Definisi
Cedera medula spinalis didefinisikan sebagai cedera pada tulang belakang
yang menyebabkan penekanan pada medula spinalis, sehingga menimbulkan
myelopaty dan merupakan keadaan darurat neurologi yang memerlukan tindakan yang
cepat, tepat dan cermat untuk menguranggi kecacatan. 1
Patofisiologi
Umumnya cedera pada medula spinalis berakibat pada kompresi atau angulasi
hebat dari tulang vertebra. Pada keadaan yang jarang terjadi, timbulnya hipotensi yang
berat mengacu pada keadaan infark dari medula spinalis atau gangguan axial dari
elemen kolumna vertebral yang berakibat pada tertariknya pada medula spinalis.
Kebanyakan cedera medula spinalis mangakibatkan subluksasi dengan atau
tanpa rotasi dari korpus vertebra yang berdekatan yang menekan medula spinalis
diantara tulang yang dislokasi. Pada keadaan yang jarang terjadi, kompresi axial dari
tulang belakang akan menghancurkan atau mendesak korpus vertebra, baik tulang
maupun fragmen diskus intervertebralis dapat keluar dari kanalis spinalis dan
menekan medula spinalis atau arteri spinalis anterior. 2, 3
Etiologi
1. Traumatik : - Kecelakaan kendaraan bermotor 36,8 %
- Jatuh 41,7 %
- Kecelakaan akibat olahraga 11,6 %
- Kejatuhan benda yang mengenai kepala
- Berkelahi 2,7 %
2. Non traumatik : - Degeneratif
- Infeksi atau lesi spinal onkogen 2
Mekanisme Cedera
Kebanyakan cedera medula spinalis berakibat terjadinya fraktur, dislokasi,
atau subluksasi dari tulang vertebra. Kecuali, pada luka tembak yang langsung
merusak medula spinalis karena penetrasi langsung, dengan laserasi pada jaringan
saraf, atau oleh karena cedera pada pembuluh darah.
A. Kecelakaan Kendaraan bermotor
Ketika kendaraan laju katakanlah 70 km/jam, segala sesuatu di dalam
kendaraan itu, termasuk pengemudi juga memiliki kecepatan yang sama. Ketika
tabrakan terjadi dengan kendaraan yang lain, terjadi pengurangan kecepatan tiba
tiba menjadi 0 km/jam. Bila pengemudi menggunakan sabuk pengaman, tubuh
pengemudi dapat menerima perubahan kecepatan yang tiba tiba ini, namun tidak
demikian halnya dengan kepala.
Namun, walau kepala akan tetap terdorong ke depan, struktur vertebra akan
melindunginya dari pemindahan yang lebih jauh. Hal ini kemudian menurunkan
terjadinya gangguan yang lebih berat seperti tertariknya kembali kolumna vertebralis
posterior, dan kerusakan diantara kompleks ligamen dan menutupi prosesus spinosus.
Keadaan ini dikenal sebagai cedera hiperfleksi.
Pada saat yang bersamaan, terjadi juga kompresi yang berat sepanjang
kolumna vertebralis anterior yang berpotensi terhadap terjadinya kerusakan korpus
vertebra. Jika kepala tidak dapat berhenti, maka kepala pengemudi akan kembali ke
tepi atas tempat duduk kemudian turun yang menyebabkan terganggunya dan
kerusakan yang berat pada ligamentum longitudinal anterior dan kompresi posterior
serta fraktur prosesus spinosus, disebut juga cedera hiperekstensi.
Cedera yang terjadi disini biasanya meliputi daerah bawah cervikal, antara C 5
C 7. Tenaga yang dihasilkan dari kecelakaan ini dapat juga menyebabkan kerusakan
yang cukup berat pada vertebra C 1 dan C 2 yang berpengaruh pada medula spinalis,
yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi pada orang tersebut. Pada keadaan ini,
hal yang terburuk yang dapat terjadi adalah kematian.
