Disusun oleh :
Nama
: Winda Alfianti
NIM
: 120210103068
Kelas
:A
Kelompok
:2
I.
JUDUL
Toleransi Osmotik Eritrosit Hewan Poikilotermik dan Homoiotermik terhadap Berbagai
Tingkat Kepekatan Medium
II. TUJUAN
Untuk mengetahui besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan
homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium
terdiri
dari
eritrosit,
leukosit
Eritrosit merupakan komponen sel darah terbesar. morfologi dan ukuran eritrosit sangat
bervariasi diantara spesies hewan. Eritrosit
berukuran
lebih
pada
mammalia
mempunyai
inti
dan
eritrosit terdiri dari 60 persen air dan 40 persen konjungsi protein yang membentuk
protein dan heme. Jumlah eritrosit pada satu individu sangat dipengaruhi oleh bangsa atau
jenis, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, kondisi tubuh, jenis kelamin, umur, musim, dan
temperatur lingkungan(Lovita, 2011).
Di dalam eritrosit terdapat berbagai senyawa seperti glukosa, enzim katalase,
enzim karbonat anhidrase, garam organik dan garam anorganik. Kadar ion kalium relatif
lebih tinggi daripada ion natrium. Keberadaan glukosa dalam eritrosit sangat penting
sebagai sumber energi seluler yang akan mempertahankan kelangsungan fungsional
eritrosit. Dikemasnya hemoglobin dalam eritrosit sangat erat kaitannya dengan upaya
pencegahan efek viskositas dan tekanan osmotik yang dapat berubah akibat adanya
molekul besar seperti hemoglobin jika berada di dalam plasma darah. Dengan
terisolasinya letak hemoglobin, maka stabilitas sistem dapat dijaga (Santoso, 2009 : 56)
Sel-sel darah merah mempunyai bentuk cakram. Seperti halnya sel-sel lainnya, sel
darah merah juga memiliki organel-organel sel, sperti nukleus, sitoplasma, membran sel,
serta organel-organel sel lainnya. Tetapi dari semua organel tersebut, yang paling
menonjol adalah inti sel atau nukleus (Kimball, 1983: 515).
Sel darah merah (eritrosit) adalah jenis sel darah yang paling banyak dan
berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh melalui darah. Bagian dalam
eritrosit
terdiri
dari
hemoglobin,
sebuah
biomolekul
yang
dapat mengikat
oksigen. Warna merah sel darah merah berasal dari warna hemoglobin yang
unsur pembuatnya adalah zat besi (Mifbakhuddin, 2010).
Fragilitas eritrosit adalah reaksi membran eritrosit untuk melawan tekanan
osmosis media di sekelilingnya, guna mengetahui berapa besar fragilitas atau daya
tegang dinding eritrosit dapat diketahui dengan menaruh eritrosit kedalam berbagai
larutan (biasanya NaCl) dengan tekanan osmose beragam. Konsentrasi larutan dengan
tekanan osmosis tertentu akan memecah eritrosit, yang menunjukkan fragilitas
eritrosit .Darah mengandung berjuta-juta eritrosit yang umurnya tidak sama. Umur
eritrosit sangat berpengaruh terhadap daya fragilitasnya (Guyton, 1995).
Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke
dalam medium sekelilingnya (plasma).Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan
oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan
tekanan permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan
pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah dan lain-lain. Apabila medium
di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan NaCl hipotonis)
medium tersebut (plasma dan larutan NaCl) akan masuk ke dalam eritrosit melalui
membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila
membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri,
maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam medium sekelilingnya.
Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis, maka cairan eritrosit akan
keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput
(krenasi). Keriput ini dapat dikembalikan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke
dalam medium luar eritrosit (Dietor, 1992).
Sel eritrosit hewan Homoioterm isotonis terhadap larutan 0,9% NaCl, oleh karena
itu hemolisis akan terjadi apabila eritrosit hewan homoioterm dimasukkan ke dalam
larutan NaCl dengan konsentrasi di bawah 0,9% sedangkan untuk eritrosit hewan
poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih rendah dari 0,7%. Namun perlu diketahui
bahwa membran eritrosit (teramasuk membran sel yang lain) ememiliki konsentrasi
osmotik, artinya sampai batas konsentrasi medium tertentu sel belum mengalami lisis.
Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan NaCl tertentu tidak semua eritosit
mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi osmotis membran eritrosit
berbeda-beda. Pada eritrosit tua membran selnya memiliki toleransi rendah (mudah
pecah), sedangkan membran eritrosit muda memiliki toleransi osmotik yang lebih besar
(tida mudah pecah). Peristiwa sebaliknya dari hemolisis adalah krenasi, yaitu peristiwa
mengkerutnya membran sel akibat keluarnya air dari dalam eritrosit. Krenasi dapat terjadi
apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium hipertonis terhadap isi eritrosit, misalnya
untuk eritrosit hewan Homoioterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,9%,
sedangkan untuk hewan Poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7%
(Soewolo,2000:88-89).
Bahan :
1. Mikroskop
1. Kadal
2. Gelas benda
2. Tikus
3. Gelas penutup
3. Akuades
4. Pipet tetes
5. Papan seksio
0,15%,
0,3%,
0,5%,
6. Alat seksio
0,7%,
7. Gelas piala
4. 2 Cara kerja
a. Hewan poikilotermik
Membius kadal
V. HASIL PENGAMATAN
Kel Konsentrasi Poikilotermik
Keterangan
Homoiotermik
Keterangan
larutan
0,15%
Lisis
Lisis
0,3%
Lisis
Lisis
0,5%
Lisis
Lisis
0,7%
Lisis
Normal
0,9%
Normal
Normal
1%
Krenasi
Krenasi
2%
Krenasi
Krenasi
3%
Krenasi
Krenasi
Aquades
Lisis
Krenasi
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini percobaan yang dilakukan adalah toleransi osmotik
eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan
medium. Medium/larutan yang digunakan dalam percobaan ini adalah NaCl dengan
berbagai konsentrasi, mulai dari 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3% serta
aquades sebagai kontrol. Tujuan digunakannya larutan NaCl dengan berbagai beda
konsentrasi adalah untuk mengetahui perubahan bentuk eritrosit, mengalami hemolisis
atau krenasi. Sehingga variabel dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
Variabel bebas
Variabel kontrol
Variabel terikat
Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah kadal yang merupakan
poikilotermik dan tikus yang merupakan hewan homoiotermik. Hewan poikilotermik
adalah hewan yang tidak mampu menyesuaikan dan mengatur suhu tubuhnya sedangkan
hewan homoiotermik adalah hewan yang mampu mengatur dan menyesuaikan suhu
tubuhnya terhadap lingkungan. Mula-mula kedua hewan tersebut dibius kemudian
dibedah hingga terlihat jantung dan pembuluh darahnya, kemudian pembuluh darahnya
ditusuk hingga darah keluar. Kemudian darah tersebut diletakkan pada kaca benda dan
pada masing-masing kaca benda yang sudah ditetesi darah kemudian masing-masing
ditetesi larutan NaCl dengan serial konsentrasi yang berbeda. Setiap kelompok bertugas
mengamati sel darah merah setiap hewan yang digunakan terhadap suatu serial
konsentrasi.
Dari hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa untuk hewan poikilotermik, ketika
sel darahnya ditetesi NaCl dengan konsentrasi 0,15%, sel darah tersebut mengalami lisis.
