukup kuat dan stabil. Contoh :
1. Ikatan asetilkolin dengan enzim asetilkolinesterase
2. Ikatan prokain dengan reseptor
II.2
Cambridge
A.J.Clark,
merupakan
orang
pertama
yang
Y=
100 x
x +1/k
Pada tahun 1937, Clark mempublikasikan sebuah buku yang berisi teori
interaksi obat dan reseptor. Akan tetapi masalah utama pada waktu ini adalah
kurangnya pengetahuan mengenai hubungan antara kedudukan reseptor dan
respon jaringan, sehingga Clark membuat asumsi sederhana dalam bukunya
tersebut, yaitu: Respon maksimal suatu obat (Em) merupakan respon maksimal
pada jaringan
[3]
lain pada pen yang dipres pada smoke rotating drum dengan gravitasi. Jika
jaringan berkontraksi, secara spontan atau karena respon obat, pengungkit
tertarik ke atas dan hasilnya tercatat. Bioassay memungkinkan ahli farmakologi
untuk melakukan studi tentang efek dari perubahan struktur kimia dari aktifitas
biologi. Hal ini penting untuk rekonstruksi dari teori reseptor untuk
mengakomodasi interaksi obat dengan reseptor. Dengan melihat sejumlah efek
obat menggunakan bioassay, ahli farmakologi memulai dialog dengan ahli kimia
medisinal untuk memperbaiki aktivitas dari bahan aktif biologi yang telah
diketahui. Pada Gambar 1 memperlihatkan hubungan struktur aktifitas untuk
beberapa katekolamin yang menghasilkan relaksasi pada otot trakea untuk
penggunaan pada terapi asma.
M
Saat
ini,
Pencarian interaksi obat dan reseptor telah berada pada tahapan yang lebih
dalam. Pengukuran yang relatif akurat pada respon obat dapat dilakukan dan
hasilnya dibandingkan dengan teori yang ditetapkan oleh Clark. Kasus pertama
dari pemilihan ini adalah asumsi bahwa respon jaringan berbanding lurus
dengan konsentrasi obat. Untuk menjelaskan perbedaan itu, E.J Ariens
memperkenalkan faktor proporsionalitas, dimana konstanta ini digunakan untuk
memperhitungkan fakta bahwa beberapa agonis menghasilkan respon maksimal
yang berada di bawah respons maksimum agonis lainnya. Ia menyebut konstanta
proporsionalitas sebagai aktivitas intrinsik (ditunjukkan ), pencantuman istilah
ini memberikan persamaan bahwa efek suatu obat memenuhi persamaan berikut:
EA [A.R] [A]
=
=
EM Rt
[ A ] + KA
[4]
Skala untuk adalah satuan unit, dimana nilai 1 untuk agonis penuh dan 0
untuk antagonis yang tidak menghasilkan respon jaringan secara langsung. Bila
nilai adalah 0,4 berarti bahwa agonis dapat menghasilkan 40% dari respon
maksimal jaringan (agonis parsial). Oleh karena itu, dalam perjalanan membuat
model efek obat lebih berhubungan erat dengan hasil percobaan dan ini masih
belum menjadi ketetapan untuk observasi beberapa agonis yang menghasilkan
respon maksimal dalam nilai yang sangat rendah pada pendudukan reseptor
(misalnya 90% respon maksimal akan ditingkatkan untuk obat dimana yang
masih memiliki kedudukan hanya 5% atau 10% pada reseptor). Seorang ahli
farmakologis Inggris, R.P.Stephenson memperkenalkan istilah stimulus dan
mengusulkan bahwa obat yang dihasilkan oleh stimulus/rangsangan sesuai
dengan persamaan berikut:
e[ A]
S= [ A ] + KA
[5]
[6]
Fungsi monotonik yang diberi nama hubungan stimulus respon. Ini sangat
penting dalam perkembangan farmakologi reseptor sebagai dasar kerja reseptor
(aktivasi reseptor) yang dipisahkan dari kerja jaringan dalam aktifitas fisiologis.
Gambar 3, menggambarkan kedudukan reseptor suatu obat dapat didefenisikan
pada sumbu absis pada kurva hubungan stimulus dan respon, dan proses tersebut
dikontrol oleh jumlah respon jaringan yang diperoleh dari tingkat kedudukan
reseptor. Pemisahan ikatan obat reseptor dan hasil respon fisiologis menjadi
dasar untuk perkembangan konsep teori reseptor.
II.2.2 Two State Teory
Two
state
teory adalah model sederhana untuk dapat mendeskripsikan interaksi antara obat
dengan reseptornya. Teori tersebut menggunakan tetapan disosiasi untuk
menjelaskan hubungan antara ligan dengan reseptor. Terikatnya ligan
menghasilkan perubahan bentuk reseptor dari inaktif menjadi aktif berdasarkan
konformasinya. Reseptor yang aktif tersebut pada akhirnya akan menghasilkan
respon biologis.