B. Jatuh
Jika seseorang jatuh dengan bertumpu pada kakinya, 2 kekuatan berjalan
longitudinal sepanjang kolumna vertebralis, yang menyebabkan kompresi pada
vertebra dan medula spinalis. Dikenal sebagai fraktur burst dan fragmen tulang
dapat masuk ke dalam kanalis spinalis. Bisa juga terjadi fraktur pada ekstremitas
bawah.
Jika seseorang jatuh dengan bertumpu pada bokongya, dapat terjadi cedera
hiperfleksi pada area lumbal disertai fraktur kompresi. Bila terjatuh dari tangga,
biasanya selalu dihubungkan dengan cedera hiperekstensi pada leher.
C. Cedera akibat berolahraga
Disini terjadi mekanisme yang sama dengan di atas yaitu: kompresi,
gangguan, hiperfleksi, hiperekstensi dan rotasi. 2, 3
Klasifikasi
Cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan (1) level, (2) beratnya
defisit neurologis, (3) Spinal cord syndrome, dan (4) morfologi
A. Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal dari medula spinalis yang
masih dapat ditemukan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi tubuh.
Cedera pada segmen servikal di atas T 1 medula spinalis menyebabkan
kuadriplegia dan bila lesi di bawah level T 1 menghasilkan paraplegia. Level tulang
vertebra yang mengalami cedera adalah dimana tulang tersebut mengalami kerusakan,
menyebabkan kerusakan pada medula spinalis. Level kelainan neurologis dari cedera
ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis.
B. Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medula spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan paraplegia komplit. Setiap fungsi
sensoris atau motoris di bawah level cedera merupakan cedera yang tidak komplit.
Termasuk dalam cedera tidak komplit adalah :
1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada ekstremitas
bawah
2. Sacral sparing, contoh : sensasi perianal, kontraksi sphincter ani volunter, atau
fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak diklasifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar adanya
preservasi refleks sacral saja, misalnya bulbocavernosus atau anal wink. Refleks tendo
dalam juga mungkin dipreservasi pada cedera tidak komplit.
Untuk menentukan jenis cedera yang komplit, maka medula spinalis harus
benar benar pulih dari keadaan syok spinal, dimana fungsi refleks telah kembali
perlahan lahan. Hal ini terlihat dari adanya refleks bulbocavernosus (BCR). Jika
refleks ini ada, maka syok spinal dikatakan sudah dapat diatasi.
Tabel 1. Klasifikasi neurologik pada cedera medula spinalis
Pemeriksaan
- BCR -
Sensasi - BCR +
Komplit
Sensasi
- BCR +
Inkomplit sensorik
Sensasi +
- BCR +
Sensasi + dan,
fleksi jari +
C. Spinal Cord Syndrome
Sindrom cedera medula spinalis inkomplit terdiri atas :
1. Sindrom medula spinalis anterior
Ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan disosiasi sensoris terhadap
nyeri dan sensasi suhu. Fungsi kolumna posterior (kesadaran posisi, vibrasi,
tekanan dalam) masih dapat ditemukan. Kerusakannya terdapat pada traktus
spinotalamikus dan traktus kortikospinal juga mengenai seluruh kolum dorsalis.
Kadang berhubungan dengan terjadinya cedera pada arteri spinalis anterior.
Sindrom ini mempunyai prognosis terburuk diantara cedera inkomplit
2. Sindrom medula spinalis posterior
Keadaan ini jarang terjadi, kemungkinan karena situasi ini hanya merupakan
tambahan dari sindrom medula spinalis anterior. Pada sindrom ini semua fungsi
perabaan, tekanan dalam, vibrasi dan proprioseptif serta kewaspadaan atau
kinestetik hilang, sementara fungsi motorik dan sensasi nyeri dan suhu masih
dapat dipertahankan.
D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera
medula spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrans. Setiap pembagian tadi diuraikan menjadi stabil dan tidak stabil. Oleh
karena itu, semua penderita dengan bukti foto rontgen adanya cedera dan semua
penderita dengan defisit neurologis harus dianggap mempunyai cedera tulang
belakang yang tidak stabil.
Klasifikasi menurut Frankel (Frankel Grading)
Adalah metode yang sudah ditetapkan dalam menilai defisit fungsional setelah
terjadi cedera medula spinalis yang inkomplit
Grade A : Komplit, tidak ada fungsi motorik maupun sensorik
Grade B : Sensorik masih berfungsi, sedangkan motorik tidak berfungsi
Grade C : Sensorik masih berfungsi, masih terdapat fungsi motorik namun tidak
bekerja secara maksimal
Grade D : Sensorik masih berfungsi, kekuatan motorik ada dan berfungsi maksimal
Grade E : Fungsi sensorik maupun motorik normal
Namun pada tahun 1992, Frankel grading telah diganti menjadi suatu sistem
klasifikasi oleh American Spinal Injury Association (ASIA) menjadi skala
kerusakan, yang berdasarkan kategori :
A : Komplit : Tidak terdapat lagi fungsi motorik maupun sensorik pada
segmen sacral 4 5
B : Inkomplit : Sensorik masih ada, namun fungsi motorik tidak berfungsi dibawah
level neurologik dan meluas sampai segmen sakral 4 5
C : Inkomplit : Fungsi motorik masih terpelihara dibawah level neurologik dan
kekuatan yang masih dapat dimliki oleh otot di bawah level neurologik
kebanyakan kurang dari 3
D : Inkomplit : Fungsi motorik masih terpelihara dibawah level neurologik dan
kekuatan yang masih dapat dimiliki oleh otot di bawah level neurologik
kebanyakan lebih besar atau sama dengan 3
E:
Hasil Pemeriksaan
Kelumpuhan total
Teraba atau terasa kontraksi
Gerakan tanpa menahan gaya berat
Gerakan melawan gaya berat
Gerakan ke segala arah, tetapi kekuatan kurang
Kekuatan normal
Tidak dapat diperiksa
Gejala Klinis
Setiap pasien yang dicurigai menderita cedera medula spinalis harus
diimobilisasikan dengan cervical collar yang keras dan backboard.
Jika pasien sadar, anamnesa sebaiknya dilakukan secepat mungkin, meliputi
informasi mengenai kejadian yang sebenarnya dan gejala neurologis apa sajakah yang
dirasakan pasien. Keluhan seperti mati rasa dan kelemahan harus diperhatikan dengan
hati hati.
Untuk memeriksa adanya kelemahan, pasien disuruh untuk menggerakkan
tangan dan kakinya secara spontan dan melawan tahanan. Penilaian terhadap sensoris
dari ekstremitas, leher, dan wajah juga sebaiknya harus dilakukan. Palpasi pada tulang
belakang dengan meraba dengan tangan dibawah tubuh pasien dengan pergerakan
tulang belakang yang minimal dapat menunjukkan terdapat atau tidaknya deformitas.
Refleks tendon yang dalam harus dievaluasi pada daerah lengan dan kaki,
dimana hilangnya refleks pada tempat tersebut dapat membantu mengetahui dimana
level cederanya. Hilangnya refleks kontraksi abdominal sampai stimulasi kulit dari
abdomen bawah menunjukkan lokasi cedera diantara daerah T 9 T 11. Hilangnya
refleks kremaster menunjukkan lokasi cedera pada daerah T 12 L 1. 2
Evaluasi Radiologik
Foto lateral merupakan pemeriksaan rontgen yang paling informatif.
A. Vertebra Servikalis
Harus dilakukan pemeriksaan foto lateral vertebra servikal pada seluruh kasus
yang dicurigai mengalami cedera servikal, setelah dilakukan identifikasi dan kontrol
gangguan yang mengancan jiwa. Ada 7 hal yang sebaiknya diperhatikan , pertama
dasar tengkorak dan seluruh ke 7 vertebra servikal dan T 1 harus tampak dalam
rontgen. Kedua, gambaran soft tissue untuk membuktikan ada tidaknya swelling pada
perbatasan anteroinferior C 3. Bila lebih dari 5 mm, hal ini dapat dijadikan bukti
terjadinya cedera. Ketiga, evaluasi terhadap konfigurasi korpus vertebra servikal.