Hal ini juga terjadi pada saat sel darah hewan poikilotermik ditetesi larutan NaCl dengan
konsentrasi 0,3%, 0,5% dan 0,7%. Hal tersebut terjadi karena larutan NaCl yang
diteteskan memiliki konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi sel darah merah, atau
dengan kata lain dalam hal ini larutan NaCl bersifat hipotonik, sehingga larutan NaCl
masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit menggembung. Ketika membrane
eritrosit sudah tidak mampu lagi menahan tekanan zat pelarut yang masuk maka eritrosit
akan mengalami lisis. Dari data tersebut terdapat keganjalan dimana kadal yang
digunakan merupakan hewan poikilotermik, sedangkan hewan poikilotermik memiliki
eritrosit yang dapat isotonis dengan larutan NaCl 0,7%, jika eritrosit tersebut dapat
isotonis dengan NaCl 0,7%, maka seharusnya keadaan eritrosit pada saat ditetesi NaCl
0,7% adalh normal atau tetap, namun hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini
kemungkinan karena kelalaian praktikan dalam menggunakan pipet tetes secara acak, ada
kemungkinan praktikan menggunakan pipet tetes milik NaCl konsentrasi tinggi dipakai
untuk mengambil NaCl 0,7% sehingga konsentrasi NaCl berubah dan konsentrasinya
meningkat. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan selanjutnya pada eritrosit yang
ditetesi NaCl 0,9% keadaannya normal dan tetap, hal ini tentu tidak sesuai dengan teori
dimana sel darah merah poikilotermik hanya isotonis dengan NaCl 0,7% bukan 0,9%.
Hal tersebut terjadi kemungkinan terjadi karena kelalaian praktikan seperti kesalahan
yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada saat eritrosit hewan poikilotermik ditetesi
larutan NaCl dengan konsentrasi 1%, sel-sel eritrositnya mengalami krenasi, yaitu sel-sel
eritrosit mengkerut atau mengecil karena konsentrasi NaCl yang diberikan lebih tinggi
dan bersifat hipertonik sehingga cairan yang ada didalam sel akan terserap keluar dan
mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi. Sedangkan ketika eritrosit ditetesi aquades,
sel eritrosit tersebut mengalami lisis dimana eritrositnya menggembung dan apabila
membrane eritrosit tidak kuat menahan tekanan cairan yang masuk maka eritrosit akan
mengalami lisis. Hal ini sesuai dengan teori dimana aquades memiliki konsentrasi lebih
rendah daripada cairan didalam eritrosit dan aquades bersifat hipotonik. Sehingga
mengakibatkan aquades terserap kedalam eriteosit dan lama-lama dapat mengakibatkan
eritrosit lisis.
Pada hasil pengamatan eritrosit hewan homoiotermik, ketika eritrosit diberi
larutan NaCl dengan konsentrasi 1,5% eritrosit mengalami lisis. Hal ini berlaku sama
ketika eritrosit hewan poikilotermik di tetesi larutan NaCl dnegan konsentrasi 0,3%,
0,5% dan 0,7%. Hal tersebut karena larutan NaCl yang diteteskan memiliki konsentrasi
yang lebih rendah daripada cairan didalam sel eritrosit, sehingga larutan NaCl bersifat
hipotonik dan menyebabkan larutan NaCl masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan
eritrosit menggembung, ketika membrane eritrosit sudah tidak mempu menahan tekanan
cairan yang masuk maka eritrosit akan mengalamai lisis.
Perlakuan berikutnya eritrosit ditetesi larutan NaCl
mengalami perubahan atau normal, hal ini tidak sesuai teori dimana eritrosit hewan
homoiotermik isotonis dengan larutan NaCl 0,9% bukan larutan NaCl 0.7%, seharusnya
ketika ditetesi larutan NaCl 0,7% eritrosit mengalami lisis karena konsentrasi larutan
NaCl 0,7% lebih rendah dari cairan didalam eritrosit sehingga larutan NaCl masuk
kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit lisis,hal tersebut bukan kesalahan praktikan
namun kemungkinan ini merupakan larutan yang masih dapat ditoleransi oleh eritrosit
hewan homoiotermik. Pengamatan selanjutnya eritrosit di tetesi dengan larutan NaCl
0,9% dan hal ini mengakibatkan eritrosit tidak mengalami perubahan artinya pada saat
ditetesi NaCl 0,9% eritrosit hewan homoiotermik bersifat normal atau tetap. Hal ini
sesuai dengan teori dimana eritrosit hewan homoiotermik dapat isotonis dengan NaCl
0,9%. Selanjutnya hasil pengamatan pada eritrosit yang ditetesi NaCl 1%, 2% dan 3%,
eritrosit mengalami krenasi, hal ini sesuai dengan teori dimana larutan NaCl yang
diteteskan memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada cairan didalam eritrosit sehingga
larutan NaCl bersifat hipertonik terhadap eritrosit dan hal ini menyebabkan cairan yang
ada didalam eritrosit terserap keluar dan mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi.
