Anda di halaman 1dari 4

Dampak Pertanian Konvensional

Dari pengalaman selama berpuluh tahun di semua negara, penerapan pertanian konvensional
tidak membawa keadaan yang lebih baik tetapi justru menimbulkan masalah-masalah baru.
Penerapan teknologi pertanian konvensional secara luas dan seragam mengakibatkan dampak
negatif bagi lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Menurut Gliessmann
(2007) dampak samping pertanian konvensional meliputi:
1. Degradasi dan Penurunan Kesuburan Tanah.
2. Penggunaan Air Berkelebihan dan Kerusakan Sistem Hidrologi.
3. Pencemaran Lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan.
4. Ketergantungan petani pada Input-input Eksternal.
5. Kehilangan Diversitas Genetik seperti berbagai jenis tanaman dan varietas tanaman pangan
lokal/tradisional.
6. Peningkatan kesenjangan Global antara negara-negara industri dan negara-negara
berkembang
7. Kehilangan Pengendalian Komunitas Lokal terhadap Produksi Pertanian
Pertanian Konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan serta semakin menghabiskan
energi dari sumberdaya alam tidak terbarukan. Harga energi semakin lama semakin meningkat
karena persediaan bahan bakar fosil semakin habis. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan yang
diperoleh dari pertanian konvensional semakin menurun. Fenomena pertanian konvensional
dengan segala dampak sampingnya tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi sudah dan
sedang terjadi diIndonesia, termasuk dalam pelaksanaan program ketahanan pangan. Kondisi
lingkungan dan ekonomi di ekosistem persawahan kita sudah sedemikian kritis sehingga sulit
untuk melaksanakan kegiatan intensifikasi pertanian secara efektif dan efisien. Berbagai bentuk
pemborosan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya sedang terjadi di lahan-lahan sawah dan
pedesaan saat ini. Kita akan mewarisi generasi mendatang dengan kerusakan dan biaya
lingkungan yang sangat mahal yang sulit untuk dikembalikan lagi.
Dengan kesadaran manusia akan lingkungan dan masa depan bumi, praktek Pertanian
Konvensional secara bertahap harus diubah dan dikonversikan menjadi Pertanian Berkelanjutan
yang bertumpu pada kemampuan, kemandirian dan kreativitas petani dalam mengelola
sumberdaya lokal yang mereka miliki. Dukungan politik Pemerintah terhadap konversi pertanian
konvensional ke pertanian berkelanjutan harus jelas, tegas dan konsisten agar ekosistem
pertanian di Indonesia dapat segera diselamatkan dan dihindarkan dari kerusakan yang lebih
parah.
Ketidakberdayaan Petani
Penerapan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada
teknologi pertanian konvensional membuat petani dan kelompok tani semakin tidak berdaya,
tidak mandiri dan tidak percaya diri. Mereka sangat tergantung pada uluran tangan pihak-pihak
lain terutama pemerintah, pengusaha dan peneliti. Dengan ketergantungan tersebut berbagai
potensi, aktivitas, kreatifitas dan kearifan petani menjadi tersumbat dan tidak dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan bangsa.
Berbagai kendala yang dihadapi petani yang meliputi kendala internal seperti keterbatasan bibit,
air, pupuk, pestisida, modal, pengetahuan dan teknologi serta kendala eksternal seperti akses
pasar, penetapan harga, perubahan iklim dan lain-lainnya telah digunakan oleh Pemerintah
sebagai alasan melakukan intervensi dalam proses pengambilan keputusan petani dalam
mengelola lahannya sendiri yang terbatas. Ketergantungan petani pada Pemerintah, pengusaha
sarana produksi serta rekomendasi peneliti membuat petani semakin tidak mampu dan tidak

berani mengambil keputusan yang terbaik dalam mengelola produksi pertanian yang sesuai
dengan keberadaan dan potensi mereka sendiri yang sangat khas lokal.
Petani selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dalam program pembangunan pertanian yang
dirancang dan dilaksanakan Pemerintah yang didukung oleh pengusaha dan peneliti, termasuk
peneliti dari Perguruan Tinggi. Bagi Pemerintah petani sampai saat ini masih dianggap sebagai
obyek berbagai program dan proyek pembangunan pertanian. Bagi pengusaha petani dianggap
sebagai pasar potensial banyak jenis produk-produk industri pertanian seperti benih, pupuk,
pestisida dan alat mesin pertanian. Bagi sebagian peneliti dan akademisi, petani dianggap sebagai
obyek kegiatan penelitian serta sebagai pengguna akhir hasil kegiatan atau proyek penelitian
yang dilaksanakan atas biaya dari lembaga pemerintah atau swasta sesuai dengan "pesan-pesan"
tertentu. Banyak kegiatan penelitian universitas yang kurang relevan dan tidak sesuai dengan
kebutuhan petani. Persepsi dan orientasi peneliti tentang suatu permasalahan lapangan seringkali
berbeda dengan persepsi dan orientasi petani. Di samping banyak topik penelitian para peneliti
yang kurang relevan, juga sebagian besar hasil-hasil penelitian tidak sampai pada tangan petani.
Pemberdayaan Petani melalui SLPHT
Program/Proyek Pemerintah yang dinilai paling berhasil dalam lebih memberdayakan petani
adalah pelatihan petani untuk menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui
program SLPHT (Sekolah Lapangan PHT). Sejak 1989 sampai sekarang lebih dari satu juta
petani Indonesiasudah mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan
dukungan dana APBN, APBD, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Program SLPHT
terutama dipusatkan pada pelatihan para petani padi di sentra-sentra beras di beberapa propinsi.
Sampai saat ini, SLPHT juga diselenggarakan untuk melatih para petani palawija, sayuran
dataran rendah, sayuran dataran tinggi dan perkebunan.
Asas-asas SLPHT padi adalah menggunakan sawah selama satu musim tanam sebagai sarana dan
tempat belajar utama bagi petani untuk mengelola ekosistem pertanian secara berkelanjutan.
Cara belajar lewat pengalaman oleh petani dengan melakukan pengamatan agroekosistem,
mengungkapkan dan menganalisis hasil pengamatan, serta menyimpulkan dan menerapkan
teknologi dengan metode serta bahan yang praktis dan sesuai dengan kondisi ekosistem dan
petani yang khas lokal.
Selama satu musim tanam petani bersama kelompoknya belajar sendiri dan memutuskan sendiri
teknologi pertanian yang paling tepat yang bisa mereka lakakukan sehingga mereka tidak
tergantung pada orang-orang atau pihak-pihak lain. Mengamati, menghitung, mengukur,
membandingkan, menganalisis, membuat hipotesis serta mengambil kesimpulan atas dasar
penalaran ilmiah, merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada setiap hari pertemuan. Bila
petani ingin mendalami topik-topik khusus yang ingin mereka ketahui, mereka dilatih melakukan
berbagai bentuk pengujian dan percobaan yang mereka rancang dan amati bersama. Hasil
pengujian dan percobaan tersebut menghasilkan beberapa teknologi yang menurut keyakinan
mereka dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Topik-topik khusus meliputi berbagai
masalah pengelolaan ekosistem termasuk budidaya tanaman, pengelolaan tanah dan pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit tanaman sampai masalah pengolahan dan pemasaran hasil
(Untung, 2007).
Setelah petani menyelesaikan satu periode SLPHT (disebut "alumni" SLPHT) banyak
pengalaman, pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan coba-coba yang mereka peroleh di
SLPHT kemudian diterapkan dan dilanjutkan di lahan sawahnya masing-masing. Dalam
menerapkan berbagai prinsip dan teknologi PHT para petani alumni SLPHT selalu
melaksanakannya secara terpadu, holistik dan berkelompok dalam kelompok taninya masing-

masing. Hasil positif yang dirasakan petani setelah melalui pengalaman bertahun-tahun, para
alumni SLPHT merasa semakin mampu menyelesaikan berbagai permasalahannya selama ini
secara mandiri.
Sejak penyelenggaraan SLPHT, banyak konsep dan teknologi yang ditemukan sendiri oleh petani
alumni SLPHT di banyak propinsi dan pada banyak komoditi pertanian (pangan, hortikultura,
perkebunan). Beberapa teknologi kreasi petani dapat menghasilkan keluaran yang secara ekologi
dan ekonomi lebih baik daripada teknologi hasil para peneliti dan lembaga-lembaga penelitian,
termasuk peneliti Universitas. Berbeda dengan temuan para peneliti maka hasil temuan petani
dengan cepat dan luas diseminasikan pada para petani di tingkat lokal, daerah, nasional dan
bahkan sampai tingkat global. Kelihatannya proses diseminasi hasil percobaan ke pengguna
akhir lebih cepat dan efektif melalui jaringan komunikasi petani daripada melalui prosedur
birokrasi pemerintah. Hasil-hasil dan perolehan tersebut membuat petani lebih percaya diri dan
ingin disejajarkan dengan kelompok peneliti profesional yang bekerja di lembaga-lembaga
penelitian pertanian dan universitas.
Konsep Sains Petani
Dari pengalaman-pengalaman tersebut di atas kelompok petani alumni SLPHT memunculkan
istilah Sains Petani yang mungkin saya artikan sebagai suatu sains yang dikembangkan dengan
prinsip: " dari, oleh dan untuk petani". Petani alumni SLPHT menyadari bahwa penyelesaian
permasalahan lapangan yang dinamis tidak dapat dilakukan dengan mengikuti kebiasaan orang
tua atau orang sekitarnya tetapi harus dapat dibuktikan dengan penalaran ilmiah. Caranya adalah
dengan melakukan percobaan, pengkajian, pengamatan, analisis dan pengambilan kesimpulan
tentang penyelesaian masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan petani setempat.
Kegiatan-kegiatan percobaan dan pengkajian tersebut dilaksanakan sendiri oleh petani dan
kelompok tani. Bila dipandang perlu dapat dilaksanakan bekerjasama dengan pihak-pihak lain,
termasuk peneliti dari universitas. Petani sudah memiliki modal untuk mengembangkan dan
menerapkan Sains Petani yang berupa intuisi, pengalaman, pengetahuan dan budaya baru dalam
mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan segala sumberdaya yang mereka miliki, termasuk
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber dana yang terbatas.
Konsep Sains Petani perlu ditanggapi oleh komunitas peneliti di lembaga-lembaga penelitian dan
uniiversitas secara positif dan kreatif. Meskipun dalam pihak lain gagasan Sains Petani dapat
dianggap sebagai tantangan dan kritik bagi pemerintah, universitas dan para peneliti agar mereka
meninjau kembali kebijakan, strategi dan program yang menempatkan petani pada posisi lemah,
yaitu di bawah posisi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Universitas. Kita harus menempatkan
petani pada posisi yang sejajar sebagai mitra kerja Pemerintah, lembaga Penelitian dan
Universitas dalam melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian.
Petani memerlukan pengakuan, dukungan serta kerjasama yang positif untuk mengembangkan
Sains Petani sehingga petani secara mandiri mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas
temuan, kearifan dan teknologi petani yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan sosial
budaya setempat yang beranekaragam. Diharapkan bahwa dengan kerjasama antara "petani
peneliti" dengan para peneliti universitas dapat memperkaya dan memajukan khazanah ilmu
pengetahuan kita.
Kesimpulan
1.
Program Ketahanan Pangan untuk mencapai sasaran produksi pangan jangka pendek
semakin memojokkan petani pada posisi lemah, terpinggirkan serta tidak berdaya.
2.
Petani tidak mampu secara mandiri mengambil keputusan mengenai pengelolaan lahan
sawahnya yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

3.
Penerapan teknologi pertanian konvensional termasuk untuk peningkatan produksi
pangan mengakibatkan dampak samping negatif bagi lingkungan, sosial budaya serta secara
ekonomi semakin tidak efektif dan efisien.
4.
Pelatihan SLPHT mampu mengubah petani alumni SLPHT dari budaya pasif tidak
berdaya menjadi budaya aktif, kreatif, inovatif dan berwawasan ilmiah.
5.
Sains Petani sebagai suatu ilmu yang dikembangkan dengan prinsip "dari, oleh dan
untuk" petani merupakan pernyataan kemandirian dan kemampuan petani sekaligus sebagai
koreksi bagi komunitas peneliti pertanian yang masih mempertahankan kesenjangan komunikasi
dengan petani.
6.
Konsep Sains Petani perlu ditanggapi secara positif dan kreatif oleh para peneliti, yaitu
dengan menerapkan kemitraan kerja sejajar dengan para petani.

Anda mungkin juga menyukai