Anda di halaman 1dari 2

Gandhi Merubah Diri Demi Negeri

Judul
Penulis
Penerjemah
Penerbit
Tahun Terbit
Tebal
ISBN
Peresensi

: Gandhi The Man


: Eknath Easwaran
: Hary Mulyana dan Yendhi Amalia
: B-First (Bentang Pustaka)
: I, Desember 2013
: 268 halaman
: 978-602-7888-90-6
: Makki Riaja*

Apa yang menarik dari buku Gandhi the Man karangan Eknath Easwaran, sementara
sudah banyak buku karangan Gandhi sendiri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia? Untuk menyebut beberapa semisal Semua Manusia Bersaudara (YOI, 2009),
autobiografi Mahatma Gandhi (Pustaka Narasi, 2009). Juga beberapa kumpulan kata-kata
bijak dan seri tokoh Gandhi. Patut diakui, keberadaan Gandhi banyak menginspirasi
masyarakat dunia untuk menulis kisah hidupnya.
Selain pemeluk ajaran Hindu yang tekun, Gandhi dikenal sebagai seorang aktivis
pembebasan India dari penjajahan Ingris. Alih-alih dengan kekerasan, ia malah mengajak
rakyat India melakukan aksi damai. Inggris pun meninggalkan India tanpa gencatan senjata,
tanpa pertumpahan darah.
Mengapa Gandhi sampai kepada gagasan pembebasan yang sangat inspiratif tersebut?
Tentu banyak hal yang berperan aktif menjadi musabab Gandhi mencapai kesuksesannya.
Salah satu yang patut kita cermati adalah konteks masyarakat India dan kehidupan Gandhi
sendiri.
Posisi buku biografi Mahatma Gandhi karangan Eknath Easwaran ini sama dengan
karangan Rabindranat Tagore (1861-1941), Visva-Bharati (1963), di mana ketiganya pernah
berjuang bersama. Eknath Easwaran (1910-1999) hidup di masa Gandhi (1869-1948) berhasil
menginspirasi orang-orang dari berbagai ras, latar belakang dan agama. Ia menyaksikan nama
Gandhi dielu-elukan di berbagai tempat setelah menjadi pelopor kemerdekaan India pada
tanggal 15 Agustus 1947.
Sesuai judul awal buku ini, Gandhi the Man: How One Man Changed Him Self to
Change the World (Nilgiri Press, 1973), Easwaran mencoba melihat bagaimana perubahan
arah kehidupan Gandhi hingga mecapai titik temu anatara agama dan negara, diri dan sosial,
serta persaudaraan manusia dari berbagai ras, latar belakang dan agama. Selain menyajikan
kronologi sejarah, secara istimewa buku ini juga memuat 70 foto yang telah direstorasi secara
digital dari arsip milik the Gandhi Server.
Di masa remajanya, Gandhi bukanlah orang luar biasa. Ia pemalu, rendah diri, kurang
pintar, dan kurang pergaulan; namun sangat berbakti kepada orang tuanya. Umur 13 tahun ia
dinikahkan dengan Kasturbai (hal. 15). Setelah lulus dari sekolah menengah atas dengan nilai
pas-pasan, Gandhi muda melanjutkan studi ke Inggris dengan konsentrasi bidang hukum.
Tiga tahun menyelesaikan studi, ia kembali ke India dan menjabat sebagai pengacara. Namun
rasa mindernya membuat dia gagal menjadi pengacara (hal. 20).

Titik balik yang patut dicatat, yakni ketika Gandhi menjadi konsultan hukum sebuah
perusahaan swasta di Afrika Selatan (1893-1914). Di tengah maraknya politik apartheid,
Gandhi gelisah melihat banyak warga keturunan India diperlakuan tidak adil di negara
tersebut. Gandhi memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya yang mapan dan beralih
sederhana. Ia mulai banyak terlibat dalam aktivitas pelayanan sosial seperti merawat orang
sakit dan terlibat dalam Korps Ambulan India ketika terjadi Perang Boer di Afrika Selatan
(hal. 47).
Di samping itu, Gandhi terus mendalami agama Hindu dan beberapa kitab suci
lainnya. Ia mulai beralih dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial. Gandhi menemukan
kembali ajaran penting yang menjadi pegangan garis perjuangannya, mulai Satyagraha,
Ahimsa dan Swadeshi. Ajaran-ajaran tersebut mula-mulai dia kembangkan di Afrika Selatan,
kemudian makin berkembang setelah kepulangannya ke India pada tahun 1915.
Ajaran yang paling berpengaruh menurut Easwaran adalah Swadeshi. Gandhi berhasil
mempertemukan bangunan agama, sosial dan politik. Swadeshi erat kaitannya dengan
semangat Swaraj sebagai cita-cita bersama, pemerintahan oleh negeri sendiri (self-rule) yang
senjatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self-reliance). Sederhananya, bagaimana
menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri. Contoh yang dikembangkan Gandhi
adalah pengembangan kain tenun lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor
tekstil dari Eropa (hal. 172).
Dari sini, Easwaran menyajikan gambaran yang menyentuh tentang titik balik dan
pilihan-pilihan dalam hidup Gandhi, yang menjadikan dirinya bukan hanya pemimpin politik
yang hebat tetapi juga tokoh yang tak lekang oleh zaman. Betapa mengejutkan melihat
seorang Gandhi, mentransformasikan dirinya dari seorang pengacara muda yang malu-malu
menjadi seorang Mahatma (bahasa India: jiwa yang agung). Empat ratus juta masyarakat
India telah tersentuh hatinya dan secara rela memperjuangkan kemerdekaan tanpa perang.
Namun sangat memprihatinkan bagi pembaca Indonesia. Buku ini baru diterjemahkan
pada tahun 2013 oleh Bentang Pustaka, 40 tahun setelah terbit pertama kali di tahun 1973.
Sebab, di saat rakyat Indonesia semakin mengagumi produk impor, gagasan Gandhi akan
kekuatan sendiri semakin dibutuhkan. Bukan sebagai kenangan, tapi untuk dipikirkan dan
dijalankan.

*Makki Riaja, pustakawan Rumah Terampil Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai