Anda di halaman 1dari 2

Antara HAM dan demokrasi memiliki hubungan yang sangat erat.

HAM tidak
mungkin eksis di suatu negara yang bersifat totaliter ( tidak demokratis ), namun
sebaliknya negara yang demokratis pastilah menjamin eksistensi HAM. Suatu
negara belum dapat dikatakan demokratis apabila tidak menghormati dan
melindungi HAM. Kondisi yang dibutuhkan untuk memperkokoh tegaknya HAM
adalah alam demokratis di dalam kerangka negara hukum ( rule of law state ).
Konsep negara hukum dapat dianggap mewakili model negara demokratis
( demokrasi ). Implementasi dari negara yang demokratis diaktualisasikan melalui
sistem

pemerintahan

yang

berdasarkan

atas

perwakilan

representative

government) yang merupakan refleksi dari demokrasi tidak langsung. Menurut


Julius Stahl dan A.V.Dicey suatu negara hukum haruslah memenuhi beberapa
unsur penting, salah satu unsur tersebut antara lain yaitu adanya jaminan atas
HAM. Dengan demikian untuk disebut sebagai negara hukum harus terdapat
perlindungan dan penghormatan terhadap HAM.[1]
Dari pendapat di atas, sesungguhnya dapat dilihat bagaimana hubungan
demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Demokrasi punya keterkaitan yang erat
dengan Hak Asasi Manusia karena sebagaimana dikemukakan tadi, makna
terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai
pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara. Posisi ini berarti,
secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat
(Konvenan Hak Sipil dan Politik), pada dasarnya dikonsepsikan sebagai rakyat atau
warga negara untuk mencapai kedudukannya sebagai penentu keputusan politik
tertinggi. Dalam persepktif kongkret ukuran untuk menilai demokratis atau
tidaknya suatu negara, antara lain; berdasarkan jawaban atas pertanyaan
seberapa besarkah tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang dimiliki oleh atau
diberikan kepada warga Negara di Negara itu ? Makin besar tingkat kebebasan,
kemerdekaan dimaksudkan di sini adalah kebebasan, kemerdekaan dan hak
sebagaimana dimasukkan dalam kategori Hak-Hak Asasi Manusia generasi
pertama. Misalnya, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kemerdekaan untuk
menganut keyakinan politik, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.
Hanya kemudian patut dijelaskan lebih lanjut, bahwa persoalan demokrasi
bukanlah sebatas hak sipil dan politik rakyat namun dalam perkembangannya,
demokrasi juga terkait erat dengan sejauh mana terjaminnya hak-hak ekonomi
dan sosial dan budaya rakyat. Sama sebagaimana parameter yang dipakai di
dalam Hak Asasi Manusia generasi pertama (hak sipil dan politik), maka dalam
perspektif yang lebih kongkret negara demokratis juga diukur dari sejauh mana
negara menjamin kesejahteraan warga negaranya, seberapa rendah tingkat
pengangguran dan seberapa jauh negara menjamin hak-hak warga negara dalam
mendapatkan penghidupan yang layak. Hal inilah yang secara langsung ataupun
tidak langsung menegaskan bagaimana hubungan yang terjalin antara demokrasi
dan Hak Asasi Manusia. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa, Hak Asasi

Manusia akan terwujud dan dijamin oleh negara yang demokratis dan demikian
sebaliknya, demokrasi akan terwujud apabila negara mampu manjamin tegaknya
Hak Asasi Manusia. Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat
terkait

dengan

konsepsi

negara

hukum. Dalam

sebuah

negara

hukum,

sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai


sebagai

kesatuan

hirarkis

tatanan

norma

hukum

yang

berpuncak

pada

konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki
adanya

supremasi

konstitusi. Supremasi

konstitusi

disamping

merupakan

konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan


demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Oleh karena itu tidak terlalu keliru jika Francis Fukuyama mengatakan
bahwa sejarah telah berakhir (the end of history), manakala harus menjelaskan
fenomena yang demikian. Dengan diadopsinya system nilai demokrasi, terutama
liberal, maka secara langsung dan tidak langsung, telah mengakhiri sebuah
evolusi persaingan antara dua ideology besar di dunia, yakni demokrasi liberal
yang berdasarkan ekonomi pasar, di satu pihak, melawan komunisme serta
sentralisme ekonomi di pihak lain, dengan ideology yang disebut pertama sebagai
pemenangnya, dimasa yang lalu soviet dan AS adalah kubu yg selalu bertikai,
bipolar, amerika yang pro kebebasan dan soviet yang anti kekerasan, tapi
sekarang sudah bubar jadi dunia sekarang seolah olah miring memihak kepada
ide kebebasan, yang oleh fukuhiyama disebut the end of history ( tdk ada lagi
otoritarian isu) [2] Pada saat yang sama, mereka melihat banyak negara barat
atau Negara non-barat lainnya yang menerapkan system demokrasi liberal,
mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada tahap inilah pikiran-pikiran
demokrasi liberal mencuat ke permukaan. Apa yang disebut sebagai Gelombang
Demokrasi Ketiga, telah menjadi warna dominan dari wacana bernegara di seluruh
dunia. Meski Huntington mengingatkan bahwa tidak berarti semuanya akan
berjalan dengan mulus, namun fenomena global sekarang mengarah pada apa
yang dikatakan Fukuyama tersebut di atas, The End of History. [3]
REFERENSI :
Indria Samego, bahan perkuliahan bagi Mahasiswa Angkatan II Magister Ilmu
Kepolisian STIK PTIK Jakarta, disampaikan pada tanggal 25 Maret 2013.
Tim penyusun Kadeham, Pendidikan Kadeham, Universitas trisakti, cetakan
pertama, 2003
Indria samego, Disampaikan di depan Peserta Silatnas ICMI, Kepemimpinan
Nasional dalam Membangun Peradaban, Jakarta, 19 Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai