Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. REFRAKSI
Refraksi adalah suatu fenomena fisika berupa penyerapan sinar yang melalui edia
transparan yang berbeda. Sebagai suatu contoh proses refraksi saat sebuah pensil
diletakkan di dalam gelas yang berisi air, makan akan tampak gambaran pensil di
udara tidak lurus dengan yang tampak di air (Peary, 2005)
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang
normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbang sehingga bayangan benda setleha melalui media penglihatan
dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut dengan mata
emetropia dan akan menempatkan bayangan benda di retinanya pada keadaan mata
yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004).
Analisis statistik distribusi anomali/kelainan refraksi yang terjadi di masyarakat
dalam populasi penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara jarijari kurvatura kornea, kedalaman bilik mata depan, kekuatan refraksi dari lensa,
panjang sumbu bola mata dengan anomali/kelainan refraksi (Vhaugan, 2009).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum Proksimum
merupakan titik terdekat di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.
Punctum Remotum adalah titik terjauh di mana seseorang masih dapat melihat dengan
jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau
foveola bila mata istirahat (Ilyas, 2004).
II. 1. 1.
EMETROPIA
Pada mata ini daya bias mata adalah normal, di mana sinar jauh difokuskan
sempurna di makula lutea tanpa bantuan akomodasi. Bila sinar sejajar tidak diokuskan
pada makula lutea disebut ametropia. Mata ametropia akan mempunyai penglihatan
normal atau 6/6 atau 100%. Bila media penglihatan seperti kornea, lensa, dan bahan
kaca keruh makan sinar tidak dapat diteruskan di makula lutea. Pada keadaan media
penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6 (Ilyas, 2004).
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan
dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya
pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya.
Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan
akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata sesorang berbedabeda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung)
atau daya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sina
normal tidak dapat jatuh ke makula. Keadaan ini disebut dengan ametropia/anomali
refraksi yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma. Kelainan ini
pada mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat
berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi.

Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang
disebut presbiopia (Ilyas, 2004).
II. 1. 2.
AKOMODASI
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina, demikian
pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat
difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi, maka benda pada
jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan
lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi,
daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai
dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi
(mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks
akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu konvergensi atau
melihat dekat (Ilyas, 2004).
Dikenal beberapa teori akomodasi, seperti :
Teori akomodasi Hemholtz, dimana zonula Zinii kendor akibat kontraksi
otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung
dan diameter menjadi kecil
Teori akomodasi Thsernig, dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak
dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian
lensa yang superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi
tegangan pada zonula Zinii sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian
depan nukleus akan mencembung (Ilyas, 2004).
Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina. Bila sinar
jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi
hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun letak
bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan akomodasi yang baik (Ilyas, 2004).
Anak-anaka dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan
kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anak-anak
dapat mencapai + 12.00 sampai + 18.00 D. Akibatnya pada anak-anak yang sedang
dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi
koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut
memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan
kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik untuk melumpuhkan otot
akomodasi sehingga pemeriksaan kelainan murni, dilakukan pada mata yang
beristirahat. Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik atau sulfat atropin bersifat
parasimpatolitik, yang selain bekerja untuk melumpuhkan otot siliar juga
melumpuhkan otot sfingter pupil (Ilyas, 2004).
Dengam bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan
berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia (Ilyas, 2004).

II. 1. 3.
AMETROPIA
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan
dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya
pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan
membiaskan sinar terutama pada saaat melakukan akomodasi atau bila melihat benda
dekat (Ilyas, 2004).
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan
sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang atau lebih pendek) bola mata maka sinar tidak akan terfokus pada makula.
Keadaan ini disebut ametropia (anomali refraksi) yang dpat berupa miopia,
hipermetropia, atau astigamatisma. Kelainan sistem refraksi (pembiasan cahay) pada
mata, menyebabkan sinar-sinar sejajar yang masuk ke dalam mata tidak difokuskan
pada retina saat mata tersebut dalam keadaan istirahat (Ilyas, 2004).
II. 2. ASTIGMATISMA
II.2. 1.
PENGERTIAN ASTIGMATISMA
Astigamatisma merupakan kelainan refraksi dimana didapatkan bermacammacam derajat refraksi pada bermacam-macam meridian, sehingga sinar yang datang
pada mata itu akan difokuskan pada macam-macam fokus pula.
Astigmatisma merupakan kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian
yang berbeda tidak sama. Dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) sinar sejajar
yang masuk ke mata difokuskan pada lebih dari satu titik sehingga menghasilkan
suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multipel (Vaughan, 2009).
Pada astigmatisme berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam
pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat
kelainan kelengkungan di kornea. Pada mata dengan astigmatisma lengkungan jarijari pada satu meridian kornea lebih panjang daripada jari-jari meridian yang tegak
lurus padanya (Ilyas, 2009).
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depang dan terdiri atas 5 lapis,
yaitu :
Epitel
Memberan Bowman
Stroma
Membran Descement
Endotel
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf kelima saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari
50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2009).

