Anda di halaman 1dari 42

R.L.

Stine
Hantu Sekolah
(Goosebumps # 59)
Ebook inggris by Undead
Penerjemah Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
1
Tangan tak terlihat itu meraihku dan menarikku dari tangga.
Aku mendarat di punggungku di lantai gedung olahraga dengan suatu "Ooooh!"
Kepalaku bergedebuk keras saat membentur lantai.
Aku bangkit perlahan-lahan, berkedip keras, mencoba untuk mengusir rasa kaget.
Lalu aku menarik diriku di siku dan melihat Ben Jackson tertawa.
Thalia Halpert-Rodis menjatuhkan lipstiknya ke tasnya dan berlari padaku.
"Tommy - kamu tak apa-apa? "tanyanya.
"Ya. Baik, "gumamku. "Aku hanya menguji
lantai ini. Kau tahu. Melihat sebetapa kerasnya. "
"Tak sekeras kepalamu!" Ben bercanda. "Kau akan harus membayar karena memecahkan
lantai gedung olahraga! "Dia tertawa lagi.
"Ha-ha." Thalia memutar matanya, lalu membuat wajah jijik padanya. Dia berbalik
padaku. "Jangan mendorongnya, Tommy. Dia hampir selucu burung merpati yang mati.
"
"Kupikir merpati-merpati mati itu lucu!" Ben bersikeras.
Thalia memutar matanya lagi. Lalu ia meraih tanganku dan menarik kakiku.
Aku merasa sangat malu. Aku ingin pergi bersembunyi di bawah bangku.
Kenapa aku selalu seperti orang yang benar-benar tolol?
Tak ada tangan yang tak terlihat yang menarikku dari tangga. Aku hanya terjatuh.
Itulah yang biasanya kulakukan jika aku mendapati diriku berada di tangga. Aku
jatuh.
Beberapa orang adalah pendaki. Aku tukang jatuh.
Tapi aku benar-benar tak ingin terlihat seperti orang aneh di depanThalia dan Be
n. Apalagi, aku baru saja bertemu mereka. Dan aku benar-benar ingin membuat mere
ka terkesan.
Itulah mengapa aku mendaftar di Panitia Dekorasi Dansa. Aku ingin bertemu anak-a
nak. Sulit untuk mendapat teman baru saat kau memulai sekolah baru di kelas enam
.
Mungkin aku lebih baik mulai di awal.
Namaku Tommy Frazer dan aku dua belas tahun. Persis sebelum sekolah dimulai di m
usim gugur ini, ayahku menikah lagi. Dan tepat setelah pernikahan, kami pindah k
e BellValley.
Kami harus pindah sebegitu cepat, aku hampir tak punya kesempatan untuk mengucap
kan selamat tinggal kepada teman-temanku. Dan sebelum aku bisa menarik napasku,
di sinilah aku - anak baru di Sekolah Menengah BellValley.
Aku tak tahu siapa pun di sini. Aku bahkan hampir tak tahu ibu baruku!
Bisakah kau bayangkan bagaimana rasanya tiba-tiba punya sekolah baru, rumah baru
, dan ibu baru?
Beberapa hari pertama hari di Sekolah Menengah BellValley itu susah. Anak-anak i
tu tidak bersahabat. Tapi mereka sudah tahu siapa teman-teman mereka itu.
Aku tidak pemalu. Tapi itu benar-benar tak mungkin untuk maju begitu saja dengan
seseorang dan berkata, "Hai. Maukah jadi temanku? "
Aku cukup kesepian di minggu pertama. Kemudian di akhir senin pagi, Mrs Borden,
kepala sekolah, datang ke ruangan kami. Dia bertanya apakah ada yang ingin jadi
sukarelawan Panitia Dekorasi Pesta Dansa. Dia butuh anak-anak untuk menghiasi ge

dung olahraga.
Tanganku yang pertama kali mengacung. Aku tahu itu akan menjadi cara yang bagus
untuk mendapatkan teman baru. Jadi di sinilah aku setelah sekolah di gedung olah
raga dua hari berikutnya. Mendapatkan teman-teman baru dengan jatuh di atas kepa
laku seperti orang aneh.
"Apa kaupikir kau harus menemui perawat?" tanya Thalia, mengamatiku.
"Tidak. Mataku selalu berputar-putar seperti ini, "Jawabku lemah. Setidaknya aku
masih punya rasa humor.
"Lagipula perawat itu sudah pergi," kata Ben, memeriksa jamnya. "Sudah malam. Ki
ta mungkin satu-satunya yang ada di bangunan ini."
Thalia menggoyang-goyangkan rambutnya pirangnya. "Ayo kita kembali kerja," saran
nya.
Dia membuka tasnya dan mengeluarkan lipstiknya. Aku menyaksikannya memakaikan la
pisan tebal merah pada bibirnya,meskipun sudah merah. Kemudian dia menyikatkan s
emacam bedak oranye di pipinya.
Ben menggelengkan kepalanya tapi tak berkata apa-apa.
Kemarin, aku mendengar anak-anak yang lain menggoda Thalia tentang riasan dan li
pstiknya. Mereka mengatakan dia satu-satunya gadis di kelas enam yang menggunaka
n benda-benda itu setiap hari.
Mereka cukup bersikap buruk padanya.
Seorang gadis berkata, "Thalia pikir dia pakar lukisan."
Gadis lainnya berkata, "Thalia tak bisa pergi ke kelas olahraga karena dia harus
menunggu wajahnya kering. "
Seorang anak laki-laki berkata, "Wajahnya pasti rusak. Itulah sebabnya dia selal
u memperbaikinya! "
Semua orang tertawa sangat keras.
Tampaknya Thalia tak memikirkan semua lelucon dan godaan itu. Kukira dia sudah t
erbiasa.
Sebelum sekolah pagi ini, aku mendengar beberapa anak-anak berkata bahwa Thalia
sombong. Pikirnya dia begitu cantik, dan itulah sebabnya dia selalu membayar beg
itu banyak perhatian untuk penampilannya.
Dia tampaknya tidak sombong padaku. Dia kelihatan benar-benar baik. Penampilanny
a cukup mengagumkan juga. Aku bertanya-tanya mengapa dia berpikir dia perlu mema
kai semua riasan itu.
Thalia dan Ben terlihat punya banyak kesamaan. Mereka bisa jadi adik kakak, tapi
mereka bukan.
Mereka berdua tinggi dan kurus. Dan mereka berdua memiliki mata biru dan rambut
pirang keriting.
Aku pendek dan agak gemuk. Dan aku punya rambut hitam terpancang lurus keluar se
perti jerami. Rambut ini benar-benar menyulitkan. Aku bisa menyikatnya berjam-ja
m, tapi masih saja bergerak semaunya.
Ibu baruku mengatakan aku akan benar-benar tampan begitu aku kehilangan lemak ba
yiku. Aku tak berpikir itu adalah pujian yang sangat baik.
Lagi pula, Thalia, Ben, dan aku melukis beberapa spanduk besar untuk dipasang di
dinding gedung olahraga. Thalia dan aku
bekerja sama pada spanduk yang terbaca BELL VALLEY ROCKS!
Ben mulai melukis poster yang terbaca DANSALAH SAMPAI KAU MUNTAH! Tapi Mrs Borde
n menyodok kepalanya dan memintanya untuk memikirkan slogan yang lebih baik.Dia
mengerang dan menggerutu dan mulai lagi. Sekarang posternya terbaca SELAMAT DATA
NG SEMUANYA!
"Hei - mana cat merahnya?" Thalia memanggil Ben.
"Hah?" Dia merangkak turun, menggunakan kuas tebal untuk melukis S di SELAMAT.
Thalia dan aku juga di lantai, melukis garis hitam untuk poster kami. Dia bangki
t dan menatap Ben. "Bukankah kau membawa cat merah ke gedung olahraga? Aku hanya
melihat yang hitam. "
"Kupikir kau membawanya," jawabnya. Dia menunjuk tumpukan kaleng di bawah keranj
ang basket. "Apa itu?"
"Semua hitam," katanya. "Aku memintamu untuk membawa turun beberapa yang merah ingat? Aku ingin menempatkan yang merah di tengah-tengah huruf. Hitam dan merah
adalah warna sekolah, kau tahu itu. "

"Duh," Ben bergumam. "Yah, aku tak akan ke atas untuk itu, Thalia. Ruang seni ad
a di lantai tiga. "
"Aku yang akan pergi!" Aku mengajukan diri, agak terlalu bersemangat.
Mereka berdua menatapku.
"Maksudku, aku tak keberatan," aku menambahkan. "Aku dapat menggunakannya untuk
berolahraga. "
"Kepalamu benar-benar terbentur keras - bukan begitu!" Ben bercanda.
"Apa kau ingat di mana ruang seni itu?" Tanya Thalia.
Aku meletakkan kuas. "Ya. Kurasa begitu. Kau naik tangga di belakang - yang kana
n? "
Thalia mengangguk. Rambut pirang keritingnya mental saat ia menggerakkan kepalan
ya. "Benar. Kau naik tiga tingkat ke lantai atas. Lalu kau langsung menyusuri lo
rong ke belakang. Belok kanan. Lalu belok kanan lagi. Dan ruangan itu di belakan
g. "
"Tak masalah," kataku. Aku mulai berlari ke pintu ganda ruang olahraga.
"Bawalah setidaknya dua kaleng!" Serunya dibelakangku. "Dan beberapa kuas bersih
."
"Dan bawakan Coke untukku!" teriak Ben. Dia tertawa.
Pelawak payah.
Aku mulai berlari dengan kecepatan penuh ke pintu keluar. Aku tak yakin mengapa
aku mulai berlari. Kurasa aku sedang berusaha menbuat Thalia terkesan.
Aku menurunkan bahuku. Dan menerobos pintu ganda itu.
Dan meluncur dengan kecepatan penuh pada seorang gadis yang berdiri di lorong.
"Hei-" Dia menjerit kaget saat kami berdua terguling ke lantai.
Aku mendarat di atasnya dengan mengerang.
Kepalanya bersuara keras saat membentur lantai beton.
Tertegun, kami berdua berbaring di sana untuk sedetik. Lalu aku berguling dariny
a dan buru-buru berdiri.
"Maaf," Aku berhasil bicara. Aku mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
Tapi dengan marah dia mendorong tanganku menjauh dan berdiri tanpa bantuanku.
Saat dia berdiri, aku melihat bahwa dia setidaknya satu kaki lebih tinggi dariku
. Tinggi, berdada bidang dan tampak kuat, dia mengingatkanku pada pegulat wanita
di TV.
Dia memiliki rambut pirang putih, yang terurai di depan wajahnya. Dia berpakaian
serba hitam. Dan dia menatapku marah dengan mata baja abu-abunya.
Mata yang mengerikan.
"Aku benar-benar menyesal," ulangku, melangkah mundur saat aku menatap ke arahny
a.
Dia mengambil langkah berat ke arahku. Lalu melangkah lagi. Mata abu-abu yang di
ngin itu membuatku membeku di dinding.
Dia merengut. Dan mendekat.
"A-apa yang akan kau lakukan?" Aku tergagap.

2
Aku menekan punggungku merapat erat di tembok. "Apa yang akan kau lakukan? " ula
ngku.
"Aku mau pulang - jika kau membiarkan aku!" geramnya. Dia berputar pergi, tangan
nya meremas jadi tinju yang besar.
"Aku bilang aku minta maaf!" teriakku setelahnya.
Dia menghilang menaiki tangga tanpa berpaling kembali.
Mata abu-abu aneh itu tertinggal dalam pikiranku.
Aku memberinya waktu untuk meninggalkan gedung. Lalu aku mulai menaiki tangga. I
tu pendakian yang lama ke lantai atas. Kakiku masih terasa sedikit goyah karena
lari menuju gadis aneh itu.

Dan ini agak menakutkan, menjadi satu-satunya orang yang berada di atas sini.
Sepatuku berdebam di tangga keras, dan suaranya bergemuruh di tangga kosong itu.
Lorong-lorong membentang keluar seperti terowongan-terowongan gelap yang panjan
g.
Aku kehabisan napas ketika aku akhirnya mencapai pertengahan tangga di lantai ti
ga. Aku mulai menyusuri lorong, bersenandung sendiri. Suaraku terdengar bergaung
di ruang kosong itu. Suara itu bergema dari deretan panjang loker abu-abu.
Aku berhenti bersenandung saat aku membuat belokan kanan pertamaku. Aku melewati
ruang guru yang kosong. Lab komputer. Kemudian beberapa kamar yang tampak koson
g.
Belokan kanan lainnya membawaku ke lorong sempit dengan lantai kayu yang berderi
t dan mengerang di bawah sepatu.
Aku berhenti di luar ruangan di ujung lorong.
Sebuah tanda tulisan tangan berhuruf kecil di samping pintu terbaca RUANG SENI.
Aku meraih gagang pintu dan mulai menarik pintunya terbuka.
Tapi aku berhenti saat aku mendengar suara-suara di dalam ruangan itu.
Kaget, aku mencengkeram gagang pintu dan mendengarkan. Aku mendengar anak laki-l
aki dan perempuan. Mereka berbicara dengan pelan. Aku tak bisa mengerti pembicar
aan mereka. Tapi anak-anak itu terdengar seperti Thalia dan Ben.
Apa yang mereka lakukan di sini? Aku bertanya-tanya.
Mengapa mereka mengikutiku? Bagaimana mereka bisa di sini sebelum aku?
Aku mendorong pintu itu terbuka dan melangkah masuk.
"Hei, teman-teman-" panggilku. "Apa yang terjadi?"
Mulutku ternganga. Ruangan itu kosong.
"Hei-" panggilku. "Apakah kalian di sini?"
Tak ada balasan.
Mataku bergerak cepat mengitari ruangan besar itu. Sinar matahari sore yang keem
asan tertuang ke dalam melalui jendela.
Tabel seni yang lama berdiri, bersih dan kosong. Beberapa pot tanah liat yang me
ngering di atas langkan jendela. Sebuah mobil yang terbuat dari kawat hanger (ga
ntungan baju) dan kaleng sup tergantung di lampu langit-langit.
Aneh, pikirku, menggeleng-gelengkan kepala. Aku mendengar suara-suara di sini. A
ku tahu aku mendengarnya.
Apa Thalia dan Ben memainkan lelucon kecil padaku? Aku bertanya-tanya. Apakah me
reka bersembunyi di sini?
Aku berjalan cepat ke lemari besar persediaan dan menarik pintunya terbuka.
"Kalian tertangkap !" Teriakku.
Tak ada seorang pun di sana.
Aku menatap ke lemari gelap itu. Apakah aku mulai mendengar suara-suara itu? Aku
bertanya-tanya. Mungkin jatuhku dari tangga lebih buruk daripada yang kurasa!
Aku mengulurkan tangan dan menarik rantai untuk menghidupkan lampu lemari. Di ke
dua sisiku, rak-rak dari persediaan seni mencapai langit-langit. Aku melihat cat
merah yang kami butuhkan dan mulai menggeser minggir beberapa kaleng dari rak.
Tapi aku berhenti saat aku mendengar seorang gadis tertawa.
Kemudian seorang anak laki-laki mengatakan sesuatu. Dia terdengar gembira.
Dia berbicara dengan cepat. Tapi aku tak bisa mengerti kata-katanya.
Aku berputar kembali ke ruang seni. Tak ada seorang pun di sana.
"Hei - di mana kalian?" panggilku.
Sekarang sunyi.
Aku menarik kaleng cat dari rak dan menyelipkannya di bawah lenganku. Lalu aku m
eraih kaleng lainnya dengan tanganku yang bebas.
"Hei-!" Seruku ketika aku mendengar suara-suara lagi.
"Ini tak lucu!" Teriakku. "Di mana kalian bersembunyi?"
Tak ada jawaban.
Mereka pasti berada di kamar sebelah, aku memutuskan. Aku membawa kaleng cat kel
uar ke ruang seni dan mengaturnya di atas meja guru. Lalu bergerak pelan-pelan k
e
lorong.
Aku berhenti di pintu berikutnya dan menjulurkan kepalaku ke dalam ruangan. Itu
semacam ruangan penyimpanan.

Kotak-kotak bertanda mudah pecah ditumpuk di satu dinding.


Tak ada seorang pun di sana.
Aku memeriksa ruangan di seberang lorong. Di sana juga tak ada orang di sana.
Saat aku berjalan kembali ke ruang seni, aku mendengar suara-suara lagi.
Sekarang gadis itu berteriak. Dan kemudian anak laki-laki itu berteriak juga.
Kedengarannya seolah-olah mereka meminta tolong. Tapi karena suatu sebab suara m
ereka tampaknya teredam, semacam menjauh.
Jantungku mulai berdetak sedikit lebih cepat. Tenggorokanku tiba-tiba terasa ker
ing.
Siapa yang memainkan lelucon ini padaku? Aku bertanya-tanya.
Semua orang sudah pulang. Seluruh bangunan kosong. Jadi siapa di sini? Dan kenap
a aku tak bisa menemukan mereka?
"Ben? Thalia? "Aku berteriak. Suaraku bergema di dinding panjang loker abu-abu.
"Apa kalian di sini?"
Sunyi.
Aku menarik napas panjang dan melangkah kembali ke ruang seni. Aku benar-benar a
kan mengabaikan mereka, aku memutuskan.
Aku mengangkat dua kaleng cat itu dan berjalan kembali ke lorong. Aku melirik ce
pat ke kedua jalan itu, berpikir mungkin aku bisa melihat Thalia dan Ben.
Suatu bayangan melongok dari pintu yang terbuka.
Aku membeku dan menatap.
"Siapa - siapa di sana?" teriakku.

3
Seorang pria mundur dari pintu, menarik vacuum cleaner (alat penyedot debu dan k
otoran) besar. Dia mengenakan seragam abu-abu dan ada potongan rokok yang belum
dinyalakan terjepit di giginya.
Petugas kebersihan.
Aku mendesah dan berjalan ke tangga. Aku tak berpikir dia melihatku.
Tangga melengkung setengah turun. Aku mulai menyusuri anak-anak tangga, tapi aku
berhenti di depan sebuah papan pengumuman besar di dinding. Aku melirik pemberi
tahuan acara-acara sekolah, kalender, dan daftar (barang-barang yang) hilang-dan
ditemukan.
Oh, wow. Aku sedang dalam kesulitan. Aku tak ingat melihat ini dalam perjalanan
naik tadi, aku berkata pada diriku sendiri.
Aku menatap kembali ke puncak tangga. Apa aku memilih tangga yang salah? Akankah
tangga ini membawaku kembali ke gedung olahraga?
Hanya satu cara untuk mengetahuinya, aku memutuskan.
Mencengkeram erat-erat kaleng cat itu, aku berbalik dan terus ke bawah.
Aku terkejut, tangga berakhir di lantai kedua.
Aku menatap ke bawah lorong panjang itu, mencari anak-anak tangga untuk membawak
u ke gedung olahraga di ruang bawah tanah. Tapi aku hanya melihat pintu-pintu ru
angan kelas yang tertutup dan barisan panjang loker-loker logam.
Kaleng-kaleng cat itu mulai terasa berat. Bahuku sakit. Aku menaruh kaleng-kalen
g itu di lantai mengambil waktu sejenak untuk meregangkan lenganku.
Lalu aku mengambil kaleng-kaleng itu dan mulai berjalan lagi, langkah kakiku ber
dentang di lorong yang kosong. Aku
melirik ke ruangan-ruangan yang aku lewati.
Waa...
Satu kerangka tersenyum padaku dari ambang pintu.
Mulutku ternganga. Tapi aku cepat-cepat menenangkan diriku. "Mungkin semacam lab
oratorium IPA," gumamku.
Kurasa aku melihat seekor kucing hitam kecil bersembunyi di akhir deretan loker.
Aku berhenti dan menyipitkan mata ke bawah itu. Bukan kucing. Topi ski hitam da
ri wol seseorang.