Keempat, penilaian terhadap kesegarisan dari tulang belakang. Kelima, penilaian
terhadap kesegarisan dan konfigurasi dari sendi faset pada setiap level. Keenam,
memeriksa apakah terjadi fraktur pada prosesus spinosus atau pelebaran diantaranya.
Terakhir, memeriksa artikulasi atlantoaksial untuk memeriksa integritas dan
kesegarisannya.
B. Regio Torakolumbal
Area yang mesti diperhatikan adalah konfigurasi dari korpus, ekstensi atau
garis fraktur pada pars interarticularis, lamina, dan prosesus spinosus serta sudut dari
tulang belakang.
C. CT Scan dan MRI
CT Scan berguna untuk memperlihatkan detail tulang, juga merupakan
pemeriksaan yang sangat baik untuk menentukan derajat kelainan kanalis spinalis. CT
dengan intratekal metrizamide dapat menggambarkan outline dari medula spinalis dan
mengetahui kompresi medula spinalis.
MRI memberikan gambaran yang baik tentang tulang belakang, diskus dan
medula spinalis dan merupakan pilihan prosedur diagnostik pada pasien dengan
cedera medula spinalis. 2
Penatalaksanaan
Pre Rumah sakit
Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan imobilisasi sebelum transfer
penderita ke UGD. Setiap penderita akibat kecelakaan, khususnya bila tidak sadar
semestinya dipikirkan menderita cedera medula spinalis. Setiap penderita yang
dicurigai mengalami cedera tulang belakang harus diimobilisasi di bagian atas dan
bawah bagian yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan rontgen. Pada fase tujuan yang diharapkan adalah menjaga
kelangsungan hidup. Penilaian terhadap airway, breathing dan sirkulasi merupakan
pemeriksaan parameter yang penting.
Imobilisasi yang tepat dilakukan pada penderita dengan posisi netral, seperti
berbaring terlentang tanpa rotasi atau membengkokan tulang belakang pada spine
board. Bila terdapat defisit neurologis, perlu secepatnya melepas penderita dari spine
board untuk mencegah terjadinya dekubitus. Stabilisasi dicapai dengan tehnik logroll,
memakai long spine board, atau pengikat.
Pasien sebaiknya berada setidaknya 15 pada posisi Trendelenburg untuk
meminimalkan
terjadinya
aspirasi
dan
syok
yang
mengancam
jiwa.
Pemasangan oksigen perlu dilakukan pada setiap pasien dengan cedera medula
spinalis akut untuk mengoptimalkan kebutuhan oksigen arteri.
Hindarkan terjadinya fleksi leher dan juga hiperekstensi. Lakukan segera
intubasi pada penderita cedera medula spinalis bila terdapat adanya bukti gangguan
respirasi.
Manajemen di Rumah Sakit
Setibanya di Rumah Sakit sebaiknya fungsi airway dan pernapasan dinilai
kembali, bila perlu juga dilakukan intubasi. Pada pasien dengan cedera medula
spinalis yang tinggi sampai mid cervical, diperiksa juga adanya kerusakan pada fungsi
diafragma karena phrenik motorneuron berlokasi pada segmen servikal ke 3 5 dari
substansi abu abu medula spinalis. Fungsi otot-otot interkostal juga bisa menurun
pada pasien cedera medula spinalis, sehingga oleh karena itu kapasitas vital harus
dimonitoring. 2, 3, 4, 5
REFERAT
Pembimbing :
dr. AYUB L. PATTINAMA, SpS
Disusun Oleh :
JUNIFER ARITONANG
(02- 034)
Daftar Pustaka