II.2. 2.

PEMBAGIAN ASTIGMATISMA

Pembagian astigmatisme menurut Ilyas (2009) :


Astigmatisme lazim (Astigmatisma with the rule), yang berarti
kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau
jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di
bidang horizontal. Pada keadaan astigmatisma lazim ini diperlukan lensa
silinder negatif dengan sumbu 190 derajat untuk memperbaiki kelainan
refraksi yang terjadi.
Astigmatisme tidak lazim (Astigmatisma againts the rule), suatu keadaan
kelainan refraksi astigmatisma dimana koreksu dengan silinder negatif
dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder
positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat
kelengkungankornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan
kelengkungan kornea vertikal.
II.2. 3.
BENTUK ASTIGMATISMA
Bentuk astigmatisme menurut Ilyas (2009) dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Astigmatisme Regular
Astigmatisme dikategorikan regular jika meridian-meridian utamanya
(meridian dimana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis
bolamata), mempunyai arah yang saling tegak lurus
2. Astigmatisme Iregular
Pada bentuk ini didapatkan titik fokusnya tidak beraturan/tidak saling tegak
lurus. Penyebab tersering adalah kelainan kornea seperti sikatrik kornea,
keratokonus. Bisa juga disebabkan kelainan lensa seperti katarak imatur.
Kelainan refrakasi ini tidak bisa dikoreksi dengan lensa silinder (Vaughan,
2009).
II.2. 4.
PATOFISIOLOGI ASTIGMATISMA
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigamtisme, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua
arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar
dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di
beakang retina.
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1. Astigmatismus Myopicus Simplex
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada tepat pada retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph 0.00 Cyl Y atau Sph X Cyl +Y dimana X dan Y memiliki angka
yang sama.
2. Astigmatismus Hypermetropicus Simplex

Astigmatisma jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph 0.00 Cyl +Y atau Sph +X Cyl Y dimana X dan Y memiliki angka
yang sama.
3. Astigmtismus Myopicus Compositus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di antara titik A dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme
jenis ini adalah Sph X Cyl Y.
4. Astigmatismus Hypermetropicus Compositus
Astigmatisma jenis ini, titik B berada di belakang retina, sedangkan titik A
berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma
jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.
5. Astigmatismus Mixtus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B
berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini
adalah Sph +X Cyl Y, atau Sph X Cyl +Y, dimana ukuran tersebut tidak
dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y menjadi
sama-sama + atau -.
Mata dengan astigmatisma dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas
dengan air bening. Bayangan yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, atau
terlalu lebar dan kabur (Ilyas dkk., 2003).
II.2. 5.
PENYEBAB ASTIGMATISMA
Penyebab tersering dari astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea. Pada
sebagian kecil dapat pula disebabkan kelainan lensa. Pada umumnya astigamtisma
bersifat menurun, beberapa orang dilahirkan dengan kelainan bentuk anatomi kornea
yang menyebabkan gangguan penglihatan dapat memburuk seiiring bertambahnya
waktu. Namun astigmatisme juga dapat disebabkan karena trauma pada mata
sebelumnya yang menimbulkanjaringan parut pada kornea, dapat juga jaringan parut
bekas operasi pada mata sebelumnya atau dapat pula disebabkan oleh keratokonus
(Vaughan, 2009).
Astigmatisma juga sering disebabkan oleh adanya selaput bening yang tidak
teratur dan lengkung kornea yang terlalu besar pada salah satu bidangnya (Guyton
dkk., 197). Permukaan lensa yang berbentuk bulat telur pada isis datangnya cahaya,
merupakan contoh dari lensa astigmatismatisma. Derajat kelengkungan bidang yang
melalui sumbu panjang telung tidak sama dengan derajat kelengkungan pada bidang
yang melalui sumbu pendek.
Karena lengkung lensa astigmatis pada suatu bidang lebih kecil daripada
lengkung pada bidang yang lain, cahaya yang mengenai bagian perifer lensa pada
suatu sisi tidak dibelokkan sama kuatnya dengan cahaya yang mengenai bagian
perifer pada bidang yang lain (Ilyas, 2003). Astigaatisme pasca operasi katarak dapat
terjadi bila jahitan terlalu erat (James dkk., 2003).

Selain itu daya akomodasi mata tidak dapat mengkompensasi kelainan


astigamtisme karena pada akomodasi, lengkung lensa mata tidak berubah sama
kuatnya di semua bidang. Dengan kata lain, kedua bidang memerlukan koreksi derajat
akomodasi yang berbeda, sehingga tidak dapat dikoreksi pada saat bersamaan tanpa
dibantu kacamata (Ilyas, 2003).
II.2. 6.
TANDA DAN GEJALA ASTIGMATISMA
Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi
terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala atau
kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah, mengecilkan celah
kelopak jika ingin melihat, garis lurus tampak bengkok, tulisan menjadi berbayang.
II.2. 7.
PEMERIKSAAN ASTIGMATISMA
a. Refrakasi Subjektif
Alat :
Kartu Snellen
Bingkai percobaan
Sebuah set lensa coba
Kipas astigmat
Prosedur :
Astigmat bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging techinque of
refraction) yang menggunakan kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set
lensa coba, dan kipas astigmat. Pemeriksaan astigmat ini menggunakan teknik
sebagai berikut, yaitu :
1. Pasien duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter
2. Pada mata dipasang bingkai percobaan
3. Satu mata ditutup
4. Dengan mata yang terbuka pada pasien dilakukan terlebih dahulu
pemeriksaan dengan lensa (+) atu (-) sampai tercapai ketajaman
penglihatan terbaik
5. Pada mata tersebut dipasang lensa (+) yang cukup besar (misal S +3.00)
untuk membuat pasien mempunyai kelainan refraksi astigmat miopikus
6. Pasien diminta melihat kartu kipas astigmat
7. Pasien ditanya tentang garis pada kipas yang paling jelas terlihat
8. Bila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat maka lensa S
(+3.00) diperlemah sedikit demi sedikit sehingga pasien dapat
menentukan garis mana yang terjelas dan terkabur
9. Lensa silinder (-) diperkuat sedikit demi sedikit dengan sumbu tersebut
hingga tampak garis yang tadi mula-mula terkabur menjadi sama jelasnya
dengan garis yang terjelas sebelumnya
a) Bila sudah dapat melihat garis-garis kipas astigmat dengan jelas,
lakukan tes dengan kartu Snellen
b) Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin lensa
(+) yang diberikan terlalu berat, sehingga perlu mengurangi lensa (+)
atau menambah lensa (-)

c) Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa (-) ditambah
perlahan-lahan hingga ketajaman penglihatan menjadi 6/6 (Ilyas,
2003)
Sedangkan nilainya : Derajat astigmat sama dengan ukuran lensa silinder (-)
yang dipakai sehingga gambar kipas astigmat tampak sama jelas (Ilyas, 2003).
b. Refraksi Objektif
Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan
mempergunakan keratometer, derajat astigmatisma dapat diketahui. Cara
objektif semua kelainan refraksi, termasuk astigmatisma dapat ditentukan
dengan skiaskopi, retinoskopi garis (streak retinoscopy), dan refraktomteri
(Ilyas dkk., 2003).
II.2. 8.
PENATALAKSANAAN ASTIGMATISMA
Kacamata
Astigmatisma regular, diberikan kacamata sesuai kelainan yang didapatkan,
yaitu dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa
kombinasi lensa sferis. Astigmatisme iregular, bila ringan bisa dikoreksi
dengan lensa kontak keras, tetapi bile berat bisa dilakukan transplantasi
kornea (Ilyas dkk., 2003).

Terapi operatif
LASIK adalah suatu tindakan operasi kelainan refraksi mata yang
menggunakan teknologi laser dingin (cold/non thermal laser) dengan cara
merubah atau mengkoreksi kelengkungan kornea. Setelah dilakukan tindakan
LASIK, penderita kelainan refraksi dapat terbebas dari kacamat atau lensa
kontak, sehingga secara permanen menyembuhkan rabun jauh (miopia),
rabun dekat (hipermetropia), serta mata silinder (astigmatisme).
Untuk dapat menjalani prosedur LASIK perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu :
a. Ingin terbebas dari kacamata dan lensa kontak
b. Kelainan refraksi
- Miopia -1.00 sampai dengan -13.00 dioptri
- Hipermetropia +1.00 sampai dengan +4.00 dioptri
- Astigmatisme 1.00 sampai dengan 5.00 dioptri
c.
d.
e.
f.

Usia minimal 18 tahun


Tidak sedang hami atau menyusui
Tidak mempunyai riwayat penyakit autoimun
Mempunyai ukuran kacamata/lensa kontak yang stabil selama paling
tidak 6 (enam) bulan
g. Tidak ada kelainan mata, yaitu infeksi, kelainan retina saraf mata,
katarak, glaukoma, dan ambliopia
h. Telah melepas lensa kontak (Soft contact lens) selama 14 hari atau 2
(dua) minggu dan 30 (tiga puluh) hari untuk lensa kontak (hard contact
lens)

Adapun kontraindikasi dari tindakan LASIK antara lain :


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Usia < 18 tahun/usia di bawah 18 tahun dikarenakan refraksi belum stabil


Sedang hamil atau menyusui
Kelainan kornea atau kornea terlalu tipis
Riwayat penyakit glaukoma
Penderita diabetes melitus
Mata kering
Penyakit autoimunn, kolagen
Pasien monokular
Kelainan retina atau katarak

II. 3. MIOPIA
II. 4. HIPERMETROPIA

Anda mungkin juga menyukai