telah dimasukkan di sana. Setelah dari Kemenpan, format peraturan itu kemudian diberikan
lagi kepada MA untuk diumumkan. Ya, kami tidak tau kenapa dan atas dasar apa
Kemenpan tidak memasukkan nama PMH di dalam pengumuman itu. Kami tidak salah, yang
salah adalah Kemenpan. Karena kami telah memasukkan nama PMH di dalam format
peraturan yang kami buat. Kami hanya mengumumkan apa yang telah diberikan oleh
Kemenpan, tuturnya kemudian. Selanjutnya, beliau hanya menyarankan kami untuk segera
beraudiensi dengan Kemenpan sembari berjanji akan memasukkan dan bahkan menerima
prodi PMH pada penerimaan CPNS tahun depan sesuai dengan aturan main yang telah
disediakan.
Lain pada itu, yang sangat disesalkan adalah kenapa instansi setinggi MA yang
disadari lebih kritis dan melek hukum masih mau menerima dan menggunakan
(mengumumkan) format peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang dari
Kemenpan? Bukankah salah satu fungsi MA adalah menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 24A ayat (1) jo. pasal 9 ayat (2) UU. No 12 Tahun 2011?
Sehingga ketika MA dikejar dengan pertanyaan di atas, jawabannya bulet dan muter-muter
saja seakan sengaja membuat kami bingung agar dapat menghindar dari pertanyaanpertanyaan itu.
Kedua, adalah mengenai Peraturan Menteri Agama No. 36 Tahun 2009 tentang
Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama
dan Peraturan Dirjen Pendidikan Islam No. 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi
PTAI. Peraturan pertama menetapkan bahwa gelar yang semula SHI untuk beberapa prodi
seperti PMH, AS, JS dan MU di Fakultas Syariah dan Hukum harus berubah menjadi S.Sy.
Sedang peraturan kedua menetapkan perubahan nama prodi semisal PMH diganti dengan
PM, JS diganti dengan Siyasah (Hukum Tatanegara) atau Jinayah (Hukum Pidana Islam) dan
lain sebagainya.
Menurut kajian yang kami lakukan, bahwa kedua peraturan itu adalah murni cacat
hukum karena selain tidak memiliki landasan yuridis sama sekali yang memberikan hak dan
wewenang kepada mereka juga bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang ada. Sebut saja, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) pasal 21 ayat (1), UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 26 ayat
(1), dan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 58F ayat (2) huruf (b) no.
(1) huruf (b). Dari semua pasal yang disebut itu pada intinya memberikan ketentuan bahwa
masalah pemberian gelar dan penamaaan maupun perubahan dari sebuah prodi merupakan
hak dan wewenang (otonomi) dari masing-masing perguruan tinggi bukan wewenang
Kemenag atau pun Diktis.
Lebih lanjut, pasal 21 ayat (7) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) memberikan ketentuan bahwa gelar akademik, profesi, atau vokasi akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) bukan Peraturan Menteri (Permen).
Akan tetapi, menurut Irfan Fahmi el Kindy, salah satu anggota Peradi, bahwa PP yang
dimaksud dalam pasal itu sampai sekarang belum ada. Beliau juga menjelaskan, kalau pun
PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi yang dijadikan dasar kewenangan Menag (Menteri
Agama) menetapkan gelar akademik, juga tidak tepat. Karena pasal 22 ayat (4) PP 60/1999
menyatakan bahwa jenis gelar dan sebutan, singkatan dan penggunaannya diatur oleh
Menteri. Nah, Menteri disini, bukanlah Menteri Agama. Tetapi Menteri yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional. Coba saja baca pasal 1 PP 60/1999
angka (12) dan (13), di situ ada dua istilah Menteri. Yaitu Menteri dan Menteri Lain.
Yang dimaksud Menteri Lain adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan satuan pendidikan tinggi di luar lingkungan Departemen. Jadi sudah
jelaskan.
Menteri
Agama
tidak
punya
kewenangan!
(Dikutip
dari:
http://ekopratamaputra.blogspot.com/2010/03/by-van-elkindy-ada-kurang-lebih-10.html).
Hal lain bahwa kedua peraturan itu adalah cacat hukum karena telah melanggar asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana disebut dalam pasal 5
huruf (b) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Karenanya, dapat dikatakan bahwa kedua peraturan itu sebenarnya batal demi hukum dan
tidak dapat dipakai lagi sebagaimana dipahami dari penjelasan pasal 5 huruf (b) itu yang
berbunyi Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Oleh sebab itu, ketika kami mengajukan argumentasi sebagaimana ditulis di atas pada
Kemenag, Dede Rosyada, Dirjen Diktis, akhirnya berjanji akan merubah kembali nama PM
menjadi PMH dengan gelar tetap SHI. Akan tetapi, apabila mereka mengingkari janjinya,
kami siap untuk menguji Permen itu kepada MA karena telah membuat peraturan yang
bertentangan dengan UU dan PP serta melakukan aksi lain agar Permen itu tidak dapat
diberlakukan di PTAI khususnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selebihnya, kami
mengajak kepada prodi-prodi lain yang sudah diganti gelarnya khususnya di Fakultas
Syariah dan Hukum untuk ikut berpartisipasi dalam menegakkan hukum di negara hukum
ini. qul al-haq walaw kna murran! Allh al-Mursyid wa Alam bi ash-Shawb...
Jogja, 17 Februari 2014
*Penulis adalah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan sebagai Redaktur Pelaksana LPM Advokasia.
Biodata Penulis
Nama
TTL
: 11360030
Karir
Alamat
No. HP
: 089647495280
: Anazmanunggal@gmail.com