"Tommy - apa masalahmu?" Kataku keras-keras.


Aku tak pernah menyadari betapa gedung sekolah bisa menyeramkan setelah semua or
ang pergi. Terutama sekali bangunan sekolah yang tak dikenal.
Aku berbalik ke sudut lorong panjang kosong lainnya.
Tetap tak ada tangga yang terlihat.
Ben dan Thalia pasti bertanya-tanya apa terjadi padaku, pikirku. Mereka pasti be
rpikir aku tersesat.
Yah ... aku tersesat.
Aku melewati etalase tempat piala-piala olahraga yang mengkilap.
Sebuah umbul-umbul merah-hitam yang dihias menyatakan, AYO, BISONS.
Itu nama tim kami. BellValley Bisons.
Bukankah bison (sejenis banteng Amerika) itu besar dan sangat lambat? Dan bukan
kah mereka hampir punah?
Nama tim yang payah!
Aku terus menyusuri lorong, berpikir keras. Memikirkan nama tim yang lebih baik.
The BellValley Hippos ...
BellValley Warthogs ...
BellValley Water Buffalos...
(Hippo: kuda nil, Warthog: semacam babi tapi wajahnya seperti kuda dan di bagian
mulutnya keluar taring panjang seperti gading gajah, Buffalo: kerbau)
Yang terakhir itu membuatku tertawa.
Tapi aku berhenti tertawa ketika aku sadar aku mencapai ujung lorong. Ujung yang
buntu.
"Hei-!" Seruku, mataku mencari pintu tertutup. Bukankah seharusnya di sini ada t
angga? Semacam jalan keluar?
Tampaknya ada sebuah pintu yang sempit. Tapi pintu itu ditutupi papan-papan kayu
. Papan-papan tua yang membusuk dipakukan ke atas lubang itu.
Aku seharusnya tak jadi sukarelawan untuk mengambil cat, kataku pada diriku send
iri. Gedung sekolah ini terlalu besar, dan aku tak tahu jalan di sekitarku.
Thalia dan Ben mungkin jengkel sekarang.
Aku menatap ke bawah lorong yang panjang. Dua pintu tak bertanda berdiri berdamp
ingan di salah satu dinding. Pintu-pintu tampaknya bukan pintu kelas.
Aku memutuskan untuk mencoba satu.
Aku membungkuk ke depan dan mendorong pintu dengan bahuku. Dan tersandung ke rua
ngan besar yang remang-remang.
"Aduh - di mana aku?" Suaraku terdengar kecil dan melengking. Menyipitkan mata k
e dalam cahaya abu-abu itu, aku melihat sekumpulan anak-anak menatap ke arahku!

4
Anak-anak itu menatap ke arahku dengan begitu kaku, begitu tenang ... setenang p
atung.
Dan lalu aku menyadari mereka itu patung!
Patung anak-anak. Setidaknya dua lusin.
Mereka memakai pakaian model kuno. Pakaian-pakaian mereka lucu, seperti dari seb
uah film lama. Anak-anak lelaki memakai jaket olahraga dan dasi yang sangat leba
r. Gadis-gadis semuanya memakai jaket yang punya bantalan bahu yang lebar. Rok-r
ok mereka sampai ke pergelangan kaki.
Aku menurunkan kaleng cat ke lantai. Lalu aku mengambil beberapa langkah hati-ha
ti ke dalam ruangan.
Patung-patung itu tampak begitu nyata, begitu hidup.
Lebih mirip boneka pajangan (manekin) toko serba ada daripada patung. Mata-mata
kaca mereka berkilau. Mulut-mulut merah mereka dibuat kasar, tak tersenyum.
Aku melangkah ke patung anak laki-laki yang sebayaku dan meraih lengan jaketnya.
Kain asli. Bukan ukiran batu atau plester.

Ruangan ini begitu gelap. Sulit untuk melihat dengan jelas.


Aku merogoh saku celana khaki-ku dan menarik korek plastik merahku.
Aku tahu, aku tahu. Aku tak seharusnya punya korek.
Tak ada alasan mengapa aku punya satu korek kecuali kakekku memberikan korek itu
padaku beberapa minggu sebelum ia meninggal. Dan aku membawanya kemanapun bersa
maku sebagai jimat keberuntungan sejak saat itu.
Aku menjentikkan korek itu dan mengangkat apinya ke wajah anak itu. Kulitnya beg
itu nyata. Bahkan ia punya jerawat kecil di salah satu pipi dan bekas luka di ba
wah dagunya.
Aku menutup korek dan memasukkannya kembali ke dalam sakuku. Lalu aku menyentuh
wajah anak itu. Halus dan dingin, dipahat atau dibentuk dari semacam plester.
Aku mengusapkan jariku di atas salah satu matanya. Semacam kaca atau plastik.
Aku menarik-narik bagian belakang rambut cokelat gelapnya. Rambut itu mulai melu
ncur turun.
Rambut palsu (wig).
Di sampingnya berdiri sebuah patung gadis tinggi langsing bersweater hitam, dan,
rok hitam panjang lurus ke bawah sampai pergelangan kakinya. Aku menatap ke mat
a hitam mengkilapnya.
Dia tampaknya menatap kembali ke arahku.
Begitu sedih. Ekspresinya tampak begitu menyedihkan bagiku.
Mengapa tak ada satu pun patung-patung ini yang tersenyum?
Aku meremas tangannya. Plester dingin.
Mengapa patung-patung ini ada di sini? Aku bertanya-tanya. Siapa yang menempatka
n mereka di sini, di ruangan tersembunyi ini? Apakah ini semacam proyek seni?
Aku melangkah mundur dan melihat tanda yang terukir di atas pintu. Mataku berger
ak cepat huruf-huruf balok besar itu:
KELAS 1947
Aku menatap tanda itu. Membacanya lagi. Lalu aku berbalik kembali ke ruangan pen
uh patung itu. Dan salah satu patung berseru: "Apa yang kamu lakukan di sini?"

5
"Hah?" Aku terkesiap keras.
"Apa yang kau lakukan di sini, anak muda?" Ulang suara itu.
Berkedip dengan susah payah, aku berbalik.
Dan melihat Mrs Borden, kepala sekolah, berdiri di pintu yang terbuka itu.
"Kau - kau bukan patung!" semburku.
Dia bergerak cepat ke ruangan, memegang clipboard di depan sweaternya. "Bukan, a
ku bukan patung, "jawabnya tanpa tersenyum.
Dia melirik ke kedua kaleng cat di lantai. Lalu ia melangkah di sampingku, matan
ya mempelajariku.
Mrs Borden sangat pendek. Dia hanya satu atau dua inci lebih dariku. Dan dia aga
k gemuk. Dia berambut hitam keriting dan berwajah bulat merah muda. Dia selalu
tampak tersipu-sipu.
Beberapa anak-anak mengatakan kepadaku bahwa dia benar-benar baik. Aku bertemu d
engannya dalam waktu singkat saat aku muncul di BellValley pagi pertamaku.
Pagi itu, dia benar-benar kesal pada sekawan anjing yang berkerumun di lapangan
bermain dan menakut-nakuti anak-anak kecil. Dia tak punya waktu untuk berbicara
padaku.
Sekarang dia berdiri begitu dekat denganku, aku bisa mencium bau permen pada naf
asnya. "Tommy, kurasa kau pasti tersesat, "katanya lembut.
Aku mengangguk.
"Ya. Saya rasa, " gumamku.
"Kau seharusnya dimana?" Tanyanya, masih mencengkeram clipboard di dadanya.

"Gedung olahraga," jawabku.


Dia akhirnya tersenyum. "Kau jauh dari gedung olahraga. Ini adalah pintu masuk k
e bangunan tua. Gedung olahraga di bangunan yang baru, di sisi lain jalan. "
Dia menunjuk dengan clipboard.
"Saya salah mengambil tangga," aku menjelaskan. "Saya datang dari ruang seni, da
n-"
"Oh, benar. Kau Panitia Dekorasi Pesta Dansa," selanya. "Yah, kutunjukkan bagai
mana caranya untuk turun. "
Aku berbalik ke patung-patung itu. Mereka semua berdiri begitu tenang, begitu di
am. Mereka tampaknya mendengarkan diam-diam (pembicaraan) Mrs Borden dan aku.
"Ruangan apa ini?" Tanyaku.
Dia menaruh tangannya di bahuku mulai menggerakkanku ke pintu. "Ini adalah ruang
pribadi," katanya dengan pelan.
"Tapi apa itu?" ulangku. "Maksud saya - patung-patung itu. Siapakah anak-anak it
u? Apakah mereka anak asli atau sesuatu yang lain? "
Dia tak menjawab. Tangannya menjadi lebih erat pada bahuku saat ia menuntunku ke
pintu.
Aku berhenti untuk mengambil kaleng-kaleng cat. Saat aku melirik Mrs Borden, eks
presinya berubah.
"Ini adalah ruang yang sangat menyedihkan, Tommy," katanya, suaranya persis di a
tas bisikan. "Anak-anak itu kelas pertama kali di sekolah tersebut. "
"Kelas 1947?" Tanyaku melirik tanda itu.
Kepala sekolah mengangguk. "Ya. Persis sekitar lima puluh tahun lalu. Ada dua pu
luh lima anak-anak di sekolah. Dan suatu hari ... suatu hari, mereka semua mengh
ilang. "
"Hah?" Kaget oleh kata-katanya, aku menjatuhkan kaleng-kaleng cat ke lantai.
"Mereka menghilang, Tommy," Mrs Borden melanjutkan, mengubah tatapannya ke patun
g-patung itu. "Lenyap dalam udara yang tipis. Satu menit mereka berada di sini d
i sekolah. Menit berikutnya, mereka lenyap ... selamanya. Tak pernah kelihatan l
agi. "
"Tapi - tapi -" aku tergagap. Aku tak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin
dua puluh lima anak lenyap?
Mrs Borden mendesah. "Itu adalah tragedi yang mengerikan," katanya pelan. "Sebua
h misteri yang mengerikan. Para orang tua ... para orang tua yang malang ..."
Suaranya tercekat di tenggorokannya. Dia mengambil napas dalam-dalam. "Mereka be
gitu patah hati. Para orang tua itu memalang kayu sekolah itu. Menutupnya selama
nya. Kota mendirikan sebuah sekolah baru di sekitarnya. Bangunan tua masih tetap
berdiri kosong sejak hari mengerikan itu. "
"Dan patung-patung ini?" Tanyaku.
"Seorang seniman lokal membuat mereka," jawab Mrs Borden. "Dia memakai foto kela
s. Foto dari semua orang. Seniman itu menggunakan foto untuk membuat patung-patu
ng ini. Penghargaan untuk anak-anak yang hilang. "
Aku menatap ruangan penuh patung itu. Anak-anak. Anak-anak yang lenyap.
"Aneh," gumamku.
Aku mengambil kaleng-kaleng cat. Mrs Borden membukakan pintu.
"Saya - saya tak bermaksud untuk datang ke sini," Aku minta maaf. "Saya tidak ta
hu ... "
"Tidak masalah," jawabnya. "Bangunan ini sangat besar dan sangat membingungkan.
"
Aku memimpin berjalan keluar ke lorong. Dia menutup pintu di belakang kami denga
n hati-hati. "Ikuti aku," katanya.
Tumit sepatunya berbunyi keras di lantai saat dia berjalan, mengayunkan clipboa
rd di pinggangnya.
Dia berjalan sangat cepat bagi orang yang kecil. Memegang kaleng cat di masing-m
asing tangan, aku harus berjuang untuk tetap bersamanya.
"Bagaimana keadaanmu, Tommy?" Tanyanya. "Selain tersesat, maksudku."
"Baik," kataku. "Semua orang sudah benar-benar baik."
Kami berbelok. Aku harus berlari-lari kecil untuk mengejarnya. Kami berbalik ke
sudut yang lain. Ke jalan lorong yang terang. Ubin-ubin dinding yang kuning cera
h. Lantai linoleum yang berkilauan.

"Inilah (tempat) di mana kau seharusnya pergi," Mrs Borden mengumumkan. "Dan itu
ada tangga ke gedung olahraga. "
Dia menunjukkan jalan, lalu tersenyum padaku.
Aku berterima kasih padanya dan bergegas pergi.
Aku tak sabar untuk kembali ke gedung olahraga. Aku berharapThalia dan Ben tak m
arah tentang betapa lama waktu yang kuperlukan. Aku benar-benar tak sabar untuk
bertanya pada mereka tentang kelas 1947. Aku ingin mendengar apa yang mereka tah
u tentang semua anak yang hilang itu.
Memegang kaleng-kaleng cat merah, aku berjalan menuruni tangga tingkat dua ke ru
ang bawah tanah. Semuanya tampak akrab sekarang.
Aku berlari melewati ruang makan ke pintu ganda gedung olahraga di ujung lorong.
Mendorong pintu itu terbuka dengan bahuku. Dan mendadak masuk ke dalam gedung o
lahraga.
"Hei - aku kembali!" kataku. "Aku-"
Kata-kata tercekat di tenggorokanku. Thalia dan Ben tergeletak tertelungkup di l
antai gedung olahraga.

6
"Oh, Tidaaaaak!" Aku mengeluarkan raungan ngeri.
Kaleng-kaleng cat jatuh dari tanganku dan terjatuh keras ke lantai gedung olahra
ga.
Salah satu kaleng menggelinding di jalanku, dan aku tersandung padanya saat aku
meluncur ke arah teman-teman baruku.
"Thalia! Ben! " teriakku.
Mereka berdua tertawa.
Dan mengangkat kepala dari lantai, nyengir.
Ben membuka mulutnya, menguap lebar yang palsu.
"Kami begitu lelah menunggumu, kami tertidur!" Thalia mengumumkan.
Mereka berdua tertawa lagi. Ben ber-tos dengan Thalia tinggi-tinggi.
Mereka berdua berdiri. Thalia buru-buru ke tasnya. Dia mengeluarkan sebuah tabun
g lipstik dan mulai mengoleskan lapisan merah lainnya untuk bibirnya.
Sambil nyengir, Ben menyipitkan matanya ke arahku. "Kau tersesat kan? "
Aku mengangguk sedih.
"Ya. Jadi? Masalah besar, " gumamku.
"Aku menang taruhan!" Teriak Ben gembira. Dia mengulurkan tangannya pada Thalia.
"Bayar."
"Waah! Aku tak percaya kalian berdua! " Seruku. "Kalian bertaruh apakah aku ters
esat atau tidak? "
"Kami cukup bosan," Thalia mengaku. Dia menyerahkan satu dolar pada Ben.
Ben memasukkannya ke dalam saku celana jinsnya. Kemudian dia melirik jam papan
skor yang besar. "Oh, wow!" teriaknya. "Aku terlambat! Aku berjanji pada saudara
ku bahwa aku pulang ke rumah jam lima. "
Dia berlari ke bangku dan mulai mengumpulkan ransel dan jaketnya.
"Hei, tunggu-" panggilku. "Aku ingin memberitahumu apa yang kulihat di lantai at
as! Maksudku, itu sangat aneh. Aku-"
"Nanti saja," katanya, menarik jaketnya saat dia berlari menuju pintu ganda.
"Tapi bagaimana dengan cat merah?" Teriakku.
"Aku akan meminumnya besok!" Teriaknya. Lalu dia menghilang keluar pintu.
Aku melihat pintu-pintu itu tertutup dengan suara yang keras. Lalu aku berpaling
pada Thalia.
"Dia kadang-kadang cukup lucu," katanya. "Maksudku, terkadang dia membuatku tert
awa. "
"Ha-ha," gumamku.
Aku mengambil kaleng-kaleng cat merah itu dan membawanya ke atas spanduk kami di

lantai. "Maaf, aku butuh waktu begitu lama, "kataku. "Tapi-"


Dia menyikatkan semacam riasan ke pelupuk matanya. "Kau melihat sesuatu yang ane
h di atas? "tanyanya, melirikku di atas cermin kecil yang dipegangnya dengan tan
gannya yang bebas.
"Yah, pertama aku berlari ke lorong depan dan jatuh (bertabrakan) dengan gadis y
ang aneh, "kataku.
Thalia menyipitkan matanya padaku. "Gadis aneh apa? "
"Aku tak tahu namnya," jawabku. "Dia besar - jauh lebih tinggi daripada aku. Dan
benar-benar tampak keras. Dan dia punya mata abu-abu aneh, dan-"
"Greta?" Tanya Thalia. "Kau jatuh di atas Greta?"
"Apa itu namanya?" Jawabku.
"Berpakaian hitam?" Tanya Thalia. "Greta selalu berpakaian hitam. "
"Ya. Itu dia, "kataku. "Aku menabraknya. Lalu aku jatuh di atas tubuhnya. Geraka
n halus, ya? "
"Hati-hati dengannya, Tommy," Thalia memperingatkan. "Greta benar-benar aneh."
Dia mulai menggulung spanduknya. "Jadi apa yang terjadi padamu di lantai atas? "
"Aku mendengar sesuatu," kataku. "Ketika aku sampai ke ruang seni. Aku mendengar
suara-suara. Suara anak-anak. Tapi ketika aku masuk ke dalam ruangan, tak ada s
eorang pun di sana. "
"Hah?" Mulut Thalia ternganga. "Kau - kau mendengar mereka? "katanya terbata-bat
a.
Aku mengangguk.
"Kau benar-benar mendengar mereka?"
"Ya. Siapa mereka? "tuntutku. "Aku terus mencari mereka. Semuanya lantai tiga. A
ku mendengar mereka, tapi aku tak bisa melihat mereka. Dan kemudian Mrs Borden "
Aku berhenti berbicara saat aku melihat ada air mata di mata Thalia.
"Hei-apa?" Tanyaku.
Dia tak menjawabku. Dia berputar dan berlari menjauh dari gedung olahraga.

7
Beberapa hari kemudian, Thalia berselisih dengan Greta. Dan hampir berubah menja
di kekerasan.
Saat itu adalah Kamis sore. Mr Devine, guru kami, menerima pesan dari kantor.
Dia membaca pesan tersebut beberapa kali, menggerakkan bibirnya saat ia membaca.
Lalu, bergumam sendiri, ia meninggalkan ruangan.
Saat itu hampir akhir dari hari sekolah. Kurasa semua orang bosan duduk di bangk
u sekolah. Kami semua siap untuk keluar dari sana.
Jadi, segera setelah Mr Devine menghilang, semuanya semacam lepas kendali. Maksu
dku, anak-anak melompat dan mulai berlari di sekitar ruangan. Melakukan gerakan
tarian yang lucu dan bermain-main.
Seorang anak menghidupkan kotak peralatan musik yang ia sembunyikan di bawah mej
anya dan memutar musiknya keras-keras. Beberapa gadis tertawa liar tentang sesua
tu dalam ruangan belakang, menggoyang-goyangkan kepala mereka dan memukulkan tan
gan mereka di meja.
Aku duduk di barisan belakang karena aku anak baru. Ben tak masuk. Kurasa dia pu
nya janji dengan dokter gigi atau semacamya.
Jadi karena aku belum benar-benar kenal orang yang lain, aku semacam ketinggalan
dari semua kesenangan itu.
Aku mengetuk-ngetukkan tanganku untuk musik dan pura-pura sedang mengalami waktu
yang baik. Tapi sebenarnya, aku merasa agak canggung dan kesepian. Dan aku diam
-diam berharap bahwa Mr Devine akan datang kembali sehingga semuanya bisa kembal
i normal.
Aku menatap ke luar jendela sejenak. Saat itu hari musim gugur yang berawan. San

gat berangin. Hembusan keras pusaran angin membuat daun-daun merah dan kuning me
layang dan berputar-putar di atas lapangan bermain.
Aku menatapnya sejenak. Lalu aku berpaling kembali ke dalam ruangan, dan mataku
mendarat di Thalia di barisan depan.
Dia tak memperhatikan semua tarian, canda dan tawa liar itu. Dia mengangkat cerm
in kecilnya di wajahnya dan mengoleskan lapisan lipstik ke bibirnya.
Aku melambai dan mencoba untuk memperoleh perhatiannya. Aku ingin tahu apakah di
a dan aku akan mengerjakan dekorasi setelah sekolah di gedung olahraga.
Aku mencoba memanggilnya. Tapi dia tak bisa mendengarku di atas semua suara gadu
h itu. Dia menatap cermin kecilnya dan tak berbalik.
Aku mulai berdiri dan berjalan padanya saat aku melihat Greta bersandar di atas
meja Thalia dan mengambil tabung lipstik dari tangan Thalia. Greta tertawa dan m
engatakan sesuatu pada Thalia. Dia menahan tabung lipstik itu keluar dari jangka
uan Thalia.
Thalia menjerit marah. Dia mengayunkan (tangannya) ke lipstik itu. Tapi ia tak c
ukup cepat untuk meraihnya kembali.
Mata abu-abu Greta berkilat senang. Dia tertawa dan melemparnya ke seorang lelak
i di seberang ruangan.
"Kembalikan!" Jerit Thalia.
Dia melompat. Matanya liar, dan wajahnya pucat.
"Kembalikan! Kembalikan! Kembalikan!"
Dengan geraman marah, Thalia terjun melewati barisan meja dan mencoba untuk mena
ngkap anak itu.
Sambil tertawa, anak itu menghindar menjauhkan dirinya dari Thalia dan melempark
an tabung lipstik itu kembali ke Greta.
Tabung logam itu membentur meja dan terpental ke lantai.
Thalia meluncurkan dirinya dengan cepat ke lantai, meraihnya dengan liar dengan
kedua tangannya.
Aku sudah setengah ke depan ruangan. Saat ia dan Greta bergulat di atas lantai u
ntuk lipstik, aku ternganga kaget pada Thalia.
Apa masalahnya? Aku bertanya-tanya. Kenapa dia begitu mati-matian untuk mendapat
kan tabung itu kembali? Itu hanya lipstik saja.
Anak-anak lain menonton perebutan itu. Aku melihat gadis-gadis di ruangan belaka
ng menertawakan Thalia. Mereka orang-orang yang telah menggodanya karena memakai
riasan.
Beberapa anak-anak bersorak saat Greta bergerak maju dengan lipstik itu. Dia men
gangkatnya dalam tinju besarnya.
Thalia menjerit dan meraihnya.
Dan lalu Greta mengangkat tabung lipstik itu lebih tinggi dari wajah Thalia.
Dan menggambar suatu wajah merah tersenyum di dahi Thalia.
Mata Thalia meneteskan air mata sekarang. Aku melihat bahwa ia benar-benar kehil
angan itu.
Aku tak benar-benar mengerti mengapa dia begitu keranjingan tentang hal itu. Tap
i aku memutuskan aku harus melakukan sesuatu.
Waktunya jadi pahlawan bagi Tommy Frazer.
"Hei - kembalikan itu padanya!" Aku menggelegar.
Aku menarik napas panjang dan melangkah maju untuk memberi Greta pelajaran.

8
Greta memegang tabung lipstik itu tinggi-tinggi di atas kepalanya, mendorong Tha
lia pergi dengan tangannya yang lain.
"Berikan kembali padanya!" Aku bersikeras, berusaha terdengar tangguh. "Ini tak
lucu, Greta. Berikan Thalia lipstik itu. "
Aku melompat dan meraih tangan dengan lipstik di dalamnya.

Aku mendengar beberapa anak bersorak dan bertepuk tangan. Aku tak tahu mereka me
nyoraki siapa.
Menggunakan kedua tangan, aku mulai bergerak mengambil tabung dari tangan besar
Greta. Dan saat itulah Mr Devine kembali ke ruangan.
"Apa yang terjadi?" tuntutnya.
Aku berbalik untuk melihatnya menatapku melalui kacamata hitamnya yang berbingka
i bulat.
Aku menurunkan tanganku dari tangan Greta. Tabung lipstik itu jatuh ke lantai. T
abung itu berguling di bawah meja Thalia.
Dengan jeritan kecil, ia terjun untuk mengambilnya.
"Apa yang terjadi di sini?" Mr Devine bergerak cepat ke depan ruangan.
"Tommy, mengapa kau di sini?" tuntut guru itu. Di balik kacamatanya yang tebal,
matanya tampak sebesar bola tenis! "Kenapa kau pergi dari tempat dudukmu? "
"Aku hanya ... eh ... mengambil sesuatu," aku tercekat.
"Dia membantuku," Thalia menimpali.
Aku menatap ke arahnya. Dia tampak lebih tenang sekarang begitu dia mendapatkan
lipstiknya kembali.
Sementara itu, hatiku berdebar seperti gila.
"Kembalilah ke bangku kalian , semua orang," perintah Mr Devine. "Aku harusnya b
isa meninggalkan ruang ini untuk dua menit tanpa semua orang akan mengamuk." Dia
berbalik menatap Greta.
"Cuma main-main," gumamnya. Dia melemparkan rambut putih pirangnya ke belakang d
an jatuh dengan keras ke bangkunya.
Aku merosot kembali ke mejaku dan mengambil dalam napas. Aku ingin bertanya Thal
ia sebesar apa masalahnya tentang lipstiknya. Tapi dia tak berbalik.
Butuh beberapa detik bagi Mr Devine untuk membuat semua orang tenang. Kemudian i
a melirik ke arah jam di atas papan tulis.
"Kita punya dua puluh menit lagi sampai bel berdering, "katanya. "Aku harus meng
urus beberapa dokumen di mejaku. Jadi aku ingin kalian untuk menggunakan waktu m
embaca dengan tenang. "
Dia melepas kacamatanya dan meniup setitik noda dari salah satu lensa. Matanya t
ampak seperti kelereng kecil saat ia melepas kacamata.
"Buku laporan kalian semua dijadwalkan pada hari Senin," katanya mengingatkan ki
ta. "Jadi, ini akan menjadi saat yang bagus untuk beberapa bacaan. "
Ada banyak suara gesekan kursi, kantong buku yang ditarik dan berbunyi gedebuk s
aat kami semua mengeluarkan buku bacaan kami. Beberapa detik kemudian, ruangan i
tu terasa sunyi.
Aku sedang membaca sebuah buku cerita pendek oleh Ray Bradbury dari buku laporan
ku. Aku bukanlah penggemar sains-fiksi. Tapi cerita-cerita ini benar-benar bagus
. Kebanyakan darinya punya akhir mengejutkan, yang benar-benar kusukai.
Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada cerita yang kubaca. Ini tentang anak-anak
yang tinggal di planet di mana hujan tak pernah berhenti. Suatu cerita yang sang
at menyedihkan. Mereka tak pernah melihat sinar matahari. Dan mereka tak pernah
bisa keluar untuk bermain.
Aku membaca beberapa halaman. Dan lalu aku hampir menjatuhkan buku ketika aku me
ndengar suara. Suara seorang gadis. Sangat pelan tapi sangat dekat.
"Tolong bantu aku, "Serunya. "Bantu aku...."
Kaget, aku segera menutup buku dan melirik sekeliling.
Siapa yang berkata?
Mataku mendarat ke Thalia. Apa dia memanggilku?
Tidak. Wajahnya terbenam dalam sebuah buku.
"Tolong aku. Tolong! "Aku mendengar gadis itu memohon lagi.
Aku berbalik. Tak ada seorang pun di sana.
"Apa ada yang mendengar itu?" Tanyaku, lebih keras dari kurencanakan.
Mr Devine mengangkat matanya dari kertas.
"Tommy? Apa katamu? "
"Apa ada seseorang yang mendengar gadis itu?" Tanyaku. "Yang meminta pertolongan
?"
Beberapa anak tertawa. Thalia berbalik dan mengernyit padaku.
"Aku tidak mendengar apa pun," jawab Mr Devine.

"Tidak. Sungguh, "aku bersikeras. "Aku mendengarnya. Dia mengatakan, "Tolong ban
tu aku. '"
Mr Devine berdecak-decak. "Kau terlalu muda untuk memulai mendengar suara-suara.
"
Lebih banyak anak-anak yang tertawa. Aku tak berpikir itu sangat lucu.
Aku mendesah dan mengambil bukuku. Aku tak bisa menunggu bel berdering. Aku bena
r-benar ingin keluar dari kelas ini.
Aku membolak-balik buku itu, berusaha mencari halamanku.
Tapi sebelum aku menemukannya, aku mendengar suara gadis itu lagi.
Begitu pelan dan dekat. Dan begitu sedih.
"Tolong aku. Tolong. Tolong. Siapa pun tolong aku."

9
Pada malam pesta dansa sekolah, Ben, Thalia, dan aku sampai ke gedung olahraga l
ebih dulu. Dengan hanya waktu satu jam, kami sedang sibuk memberikan sentuhan ak
hir pada dekorasi.
Kurasa itu semua tampak cukup bagus.
Spanduk kami telah membentang di lorong luar gedung olahraga. Dan dua spanduk be
sar di gedung olahraga, menyatakan BELL VALLEY ROCKS! dan SELAMAT DATANG, SEMUA
ORANG!
Kami mengikat karangan bunga yang sangat besar di balon helium ke dua keranjang
bola basket. Balon-balon merah dan hitam, tentu saja. Dan kami memiliki kain sut
ra merah dan hitam - pita-pita kertas di dinding dan di atas bangku-bangku penon
ton.
Thalia dan aku telah menghabiskan waktu berhari-hari melukis satu poster besar b
ison memberi tanda jempol.
Di bawah bison itu terbaca PERATURAN Bisons! Dalam huruf-huruf merah dan hitam.
Thalia dan aku bukanlah seniman yang sangat bagus. Bison itu tak benar-benar ter
lihat seperti foto-foto bison yang akan kita ditemukan dalam buku-buku. Ben berk
ata itu tampak lebih seperti sapi yang telah lama sakit. Tapi kita menggantungka
n poster itu, bagaimanapun juga.
Sekarang, kami bertiga mengatur kain sutra merah-hitam - kertas lap di atas meja
makanan dan minuman. Aku melirik jam papan skor. Tujuh tiga puluh. Pesta dansa
dijadwalkan untuk mulai pukul delapan.
"Kita masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan," kataku.
Ben menarik ujung kertas lap begitu keras. Aku mendengar suara robekan pelan.
"Uups," katanya. "Ada yang membawa plester?"
"Itu tak masalah," kata Thalia kepadanya. "Kita cukup menutupi bagian yang robek
dengan botol soda atau sesuatu. "
Aku melirik jam lagi. "Kapan band (grup musik) itu seharusnya tiba? "
"Sebentar lagi," jawab Thalia. "Mereka harusnya berada di sini lebih awal untuk
mengatur. "
Beberapa anak telah membentuk band bernama Grunt. Itu adalah semacam band aneh lima pemain gitar dan seorang penabuh drum. Dan aku mendengar beberapa anak men
gatakan bahwa tiga dari pemain gitar itu benar-benar tak tahu caranya bermain. T
api Mrs Borden meminta mereka untuk menunjukkan beberapa lagu di pesta dansa.
Kami memerlukan beberapa waktu untuk meluruskan taplak meja. Itu sungguh-sungguh
bukan meja cukup besar.
"Apa selanjutnya?" Tanya Ben. "Apa kita punya dekorasi untuk pintu gedung olahra
ga? "
Sebelum aku bisa menjawab, pintu ganda itu berayun terbuka, dan Mrs Borden datan
g menyerbu masuk. Pada awalnya, aku tak mengenalinya. Dia mengenakan gaun pesta
merah terang mengkilap. Dan rambut keriting hitamnya ditumpuk naik tinggi di kep
alanya di balik perhiasan perak.

Bahkan dengan rambut ditumpuk ke atas, dia masih tak banyak lebih tinggi kami!
Matanya bergerak cepat ke seliling gedung olahraga sambil bergegas kepada kami.
"Ini tampak hebat! Benar-benar menakjubkan, anak-anak! " semburnya. "Oh, kalian
bekerja sangat keras! kalian melakukan pekerjaan yang indah! "
Kami berterima kasih padanya.
Dia memberikan kamera Polaroid ke tanganku.
"Ambil gambar, Tommy," ia memerintahkanku. "Foto dari dekorasi. Cepat. Ambil sel
uruhnya sebelum sekelompok orang mulai datang. "
Aku memeriksa kamera. "Yah ... oke," aku setuju. "Tapi Thalia, Ben, dan saya mas
ih ada beberapa hal yang harus dikerjakan. Kami memiliki poster pintu-pintu. Dan
kami membutuhkan lebih banyak balon di sana. Dan - dan - "
Mrs Borden tertawa. "Kau agak tegang!"
Thalia dan Ben tertawa juga. Aku bisa merasakan wajahku berubah panas. Aku tahu
aku tersipu-sipu.
"Tenang saja, Tommy," kata Mrs Borden, menepuk bahuku menenangkan. "Atau kau tak
akan bertahan sampai pesta dansa. "
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku baik-baik saja," kataku.
Sedikit pun aku menyadari bahwa setelah kerja kerasku aku tak akan pernah meliha
t pesta dansa itu.

10
"Yo! Awas! "
"Pindahkan pengeras suara itu! Hei, Greta-pindahkan pengeras suara itu! "
"Pindahkan sendiri!"
"Di mana wa-wa-ku? Apa ada yang melihat wa-wa pedalku? "
(wa-wa pedal: semacam gitar yang merubah sinyal-sinyal suara untuk menghasilkan
efek yang nyata)
"Aku memakannya untuk sarapan!"
"Kau tak lucu. Pindahkan pengeras suara itu!"
Para anggota band tiba saat aku sedang mengambil (foto dengan) kamera Polaroid i
tu. Dan mereka langsung mengambil alih, membuat keributan besar saat mereka meng
atur bangku-bangku penonton.
Para gitaris semuanya laki-laki. Greta penabuh drumnya. Melihatnya membawa drumnya di gedung olahraga mengingatkanku perkelahian lipstik di kelas pada hari Kam
is.
Setelah sekolah, aku bertanya Thalia apa masalah besarnya.
"Mengapa kamu jadi gila?" Tanyaku.
"Aku tak gila!" Desak Thalia. "Greta yang gila. Dia pikir karena dia begitu besa
r dan kuat dia benar-banar bisa mengambil apa saja yang dia inginkan. "
"Dia benar-benar aneh," aku setuju. "Tapi kau begitu marah-"
"Aku suka lipstik itu. Itu saja, " jawab Thalia. "Ini lipstik terbaikku. Mengapa
aku harus membiarkan ia mengambilnya dariku? "
Sekarang Greta, berpakaian hitam-hitam seperti biasa, menyiapkan dengan sisa ang
gota band. Mereka semua tertawa dan mendorong satu sama lain, melemparkan kabel
bolak-balik, mengaitkan di atas kotak-kotak gitar mereka. Bertindak seperti oran
g penting karena mereka punya Band.
Beberapa anak lain mulai berdatangan. Aku mengenali dua gadis pengambil tiket. D
an beberapa anak-anak dari panitia makan dan minuman, yang mulai mengeluh bahwa
seseorang hanya memesan Mountain Dew dan tak ada Coca Cola.
(Mountain Dew produk minuman rasa lemon dari Pepsi yang cukup pupuler di negeri
asalnya Amerika serta di tempat lain di dunia ini. Namun tidak beredar di Indone
sia)

Aku buru-buru berkeliling, mengambil foto dari spanduk dan balon. Aku sedang sia
p-siap untuk memotret poster bison kami saat teriakan keras membuatku berbalik m
emutar.
Aku melihat Greta dan salah satu pemain gitar pura-pura berduel dengan gitar. Pa
ra anggota band lainnya tertawa dan menyemangati mereka.
Greta mengambil salah satu gitar. Dia dan pria lainnya mengangkat gitar tinggi-t
inggi di atas kepala mereka dan datang menyerbu satu sama lain.
"Jangan - berhenti!" teriakku.
Terlambat.
Gitar Greta menyobek tepat melalui spanduk BELL VALLEY ROCKS!. Merobeknya jadi d
ua!
Aku mengeluarkan erangan keras saat dua bagian dari spanduk itu jatuh ke lantai.
Aku berbalik dan melihat wajah sedih dari Thalia dan Ben.
"Hei - maaf tentang itu!" kata Greta. Lalu dia tertawa.
Aku bergegas ke spanduk yang rusak itu dan mengangkat salah satu ujungnya. Thali
a dan Ben berada tepat di belakangku.
"Apa yang akan kita lakukan?" Teriakku. "Ini hancur."
"Kita tak bisa meninggalkannya di sini tergantung di atas lantai, "kata Thalia,
menggoyangkan kepalanya.
"Kita membutuhkannya!" aku menyatakan.
"Ya. Ini spanduk terbaik kita, "Thalia setuju.
"Mungkin kita bisa merekatkan kembali bersama-sama," saranku.
"Tak ada masalah. Kita akan merekatkannya bersama-sama, "kata Ben. "Ayolah, Tomm
y."
Dia meraih lenganku dan mulai untuk menarikku.
Aku hampir menjatuhkan kamera Mrs Borden.
"Kita mau kemana?" tuntutku.
"Ke atas, ke ruang seni, tentu saja," jawab Ben. Dia mulai berlari ke pintu gan
da gedung olahraga, dan aku mengikutinya.
Ini tak akan butuh waktu lama untuk merekatkan bersama-sama, pikirku.
Lalu aku akan mengambil tangga dari lemari petugas kebersihan, dan kami akan men
ggantungnya kembali.
Kami melangkah keluar ke lorong-dan aku berhenti.
Anak-anak yang datang untuk dansa, bergegas ke gedung olahraga.
"Kita tak punya waktu untuk memperbaiki spanduk!" Kataku pada Ben.
"Kita akan cepat-cepat," katanya. "Tak ada masalah."
"Tapi - tapi ruang seni jalannya naik sampai di lantai tiga! "Aku tergagap. "Pad
a saat kita jalan turun kembali ke gedung olahraga ... "
"Tenang," kata Ben. "Ini tak akan perlu waktu lama - jika kau berhenti mengeluh.
Ayolah. Ayo kita pergi! "
Ben benar. Aku mulai berlari menyusuri lorong.
Anak-anak mengalir ke gedung olahraga. Aku tahu kami harus buru-buru.
"Hei - bukan ke arah situ!" Aku mendengarnya memanggil. "Kau salah jalan, Tommy!
"
"Aku tahu di mana aku akan pergi!" Aku memanggilnya kembali. "Aku pergi ke jalan
ini terakhir kali! "
Aku berlari ke ujung lorong dan berbelok.
"Tommy - berhenti!" panggil Ben.
"Naiklah ke jalan ini!" Aku memanggilnya kembali kepadanya. "Jalan ini lebih cep
at. Aku tahu itu. "
Tapi aku salah. Aku seharusnya mendengarkan Ben. Beberapa detik kemudian, lorong
berakhir pada dinding berpalang kayu.
"Lihat?" Teriak Ben terengah-engah. "Apa masalahmu? Tangganya di belakang sana.
"
"Oke. Aku salah, "kataku. "Aku ingin terburu-buru, itu saja. "
"Tapi kau tak tahu di mana kau akan pergi!" Katanya marah. "Ingat, Tommy? Kau bu
tuh peta jalan untuk menemukan jari kakimu! "
"Sangat lucu," gumamku. Aku menatap berkeliling. "Dimana kita? "
"Aku tak tahu! Aku tak percaya aku mengikutimu! "Ben kesal. Dia memukul kedua ta

ngannya pada dinding berpalang kayu itu.


