Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Pada saat ini jumlah kasus masih tetap
tinggi rata-rata 10-25 per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun
bermakna <2%. Umur terbanyak infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun,
walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spektrum klinis infeksi dengue
dapat dibagi menjadi 1. Gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue
infection), 2. Demam dengue (DD), 3. Demam berdarah dengue (DBD) dan 4. Demam
berdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue/DSD)
DBD telah menjadi masalah kesehatan bukan hanya di Indonesia tetapi di juga
di negara lain di Asia Tenggara. Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus
DBD telah meningkat sehingga Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis. Sejak
tahun 1956 sampai 1980 di seluruh dunia kasus DBD yang memerlukan rawat inap
mencapai 350 000 kasus per tahun sedang yang meninggal dilaporkan hampir mencapai
12 000 kasus. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang merupakan anggota
genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.Terdapat 4 serotipe virus dengue yang disebut
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Oleh karena ditularkanmelalui gigitan artropoda
maka virus dengue termasuk arbovirus.Vektor DBD yang utama adalah nyamuk Aedes
aegypti. DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan
demam akut, trombositopenia, netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular
meningkat yang ditandai dengan kebocoran plasma ke jaringan

interstitial

mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia dan hiponatremia yang


akan menyebabkan syok hipovolemik.

BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE
Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa
rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.[1]
Vektor
Virus dengue ditularkan melalui gigitan banyak spesies nyamuk Aedes (antara lain
Aedes aegypti dan Aedes albopictus).[2] Nyamuk berasal dari family Stegomyia.
Nyamuk ini terutama terdapat di daerah tropis dan subtropis. [6] Aedes aegypti yang
menggigit pada pagi hingga sore hari adalah vektor utama virus. Nyamuk berkembang
biak di tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah. Virus
dengue juga ditemukan pada nyamuk Aedes albopictus yang berkembang biak di air
yang terperangkap diantara tumbuhan.[2] Karena suhu rendah nyamuk tidak dapat hidup
pada ketinggian diatas 1000 meter. Telur dapat bertahan selama berbulan-bulan tanpa
adanya air.Larva tumbuh di air yang disimpan untuk minum, mandi, atau air hujan yang
ditampung di dalam bak. Nyamuk betina tumbuh menjadi dewasa di dalam ruangan
tertutup.[6] Sekali terinfeksi virus, nyamuk akan terinfeksi selamanya dan menularkan
virus jika menggigit manusia. Nyamuk betina juga menularkan virus kepada anaknya
melalui penularan transovarium.[2]

Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.[1]
Epidemiologi
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga awal
abad 20. Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di Asia
Pasifik, Australia bagian utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan Amerika
tengah. Demam dengue sering terjadi pada orang yang bepergian ke daerah ini. Pada
daerah endemic dengue, orang dewasa seringkali menjadi imun, sehingga anak-anak
dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi virus ini.[5]

Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.(4)


Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti. Merah : area infestasi Aedes aegypt
idan epidemic dengue
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan
beberapa serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS
paling banyak terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun.
Frekuensi kejadian DSS paling tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang
sebelumnya terkena infeksi virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti
dengue antibody. Transmisi penyakit biasanya meningkat pada musim hujan. Suhu yang
dingin memungkinkan waktu survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat
tranmisi meningkat.[2]
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan
Case Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat
tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi
diantara semua negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta
dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.[4]
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.[1]
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu
30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah
penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai
saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat,
maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada

umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga
kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.[1]
Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.[2]
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus

antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.


Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.[2]
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
[2]

Secondary heterologous dengue infection


Replikasi virus

Anamnestic antibody
response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a)

Komplemen
Histamin dalam urin
meningkat

Permeabilitas kapiler
> 30% pada
kasus syok 24-48 jam

Perembesan plasma
Hipovolemia

Ht
Natrium
Cairan dalam
rongga
serosa

Syok
Anoksia

Asidosis
6

Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[2]
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan
peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.[2]
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus

Anamnestic antibody

Kompleks virus antibody


Agregasi trombosit
Penghancuran
trombosit oleh RES

Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen


Pengeluaran
platelet faktor III

Aktivasi faktor Hageman

Anafilatoksin
Trombositopenia
Gangguan
fungsi trombosit
permeabilitas

Koagulopati
konsumtif

Sistem kinin
Kinin

Peningkatan

penurunan faktor
pembekuan

kapiler
FDP meningkat

Perdarahan massif

syok
7

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[2]


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.[1]
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan
tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian
infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile
illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).[1]
Bagan 1
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue[2]
Infeksi virus dengue
Asimptomatik

Simptomatik

Demam tidak spesifik

Demam dengue

Perdarahan (-)

Perdarahan (+)

Syok (-)

Syok (+)
(SSD)

Demam Dengue

Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadangkadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk
makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang
tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama
di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni.
Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada
dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai
dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna,
hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue
tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran
plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.[1]
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan
plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit.[2]
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari,
disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,
tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium
dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama
pada bayi.[2]
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada
fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan,
perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya
membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae

kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.[2]
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan
perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat
mengalami syok.[2]
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:[2]

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik


Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit

>20%

setelah

mendapat

terapi

cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya


o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan adalah uji tourniquet.

Derajat II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


perdarahan lain.

Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,


tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.

Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.[2]Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada
gambar 4
10

Gambar 4. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)


Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan
nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera
disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa
nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit
atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat
kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi
tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan
antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama
sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya
penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.[1]
Sindrom Syok Dengue (SSD)
11

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3
sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke
dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi
cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian
cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui
atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai
penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga
memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3
hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada
kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu
makan.[1]
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis)
dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak
lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.[1]
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu:[2]
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Haemagglutination Inhibition test : HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai sebagai gold
standard. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Uji ini sensitif tapi tidak spesifik, tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai >48 tahun, maka baik untuk studi
sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x dari titer serum akut atau
titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai
presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi
(recent dengue infection).

2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test : CF test)

12

Jarang dipergunakan secara rutin, oleh karena selain rumitnya prosedur


pemeriksaan, juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja.
3. Uji neutralisasi (Neutralization test : NT test)
Merupakan uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT)
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih
cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (4-8 tahun).Uji ini juga
rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac. Elisa)
Pada tahun terakhir ini merupakan uji serologis yang banyak dipakai. Mac Elisa
adalah singkatan dari IgM captured Elisa, dimana akan mengetahui kandungan
IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti
dengan timbulnya IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat ditentukan
diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan
setelah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitivitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan
uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesivisitas yang
sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Sebanding dengan uji HI, tapi lebih spesifik. Terdapat beberapa merek dagang untuk
uji infeksi dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM
Elisa, IgG Elisa.[1]
Pada infeksi primer dan skunder dengue, antidengue immunoglobulin (Ig) M
antibodi muncul. IgM menghilang setelah 6-12 minggu, dapat digunakan untuk
memperkirakan waktu infeksi dengue. Pada infeksi primer dengue yang kedua,
kebanyakan antibodi berasal dari IgG. Diagnosi serologis tergantung kepada
peningkatan empat kali atau lebih titer IgG antibody pada serum yang dilihat pada
hemagglutination inhibition, complement fixation, enzyme immunoassay, or

13

neutralization test. Immunoglobulin IgM- and IgG-capture enzyme immunoassays


sekarang digunakan secara luas untuk mengidentifikasi fase akut antibodi pada
serum pasien dengan infeksi dengue primer atau skunder. Sebaikanya sampel
dikumpulkan setelah hari ke 5 dan sebelum minggu ke 6 setelah onset.(9)

Gambar 10

Respon Imun Pada Infeksi Dengue

Sangat sulit untuk menentukan tipe virus hanya dengan metode serologis,
terutama jika sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dari kelompok arbovirus. Virus
dapat diperoleh dari serum fase akut dan diinokulasi pada kultur jaringan atau
nyamuk hidup. RNA virus dapat dideteksi pada darah atau jaringan melalui DNA
yang diamplifikasi melalui PCR.[2]
Diagnosis Banding[3]
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus,
atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam
chikungunya, leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada
DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip
dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan
demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu
disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri

14

sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan
DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu
jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri
pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan
infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat
II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari
pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP
demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai
leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis.
Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia.
pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan
trombosit menurun). Pada pasien dengan perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks
dan atau kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.[1]

Penatalaksanaan
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:

Tirah baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

15

Untuk menurunkan suhu menjadi <39C, dianjurkan pemberian parasetamol.


Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.


Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda

penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi


yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan
akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan
pada DBDterdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat
terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien
dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan
kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat
dingin, hal tersebut merupakan tandakegawatan, sehingga harus segera dibawa segera
ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3
hari, tidak perlu lagi diobservasi.Tatalaksana DD tertera pada Bagan 1 (Tatalaksana
tersangka DBD).[1]
2. Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma
dangangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dangangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan
awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar
hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan

16

jumlah trombosit sampai <100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata
dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan
plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau
ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan
hematokrit yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit <50.000/l. Secara
umum pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C
dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B danA.[6]
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadangkadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD.[6]
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi,anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, airteh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kgBB dalam
4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan
80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus
diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama demam.[6]
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase
demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberiancairan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin
dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.[1]