Dua ide utama yang merevolusi teori reseptor terjadi pada tahun setelah
Stephenson menyajikan tentang efikasi dan stimulus. Gagasan pertama datang
dari studi tentang kanal ion. Secara umum, studi tentang interaksi obat dengan
konformasi yang berbeda dari protein yang sama terhambat oleh tersedianya
metode pengujian yang cukup bisa membedakan antara masing-masing
kompleks obat dan perbedaan konformasi obat. Namun, hal tersebut menjadi
mungkin untuk beberapa kanal ion karena salah satu konformasinya adalah
kanal ion terbuka yang memungkinkan terjadinya aliran ion, dan konformasi
yang lainnya adalah kanal ion tertutup. Sehingga dapat digunakan sistem assay
untuk membedakan kedua keadaan protein tersebut.
Pada dasarnya kanal ion adalah suatu protein membran yang terdapat pada
lapisan lipid membran sel.ia terdiri dari beberapa sub-unit protein yang tersusun
membentuk porus. Kanal ion umumnya bersifat spesifik terhadap ion tertentu,
artinya hanya dapat dilewati atau memiliki afinitas terhadap ion-ion tertentu
saja, seperti kanal ion K+ atau kanal ion Na+ . Namun demikian ada juga
beberapa kanal ion yang memiliki afinitas terhadap lebih dari satu ion.
Pembukaan dan penutupan kanal ion dapat diatur oleh suatu senyawa kimia,
sinyal elektrik, atau kekuatan mekanik, tergantung pada jenis kanalnya. Dengan
mengatur dan mengontrol aliran ion, kanal ion dapat menjaga muatan negatif
yang dimiliki oleh sel pada kondisi istirahat.
Obat yang berbeda ditemukan dapat merangsang aliran ion melalui kanal
ion, dan pekerjaan selanjutnya menunjukkan bahwa hal ini terjadi karena obat
terikat pada keadaan terbuka di kanal ion. Temuan ini menjadi dasar untuk teori
two state. Pada kesetimbangan antara dua reseptor Ri dan Ra dan pengikatan
ligan A diperlihatkan sebagai berikut:
Gagasan besar kedua yang mengubah teori reseptor adalah bahwa beberapa
reseptor pada membran mentranslokasi dalam ruang membran dua dimensi dan
berinteraksi dengan ikatan membran protein lainnya untuk memulai terjadinya
fungsi fisiologis. Ide ini, pertama kali diusulkan oleh Pedro Cuatrecasas, dimana
menggambarkan model heterotrimerik kerja obat yang terdiri dari obat, reseptor,
dan ikatan membran protein kopling yang berkaitan dengan derajat yang berbeda
pada pengikatan obat . Secara umum, ada banyak sistem reseptor yang terdiri
dari reseptor untuk ligan kimia (pengenalan dan unit transduksi) berada dalam
setidaknya dua keadaan dan yang berinteraksi secara berbeda (tergantung yang
mana yang mendominasi dua fase) dengan protein membran lain.
Jenis sistem ini (kompleks liganreseptor heterotrimerik ganda) sering
terdapat dalam reseptor biologi. Sistem heterotrimerik yang paling umum adalah
reseptor 7-transmembran (7TM). Reseptor ini berada pada membran sel dan
merupakan salah satu yang utama. Jika bukan tipe utama, maka merupakan
portal informasi untuk sel dan bahan kimia ekstraseluler. Model reseptor 7-
transmembran,
yang
merupakan
suatu
model
kompleks,
menguraikan
kesetimbangan dinamis antara reseptor dan protein yang terikat membran yang
disebut G-protein, yang digunakan untuk mengaktifkan efektor berbagai sel.
Reseptor yang terikat protein G merupakan family terbesar dari reseptor
membran sel. Reseptor ini menjadi mediator dari respon seluler berbagai
molekul, seperti ; hormon, neurotransmitter, mediator lokal, dll. Reseptor terikat
protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal, yang keluar masuk sel
hingga 7 kali, sehingga dikatakan memiliki 7- transmembran. G-protein itu
sendiri merupakan protein heterotrimerik yang memiliki aktivitas enzim
intrinsik untuk degradasi guanosin trifosfat dan yang juga dapat memisahkan
pada saat aktivasi oleh reseptor. Subunit yang dipisahkan bermigrasi ke efektor
seperti enzim adenilat siklase atau berbagai kanal ion untuk menginduksi respon
sel. Hal ini menjelaskan bahwa respon fisiologis berasal dari aktivasi protein Greseptor, bukan RaG atau A Ra G. A Ra G adalah kompleks terner antara
reseptor, obat, dan G-protein --- maka dinamakan model kompleks terner.