"Hei-!"
Kami berdua memekik saat papan tua membusuk itu jadi pecah.
Kaget, Ben tersandung ke depan dan jatuh tepat melalui papan itu. Papan-papan it
u pecah dan jatuh ke lantai. Dan Ben jatuh di atasnya.
"Oh, wow." Aku membungkuk untuk membantunya berdiri. "Lihat ini!"
Aku berkata, mengintip menyusuri suatu lorong gelap. "Ini harusnya gedung sekola
h lama. Bangunan yang mereka tutup. "
"Menggetarkan dan mengerikan," gumam Ben. Dia mengerangdan mengusap lututnya. "L
ututku tergores pada papan-papan ini. Kurasa berdarah. "
Aku mengambil beberapa langkah ke dalam ruang gelap. "Sekolah ini telah ditutup
selama lima puluh tahun, "kataku. "Kita mungkin anak-anak yang pertama di sini s
ejak itu! "
"Ingatkan aku untuk menulisnya dalam buku harianku," geram Ben, masih menggosok
lututnya. "Apakah kita akan ke seni ruang atau apa? "
Aku tak menjawabnya. Sesuatu di dinding di seberang kami tertangkap mataku. Aku
berjalan padanya.
"Hei, Ben. Lihatlah. Lift. "
"Hah?" Dia berjalan tertatih-tatih di seberang lorong padaku.
"Apa kau percaya?" Tanyaku. "Mereka punya lift dalam sekolah tua. "
"Anak-anak yang beruntung," jawab Ben.
Aku menekan tombol di dinding. Mengejutkanku, pintu itu bergeser terbuka.
"Wah-!"
Aku mengintip ke dalam. Satu lampu langit-langit berdebu menyala, mengirimkan ca
haya putih pucat ke bawah melalui logam lift.
"Ini menyala!" Teriak Ben. "Ini berfungsi!"
"Ayo kita bawa ke lantai tiga," aku mendesak. "Ayolah. Mengapa kita harus berjal
an naik tangga? "
"Tapi- tapi-" Ben tertahan mundur. Tapi aku meraih bahunya dan mendorongnya ke d
alam lift. Dan mengikutinya masuk.
"Ini bagus!" Seruku. "Aku sudah bilang aku tahu bagaimana untuk sampai ke sana."
Mata Ben melesat gugup di sekeliling lift sempit abu-abu itu. "Kita seharusnya t
ak melakukan hal ini," gumamnya.
"Apa yang bisa terjadi?" Jawabku.
Pintu tertutup dengan pelan.

11
"Apa kita bergerak?" Tanya Ben. Matanya naik ke langit-langit lift.
"Tentu saja tidak," jawabku. "Kita belum lagi menekan tombol. "
Aku mengulurkan tangan dan menekan tombol dengan (tulisan) besar hitam 3 di atas
nya. "Apa masalahmu, sih?" tuntutku. "Kenapa kau begitu gelisah? Kita tak meram
pok bank atau apa pun. Kita hanya menggunakan lift karena kita sedang terburu-bu
ru. "
"Lift berumur lima puluh tahun," jawab Ben.
"Jadi?" tuntutku.
"Jadi ... kita tak bergerak," kata Ben pelan.
Aku menekan tombol lagi. Dan mendengarkan untuk dengungan yang berarti kami akan
naik.
Sunyi.
"Ayo kita keluar dari sini," kata Ben. "Ini tak bekerja. Aku bilang kita tak har
us mencobanya. "
Aku menekan tombol lagi. Tidak ada apa-apa.
Aku menekan tombol bertanda 2.

"Kita membuang-buang waktu," kata Ben. "Jika kita berlari menaiki tangga, kita a
kan sudah berada di atas sana. Pesta dansa akan mulai, dan sisa spanduk bodoh it
u di atas lantai. "
Aku menekan tombol 3 lagi. Dan tombol 2.
Tak ada. Tak ada suara. Kami tidak bergerak.
Aku menekan tombol bertanda B.
"Kita tak ingin pergi ke ruang bawah tanah!" teriak Ben. Aku mendengar sedikit k
epanikan mulai merayap ke dalam suaranya. "Tommy, mengapa kau menekan B?"
"Hanya mencoba untuk membuatnya bergerak," kataku. Tenggorokanku tiba-tiba teras
a sedikit kering. Perutku melilit.
Kenapa kami tak bergerak?
Aku menekan semua tombol lagi. Lalu aku menghantamnya dengan tinjuku.
Ben menarik tanganku. "Percobaan bagus, jagoan," katanya sinis. Ayo kita keluar
dari sini, oke? Aku tak ingin melewatkan seluruh pesta dansa. "
"Thalia mungkin agak marah sekarang," kataku, menggelengkan kepala. Aku menekan
tombol 3 beberapa kali.
Tapi kami tak bergerak.
"Buka saja pintunya," Ben bersikeras.
"Oke. Baik, "aku setuju dengan sedih. Mataku menyapu di atas panel kontrol.
"Ada yang salah?" Tanya Ben tak sabar.
"Aku - aku tak dapat menemukan tombol membuka pintu," aku tergagap.
Dia mendorongku keluar dari jalan. "Di sini," katanya, menatap di atas tombol ke
perakan . "Uh ..."
Kami berdua mempelajari panel kontrol.
"Harusnya ada yang menjadi tombol pembuka pintu," gumam Ben.
"Mungkin itu salah satu ini dengan panah," kataku. Aku menurunkan tanganku ke to
mbol di bagian bawah panel logam. Itu dua panah di atasnya yang runcing seperti
ini: <>.
"Ya. Dorong, "kata Ben. Dia tak menungguku untuk melakukannya. Dia meraih melewa
tiku dan menekan tombol keras dengan tangan terbuka.
Aku menatap pintu, menunggu pintu untuk meluncur membuka.
Pintu itu tak bergerak.
Aku menampari tombol <> lagi. Dan lagi.
Tidak ada.
"Bagaimana kita akan keluar dari sini?" teriak Ben.
"Jangan panik," kataku. "Kita akan membuat pintu itu terbuka. "
"Mengapa aku tak perlu panik?" Tanyanya nyaring.
"Karena aku ingin menjadi orang yang panik dulu!" Aku mengumumkan. Kupikir leluc
on kecilku akan membuatnya tertawa dan menenangkannya. Lagipula, dia selalu memb
uat lelucon.
Tapi dia bahkan tak tersenyum. Dan dia tak mengalihkan matanya dari pintu lift y
ang gelap itu.
Aku mendorong tombol <> sekali lagi. Aku menahannya tertekan dengan ibu jariku.
Pintu itu tidak membuka.
Aku menekan tombol 3 dan 2. Aku mendorong tombol 1.
Tidak ada apa-apa. Sunyi. Tombol itu bahkan tak berbunyi.
Ben mata melotot. Dia menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya. "Tolong kami!"
Teriaknya. "Bisakah siapa saja mendengarku? Tolong kami! "
Sunyi.
Lalu aku melihat tombol merah di bagian atas panel kontrol.
"Ben - lihat," kataku. Aku menunjuk ke tombol merah.
"Tombol darurat!" Serunya gembira.
"Tolong, Tommy. Tolong! Mungkin alarm. Seseorang akan mendengarnya dan menyelama
tkan kita! "
Aku menekan tombol merah itu.
Aku tak mendengar alarm.
Tapi lift itu mulai menderum.
Aku mendengar dentingan roda gigi. Lantai dibawah kaki kami bergetar.
"Hei - kita bergerak!" Teriak Ben gembira.
Aku bersorak. Lalu aku mengangkat tangan untuk ber-tos dengannya.

Tapi lift itu tersentak keras, dan aku terjatuh ke dinding.


"Uh-oh," gumamku, menarik diriku tegak. Aku berpaling kepada Ben. Kami saling me
natap dengan mata terbelalak diam, tak percaya dengan apa yang terjadi.
Lift itu tak bergerak naik. Atau turun. Lift itu bergerak ke samping.

12
Lift itu bergemuruh dan berguncang. Aku meraih pagar kayu di sampingnya. Roda-ro
da giginya berdentang ribut.
Lantai di bawah sepatuku bergetar.
Kami saling menatap, menyadari apa yang terjadi. Tak ada dari kami berbicara.
Ben akhirnya memecah kesunyian. "Ini tak mungkin, "gumamnya. Kata-katanya keluar
dalam bisikan tercekat.
"Kemana lift ini membawa kita?" tanyaku pelan, mencengkeram pagar begitu keras h
ingga tanganku sakit.
"Tak mungkin!" Ben diulang. "Hal ini tak bisa terjadi. Lift hanya naik dan-"
Lift itu terguncang keras saat kami mendadak sangat berhenti.
"Aaaaa!" Aku menjerit saat bahuku terbentur ke dinding lift.
"Lain kali, kita gunakan tangga," geram Ben.
Pintu-pintu bergeser terbuka.
Kami mengintip keluar. Ke gelap gulita.
"Apa kita di ruang bawah tanah?" Tanya Ben, menjulurkan kepalanya keluar pintu.
"Kita tak turun," jawabku. Bagian bawah belakang leherku gemetaran. "Kita tidak
naik atau turun. Jadi ... "
"Kami masih di lantai pertama." Ben menyelesaikan kalimatku. "Tapi kenapa begitu
gelap di sini? Aku tak bisa percaya ini terjadi! "
Kami melangkah keluar dari lift.
Aku menunggu mataku untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Tapi mataku tak bisa menyesuaikan. Ruangan itu terlalu gelap.
"Harusnya ada saklar lampu," kataku. Aku mengerakkan tanganku di sepanjang dindi
ng. Aku bisa merasakan garis ubin.
Tapi tak ada saklar lampu.
Aku menyapukan kedua tangan ke atas dan bawah dinding. Tak ada saklar lampu.
"Ayo kita keluar dari sini," desak Ben. "Kita tak ingin terjebak di sini. Kita t
ak bisa melihat apa-apa. "
Aku masih mencari lampu. "Oke," aku setuju.
Aku menurunkan tanganku dan mulai kembali ke lift.
Aku mendengar pintu geser tertutup.
"Tidak!" Aku menjerit tajam.
Ben dan aku menggedor pintu lift. Lalu aku meraba di sepanjang dinding untuk men
cari tombol pembuka pintu.
Panik, tanganku gemetar. Aku menyapukan telapak tanganku yang terbuka di sepanja
ng dinding di kedua sisi pintu yang tertutup itu.
Tak ada tombol. Tak ada tombol lift.
Aku berbalik dan bersandar ke dinding. Aku tiba-tiba terengah-engah. Hatiku berd
ebar-debar.
"Aku tak bisa percaya ini terjadi," gumam Ben.
"Tolong bisakah kau berhenti mengatakan itu!" tuntutku. "Ini terjadi. Kita di si
ni. Kita tak tahu di mana. Tapi kita di sini."
"Tapi jika kita tak bisa ke lift, bagaimana kita bisa keluar dari sini? "rengek
Ben.
"Kita akan menemukan jalan," kataku. Aku mengambil napas dalam-dalam dan menahan
nya. Aku memutuskan aku harus menjadi orang tenang karena ia begitu cengeng dan
takut.
Aku mendengarkan baik-baik. "Aku tak bisa mendengar musik atau suara atau apa pu

n. Kita pasti jauh dari gedung olahraga. "


"Yah ... apa yang kita lakukan?" Teriak Ben. "Kita tak bisa hanya berdiri di sin
i! "
Pikiranku mendesir. Aku memicingkan mata ke dalam kegelapan, berharap untuk mene
mukan sebentuk jendela atau pintu.
Apapun!
Tapi kegelapan yang mengelilingi kami lebih gelap daripada langit pada malam tak
berbintang.
Aku menekan punggungku dinding ubin dingin. "Aku tahu, "kataku. "Kita akan tetap
di dinding."
"Dan?" Bisik Ben. "Dan kita akan melakukan apa?"
"Kita akan bergerak sepanjang dinding," aku melanjutkan. "Kami akan bergerak sep
anjang dinding hingga kita sampai ke suatu pintu. Suatu pintu ke sebuah ruangan
dengan lampu. Maka mungkin kita akan dapat mencari tahu di mana kita berada. "
"Mungkin," jawab Ben. Dia tak terdengar penuh harapan.
"Tetaplah dekat di belakangku," perintahku padanya.
Dia menabrakku.
"Jangan sedekat itu!" Kataku.
"Aku tak bisa menahannya. Aku tak bisa melihat! "Teriaknya.
Bergerak perlahan - sangat lambat - kami mulai berjalan.
Aku menjaga tangan kananku di dinding, meluncurkannya di sepanjang ubin saat kam
i berjalan.
Kami baru saja mengambil beberapa langkah saat aku mendengar suara di belakangku
. Batuk.
Aku berhenti dan berbalik. "Ben - kaukah itu?"
"Hah?" Dia menabarakku lagi.
"Apa kau batuk?" tanyaku pelan.
"Tidak," jawabnya.
Aku mendengar batuk lagi. Lalu bisikan keras.
"Uh ... Ben ..." kataku, meraih bahunya.
"Coba tebak? Kita tidak sendirian. "

==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
13
Kami berdua tersentak saat lampu menyala. Redup dan abu-abu pada awalnya.
Aku mengerjap beberapa kali dan menunggu lampu menjadi terang.
Tapi lampu itu tidak terang.
Aku menatap keluar. Kami berada di sebuah ruangan! Suatu kelas abu-abu. Mataku b
ergerak dari papan tulis hitam itu ke meja guru berwarna arang itu.
Ke meja-meja siswa abu-abu yang gelap. Ke ubin dinding yang abu-abu. Lalu turun
ke lantai kelas yang berpola hitam dan abu-abu.
"Aneh," gumam Ben. "Mataku-"
"Bukan matamu," aku meyakinkannya. "Lampunya sangat redup di ruangan ini, itu y
ang membuat segalanya tampak abu-abu dan hitam. "
"Ini seperti berada di sebuah film tua hitam-putih," Ben menyatakan.
Menyipitkan mata ke dalam cahaya redup, kami mulai berjalan menuju pintu kelas.
"Ayo kita keluar dari sini," saranku. "Sebelum lampunya mati lagi."
Kami berada setengah jalan di seluruh ruangan ketika aku mendengar batuk lainnya
. Dan lalu terdengar suara cewek terdengar. "Hei -! "
Ben dan aku sama-sama berhenti. Kami berbalik saat seorang gadis sebaya kami mel
angkah keluar dari balik lemari buku.
Dia menatap kami.

Kami balas menatapnya.


Dia agak manis, dengan rambus hitam lurus dan berponi di belakang kepala. Dia me
makai sweter yang tampaknya model kuno berleher V, rok berlipat panjang, dan sep
atu sadel hitam-putih.
Aku membuka mulut untuk mengatakan hai. Tapi tak ada suara yang keluar saat aku
memperhatikan kulitnya. Kulitnya seabu-abu sweaternya. Dan matanya abu-abu. Dan
bibirnya abu-abu.
Dia seperti ruangan itu. Dia hitam-putih juga!
Ben dan aku saling bertukar pandang bingung. Lalu aku berbalik kembali ke gadis
itu. Dia menempel ke sisi lemari, menatap curiga Ben dan aku.
"Apa kau bersembunyi di belakang sana?" semburku.
Dia mengangguk. "Kami mendengar kalian datang. Tapi kami tak tahu siapa kau. "
"Kami?" Tanyaku.
Sebelum dia bisa menjawab, lebih banyak anak-anak lagi, dua anak laki-laki dan d
ua perempuan -melompat keluar dari balik lemari yang tinggi.
Semuanya abu-abu! Semuanya dalam nuansa abu-abu!
"Lihatlah mereka!" Teriak salah satu anak laki-laki itu. Matanya menonjol saat i
a menatap kami.
"Aku tak percaya ini!" Teriak anak laki-laki lainnya.
Sebelum Ben dan aku bisa bergerak, mereka bergegas maju.
Semua berteriak dan menangis sekaligus, mereka lari berebutan melewati ruangan.
Mengelilingi kami.
Meraih kami.
Menarik-narik pakaian kami .
Menarik kami. Menjerit. Tertawa. Memekik.
Mencopot bajuku. Merobek lengan bajuku.
"Ben-!" Aku berteriak. "Mereka-mereka akan mengoyak-ngoyak kita."

14
"Lihat! Lihat ini! "Teriak seorang gadis. Dia mengangkat lengan bajuku.
Dua anak laki-laki menarik-narik sisa bajuku.
Aku jatuh ke lantai. Mencoba menggeliat pergi. Tapi mereka telah mengelilingi ka
mi. Seorang gadis mencopot salah satu sepatuku.
Ben mengayunkan tinjunya yang keras, mencoba untuk melawan menjauhkan mereka. T
angannya memukul papan tulis, dan ia berteriak kesakitan.
"Berhenti!" aku mendengar seorang anak berteriak di atas teriakan-teriakan lainn
ya. "Hentikan! Jauhi mereka! "
Aku menendang dengan kedua kaki. Aku melihat Ben mengayunkan tinjunya lagi.
"Hentikan!"jerit anak itu. "Pergi! Ayolah - hentikan! "
Anak-anak itu mundur. Gadis itu menjatuhkan sepatuku. Aku meraihnya dari lantai.
Mereka mundur beberapa langkah, bergerak dalam barisan, menatap kami.
"Warna!" Seru seorang gadis. "Begitu banyak warna!"
"Sungguh menyakiti mataku!" Teriak seorang anak laki-laki.
"Tapi begitu indah!" Sembur seorang gadis. "Itu - itu seperti mimpi! "
"Apa kau masih mimpi berwarna?" tanya anak laki-laki itu padanya. "Mimpiku serba
hitam dan putih."
Menarik-narik sepatuku, aku naik berdiri dengan gemetar.
Aku berjuang untuk meluruskan celana khaki-ku dan menyelipkannya ke bajuku yang
robek.
Ben mengusap tangan yang dia gunakan memukul. Rambut pirangnya kusut dengan keri
ngat. Wajahnya merah cerah.
"Tommy," bisiknya. "Apa yang terjadi? Ini gila! "
Aku menatap lima anak yang berbaris di depan kami.
"Tak ada warna ..." gumamku.