17

Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.[1]
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tandavital, kadar
hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairanharus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah5-8%.[1]
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidakmau
minum, demam tinggi sehingga tidak rmungkin diberikan minum per oral, ditakutkan
terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)Nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan
tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat
7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.[1]
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan
yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang.[1]
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai denganderajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari
tabel 3 berikut.[1]

Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg)
10
10-20

Jumlah cairan (ml)


100 per kg BB
1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
18

>20

1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)

Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),
maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu
cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan[1]
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah,
tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan
mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus
walaupun telah diberi cairan intravena.[1]
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid

Larutan ringer laktat (RL)

Larutan ringer asetat (RA)

Larutan garam faali (GF)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh


larutan yang mengandung dekstran)

Koloid

Dekstran 40

Plasma

Albumin
19

3. Sindrom Syok Dengue


Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatanyang
utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan
cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan
cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan
menjadi 10 ml/kgBB.[1]
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih,
diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 ml/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan
pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syokbelum dapat teratasi
setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairankoloid (dekstran 40 atau plasma) 10
ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberiankoloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian
transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah
dalam volume kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis
dan kadar hematokrit.[1]
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak
dianjurkan lagi.[1]
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa

20

keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi
reabsorpsiplasma

dari

ekstravaskular

(ditandai

dengan

penurunan

kadar

hematokritsetelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia


dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saatreabsorbsi
plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresiscukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.[1]
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks.[1]
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat
KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.[1]
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat
pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.[1]
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi
darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai
hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa
perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda
adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan
karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan
21

perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan
masif sehingga dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu
tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus
diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID.
Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.[1]
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secarateratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan padamonitoring
adalah:

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,


jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.


Pada

pengobatan

syok,

kita

harus

yakin

benar

bahwa

penggantian

volumeintravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis


belumcukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan
diperkuatdengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlahdiuresis, kadar
ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabiladiuresis tetap belum
mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksidengan baik, maka pemberian
dopamin perlu dipertimbangkan.[1]

Kriteria Memulangkan Pasien :(6)


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini :
1.Tampak perbaikan secara klinis
2.Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3.Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
22

4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi
dalam 3 bagian, yaitu:[2]
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan
4)

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]


Tersangka
TersangkaDBD
DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
dugaan infeksi virus dengue lebih kuat.
23

Ada kedaruratan

Tidak ada kedaruratan

Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah

Periksa uji torniquet


Uji torniquet (+)
(Rumple Leede)

Jumlah trombosit
<100.000/l
Tatalaksana
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)

Uji torniquet (-)


(Rumple Leede)

Jumlah trombosit
Rawat Jalan
>100.000/l
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam hilang

Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
hari.

Nilai tanda klinis


periksa PLT, Hb, Ht
bila masih demam
menetap setelah hari
ke-3.

Perhatian untuk orang tua


Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik
Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II


tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBDderajat
derajatIIatau
atauIIIItanpa
tanpapeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit
DBD
Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
24

Uji torniquet (+) atau


perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum
Beri minum banyak 1-2 liter/hari
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >38,5oC beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsi
Sesuai berat badan

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Perbaikan klinis dan laboratoris

Pasien tidak dapat minum


Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,9%:


dekstrosa 5% (1:3)
tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam,trombosit
Tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Infus ganti RL
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 3)

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan


hematokrit >20%[2]
DBDderajat
derajatIIatau
atauIIIIdengan
denganpeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit>20%
>20%
DBD
Cairan awal
25

RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5


6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tek.darah stabil
Diuresis cukup
(1 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2x pemeriksaan)

Tanda vital memburuk


Ht meningkat

Tetesan dikurangi

Tidak ada perbaikan


Gelisah
Distress pernafasan
Frek.nadi naik
Ht tetap tinggi/naik
Tek.nadi <20 mmhg
Diuresis </tidak ada

Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan

5 ml/kgBB/jam

Evaluasi 12-24 jam


Tanda vital tidak stabil

Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg

3 ml/kgBB/jam
IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan
diuresis cukup

Koloid
20-30 ml/kgBB

Perbaikan

Ht/Hb turun

Transfusi darah segar


10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
- Perdarahan masif

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV


(Sindrom Syok Dengue/SSD)[6,2]
DBD derajat III & IV
26

DBD derajat III & IV


1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit)
2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi >20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstrimitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
Ht stabil dalam 2x
Pemeriksaan
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi

Syok tidak teratasi


Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi <20 mmHg
Distress pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah
1. Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP 10-20 (max 30) ml/kg/jm
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi

Syok teratasi
Ht turun

Ht tetap tinggi/naik

Transfusi darah segar


10 ml/kgBB
Koloid 20 ml/kgBB
dapat diulang sesuai
kebutuhan

Pemberantasan Demam Berdarah Dengue

27

Kegiatan pemberantasan DBD terdiri atas kegiatan pokok dan kegiatan


penunjang. Kegiatan pokok meliputi pengamatan dan penatalaksaan penderita,
pemberantasan vektor, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi.[3]
Kegiatan pokok
1. Pengamatan dan penatalaksanaan penderita
Setiap penderita/tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit/puskesmas
dilaporkan secepatnya ke Dinas Kesehatan Dati II. Penatalaksanaan penderita
dilakukan dengan cara rawat jalan dan rawat inap sesuai dengan prosedur diagnosis,
pengobatan dan sistem rujukan yang berlaku.[3]
2. Pemberantasan vektor
Pemberantasan sebelum musim penularan meliputi perlindungan perorangan,
pemberantasan sarang nyamuk, dan pengasapan. Perlindungan perorangan untuk
mencegah gigitan nyamuk bisa dilakukan dengan meniadakan sarang nyamuk di
dalam rumah dan memakai kelambu pada waktu tidur siang, memasang kasa di
lubang ventilasi dan memakai penolak nyamuk. Juga bisa dilakukan penyemperotan
dengan obat yang dibeli di toko seperti mortein, baygon, raid, hit dll.[3]
Pergerakan pemberantasan sarang nyamuk adalah kunjungan ke rumah/tempat
umum secara teratur sekurang-kurangnya setiap 3 bulan untuk melakukan
penyuluhan dan pemeriksaan jentik. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuluh dan
memotivasi keluarga dan pengelola tempat umum untuk melakukan PSN secara
terus menerus sehingga rumah dan tempat umum bebas dari jentik nyamuk Ae.
aegypti. Kegiatan PSN meliputi menguras bak mandi/wc dan tempat penampungan
air lainnya secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat TPA,
membersihkan halaman dari kaleng, botol, ban bekas, tempurung, dll sehingga tidak
menjadi sarang nyamuk, mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung,
mencegah/mengeringkan air tergenang di atap atau talang, menutup lubang pohon
atau bambu dengan tanah, membubuhi garam dapur pada perangkap semut, dan
pendidikan kesehatan masyarakat.[3]
Pengasapan masal dilaksanakan 2 siklus di semua rumah terutama di kelurahan
endemis tinggi, dan tempat umum di seluruh wilayah kota. Pengasapan dilakukan di
dalam dan di sekitar rumah dengan menggunakan larutan malathion 4% (atau
fenitrotion) dalam solar dengan dosis 438 ml/Ha.[3]
3. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi

28

Penyuluhan perorangan dilakukan di rumah pada waktu pemeriksaan jentik


berkala oleh petugas kesehatan atau petugas pemeriksa jentik dan di rumah
sakit/puskesmas/praktik dokter oleh dokter/perawat. Media yang digunakan adalah
leaflet, flip chart, slides, dll.[3]
Penyuluhan kelompok dilakukan kepada warga di lokasi sekitar rumah
penderita, pengunjung rumah sakit/puskesmas/ posyandu, guru, pengelola tempat
umum, dan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.[3]
Evaluasi operasional dilaksanakan dengan membandingkan pencapaian target
masing-masing kegiatan dengan direncanakan berdasarkan pelaporan untuk
kegiatan pemberantasan sebelum musim penularan. Peninjauan di lapangan
dilakukan untuk mengetahui kebenaran pelaksanaan kegiatan program.[3]
Kegiatan penunjang
Kegiatan penunjang yang dilakukan adalah peningkatan keterampilan tenaga
melalui pelatihan, penataran, bimbingan teknis dan penyebarluasan buku petunjuk,
publikasi dll.
Pelatihan diberikan kepada teknisi alat semprot, petugas pemeriksa jentik, kader,
dan tenaga lapangan lainnya sedangkan pentaran diberikan kepada petugas sanitasi
puskesmas, dokter/kepala puskesmas, para medis, petugas pelaksana pemberantasan
DBD Dinas Kesehatan. Selain itu diadakan pertemuan/rapat kerja di berbagai
tingkat mulai dari puskesmas sampai tingkat pusat.[3]
Penelitian dilaksanakan dalam rangka mengembangkan

teknologi

pemberantasan meliputi aspek entomologi, epidemiologi, sosioantropologi, dan


klinik. Penelitian diselenggarakan oleh Depkes, perguruan tinggi, atau lembaga
penelitian lainnya.[3]

PROGNOSIS
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif
atau didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue.
Pada DBD kematian terjadi pada 4050% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan
intensif, kematian dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan
dengan terapi suportif awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang
diakibatkan oleh syok berkepanjangan atau terjadi pendarahan intracranial.

29

30

Anda mungkin juga menyukai