Konsep kompleks terner dapat digeneralisasi untuk pembentukan reseptor
heterotrimetrik, yang terdiri dari obat, reseptor, dan protein lain yang spesifik
untuk reseptor. Dengan demikian reseptor protein 7-transmembran lain bisa saja
merupakan reseptor identik lain (homodimers reseptor) atau subunit dari
reseptor lain (heterodimer reseptor) atau protein lainnya. Untuk inti protein,
jenis lain mungkin bisa berupa DNA. Dalam semua kasus, gagasan tentang jenis
terner sangat memudahkan selektivitas dimana sel dapat memilih sinyal yang
masuk dan merupakan metode yang baik untuk amplifikasi.
II.2.3 Model Operasional dari Aksi Obat
Pengaplikasian mekanisme aksi obat secara teoritis dan sederhana
dikembangkan oleh orang ilmuan yaitu Sir James Black dan Paul Leff, yang
disebut dengan Model Operasional. Dalam model ini, perhitungan yang
digunakan didasarkan atas apa yang ingin diobservasi dan bukan didasarkan atas
apa yang dipercaya terjadi pada level molekular. Dari permodelan ini diperoleh
suatu hasil perhitungan matematis dari kumpulan data pengamatan yang
kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan mekanisme molekular yang
terjadi. Observasi awal yang dilakukan menyatakan bahwa kurva dosis terhadap
[ A ][ Rt ] Em
E = KA KE+ ( [ Rt ] + KE ) [A]
[8]
Dimana:
A=
EA [A]
=
EM K + ( + 1 ) [ A ]
[9]
Hal ini menggambarkan bahwa reseptor agonis dinyatakan dalam dua fungsi
hiperbola, yaitu pertama pengikatan obat terhadap reseptor dan yang kedua
pengikatan dari kompleks obat dengan reseptor dengan jaringan yang
menghasilkan respon stimulus yang akan diamati (Gambar 10). Penting untuk
diketahui bahwa Model Operasional tidak membutuhkan konstanta yang
khusus untuk memperkirakan efikasi dari reseptor agonis. Sebaliknya, konstanta
menggambarkan efisiensi dengan sistem reseptor yang menguatkan stimulus
dari reseptor tersebut ([Rt] dan KE) dan juga kemampuan intrinsik agonis untuk
merangsang reseptor (komponen spesifik agonis dari KE).
Model Operasional juga digunakan untuk menentukan fenomenafenomena umum yang terjadi dari suatu hasil observasi, misalkan ketika agonis
kuat tidak mampu menghasilkan respon yang maksimal. Asimtot maksimal dari
suatu respon obat dapat diperoleh dengan memasukkan harga [A] ke Persamaan
29. Berdasarkan hal tersebut, respon maksimal yang dapat dihasilkan oleh
reseptor agonis itu adalah:
Em
Asimtot = +1
[10]
Oleh karena itu, untuk reseptor agonis dengan efikasi yang rendah (misalkan
harga KE tinggi), agonis parsial akan terjadi pada beberapa jaringan (dimana
[Rt] rendah) dan full agonis pada sisi jaringan yang lainnya (dimana harga [Rt]
tinggi).
BAB III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Ikatan kimia yang terjadi pada Ineraksi Obat-Reseptor adalah : ikatan
kovalen, ikatan ion-ion (reinforce ions), ikatan ion (elektrostatik), ikatan
hidrogenogen,2 ikatan ion-dipol, ikatan dipol-dipol, ikatan van der waals dan
ikatan hidrogenofob
2. Model untuk aksi obat : konsep reseptor, dimana hubungan obat dan reseptor
di gambarkan dalam model persamaan matematika. Two state teori sangat
mempengaruhi teori reseptor, yang menjelaskan bentuk inaktif dan bentuk
aktif dari suatu reseptor.
aktivasi reseptor yang terkopel dengan protein G serta pengaruh ikatan obat
terhadap aktivasi reseptor.
III.2
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Terry Kenakin. 1996. Molecular Pharmacology : A Short Course. Blackwell
Sience Ltd : England 2.
Zullies Ikawati. 2008. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta 3.
Ulrik Gether & Brian K. Kobilka . Minireview : G Protein-coupled Receptors, J.
Bio Chem Vol. 273. No. 29-1998. pp. 17079. 4.
Camille Georges Wermuth (Ed.), 2008. The Practice of Medicinal Chemistry ,
Elsevier : London . pp. 99.
Raymond, C. Kimia Dasar : Konsep-Konsep Inti Edisi ke3 Jilid 1. Jakarta:
Erlangga
Siswandono & Soekardjo, B. 2000. Kimia Medisinal Edisi 2. Surabaya
University Press