Mereka semua hitam dan putih. Baju mereka, kulit mereka, mata mereka, rambut mer
eka -tak ada warna sama sekali. Hanya warna abu-abu dan hitam.
Saat aku berjuang untuk menarik napas, aku mempelajari mereka.
Dan menyadari mereka tak terlihat seperti anak-anak modern, seperti anak-anak d
ari sekolah kami.
Gadis-gadis semua memakai rok, rok panjang ke pergelangan kaki mereka. Anak-anak
memakai kaos olahraga besar-berkerah, terselip ke dalam celana longgar yang ber
lipat.
Seperti dalam film tua ... pikirku.
Dan semuanya hitam dan abu-abu.
Kami semua saling menatap satu lama lain untuk waktu yang lama.
Kemudian anak laki-laki yang tampaknya pemimpin mereka berkata. "Kami semua meny
esal," katanya. "Kalian lihat, kami-"
"Kami tak bermaksud menyakiti kalian," sela gadis di sampingnya. "Hanya saja ...
kami sudah begitu lama tak melihat warna."
"Aku hanya ingin menyentuhnya," gadis dengan hitam poni di dahinya menambahkan,
menggelengkan kepalanya sedih. "Aku ingin menyentuh warna. Sudah begitu lama. B
egitu lama ... "
"Apakah kalian datang untuk membantu kami?" tanya anak laki-laki pertama itu den
gan lembut. Mata abu-abunya terkunci padaku. Mata yang memohon.
"Membantu kalian?" Jawabku. "Tidak. Tidak, kami tidak. Kalian lihat - "
"Itu terlalu buruk," kata gadis berponi hitam, mengerutkan kening.
"Hah? Terlalu buruk? " Aku tak mengerti.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena," jawab gadis itu, "sekarang kalian tak akan pernah bisa pergi."

15
"Hei - kita sudah membuat mereka ketakutan. Mereka pikir kita sekelompok orang l
iar yang gila. Jangan mencoba untuk lebih menakut-nakuti mereka, Mary! " omel an
ak itu.
"Aku tidak!" Dia bersikeras, menyilangkan tangannya di depan sweater abu-abunya.
"Aku hanya berpikir mereka harus mengetahui kebenaran. Kurasa-"
"Kebenaran?" selaku. "Apa yang terjadi di sini? Ini adalah lelucon-kan? "
"Ya. Ayolah. Sekalah bedak abu-abu di wajah kalian dan beritahu kami kalau ini l
elucon, " timpal Ben.
Gadis yang bernama Maria itu menggigit bibir bawahnya. Aku melihat airmata di ma
ta sebelah kirinya. Meluap ke atas dan bergerak turun ke pipi abu-abunya. "Ini b
ukan lelucon," dia tercekat.
"Yang benar saja!" Ben mengerang. "Buatlah lampu lebih terang, dan-"
"Itu tak akan membantu!" Teriak anak itu marah.
Mary berpaling kepadanya. Dia mengusap airmata pipinya. "Aku benar-benar berpiki
r mereka datang untuk membantu kita," katanya dengan suara bergetar. "Aku benarbenar berpikir bahwa akhirnya ... " suaranya melemah.
Gadis lainnya meletakkan tangannya ke dekat Mary.
Aku menutup mataku saat sejenak. Menyipitkan mata ke dalam (cahaya) abu-abu itu
membuatku sakit kepala.
"Bisakah seseorang memberitahu kami apa yang terjadi?" aku mendengar permintaan
Ben.
Aku membuka mataku untuk melihat kelima anak abu-abu itu bergerak melintasi ruan
gan ke arah kami.
Pemimpinnya sedikit lebih tinggi dariku. Dia memiliki rambut hitam bergelombang,
dan mata hitam besar yang berkerut di sisi-sisinya. Aku melihat bekas luka keci
l abu-abu di atas salah satu alisnya. Dia punya bahu lebar di bawah kaos abu-abu
. Dia tampak sangat atletis.
Gadis di sampingnya tinggi dan sangat langsing. Dia punya rambut panjang abu-abu

yang jatuh lurus ke bawah di punggungnya. Dia punya mata abu-abu sedih.
"Aku Seth," kata anak itu. "Ini adalah Maria dan ini adalah Eloise. "Dia menunju
k. "Eddie dan Mona."
Ben dan aku memperkenalkan diri.
"Kami tak bermaksud untuk menakut-nakuti kalian," ulang Mary.
"Tapi bolehkah kami menyentuh warna-warna kalian? Kami sudah lama sekali tak mel
ihat warna. Kami hanya-" suaranya retak. Dia berpaling.
"Uh ... Ben dan aku harus kembali ke pesta dansa," kataku kepada mereka, melirik
pintu. "Kalian lihat, kami adalah Panitia Dekorasi. Dan papan spanduk. Dan-"
"Kalian tak bisa kembali," kata Seth. Matanya yang gelap menyempit padaku. "Mari
a mengatakan yang sebenarnya. Kalian tidak bisa kembali. "
"Ini bodoh," jawab Ben sambil menggelengkan kepalanya. "Kita berada di bangunan
tua-kan? Kami akan mengikuti lorong sampai mengarah ke gedung baru. Gedung olahr
aga tepat di bawah tangga. "
Eloise terbatuk. Aku menyadari bahwa dia adalah orang yang kudengar saat lampu m
asih padam. Dia menyeka hidungnya dengan tisu abu-abu. Dia tampak kedinginan.
"Kau tak berada di bangunan tua," katanya dengan suara serak.
"Lalu di mana kita?" tuntut Ben. "ruang bawah tanah? "
Anak-anak abu-abu itu menggelengkan kepala mereka.
"Ini agak sulit untuk dijelaskan," kata Seth.
"Yah, kami akan menemukan jalan kembali," kataku pada mereka, bergerak ke pintu.
"Maksudku, sekolah ini tak terlalu besar. Kita tak akan lama tersesat. "
"Kalian tidak benar-benar di sekolah," kata Eloise, menyeka hidungnya lagi.
"Permisi?" Teriak Ben. "Ini terlihat mirip seperti kelas bagiku. Lihat? Meja? Ku
rsi? Kapur papan tulis? "
"Ayo kita pergi," kataku. Aku sedikit mendorongnya ke pintu.
"Duduklah," perintah Seth tajam.
Ben dan aku hampir ke pintu kelas.
"Aku bilang duduk," ulang Seth.
"Kalian sebaiknya mendengarkannya," gadis bernama Mona itu memperingatkan.
Seth memberi isyarat dengan tak sabar pada dua meja. "Duduklah."
Aku menelan ludah. Aku merasakan dinginnya ketakutan di seluruh tubuhku. Aku tak
mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Dan aku tak benar-benar ingin memaham
inya.
Aku hanya ingin pergi menjauh dari ruangan abu-abu ini dan anak-anak hitam-putih
itu.
Mereka bergerak melintasi ruangan ke arah kami. Ekspresi mereka tegang. Seth men
gangkat tangannya kaku di sisi tubuhnya, seolah siap untuk berkelahi.
"Duduklah, teman-teman," tegasnya.
"Maaf. Lain kali saja, "jawab Ben.
Dia dan aku, (kami) berdua punya ide yang sama di kepala kami.
Kami berdua berbalik dan berlari pada saat yang sama. Kami berlari dengan gila k
e pintu kelas.
Aku yang pertama sampai di sana.
Aku meraih gagang pintu. Memutarnya. Dan menariknya.
"Ayo! Ayo! "Teriak Ben panik.
"Ini -ini tak mau terbuka!" Jeritku.
Pintu itu terkunci....

16
Dalam kepanikan yang sangat Ben meraih kenop pintu dan menabrakku keluar dari ja
lan. Dia menarik dengan kedua tangan. Lalu ia menurunkan bahunya ke pintu dan me
ncoba mendorongnya terbuka.

Tapi pintu itu tak bergeming.


"Pintu itu tak akan terbuka," kata Seth tenang.
Aku berbalik. Seth masih menahan tangannya tegang di pinggangnya. Keempat anak-a
nak abu-abu lainnya berdiri di salah satu sisinya, mata mereka menyempit pada ka
mi, menyipitkan mata kita melalui lampu abu-abu yang redup.
"Kenapa - kenapa dikunci?" Aku tergagap terengah-engah.
"Itu bukan pintu yang dapat kami gunakan," jawab Maria. Airmata lainnya berkilau
an di pipi abu-abunya yang pucat. "Itu mengarah ke dunia warna. "
"Hah? Permisi? "Teriakku.
"Lelucon kecil ini ide siapa?" tuntut Ben tak sabar. "Ini tak lucu, teman-teman!
Tidak lucu!"
Aku bisa melihat bahwa Ben akan kehilangan kontrol. Aku meletakkan tangan di len
gannya, tanda untuk tenang.
Aku punya perasaan bahwa anak-anak tak bercanda.
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tuntut Ben. Dia menggedorkan satu tinjun
ya ke pintu. "Kalian tak bisa menahan kita dalam ruangan abu-abu yang aneh ini.
Tidak mungkin! "
Seth menunjuk ke meja lagi. "Duduklah, teman-teman, " pintanya lagi. "Kami tak m
encoba untuk menahan kalian di sini. Dan kami tak berencana untuk menyakiti kali
an atau apa pun. "
Ben melirik jam tangannya. "Tapi-tapi-"
"Kami akan mencoba untuk menjelaskan," Mary menawarkan. "Kalian benar-benar haru
s mencoba untuk memahami apa yang telah terjadi. "
"Terutama karena kalian akan tinggal di sini dengan kami, "tambah Eloise.
Getaran dingin lainnya bergerak di punggungku. "Mengapa kau selalu mengatakan i
tu? "tanyaku.
Mereka tak menjawab.
Ben dan aku merosot ke meja kursi. Ketiga
gadis mengambil kursi di seberang kami. Eddie menyilangkan lengan abu-abunya dan
bersandar di papan tulis.
Seth menarik dirinya ke meja guru.
"Sulit untuk mengetahui dari mana untuk memulai," katanya, menggerakkan tangan k
ebelakang melalui rambut hitam tebalnya.
"Mulailah dengan memberitahu kita di mana kita berada," tuntutku.
"Dan lalu memberitahu kami bagaimana untuk sampai ke gedung olahraga," Ben
bersikeras. "Buatlah singkat saja - oke?"
"Kalian telah datang ke sisi lain," kata Seth.
Ben memutar matanya. "Sisi lain apa?" Katanya bertanya tak sabar.
"Sisi lain dinding," jawab Seth.
Eloise bersin. Dia menarik segulung tisu dari tas di pinggangnya. "Aku tak bisa
menyingkirkan dingin ini," dia mendesah. "Kurasa pikir itu karena tak ada sinar
matahari."
"Tak ada sinar matahari?" teriakku. "Sisi lain dinding? "Aku mengerang keras. "
Tolong, maukah kalian semua berhenti berbicara misteri? "
Mona berpaling ke Seth. "Mulai saja dari awal," katanya. "Mungkin itu akan memba
ntu mereka."
Eloise meraba-raba di dalam tas abu-abunya. Akhirnya, dia mengeluarkan sebungkus
tisu dan menempatkannya di meja di depannya.
"Yah, baiklah," Seth setuju. "Dari awal."
Ben dan aku bertukar pandang. Kemudian kami bersandar maju untuk mendengarkan.
"Kami berlima berada di kelas pertama di sekolah BellValley, "Seth memulai. "Sek
olah yang dibuka sekitar lima puluh tahun yang lalu, dan-"
"Waaa! Tunggu dulu! "Ben melompat berdiri. "Tommy dan aku tidak bodoh!" Katanya
. "Jika kalian pergi ke sekolah lima puluh tahun yang lalu, kalian setidaknya ak
an berumur enam puluh tahun! "
Seth mengangguk. "Kiranya kau pandai matematika, ya?"
Itu adalah lelucon, tapi terdengar tak enak.
"Kami belum tua," Mary menjelaskan, meluruskan poni hitamnya dengan satu tangan.
"Kami telah tinggal persis di usia yang sama selama empat puluh tahun! "
Ben memutar matanya. "Kurasa lift itu membawa kita ke Mars! "bisiknya padaku.

"Ini semua benar," kata Eddie, menggeser berat badannya. "Kami membeku di sini.
Membeku dalam waktu. "
"Lift itu pasti bergerak di antara duniamu dan dunia kami, "kata Mona, menatap k
e belakang. "Tak ada orang lain yang pernah sini dengan lift. Itu bukan cara kam
i tiba. "
"Aku tak mengerti," aku mengakui. "Semua ini tak masuk akal bagiku. Lift itu sud
ah dipalang kayu. Tersembunyi. Mengapa ia membawa kami di sini? "
"Itu pasti menjadi satu-satunya penghubung di antara dunia kita," kata Mona mist
erius.
"Ini semua gila. Kita kehilangan pesta dansa," bisik Ben.
"Biarkan mereka menyelesaikan ceritanya," kataku. "Lalu kita pergi. "
Seth berdiri dan mulai mondar-mandir.
"Kelas pertama di sekolah BellValley cukup kecil, "katanya kepada kami. "Hanya a
da dua puluh lima anak dari kami. Ini adalah sekolah baru, dan kami agak senang
menjadi yang pertama di dalamnya. "
Eloise bersin.
Mona berkata, "Tuhan memberkatimu."
"Suatu hari, kepala sekolah kami mengumumkan hari itu adalah kelas Hari Foto, "
lanjut Seth. "Seorang juru foto datang untuk mengambil foto kelompok kelas kami.
"
"Apa itu foto berwarna?" sela Ben tiba-tiba. Dia tertawa. Tapi tak ada orang lai
n yang tertawa.
"Foto sekolah tak berwarna di tahun sembilan belas empat puluhan, "kata Mary pad
a Ben. "Semua berwarna hitam dan putih. "
"Kami semua berkumpul di perpustakaan untuk mengambil foto," Seth melanjutkan.
"Semua dua puluh lima dari kami. Juru photo itu membariskan kami."
"Aku segera mengenalinya segera," Eddie tiba-tiba menyela, "Dia seorang pria pe
marah. Seorang pria jahat. Dia membenci anak-anak. "
"Kami semua dalam suasana hati yang gila," tambah Mona. "Kami banyak tertawa, be
rcanda dan berpura-pura bergulat. Dan juru foto itu jadi marah karena kami tak m
au berdiri tetap untuknya. "
"Kami semua membenci dia," seru Eddie. "Seluruh kota tahu ia jahat. Tapi dia ada
lah satu-satunya juru foto di sekitar sini. "
"Aku tak akan pernah lupa namanya," kata Eloise sedih. "Mr. Chameleon (Mr Bunglo
n). Aku tak akan pernah lupa itu. Karena ... karena bunglon berubah warna - dan
kita tak bisa."
"Mr Chameleon (Mr. Bunglon)? "Ben tertawa terkekeh-kekeh. "Apa dia tak biasanya
nongkrong dengan Mr Lizard (Mr Kadal)? "
"Ben, hentikan-" aku memohon.
Aku bisa melihat bahwa Ben tak percaya satu kata pun cerita Seth. Dia terus memb
uat lelucon. Tapi Seth dan yang lain tampak begitu serius, begitu pahit.
Menatap baju tua-model kuno mereka dan potongan rambut, di wajah abu-abu sedih m
ereka, aku mempercayai mereka.
Mereka adalah anak-anak lenyap, aku menyadari. Kelas 1947 yang hilang.
"Juru foto itu membariskan kami dalam tiga barisan," Seth melanjutkan, mondar-ma
ndir, tangan-tangannya masuk di saku celana panjang abu-abunya. "Dia berdiri di
belakang kamera kotak yang besar. Yang ada kain tirainya di bagian belakang yang
ia masukkan kepalanya di bawahnya. Lalu dia mengangkat tinggi-tinggi lampu kila
t.
"Dia berkata kepada kami untuk mengatakan 'senyum'. Kemudian lampu kilat pergi i
tu padam dengan suara KRAK yang keras! "
"Tapi itu bukan lampu kilat yang normal," sela Mary tiba-tiba, " begitu terang .
.. begitu terang ... " suaranya melemah.
"Begitu terang, kami tak bisa melihat," lanjut Seth, menggelengkan kepalanya. "R
uangan -perpustakaan- itu lenyap dalam lampu kilat itu. Dan saat kami bisa membu
ka mata kami, saat kami bisa melihat lagi ... kami di sini. "
Ben melongo. Mungkin untuk membuat lelucon bodoh lainnya. Tapi kurasa dia beruba
h pikiran.
Dia menutup mulutnya tanpa berkata apa-apa.
"Kami berada di sini," ulang Seth, suaranya gemetar dengan emosi. Dia membanting

meja dengan tinjunya. "Kita tak berada di perpustakaan lagi. Kami tak di sekola
h lagi nyata. Kami berada di sini. Di sini, di dunia hitam-putih ini. "
"Seolah-olah kami terjebak di dalam sebuah foto," Sela Mona tiba-tiba, "Terjebak
selamanya dalam foto hitam-dan-putih. "
"Terjebak dalam Dunia Abu-abu (Greyworld)," kata Eddie pahit. "Itulah sebutan ka
mi. Dunia Abu-abu."
"Kami telah mencoba segalanya," tambah Eloise. "Kami sudah mencoba segala cara u
ntuk bisa kembali. Kami masih meminta bantuan. Kami masih berpikir mungkin seseo
rang akan datang .... "
"Aku mendengarmu," gumamku. "Aku berada di kelas. Dan aku mendengar panggilanmu.
"
"Tapi- tapi- " Ben tergagap. "Aku tak mengerti. Dimana persisnya kita? "
Tak ada yang menjawab dalam cukup lama . Lalu Seth berjalan ke Ben. Menekan tang
annya di atas meja, dia menurunkan wajahnya dekat dengan Ben, menatap Ben di mat
a.
"Ben," katanya, "pernahkah kau melihat dinding dan bertanya-tanya apa yang berad
a di sisi lainnya? "
Ben melirik gelisah ke arahku. "Ya. Kurasa, " jawabnya.
"Yah, kita ada di sisi lainnya!" teriak Seth. "kita berada di sisi lain duniamu
. Dan sekarang, kalian juga."
"Kalian akan segera menjadi salah satu dari kami," kata Eddie.
"Tidak-" teriak Ben.
Dia mengatakan lebih banyak lagi, tapi aku tak mendengarkannya. Aku melirik ke t
anganku - dan membuka mulutku dengan jeritan ngeri.

17
"Jariku - jari-jariku!" Jeritku.
Aku mengangkat kedua tangan ke atas untuk menunjukkan kepada mereka. Jemariku te
lah berubah abu-abu. Warna abu-abu itu menyebar ke telapak tanganku.
Ben meraih tanganku dan menariknya dekat dengan memeriksanya. "Oh tidak,"gumamny
a. "Tidak ..."
"Ben - punyamu juga!" Teriakku.
Dia melepaskan tanganku dan mengamati tangannya. Tangan kanannya hampir seluruhn
ya abu-abu. Jari-jari pada
tangan kirinya abu-abu, dan warna pada telapak tangannya mulai memudar.
"Tidak ... tidak ..." ulangnya sambil menggelengkan kepala.
Aku mengangkat mataku ke kelima anak abu-abu itu.
"Kalian - kalian tidak bercanda, " aku tercekat.
Mereka balas menatap kami dengan ekspresi kosong.
Mary menatap tanganku. "Itu bergerak cepat," katanya akhirnya. "Kalian akan meli
hatnya."
"Tidak!" Aku berteriak, melompat berdiri. "Apa yang bisa kita lakukan? Kita tak
bisa berubah abu-abu! Kita tidak bisa! "
"Kalian tak punya pilihan," kata Eloise sedih. "Kalian di Dunia Abu-abu sekarang
. Semua warna memudar begitu cepat di sini. "
"Kalian salah satu dari kami sekarang," ulang Seth. "Sekali kalian berubah jadi
abu-abu dengan sempurna, kalian tak akan bisa berubah kembali. "
"Tidak!" Ben dan aku sama-sama memprotes.
"Kita harus keluar!" Teriakku. Aku menendang kursiku ke samping dan berlari kemb
ali ke pintu kelas. Aku memutar kenopnya dan berjuang untuk menariknya terbuka.
Ben melangkah di sampingku, dan kami berdua menarik sampai kami mengerang dan wa
jah kami yang memerah.
"Itu gerendel kunci menutup dari sisi yang lain," kata Seth. "Kalian membuang-bu
ang waktu kalian."