Pada pengamatan selanjutnya eritrosit ditetesi dengan akuades dan hal ini menyebabkan
eritrosit mengalami krenasi, hal ini tidak sesuai dengan teori karena seharusnya eritrosit
mengalami lisis, karena akuades memiliki konsentrasi lebih rendah dari cairan eritrosit
sehingga seharusnya akuades terserap masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit
menggembung dan mengalami lisis. Pemberian aquades sebagai kontrol dalam percobaan
ini seharusnya memberikan efek lisis pada sel eritrosit baik sel eritrosit tikus maupun sel
eritrosit kadal. Hal tersebut karena aquades merupakan larutan hipotonis bagi sel, artinya
aquades merupakan kontrol plasmolisis sempurna bagi semua sel.
Toleransi osmotik antara hewan poikilotermik dan homoiotermik memiliki
perbedaan, hal tersebut dikarenakan kedua jenis hewan ini memiliki perbedaan dimana
hewan
poikilotermik
merupakan
hewan
yang
tidak
mampu
mengatur
dan
menyeimbangkan suhu tubuhnya atau dengan kata lain hewan ini adalah hewan berdarah
dingin yaitu hewan yang suhu tubuhnya mayoritas dibawah suhu lingkungan (250C).
sedangkan hewan homoiotermik adalah hewan yang mampu menyesuaikan suhu
tubuhnya dengan lingkungan atau hewan berdarah panas, atau dengan kata lain
merupakan hewan yang mayoritas suhu tubuhnya lebih dari suhu lingkungan 250C.
Hewan poikilotermik lebih toleran terhadap larutan
sedangkan hewan homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih encer,
hal tersebut dapat dibuktikan, yaitu ketika sama-sam diberi perlakuan dengan larutan
NaCl 0,7% eritrosit poikilotermik bersifat normal sedangkan eritrosit homoiotermik
mengalami juga normal. Namun larutan NaCl merupakan larutan isotonik bagi eritrosit
poikilotermik dan merupakan larutan hipotonik bagi eritrosit hewan homoiotermik
sehingga eritrosit poikilotermik lebih toleran terhadap NaCl encer daripada eritrosit
homoiotermik. Sedangkan pada saat diberi perlakuan dengan NaCl 0,9%, eritrosit
poikilotermik mengalami krenasi sedangkan eritrosit homoiotermik bersifat normal, hal
ini berati larutan NaCl 0,9% bersifat hipertonik bagi eritrosit hewan poikilotermik dan
bersifat isotonic bagi eritrosit hewan homoiotermik. Hal ini berati eritrosit hewan
homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih pekat dari pada eritrosit
hewan poikilotermik.
VII. PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa kisaran toleransi osmotik
eritrosit hewan poikiloterm yaitu larutan NaCl dengan konsentrasi 0,7% saja dan
hewan homoioterm berkisar 0,7%-0.9%. Di mana isotonis untuk eritrosit hewan
poikiloterm adalah 0,7% dan untuk eritrosit hewan homoioterm adalah 0,9%.
Dengan demikian maka yang lebih toleran terhadap larutan yang lebih encer
daripada garam fisiologisnya adalah eritrosit hewan poikiloterm, dan yang lebih
toleran terhadap larutan yang lebih pekat daripada garam fisiologisnya adalah
eritrosit hewan homoioterm.
7.2 SARAN
Seharusnya pengamatan di bawah mikroskop menggunakan perbesaran yang
sama semua, sehingga ukuran sel eritrosit yang lisis, krenasi, dan normal bisa
terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Dietor, delman H. 1992.Histologi veterinner. Jakarta: UI press
Guyton AC. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology and
Mechanism of disease). Diterjemahkan oleh Ken Ariata. Ed ke-3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Kimball, John W. 1983. Biologi Edisi kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga
Lovita. 2011. Komposisi Dan Imbangan Bakteri Pada Pembuatan Yoghurt Terhadap Nilai
Hematologik Mencit. Biodiversitas.ISSN 9812-3265.Vol 2(1)
Mifbakhuddin.2010. Hubungan Antara Paparan Gas Buang Kendaraan (Pb) Dengan Kadar
Hemoglobin Dan Eritrosit Berdasarkan Lama Kerja Pada Petugas Operator Wanita
Spbu Di Wilayah Semarang Selatan. Jurnal Natur Indonesia. ISSN 1410-9379.Vol 6(2)
Safrida. 2010. Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih Tikus (Ratitus norvegicus) Betina Pada
Starvasi. Biodiversitas. ISSN 1416-8801. Vol 11(1). 18
Santoso, Putra. 2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Padang : Universitas Andalas
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : Proyek Pengembangan Guru Sekolah
Menengah
A. PENDAHULUAN
Kota
Semarang
merupakan
salah
neuromuscular
dan
konsekuensi
Menurut
Child,
J.A
(1995),
udara
yang
akan
memberikan
efek
lama
berfungsi
Bagian dalam
dikenal
membawa
eritrosit
dapat mengikat
di
merah
udara
perkotaan
selain
sulphur
sel
oksigen
terdiri
oksigen.
darah
ke
dari
Warna
merah
berasal
dari
(CO)
tinggi
akan
yang
menyebabkan
(cognitive
ginjal,
effect),
anemia,
Hipertensi,
hemoglobin
dan
eritrosit
berdasarkan
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
imbangan
jumlah
bakteri
dan
Bifidobacterium
terhadap
keadaaan
hematologik
mencit.Penelitian
pemberian
Lactobacillus acidophilus
terutama
dalam
yang
mengandung
terjadi peningkatan
kisaran
yoghurt
jumlah
eritrosit
dan
tambahan
keadaan
hemoglobin
probiotik
hematologik,
tetapi
masih
mikroba yang dapat bertahan didalam saluran pencernaan yang paling bawah (kolon)
dibandingkan dengan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus sehingga
kedua mikroba tersebut layak disebut probiotik. Mengkonsumsi yoghurt dengan imbangan
yang tepat dapat menyeimbangkan keadaan hematologik pada mencit yang dapat diplkasikan
pada manusia
Keyword
yoghurt,
Lactobacillus
PENDAHULUAN
Hematologik
mempelajari
acidophillus,
Bifidobacterium,
pembentukan
adalah
tentang
ilmu
darah,
yang
meliputi
probiotic
dan penghancuran
Darah
adalah
dalam
larutan
suspensi
koloid
dari
cairan
darah.
partikel
yang
mengandung
elektrolit.
Peranannya
Eritrosit
mempunyai
yang
lebih
terfiksasi dalam
tubuh
dan
pada
inti
dan
mammalia
berukuran
unggas.
protektif
terhadap
organisme,
pula
Komponen-komponen
dalam
yang
tubuh
dan
mempertahankan
menjaga
organ
berperan
homeostase
keseimbangan
tubuh
agar
dalam
fungsi-fungsi
berjalan
transportasi
berfungsi
yang
dengan
sebagai
media
membawa
zat-zat
mengetahui
seseorang
melawan mikroba.
nilai
hematologik
dapat
dilakukan
mengetahui
jumlah
hemoglobin
dan
(Swenson, 1987).
eritrosit,
nilai
pertahanan
dan
konjungsi protein
Untuk
dari
dengan
kadar
hematokritnya
kelamin,
umur,
eritrosit
akan
konstan
pada
merupakan
cairan tubuh
pembuluh
(Swenson
yang
salah
terdapat
satu
dalam
Sikar
1970,
1986).
Widjajakusuma dan
Pemeliharaan
terhadap
mekanisme
yang
homeostasis, yaitu
digunakan
lingkungan
sel-sel
eritrosit,
darah yang
leukosit
terdiri
dari
dan trombosit
1995).
istilah
disebut
yang
untuk mempertahankan
interna
konstan dalam
yang
menjamin