"Tidak-" aku bersikeras. "Kita harus keluar. Kita harus keluar sekarang! "
Dengan teriakan putus asa, aku mengangkat kedua tangannya dan mulai menggedor di
nding.
"Tolong kami!" Aku berteriak. "Seseorang - tolong kami! Bisakah kalian mendengar
ku? Tolong - tolong! "
Aku meninju sampai kepalan tanganku sakit. Lalu aku menurunkan tanganku sambil m
endesah.
"Tidakkah kalian pikir kami sudah mencobanya?" tanya Mary pahit. "Kami meninju d
inding dan meminta pertolongan sepanjang waktu."
"Tapi tak ada yang pernah menjawab," tambah Eloise. "Dan tak ada yang pernah dat
ang untuk membantu. "
Aku menunduk menatap tanganku. Tanganku benar-benar jadi abu-abu sampai ke perge
langan tangan. Aku menarik lenganku. Warna lenganku mulai memudar.
"Ben-!" Aku memulai. Dia menatap kulit abu-abunya juga.
Pikiranku mendesing. Aku tiba-tiba merasa pusing.
"Bagaimana kita lari dari sini? Bagaimana kita bisa kembali ke dunia kita? "
"Mungkin lift itu?" saran Ben.
"Tak ada gunanya," Seth memperingatkan.
Tapi kami mengabaikannya dan berlari melalui gang di antara meja-meja. Ke ruanga
n kecil di belakang kelas abu-abu yang besar itu. Ruangan kecil sempit yang mena
han lift itu.
"Tak ada tombol lift," teriak Mary di belakang kami. "Tak ada cara untuk memangg
il lift."
"Itu tak pernah berjalan," tambah Seth. "Itu belum berjalan dalam lima puluh tah
un. Saat kami mendengar lift itu bergerak malam ini, kami tak bisa mempercayainy
a. "
"Pasti ada caranya!" Seruku.
Aku menggerakan tanganku dengan halus ke atas dinding di samping pintu lift. "Pa
sti ada tombol yang tersembunyi."
Dinding itu terasa hangat dan halus.
Aku memukul dengan tinjuku sampai seluruh tanganku sakit.
Ben menekan tangannya di sepanjang celah antara dua pintu itu. Sambil mengerang,
ia berjuang untuk membongkar pintu lift terbuka.
Tidak beruntung.
"Obeng?" Panggilnya di atas bahunya. "Apa ada yang punya obeng?"
"Atau mungkin pisau, tongkat, atau sesuatu?" tambahku. "Untuk membongkar pintu
ini?"
"Kami sudah mencobanya," Eloise mengerang dalam suara parau seraknya. "Kami tela
h mencoba segalanya. Segalanya!"
Aku menendang keras pintu logam itu. Aku merasa begitu frustrasi, marah, dan tak
ut-semua pada waktu yang sama.
Nyeri melanda kakiku. Aku berjalan pincang mundur di dinding, terengah-engah.
Lengan bajuku berwarna abu-abu. Aku menarik salah satu lengan. Warna abu-abu pad
a kulitku telah bergerak melewati pergelangan tanganku.
"Duduklah bersama kami," panggil Mary. "Duduklah dan tunggu. Ini sebenarnya tak
terlalu buruk. "
"Kalian bisa terbiasa dengannya," tambah Seth pelan.
"Biasa dengannya?" teriakku melengking, masih terengah-engah. "Biasa dalam sebua
h dunia tanpa warna? Biasa jadi benar-benar hitam dan putih? Dan tak bisa pulan
g ke rumah? Atau pergi ke mana saja? "
Mary menurunkan kepalanya. Yang lain menatap kembali pada Ben dan aku, wajah abu
-abu mereka serius dan sedih.
"Aku - aku tak akan bisa terbiasa untuk itu!" Aku tergagap. "Ben dan aku akan ke
luar dari sini."
Aku mengangkat satu tangan dan menggosoknya dengan tangan lainnya. Kurasa kupiki
r mungkin aku bisa menggosok lenyap abu-abu. Kulikut terasa hangat dan lembut se
perti biasa. Tak terasa ada perbedaan.
Tapi warnanya menghilang. Dan warna abu-abu itu merambat naik, merayap dengan ce
pat.
"Apa yang akan kita lakukan?" Teriak Ben. Matanya liar. Suaranya keluar tinggi d

an melengking.
"Jendela!" Aku berteriak, menunjuk. "Ayolah. Ke luar jendela! "
"Jangan!" Teriak Seth. Dia bergerak cepat untuk menghalangi jalan kami. "Janganjangan! Aku memperingatkanmu-"
"Jangan pergi ke sana!" Teriak Eddie.
Mengapa mereka berusaha menghentikan kami? Aku bertanya-tanya. Mereka tak ingin
kita untuk melarikan diri! Mereka ingin menahan kami di sini! Mereka ingin kita
menjadi seabu-abu mereka!
"Minggir, Seth!" teriakku.
Ben menghindar ke salah satu jalan. Aku menghindar ke jalan lainnya.
Seth berusaha meraihku. Tapi aku meluncur jauh darinya.
Dan menjatuhkan diri ke tepi jendela.
Menatap keluar ke malam abu-abu, aku mendorong naik jendela itu.
"Jauhi anak-anak itu!"
"Mereka gila! Mereka semua sudah jadi gila!"
"Mereka akan membawa kalian ke lubang!"
Kami mendengar jeritan mereka dan peringatan di belakang kami. Tapi mereka tak m
asuk akal bagi kami. Jadi kami mengabaikan mereka.
Ben dan aku naik ke langkan jendela-dan berhamburan keluar....

18
Ben jatuh ke tanah dengan gedebuk keras. Aku mengikutinya, mendarat di kakiku di
rumput yang lembut.
Langit malam menyebar di atas kepala, hitam pekat. Tak ada bintang. Tak ada bula
n.
Seth dan lain-lain muncul di jendela,
berteriak dan memberi tanda pada kami untuk kembali. Tapi kami berdua pergi, ber
lari-lari kecil di atas rerumputan yang gelap.
Kami menyeberangi jalan dan melihat rumah-rumah rendah gelap teratur jauh di bel
akang di rumput abu-abu. Tak ada lampu yang bersinar di jendela. Tak ada mobil y
ang datang. Tak ada seorang pun yang keluar berjalan.
"Apakah ini Bell Valley?" tanya Ben saat kami menyeberangi jalan lain dan terus
berlari-lari kecil. "Kenapa tak terlihat akrab? "
"Ini bukan rumah-rumah yang sama di seberang sekolah, "kataku.
Dinginnya ketakutan membuatku berhenti berjalan.
Bagaimana mungkin ada kota yang sama sekali berbeda di luar di sini? Dan di mana
orang-orang yang tinggal di sini?
Mengapa sepi? Rasanya seperti perangkat film? Aku tiba-tiba bertanya-tanya. Buka
n lingkungan yang nyata sama sekali?
Peringatan anak-anak itu terulang di telingaku. Mungkin Ben dan aku membuat kesa
lahan, pikirku. Mungkin kami seharusnya mendengarkan mereka.
Aku berbalik kembali ke sekolah. Gumpalan kabut datang melayang dari tanah. Seko
lah bertambah gelap di balik kabut abu-abu yang menyebar itu.
Kaget, aku menyipitkan mata keras padanya. "Waaah - Ben," Aku terkesiap. "Liha
t sekolah itu."
Dia mengamatinya juga. "Itu bukan sekolah kita!" serunya.
Kami menatap bangunan rendah persegi dengan atap datar itu. Hanya setinggi satu
tingkat. Cahaya abu-abu meluap dari satu-satunya jendela yang menghadap ke jalan
.
Cahaya jatuh pada tiang bendera kecil yang kosong ditanam di dekat jalan. Dan sa
tu set ayunan keperakan kecil dalam sapuan cahaya redup abu-abu.
"Kita berada di dunia yang berbeda," kataku, suaraku gemetar dan melengking. "Ki
ta berada di dunia yang berbeda - begitu dekat dengan kita. "

"Tapi- tapi-" Ben tergagap.


Gumpalan kabut mulai melayang bersama-sama, membentuk suatu gelombang dinding. K
abut itu bergerak cepat naik dari tanah, menyembunyikan bagian bawah bangunan da
ri kami sekarang.
"Ayo kita terus berjalan," Aku mendesak Ben. "Harusnya ada jalan keluar dari sin
i! "
Kami mulai berlari lagi, bergerak melewati rumah-rumah dan bidang-bidang tanah y
ang kosong. Berlari di bawah batang-batang pohon yang gelap, semuanya gundul kar
ena musim dingin. Sepatu kami berderap di atas jalanan tanpa mobil atau lampu ja
lanan.
Aku terus menatap langit, berharap untuk melihat bulan atau kerlipan cahaya bint
ang. Tapi aku menatap langit-langit yang hitam pekat.
Kami seperti bayangan, pikirku. Bayangan yang berlari melalui bayangan.
Hentikan, Tommy! Aku memarahi diriku sendiri. Jangan mulai memikirkan hal-hal ya
ng aneh. Jagalah pikiranmu lurus ke depan pada apa yang harus kaulakukan. Yaitu
menemukan cara untuk lolos dari tempat ini.
Kami berlari melewati kotak surat yang hitam, menyeberangi jalanan kosong lainny
a. Dan saat kami berlari, kabut itu menyapu di sekitar kita.
Kabut itu pada mulanya melayang rendah, menempel pada rerumputan yang gelap,
mengepul di atas jalanan. Tak ada angin. Tak ada angin sama sekali.
Tapi kabut itu dengan cepat mulai bertambah tinggi. Naik ke sekeliling kami. Men
yembunyikan rumah-rumah di belakangnya. Menyembunyikan pohon-pohon gundul, jalan
-jalan dan jalanan masuk - menyembunyikan semuanya di belakang tirai abu-abu teb
al yang berputar-putar.
Sambil mengerang, Ben berhenti berlari.
Aku berlari tepat ke arahnya.
"Hei-" teriakku terengah-engah. "Kenapa kau berhenti?"
"Aku tak bisa melihat apa-apa," ia tercekat. "Kabut ..."
Dia menurunkan tangannya di lututnya dan membungkuk ke depan, berusaha untuk ber
napas.
"Kita tak bisa sampai ke mana pun ?" Tanyaku pelan. "Maksudku, kita mungkin bisa
terus berlari selamanya. Dan kita tak akan pernah keluar dari tempat ini. "
"Mungkin kita harus menunggu sampai pagi," saran Ben, masih membungkuk. "Lalu ka
but mungkin akan hilang dan kita bisa melihat ke mana kita akan pergi. "
"Mungkin ..." kataku ragu.
Aku menggigil. Aku bertanya-tanya berapa banyak diriku yang berubah jadi abu-abu
. Apa aku masih ada warna yang tersisa?
Aku menarik bajuku dan berusaha untuk melihat. Tapi terlalu gelap. Semuanya tamp
ak hitam dan abu-abu. Aku tak tahu.
"Apa yang kau ingin lakukan?" Tanyaku Ben. "Kembali ke sekolah? "
Kabut menyapu di sekitar kita. Begitu tebal, aku hampir tak bisa melihatnya.
"Aku - aku tak berpikir kita bisa menemukan sekolah dalam kabut ini," katanya te
rbata-bata.
Aku bisa mendengar suara ketakutannya.
Aku berbalik.
Dia benar. Aku tak bisa melihat jalanan atau pepohonan di sisi lain kabut tebal
itu.
"Mungkin kita bisa menelusuri langkah kita," usulku.
"Jika kita terus ke arah itu-" aku menunjuk.
Tapi di kabut tebal yang berputar-putar, aku tak yakin itu arah yang benar.
"Ini bodoh," gumam Ben. "Kita seharusnya mendengarkan anak-anak itu. Mereka menc
oba untuk membantu kita, dan-"
"Sudah terlambat untuk berpikir tentang itu," kataku tajam. "Aku punya ide. Ayo
kita coba untuk menemukan jalan kita, menembus kabut ke salah satu rumah dan ber
malam di sana. "
"Maksudmu mendobrak masuk?" tuntut Ben.
"Rumah-rumah itu tampaknya kosong," jawabku. Kabut berputar-putar tebal, membung
kus kami erat-erat. Aku menarik lengannya. "Ayolah. Kita akan menemukan tempat u
ntuk menunggu sampai pagi. Itu lebih baik daripada berdiri di sini sepanjang mal
am."

"Kurasa demikian..." dia setuju.


Kami berbalik dan mulai berjalan menaiki suatu halaman depan yang miring. Kami
harus bergerak perlahan karena kami hampir tak bisa melihat.
Kami berjalan enam atau tujuh langkah dan kemudian aku menjerit saat seseorang m
enjatuhkanku ke tanah.

19
"Ohhhhhh!" Erangan ketakutan keluar dari tenggorokanku.
Aku berguling telentang.
Seekor kucing hitam jatuh di sampingku.
Seekor kucing?
Kucing itu melompat ke bahuku dari dahan pohon.
Kucing itu menatapku dengan mata abu-abunya. Bulu hitamnya berdiri. Ekornya berd
iri tegak. Lalu pergi, menghilang ke dalam kabut.
Aku berdiri dengan gemetar.
"Tommy, apa yang terjadi?" tuntut Ben.
"Apa kau tak melihat kucing itu?" Seruku. "Ia melompat turun padaku. Menjatuhka
nku ke tanah. Kupikir ... kupikir ... " Kata-kata tersangkut di tenggorokanku.
"Apa kau baik-baik saja? Aku tak bisa melihatnya, "jawab Ben. "Kabut ini begitu
tebal. Tiba-tiba, kau menjerit. Kau membuatku ketakutan setengah mati! "
Aku menggosok bagian belakang leherku. Mengapa kucing itu melompat padaku sepert
i itu? Aku bertanya-tanya.
Mungkin ia kesepian, aku memutuskan. Dengan tak ada orang lain di sekitarnya.
Dan saat aku berpikir demikian, aku mendengar suara seorang gadis.
"Di atas sini!" Serunya.
Dan lalu seorang anak laki-laki, yang sangat dekat, berteriak: "Jangan biarkan m
ereka pergi! Tangkap mereka! "

20
Ben dan aku memicingkan mata ke dalam kabut. Kami mendengar suara melengking. Da
n kemudian suara langkah kaki di atas rerumputan. Tapi kami tak bisa melihat sia
pa pun.
Kami tak tahu harus lari ke arah mana.
"Ke arah sini! Di atas sini!" ulang gadis itu terengah-engah pada temannya.
"Hentikan mereka!" gadis lain menimpali.
Ben dan aku berbalik.
"Siapa itu?" Aku mencoba untuk berteriak. Tapi suaraku yang keluar lemah dan ket
akutan. "Siapa itu?"
Dan kemudian, beberapa sosok muncul dalam kabut berputar-putar.
Sosok-sosok abu-abu dengan bayangan. Berlari ke arah kami dan lalu berhenti pers
is cukup dekat untuk melihat melalui tirai abu-abu.
Wajah-wajah menatap yang terkejut.
Lengan-lengan mereka terulur. Badan-badan tegang. Rambut yang ribut di kabut yan
g berputar-putar.
Aku mundur ke arah Ben. Kami berdiri mundur ke belakang, ternganga pada mereka s
aat mereka membentuk lingkaran ketat di sekeliling kami.
"Mereka anak-anak!" Seru Ben. "Anak-anak lagi!"

Apakah mereka itu sisa anak dari kelas yang hilang? Aku bertanya-tanya.
"Hei-" Aku memanggil mereka. "Apa yang kalian lakukan di luar di sini? "
Mereka menatap kembali pada kami dalam keheningan.
Kabut mengepul dan bergeser. Aku melihat gadis pendek berambut hitam berbisik pa
da seorang anak besar dalam jaket hitam yang tampaknya model kuno. Dan kemudian
kabut menutupi mereka lagi, dan mereka tampaknya lenyap di depan mataku.
Anak-anak lain muncul dan menghilang. Di sana pasti ada sekitar dua puluh orang.
Mereka berbicara pelan satu sama lain, memandang pada kami, menjaga dalam lingka
ran yang rapat.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Ulangku, mencoba tak terdengar takut seperti
yang kurasakan. "Temanku dan aku - kami tersesat. Bisakah kalian membantu kami?
"
"Kalian masih punya warna," gumam seorang gadis.
"Warna. Warna. Warna " Kata diulang-ulang di antara lingkaran anak-anak abu-abu
itu.
"Mereka pasti anak-anak lain dari kelas itu," bisik Ben. "Anak-anak yang Seth da
n yang lainnya memperingatkan pada kita. "
Peringatan Seth terlintas kembali dalam pikiranku: Mereka gila. Mereka semua jad
i gila.
"Kami tersesat!" Teriakku. "Bisakah kalian membantu kami?"
Mereka tak menjawab. Mereka berbisik-bisik dengan bersemangat di antara mereka s
endiri.
"Berubah, berubah," seorang anak laki-laki berkata dengan tiba-tiba. Begitu kera
s, aku melompat mundur.
"Apa katamu?" tuntutku. "Bisakah kalian membantu kami? "
"Berubah, berubah," ulang seorang gadis.
"Kami tak seharusnya berada di sini!" Teriak Ben. "Kami sedang berusaha untuk pe
rgi dari sini. Tapi kami benar-benar tersesat. "
"Berubah, berubah," beberapa suara bergumam.
"Tolong - jawab kami!" Pintaku. "Bisakah kalian membantu kami? "
Dan kemudian mereka semua menyanyi, "Berubah, berubah."
Dan mereka mulai menari.
Menjaga lingkaran ketat itu, mereka bergerak ke kanan dengan irama yang cepat. M
ereka mengangkat satu kaki tinggi, dan melangkah ke kanan. Menurunkan kaki dan m
emberikan sedikit tendangan. Lalu langkah tinggi lainnya ke kanan.
Semacam tarian aneh.
"Berubah, berubah," teriak mereka. "Berubah, berubah."
"Tolong - hentikan!" Ben dan aku sama-sama memohon. "Mengapa kalian melakukan it
u? Apa kalian mencoba untuk menakut-nakuti kami? "
"Berubah, berubah." Sosok-sosok gelap itu menari bergerak masuk dan keluar dari
kabut yang berputar-putar.
Kabut terangkat sejenak, dan aku melihat bahwa mereka berpegangan tangan saat me
reka menari. Berpegangan tangan erat. Menjaga lingkaran itu tertutup.
Menjaga Ben dan aku di dalamnya.
"Berubah, berubah," mereka bernyanyi. Satu langkah, lalu satu tendangan.
"Berubah, berubah."
"Apa yang mereka lakukan?" bisik Ben padaku. "Apakah ini permainan atau semacamn
ya? "
Aku menelan ludah. "Aku tak berpikir begitu," jawabku.
Kabut itu bergeser lagi. Turun di atas rerumputan lalu mengepul pergi.
Aku melirik ke wajah-wajah bernyanyi itu saat mereka bergerak di lingkaran.
Ekspresi wajah mereka keras.
Mata mereka dingin.
Dingin, wajah tak bersahabat.
"Berubah, berubah. Berubah, berubah."
"Hentikan!" teriakku. "Yang benar saja! Apa yang kalian lakukan? Tolong - seseor
ang jelaskanlah! "
"Berubah, berubah." Nyanyian itu berlanjut. Lingkaran anak-anak itu bergerak ke
kanan. Mereka menatap Ben dan aku, seolah menantang kita - seakan-akan menantang
kami untuk menghentikan mereka.

"Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-abu. Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-ab


u!"
Lingkaran berputar di sekeliling kami. Anak-anak itu menari berirama dalam kabut
yang mengepul. Irama tetap yang menakutkan.
Begitu dingin ... begitu mengancam.
Begitu gila!
"Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-abu. Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-ab
u."
Dan tiba-tiba, menyaksikan tarian menakutkan itu, mendengarkan nyanyian mereka y
ang seperti mesin, aku tahu. Aku tahu apa yang mereka lakukan. Itu semacam ritua
l aneh. Mereka sedang mengawasi kami, menahan kami di sini.
Menahan kami di sini sampai kami berwarna abu-abu seperti mereka.

21
"Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-abu."
Saat anak-anak bergerak dalam lingkaran rapat, nyanyian pelan, aku mempelajari w
ajah-wajah mereka. Begitu keras ... begitu dingin.
Mereka mencoba menakut-nakuti kami.
Aku menghitung sembilan anak perempuan dan sepuluh anak laki-laki. Semua berpaka
ian pakaian kuno. Sepatu besar yang berat. Dan tiba-tiba aku berharap ini semua
film lama. Semuanya hanya film dan tidak benar-benar terjadi pada Ben dan aku.
"Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-abu."
"Mengapa kalian melakukan ini?" Teriak Ben di atas nyanyian mengerikan mereka.
"Kenapa kalian tak mau berbicara dengan kami?"
Mereka meneruskan tarian melingkar mereka, mengabaikan teriakannya.
Aku berbalik ke arahnya, bersandar dekat sehingga dia bisa mendengarku.
"Kita harus lari dari sini," kataku. "Mereka gila. Mereka akan menahan kita di s
ini. Sampai kita benar-benar abu-abu seperti mereka. "
Ben mengangguk serius, matanya pada lingkaran anak-anak itu.
Dia menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya untuk menjawabku. Dan aku tersent
ak. Tangannya benar-benar abu-abu.
Aku mengangkat kedua tanganku ke wajahku. Abu-abu. Abu-abu padat. Sampai sejauh
mana warna abu-abu berjalan? Berapa banyak waktu yang Ben dan aku miliki?
"Kita harus menjauh dari mereka," kataku.
"Ayolah, Ben. Pada hitungan ketiga. Kau lari ke arah sini. Dan aku akan lari ke
arah sana. "Aku memberi isyarat pada dua arah yang berbeda.
"Jika kita membuat mereka terkejut, mungkin kita bisa menerobos, "kataku.
"Lalu apa?" jawab Ben.
Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Aku tak tahu jawabannya. "Ayo kita menjau
h dari mereka!" Teriakku. "Aku tak dapat berdiri lebih lama lagi untuk nyanyian
bodoh itu! "
Ben mengangguk. Dia menghela napas dalam-dalam.
"Satu ..." Aku menghitung.
"Berubah, berubah. Berubahlah ke abu-abu."
Anak-anak yang menyanyi telah memperketat lingkiran mereka. Mereka hampir-hampir
bergandengan tangan.
Apa mereka membaca pikiran kami?
"Dua ..." Aku menghitung. Aku menegangkan otot kakiku. Bersiap-siap untuk lari.
Tirai kabut itu telah terangkat. Gumpalan kabut menempel tanah. Tapi aku bisa me
lihat rumah-rumah gelap di luar lingkaran anak-anak itu.
Jika kami bisa menembus rantai lengan mereka, mungkin kami bisa bersembunyi di s
alah satu rumah itu, pikirku.
"Semoga berhasil," gumam Ben.

"Tiga!" teriakku.
Kami menurunkan kepala kami dan mulai berlari.

22
Aku berlari sekitar empat langkah dan tergelincir pada rerumputan yang basah.
"Auw!" Aku menjerit saat rasa sakit naik ke kaki kananku. Apakah ototku keseleo?
Nyanyian itu berhenti. Anak-anak abu-abu itu berteriak terkejut.
Kakiku berdenyut-denyut dengan rasa sakit. Aku harus berhenti. Aku membungkuk un
tuk menggosok otot kaki.
Mengangkat tatapanku, aku melihat Ben melesat menuju lingkaran. "Aaaiiiii!" Dia
menjerit liar saat ia berlari.
Dua anak laki-laki menangkapnya: satu tinggi, satu pendek. Ben jatuh ke rumput,
dan mereka jatuh di atasnya.
"Pergi! Lepaskan aku! "Teriak Ben.
Seorang anak laki-laki dan perempuan menyambarku dengan kasar. Mereka memutar-mu
tarku berkeliling. Dan mendorongku dengan keras ke arah Ben.
"Ayo kita pergi!" Teriakku. "Apa yang kalian lakukan? Mengapa kalian menahan kam
i di sini? "
Mereka menarik Ben berdiri. Dan mendorong kami bersama-sama. Mereka berkelompok
di sekitar kami dengan cepat, tubuh-tubuh tegang, siap untuk menangkap kami jik
a kami mencoba lari lagi.
"Kami tak akan pergi ke mana pun," aku menghela napas. "Bisakah seseorang menjel
askan apa yang terjadi di sini. "
"Berubah, berubah," kata seorang gadis berkepang panjang abu-abu dalam sebuah su
ara parau.
"Aku sudah mendengar itu! "teriakku marah.
"Berubahlah ke abu-abu," gadis itu menambahkan. "Kami menunggu kalian berubah."
"Kenapa?" tuntutku. "Katakan saja mengapa."
"Tak ada warna di bulan," jawabnya. "Tak ada warna di bintang-bintang. "
"Tak ada warna dalam mimpiku," seorang anak laki-laki menambahkan sedih.
"Tolong-masuk akallah!" Ben memohon. "Aku - aku tak mengerti! "
Aku mengusap kakiku yang sakit. Rasa sakit itu memudar, tetapi ototnya masih sak
it.
"Tolong bantu kami kembali ke sekolah," aku memohon.
"Kami meninggalkan sekolah!" Teriak seorang anak laki-laki. "Tak ada warna di se
kolah. "
"Tak ada warna di mana pun," teriak seorang gadis. "Kami akan tak akan pernah k
embali ke sekolah. "
"Tak ada sekolah! Tak ada sekolah! Tak ada sekolah." Beberapa anak-anak bernyany
i.
"Tapi kami harus kembali ke sana!" Aku bersikeras.
"Tak ada sekolah! Tak ada sekolah! Tak ada sekolah! " Mereka bernyanyi lagi.
"Tak ada gunanya," bisik Ben di telingaku. "Mereka benar-benar kacau! Mereka ta
k masuk akal sama sekali. "
Aku merasa merinding. Udara berubah jadi dingin. Gelombang ngeri melandaku. Aku
berjuang untuk melawan kembali.
Anak-anak itu meraih Ben dan aku. Mereka mendorong kami dengan kasar melewati ru
mput. Mereka menahan kami secara ketat dengan bahu dan memaksa kami maju.
"Kami mau dibawa ke mana?" teriakku.
Mereka tak menjawab.
Ben dan aku berjuang untuk membebaskan diri. Tapi mereka terlalu banyak. Dan mer
eka terlalu kuat.

Mereka mendorong kami atas bukit gelap. Gumpalan kabut berputar-putar di atas ka
ki kami saat kami naik. Rerumputan yang tinggi (terasa) basah dan licin.
"Kita mau kemana?" Teriakku. "Beritahu kami! Kemana kalian akan membawa kami? "
"Lubang hitam!" Seru seorang gadis. Dia menekankan mulutnya dekat telingaku saat
kami berjalan. "Maukah kalian melompat, atau haruskah kami mendorong kalian? "

23
"Lubang? Lubang macam apa?" teriakku.
Tak ada yang menjawab.
Kami berhenti di atas bukit. Mereka terus mencengkeram erat Ben dan aku. Di atas
bahu Ben, aku melihat empat anak mendekat. Saat mereka mendekat, aku melihat ba
hwa mereka membawa empat ember besar.
Mereka mengatur ember turun dalam satu barisan. Mereka mendorong Ben dan aku ke
arah ember-ember itu.
Uap mengalir naik dari cairan gelap yang menggelegak di dalamnya. Aroma asam yan
g tajam bangkit dari uap itu.
Seorang gadis membawa tumpukan cangkir logam di tangannya. Ia menyerahkan cangki
r untuk seorang anak laki-laki. Anak itu mencelupkannya ke dalam cairan hitam ke
ntal itu. Hal itu membuat suara mendesis saat cangkir itu dicelupkan ke dalam ca
iran.
"Ohhh!" Aku tersentak saat anak itu mengangkat cangkir mengepul itu ke bibirnya,
memiringkan kepalanya ke belakang, dan menuangkan cairan menjijikkan ke tenggor
okannya.
"Tak ada warna di cangkir!" Teriak anak laki-laki itu.
"Minum kegelapan itu!" Teriak seorang gadis.
"Minum! Minum! Minum! "Anak-anak itu bersorak dan bertepuk tangan.
Mereka berbaris penuh semangat. Dan saat Ben dan aku menatap ngeri, mereka masin
g-masing mencelupkan cangkir ke dalam kotoran hitam bau itu - dan lalu meminumny
a.
"Tak warna di minuman! Tak warna di cangkir! "
"Minum! Minum kegelapan itu! "
Aku mencoba sekali lagi untuk membebaskan diri. Tapi tiga anak laki-laki memeluk
ku sekarang. Aku tak bisa bergerak.
Anak-anak bersorak dan tertawa. Seorang anak laki-laki minum secangkir cairan hi
tam bau itu seluruhnya dan lalu memuntahkan ke udara.
Sorak-sorai keras.
Seorang gadis meludah keras dan menyemprotkan kotoran hitam ke wajah gadis di sa
mpingnya. Seorang anak laki-laki menyemprotkan cairan hitam itu naik seperti air
mancur.
"Kita menutupi diri dalam kegelapan!" Seorang anak laki-laki berteriak dengan su
ara berat. "Kita menutupi diri karena tak ada warna di bulan! Tak ada yang warna
di bintang-bintang! Tak ada warna di atas bumi!"
Seorang gadis meludahkan kotoran hitam itu di atas rambut anak yang pendek berka
camata. Cairan hitam itu perlahan-perlahan menggelinding turun di dahinya dan d
i atas kacamatanya. Dia membungkuk untuk mengisi cangkirnya, minum, dan meludahk
an segumpal cairan itu di bagian depan mantel gadis itu.
Tertawa-tawa dan bersorak sorai, berteriak-teriak sekuatnya, mereka saling sempr
ot satu sama lain. Meludah dan disemprot kotoran hitam panas sampai mereka semua
basah kuyup, semuanya menetes, tertutupi dalam kegelapan berminyak.
"Tak ada warna di cangkir! Tak ada warna dalam minuman! "
Dan kemudian tangan-tangan itu mencengkeramku dengan erat. Ben dan aku ditarik k

e atas bukit.
Aku menatap ke bawah ke sisi lain. Dan melihat jurang yang curam. Dan turun di b
awah, di bagian dasar...
Terlalu gelap.
Aku tak bisa melihat apa-apa. Tapi aku bisa mendengar gelegak yang keras. Aku bi
sa melihat uap tebal melayang, gelombang
demi gelombang. Dan aku bisa mencium bau asam yang tajam yang begitu kuat, aku m
ulai tercekik.
"Lubang Hitam!" Teriak seseorang. "Ke Lubang Hitam!"
Banyak anak-anak yang bersorak.
Ben dan aku didorong ke tepi jurang.
"Lompat! Lompat! Lompat! "Beberapa anak mulai bernyanyi.
"Lompat ke Lubang Hitam!"
"Tapi - kenapa?" Jeritku. "Mengapa kalian melakukan ini?"
"Menutupi diri kalian dalam kegelapan!" jerit seorang gadis. "Menutupi diri kali
an seperti kami!"
Anak-anak tertawa dan bersorak.
Ben berpaling padaku, wajahnya tegang ketakutan. "Itu - itu panas mendidih di sa
na, "katanya terbata-bata, menatap lubang menggelegak di bawah. "Dan baunya sepe
rti binatang mati! "
"Lompat! Lompat! Lompat! "anak-anak itu mulai bernyanyi.
Mataku menyapu mereka. Tertawa. Bersorak sorai.
Kotoran hitam itu mengalir di wajah mereka, menuruni pakaian mereka. Anak-anak m
enyentakkan kepala ke belakang dan memuntahkan gumpalan cairan hitam ke udara.
"Lompat! Lompat! Lompat! "
Tiba-tiba, nyanyian dan tawa berhenti. Aku mendengar jeritan-jeritan.
Tangan-tangan yang kuat menyambar sekitar pinggangku dari belakang. Dan mendoron
gku keras ke dalam lubang mengepul itu....

24
Tidak.
Aku tidak jatuh. Aku tak pergi ke tepian.
Tangan-tangan itu memegangku. Memutar tubuhku.
Aku memicingkan mata ke wajah yang akrab. Seth!
"Lari!" Teriaknya. "Kami datang untuk menyelamatkan kalian!"
Aku berbalik dan melihat Maria dan Eloise memandu Ben menuruni bukit.
"Ayo kita pergi!" Seru Seth.
Kami mulai berlari. Tapi kami tak pergi jauh.
Anak-anak yang lain pada awalnya kaget. Tapi mereka cepat mengatasi keterkejutan
mereka. Dan membentuk lingkaran ketat di sekeliling kami.
"Mereka menjebak kita!" Teriakku. "Bagaimana kita dapat menerobosnya? "
Kami berhenti dan menatap mereka saat mereka mulai mengelilingi kami, bergerak d
iam-diam, wajah mereka tercoreng moreng cairan hitam, baju mereka basah kuyup da
n kotor.
"Kupikir kita bisa berlari lebih cepat dari mereka," Seth memulai."Tapi-"
Aku menurunkan pandangan ke tumpukan dedaunan mati di tanah. Dan satu ide melint
as dalam pikiranku.
Aku mendorong tanganku ke saku celana khaki-ku.
"Bersiaplah," aku memperingatkan yang lain.
Ben berpaling padaku. "Bersiap untuk apa?" tuntutnya.
"Bersiaplah," ulangku. "Bersiap-siaplah untuk begerak."

25
"Oke!" Teriakku.
Aku mengangkat korek api. Menjentikkannya satu kali. Dua kali.
Suatu api kuning terangkat.
"Ohh!" Teriak seorang gadis.
Beberapa anak yang lain berteriak-teriak. Beberapa dari mereka melindungi matany
a atau berbalik menjauhi api.
"Terlalu terang!" Seorang gadis menjerit.
"Mataku! Itu menyakiti mataku! "
"Ambil itu! Ambil itu! " Seorang anak laki-laki meratap.
Tapi aku belum selesai.
Aku menurunkan api ke tumpukan daun pada kaki kami. Dedaunan dengan segera ketul
aran, dengan suara keras WUUUUSH. Api oranye terang menderu-deru.
"Tidaaaak!" Anak-anak itu menutup mata mereka dan berteriak kesakitan.
"Ayo kita pergi!" Aku berteriak pada Ben dan yang lain. Tapi aku tak perlu menga
takannya. Mereka sudah berlari di atas rerumputan yang gelap. Aku menunduk dan b
erlari setelah mereka. Aku mendengar anak-anak menjerit dan menangis di belakang
kami.
"Aku tak bisa melihat! Aku tak bisa melihat!"
"Seseorang - lakukanlah sesuatu!"
"Padamkan api!"
Aku menengok ke belakang. Tumpukan daun terbakar mengirimkan dinding cahaya mera
h-oranye yang bergerak cepat. Begitu terang di langit malam yang hitam.
Menutupi mata-mata mereka, anak-anak itu berebut pergi, berlari ke segala arah.
Tak ada seorang pun yang mengejar kami.
Berlari keras melalui malam yang berkabut, Seth dan kedua gadis itu membawa kami
menjauh dari bukit. "Kami mencoba untuk
memperingatkan kalian tentang orang lain," kata Mary terengah-engah. "Tapi kalia
n lari. Kalian tak mau mendengarkan. "
"Mereka telah kehilangan pikiran mereka," tambah Seth sedih. "Mereka tak bisa be
rpikir jernih lagi."
"Mereka seperti semacam geng liar sekarang," Eloise menambahkan. "Mereka punya h
ukum mereka sendiri. Tradisi mereka yang aneh. Mereka menutupi diri mereka denga
n kotoran hitam setiap malam. Itu - itu benar-benar mengerikan. "
"Itulah sebabnya kami berlima tinggal di sekolah," Eloise menjelaskan. "Kami jug
a takut pada mereka."
"Mereka melakukan hal-hal gila yang mengerikan," kata Mary. "Mereka sudah kehila
ngan semua harapan. Mereka tak peduli apa yang mereka lakukan. "
Aku menggigil. Bulan abu-abu itu telah menghilang dibalik awan lagi, dan udara m
enjadi dingin. Ketiga anak abu-abu itu tampak memudar bersama dengan cahaya bula
n.
Aku mendengar teriakan. Dari dekat. Suara bersemangat.
"Mereka datang kembali!" Teriakku.
"Kita sebaiknya cepat-cepat," kata Seth. "Ikuti kami."
Dia dan dua gadis berbalik dan mulai berlari ke arah jalan. Ben dan aku mengikut
i, menjaga dalam bayangan yang tinggi dari pagar-pagar tanaman tinggi yang berja
jar di halaman.
Aku mendengar teriakan lagi, dari dekat di belakang kami.
"Kalian mau membawa kami ke mana?" Tanya Ben dalam bisikan terengah-engah.
"Kembali ke sekolah," jawab Seth.
"Untuk membantu kami keluar dari tempat ini?" Teriakku. "Untuk membantu kami ke
mbali ke dunia kami? "
"Tidak," jawab Seth tanpa memperlambat langkahnya. "Kami bilang, Tommy. Kami tak

dapat membantu kalian kembali. Tapi kalian akan aman dalam sekolah bersama kami
. "
"Lebih aman," tambah Maria.
Berlari sekerasnya, Ben dan aku mengikuti mereka melalui halaman-halaman gelap d
an di atas jalan-jalan yang kosong. Pohon-pohon gundul berkeretak dan mengerang
di atas kepala. Satu-satunya suara lainnya adalah debuman tetap sepatu kami saat
kami berlari.
Aku tak mendengar suara anak-anak lain. Tapi aku tahu mereka pasti berada dekat.
Masih mencari-cari kami.
Aku menarik napas lega ketika bangunan sekolah kecil mulai terlihat. Ben dan aku
bergegas masuk.
Kami mengikuti Seth dan dua gadis kembali ke ruangan kelas yang besar itu. Mona
dan Eddie menunggu kami di sana.
Aku duduk di meja dan berusaha untuk bernapas. Ketika aku mendongak, aku menemuk
an kelima anak itu semuanya menatap dengan mata terbelalak pada Ben dan aku.
"Apa yang salah?" tuntutku.
Mereka cukup lama tak menjawab. Kemudian, akhirnya, Eloise berkata, "Kalian seb
aiknya memeriksa diri kalian sendiri di cermin. "Dia menunjuk ke cermin tinggi d
i dekat ruangan kecil lift.
Ben dan aku membuat bergegas ke cermin.
Jantungku berdebar-debar saat aku melangkah di depannya. Perasaan berat ketakuta
n melandaku.
Aku tahu apa yang akan kulihat.
Tapi aku berdoa aku salah.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap ke cermin.

26
"Tidaaaak." Ben membuka mulutnya dalam erangan sedih.
Kami menatap dua sosok abu-abu.
Celana khaki-ku, bajuku. Sekarang abu-abu. Rambutku. Mataku.
Semuanya dari diriku. Semuanya dalam nuansa abu-abu.
"Kita hampir jadi salah satu dari mereka," gumam Ben. Dia mengerang lagi. "Apa w
arna sekolah di sini? Abu-abu dan abu-abu? "Dia mencoba tertawa. Tapi aku meliha
t seluruh tubuhnya gemetar.
"Tidak - tunggu!" Teriakku. "Ben, lihat. Kita masih punya sedikit waktu! "
Aku menunjuk ke cermin.
Telingaku abu-abu. Dan warna abu-abu itu telah menyebar di bibir dan daguku. Tap
i pipiku warnanya masih bertahan. Pipi dan hidungku.
Wajah Ben sama. "Cuma itu saja yang tersisa," desahnya. "Bagian depan wajahku."
"Maaf," kata Mary, melangkah di belakang kami. "Kami benar-benar minta maaf. Dal
am beberapa menit, kalian akan jadi abu-abu
seperti kami. "
"Tidak-" aku bersikeras, berputar menjauh dari cermin. "Pasti ada jalannya. Belu
m adakah yang melarikan diri? "
Jawaban Seth mengagetkanku.
"Ya," katanya pelan. "Seorang gadis lolos dari Dunia Abu-abu. Baru beberapa ming
gu yang lalu. "
"Setelah lima puluh tahun, salah satu dari kami berhasil kembali ke dunia, " des
ah Mona.
"Bagaimana?" teriakku dan Ben bersamaan.
"Bagaimana dia melakukannya?" tuntutku.
Mereka semua menggelengkan kepala.
"Kami tak tahu," Eloise menjawab dengan sedih. "Dia menghilang begitu saja. Kami
menunggunya kembali untuk kami. "
"Ketika lift terbuka malam itu, kami pikir itu adalah dia, "kata Eddie. "Kami pi

kir dia datang kembali untuk menyelamatkan kami. "


Greta.
Wajahnya melintas dalam pikiranku.
Tentu saja! Greta, bahwa gadis aneh dengan mata abu-abunya, rambut pirang-putihn
ya, pakaian serba hitam.
Greta melarikan diri dari Dunia Abu-abu. Greta sedang kembali ke dunia warna. Ta
k heran dia begitu ingin merampas lipstik cerah Thalia!
Greta ...
Mengapa dia tak kembali untuk menyelamatkan teman-temannya?
Bagaimana caranya lolos?
Mataku ke lift di belakang ruangan.
Terbukalah! Aku memerintahkan diam-diam. Terbukalah-sekarang! Tolong terbukalah.
Tapi, tentu saja, pintu abu-abu tetap tertutup.
Aku mendorong tanganku ke saku celana khaki-ku.
Berpikir keras, mencoba untuk melawan kepanikanku, aku mulai berjalan ke depan r
uangan.
Ben merosot ke kursi, sambil menggeleng sedih. "Ini tak mungkin terjadi," gumamn
ya. Dia meninju bagian atas meja dengan marah. "Ini tak mungkin terjadi!"
"Berpikirlah, Tommy. Berpikirlah." Aku memerintahkan diriku keras-keras. "Pasti
ada cara untuk menghentikan warna abu-abu ini. Pasti ada menjadi cara untuk men
gembalikan warna-warna itu. Berpikirlah! "
Pikiranku berpacu. Aku terlalu takut untuk berpikir jernih. Setiap otot di tubuh
ku menegang.
Berpikir keras, aku menarik keluar korek api plastik itu dari saku. Dengan gugup
, aku memutar-mutarnya di antara jari-jariku.
Melemparkannya dari tangan ke tangan.
Berpikirlah! Berpikirlah.
Aku meleset menangkap korek api. Korek itu jatuh dari tanganku dan terjatuh ke l
antai.
Aku menatapnya saat aku membungkuk untuk mengambilnya. Korek api itu tadinya ber
merah terang. Tapi sekarang plastik itu telah memudar jadi abu-abu.
Tapi api ...
Tiba-tiba, aku punya ide.
Aku berdiri dan berbalik ke orang lain. Aku mengangkat korek api itu. "Bagaimana
kalau ..." Aku memulai, berpikir keras. Gembira dengan harapan sekilasku.
"Bagaimana jika aku menerangi ruangan dengan cahaya kuning dari dunia lain? Apa
kalian pikir warna lampu kuning itu akan membasuh warna abu-abu itu? "
"Kau sudah mencobanya - diluar," Ben mengingatkanku.
"Tapi itu di luar," jawabku. "Bagaimana jika aku menyalakannya di dekat dinding?
Apakah kalian pikir warna yang cerah akan membuat dinding abu-abu memudar sehi
ngga kita dapat melarikan diri ke sisi lain, sisi warna? "
Mereka menatap ke arahku, mata mereka terpaku pada korek api di tanganku.
Aku tak menunggu jawaban mereka.
"Aku akan mencobanya," aku mengumumkan.
Aku mengangkat tinggi-tinggi korek api plastik itu. Mata mereka mengikuti korek
api itu saat aku mengangkat tinggi-tinggi.
"Semoga berhasil," bisik Ben. "Semoga berhasil untuk kita semua. "
Aku menjentikkan korek api itu.
Menjentikkan lagi.
Menjetikkan korek itu.
Menjentikkan dengan keras.
Korek itu tak mau menyala.

27
Aku membanting korek itu ke atas meja.
"Korek ini habis!" Keluhku. "Aku telah menggunakannya. Gasnya habis. "
"Tidak-" teriak Ben. "Coba lagi, Tommy. Tolonglah - tolong coba sekali lagi. "
Aku mengerang dan mengambil korek itu. Tanganku gemetar. Tenggorokanku tiba-tiba
terasa begitu kering.
Sepertinya ide yang bagus. Kalau saja aku bisa mendapatkan apinya.
"Ini dia," gumamku, mengangkat lagi korek api itu. "Percobaan sekali lagi."
Telapak tanganku licin dari keringat, aku hampir menjatuhkan korek api itu lagi.
Aku mempererat peganganku padanya. Menaikkan jempolku.
Menjentikkan korek itu.
Menjentikkannya lagi, lebih keras.
Dan api pun naik.
"Yaaaa!" Teriak Ben.
Tapi teriakan bahagia itu memudar dengan cepat.
Api yang keluar dari korek itu berwarna abu-abu.
Semua orang mengerang.
Aku menatap api abu-abu itu, menari di atas
korek abu-abu. Menahan erat kepalan tangan abu-abuku.
"Tak ada gunanya," Aku tercekik.
Aku mematikan api dan mendorong korek api kembali ke dalam sakuku. Aku berbalik
untuk Ben.
"Maaf," gumamku muram. "Aku sudah mencoba."
Ben mengangguk sambil menelan ludah.
Aku terkesiap. "Ben- wajahmu! pipimu! "
"Abu-abu?" Tanyanya pelan.
Aku mengangguk. "Hanya hidungmu yang tersisa," kataku. "Hidungmu satu-satunya ya
ng berwarna."
"Kau juga," lapornya.
Kelima anak abu-abu itu berdiri diam di seberang ruangan. Seth menggeleng sedih.
Apa yang bisa mereka katakan?
Ini telah terjadi pada mereka. Mereka telah tinggal selama lima puluh tahun di d
unia hitam-putih.
Dan sekarang Ben dan aku ditakdirkan untuk menjadi bagian dari dunia suram yang
dingin ini.
Aku mengusap hidungku. Berapa lama waktunya ia tetap berwarna? Aku bertanya-tany
a.
Berapa lama sampai aku menjadi salah satu dari mereka?
Mataku mengembara ke lift. Kalau saja Ben
dan aku mengambil tangga ke ruang seni. Kalau saja ...
Terlambat untuk berpikir tentang itu sekarang.
Aku menatap tajam pada pintu lift. Sekali lagi, Aku diam-diam memerintahkannya u
ntuk membuka.
Aku menjerit kaget ketika aku mendengar gemuruh suara keras.
Semua orang melompat. Waspada. Mendengarkan.
Suara gemuruh jadi raungan.
"Apa yang terjadi?"Teriak Ben.
"Lift!" Eloise terkesiap, menunjuk.
Kami semua bergegas melintasi ruangan. Kami hanya beberapa meter jauhnya ketika
pintu lift itu bergeser terbuka.
Kita semua melangkah untuk melihat siapa yang ada di dalamnya.
"Greta!" Teriakku.

28
Bukan. Bukan Greta.
Mengejutkanku, Thalia berdiri di pintu lift itu.
Dia mengintip tegang. Rambut pirangnya berkilauan dalam lampu lift. Gaun birunya
bersinar cerah.
Warna itu hampir menyakiti mataku.
Senyum berbibir merah menyebar di wajahnya. "Aku menemukan kalian! Aku menemukan
kalian! "Serunya dengan senang.
Dia berlari keluar dari lift. Dengan teriakan menangis, dia mengulurkan tangan p
ada Mary dan memeluknya erat-erat. Lalu ia memeluk Eloise dan Seth, Mona dan Edd
ie
Teriakan senang terdengar dari semua orang.
"Thalia - kau kembali!"
"Apa kau baik-baik saja?"
"Kami sudah menunggumu!"
"Waa - tunggu - Liftnya!" Teriakku. "Jangan biarkan pergi! "
Aku menukik dengan panik.
Terlambat.
Pintu-pintu itu bergeser menutup.
Aku menabraknya dan terpantul.
"Tidaaaak!" Aku mengeluarkan ratapan panik yang panjang. "Tidaaak! Liftnya! Lif
tnya! "
Aku menggedor pintu itu dengan kedua tangannya.
Aku berbalik untuk menghadapi Thalia.
Dia tersentak dan mengangkat tangan ke bibirnya. "Oh - Aku sangat menyesal! " S
erunya. Mata birunya terbelalak.
"Aku - aku sangat senang melihat teman-temanku, aku lupa!"
"Tapi - tapi - " aku tergagap.
Gemetar, aku merosot ke dinding. Satu-satunya kesempatan kami untuk melarikan di
ri. Terlambat ... terlambat ...
Kelima anak abu-abu mengelilingi Thalia, memeluknya, tertawa, menanyainya ribuan
pertanyaan.
"Kami sangat merindukanmu!" Teriak Eloise. "Kami menunggumu kembali dan menyelam
atkan kita. "
"Aku rindu kalian juga," kata Thalia mereka. "Aku mencoba untuk datang kembali.
Tapi aku tak bisa menemukan jalan. Aku tak tahu bagaimana untuk kembali ke sini
- sampai malam ini. "
Dia berpaling kepada Ben dan aku. "Aku lolos beberapa minggu lalu, " jelasnya.
"Tepat sebelum sekolah dimulai. Aku pergi ke duniamu, dunia nyata. Tapi aku haru
s menyamar. "
"Maksudmu-" Aku mulai.
"Tata rias," lanjut Thalia. "Tata rias dan lipstik. Aku harus selalu membubuhkan
benda-benda itu setiap waktu. Untuk menutupi kulit abu-abuku. Aku-"
"Tapi matamu-" selaku. "Matamu biru."
"Lensa kontak," jelasnya. Dia mendesah panjang. "Itu sangat sulit, begitu banyak
pekerjaan. Aku harus sangat berhati-hati. Aku harus mengunakan lapisan demi lap
isan riasan dan lipstik. Aku tak dapat membiarkan ada yang tahu.
"Anak-anak mengolok-olokku," desah Thalia. "Tapi itu itu bukan bagian terburuk.
Aku ingin tinggal di dunia berwarna dan cerah. Tapi aku palsu. Orang palsu, tert
utup riasan. Aku tak semestinya lama sana. Aku semestinya berada di sini di Duni
a Abu-abu. "
Thalia mendesah lagi. "Tapi aku tak bisa menemukan jalan kembali. Lalu malam ini
, kau dan Ben tak kembali ke gedung olahraga. Aku pergi mencari kalian. Aku mene
mukan lubang di dinding berpalang kayu. Dan aku menemukan lift. Dan ia membawaku
di sini, ke teman-temanku. "
"Selamat datang kembali," kata Mary, menempatkan tangan abu-abunya ke bahu dari
gaun Thalia. Warna dari gaun itu sudah mulai memudar.
"Kau benar. Ini adalah tempat semestinya kau berada, "kata Seth padanya.
"Ketika kau lolos, kami memikirkanmu sepanjang waktu, "tambah Mona. "Kami bertan

ya-tanya bagaimana kau melakukannya. Dan kami bertanya-tanya apakah kau akan kem
bali pada kami. "
"Kalian tak akan ingin pergi ke sana," jawab Thalia. "Dan aku tak ingin kembali.
Kita tak semestinya berada di sana. Kita tak bisa tinggal di sana. Aku tak ingi
n berpura-pura lagi. Aku hanya ingin tinggal di sini dengan kalian dan menjadi d
iriku sendiri. "
Dia menarik peralatan tata rias dan tabung lipstik dari tasnya dan melemparkanny
a ke atas meja. "Tidak ada lagi tata rias. Tak ada lagi lipstik. Tak ada lagi be
rpura-pura. "
"Tapi bagaimana dengan kami?" Teriak Ben. "Tommy dan aku hanya punya satu atau d
ua menit lagi sebelum kami benar-benar jadi abu-abu! "
"Apa kau tak akan membantu kita lolos dari sini?" Aku memohon. "Apakah kau tak a
kan membantu kami pulang?"
Thalia menggeleng sedih. "Maafkan aku, teman-teman."

29
Aku menelan ludah, berpikir tentang rumah. Ayahku. Ibu baruku. Anjingku.
Aku tak akan pernah melihat mereka lagi, aku menyadari.
Aku tak akan melihat warna lagi. Tak akan pernah melihat gelombang lautan biru a
tau matahari berlatar belakang merah .
"Maafkan aku, teman-teman," ulang Thalia. "Maaf aku tak segera menjelaskan hal i
ni kepada kalian. "
"Menjelaskan apa?" Teriakku.
"Kurasa aku bisa membuat kalian kembali ke sisi lainnya," katanya.
Dia mengambil tabung lipstiknya. "Inilah caranya aku lolos beberapa minggu lalu,
" katanya. "Tabung lipstik ini berada di tasku lima puluh tahun. Aku lupa benda
ini sama sekali. "
Dia memutar tutupnya, dan menunjukkan kepada kami lipstik merah yang cerah. "Aku
menemukannya beberapa minggu yang lalu. Ketika aku membukanya, lipstik itu masi
h merah!" seru Thalia. "Ini ajaib. Mungkin karena tertutup. Lipstik ini masih be
rwarna. "
Thalia bergerak ke dinding. "Aku sangat bersemangat untuk melihat warna merah se
telah lima puluh tahun, "jelasnya. "Aku mulai menggambar di dinding dengan itu.
Dan aku kaget, tempat di mana aku mengoleskan lipstik itu membuat lubang di din
ding! "
"Itu menakjubkan!" Teriak Eddie.
Yang lain penuh dengan semangat setuju.
"Lipstik itu terbakar tepat menembus dinding," Thalia meneruskan. "Aku - aku san
gat terkejut, aku tak tahu apa harus kulakukan. Aku menggambar jendela di dindin
g. Dan aku naik melaluinya. Aku meloloskan diri. Itulah caranya aku melakukannya
. "
Dia mengangkat tabung lipstik itu ke dinding abu-abu. "Aku akan mencoba untuk me
mulangkan kalian teman-teman, "dia berkata pada teman-temannya. "Tapi lubang itu
tertutup segera setelah aku pergi melewatinya. "
Dia mengerutkan kening. "Aku menggambar jendela lipstik di dinding di sisi yang
lain. Tapi di dunia nyata, lipstik itu hanyalah lipstik. Itu tak bekerja. Aku ta
k bisa kembali kepada kalian. Aku tak punya cara untuk mencari kalian, tak punya
cara untuk kembali ke sini."
Aku melirik Ben. Dengan ngeri, ia benar-benar jadi abu-abu. Kecuali ... kecuali
ujung hidungnya.
"Thalia - cepatlah!" Pintaku. "Gambarlah jendela untuk Ben dan aku! Tolong - kam
i tak punya waktu lagi! "

Tanpa berkata lagi, ia berbalik ke dinding.Tangannya bergerak cepat, menggambar


jendela merah. Mengisinya.
"Cepat! Tolong, cepatlah! "Aku memohon, menatapnya saat dia dengan panik menggos
ok lipstik merah itu di dinding.
Apakah itu bekerja?

30
Begitu dia menyelesaikan jendela itu, aku menyambar Ben. Aku mendorongnya melalu
i lubang itu.
"Ayo!" teriakku. "Kita bisa melakukannya!"
"Selamat tinggal, Ben. Selamat tinggal, Tommy, " panggil yang lain.
Setengah jalan melalui dinding, aku berpaling kembali kepada mereka.
"Ikutlah dengan kami!" Teriakku. "Cepat! Kalian bisa ikut dengan kami! "
"Tidak, kami tidak bisa," kata Seth sedih.
"Thalia benar. Kami akan membencinya. Kami sudah semestinya berada di sini sekar
ang, " kata Mary.
"Jangan lupakan aku!" panggil Thalia. Suara pecah dengan kesedihan. Dia berbali
k.
Aku berbalik juga. Berbalik ke dunia lain, dunia kami.
Ben dan aku melangkah melalui dinding. Dan menemukan diri kembali di sekolah.
Aku mendengar musik menggelegar menuruni lorong. Anak-anak berteriak dan tertawa
.
Pesta dansa!
Kami berada kembali di pesta dansa.
Dengan teriakan gembira, aku mendorong pintu kamar anak laki-laki terbuka. Ben
dan aku terjun ke dalam. Berlari ke cermin.
Kami ternganga.
Diri kami penuh warna.
Merah, biru, pink (merah muda) dan kuning. Semua warna!
Begitu banyak warna!
Kami saling ber-tos. Dan menyentakkan mundur kepala kami dan berteriak bahagia.
Menjerit dan berteriak.
Kami kembali. Kembali normal. Kembali di dunia.
Kembali di pesta dansa.
Kami membanting terbuka pintu kamar anak laki-laki. Masuk mendadak ke lorong.
Dan berlari ke Mrs Borden.
"Kalian di sini! "serunya. "Aku sudah mencari kalian ke mana-mana! "
Dia meraih kami masing-masing dengan tangannya dan mulai menarik-narik kami meny
usuri lorong.
"Mrs Borden - kami harus memberitahu Anda-"Aku memulai.
"Nanti," selanya. Dia mendorong kami ke dalam gedung olahraga. "Kami semua sudah
menunggu kalian. Kalian telah menahan semua orang. "
"Tapi-Anda tidak mengerti!" Aku tergagap.
"Kalian ingin difoto - bukan?" tuntut Mrs Borden. Anak-anak berbaris di depan
penonton. Dia mendorong Ben dan aku ke depan baris.
"Kami ingin semua orang yang bekerja pada pesta dansa ini difoto, "kata Mrs Bord
en.
Dia berpaling ke juru foto dibelakang kameranya .
"Oke, Mr Chameleon," serunya. "Kau dapat mengambil gambar sekarang! "
"Mr siapa? "teriakku. "Tidak! Tunggu! Tunggu!
CEKREK

End
Ebook inggris by Undead.
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Penerjemah Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai