Anda di halaman 1dari 5

PMH Uji Nyali: Menyentil Kuping MA dan Kemenag

Oleh: Anaz Manunggal Shallallhu Alaih*


Bertepatan pada tanggal 12 s/d 13 Februari 2014, anak-anak Perbadingan Mazhab dan
Hukum seluruh Indonesia yang tergabung dalam PPMHSI (Persatuan Perbandingan Mazhab
dan Hukum se-Indonesia) Fakultas Syariah dan Hukum melakukan audiensi di Jakarta.
Tepatnya kepada MA (Mahkamah Agung) yang dilaksanakan pada hari Rabu dan Kemenag
(Kementrian Agama) pada hari Kamis. Audiensi yang dihadiri oleh perwakilan PMH
Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Makassar, Riau dan Aceh itu dilakukan setelah kedua instansi
besar itu mengeluarkan pengumuman dan Peraturan Menteri yang secara langsung
memarginalkan keberadaan PMH dan memberangus hak-haknya tanpa ada dasar yang dapat
dibenarkan sama sekali khususnya secara yuridis.
Pertama, yaitu mengenai pengumuman pendaftaran CPNS Mahkamah Agung RI yang
dikeluarkan lewat situs resminya (http://cpnsonline.mahkamahagung.go.id) pada tahun 2013,
tentang syarat-syarat untuk menjadi Calon Panitera Pengganti (CPP) dan Calon Juru Sita
(CJS) di Peradilan Agama yang di sana hanya mencantumkan prodi Ahwal Syakhsiyah (AS),
Jinayah Siyasah (JS), Muamalat (MU) dan Ilmu Hukum (IH) tanpa menyebut nama (prodi)
Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH). Padahal pengumuman ini sangat bertentangan
dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu pada pasal 27 huruf (e) bahwa salah satu
syarat menjadi Panitera Pengadilan Agama adalah harus berijazah sarjana syariah, sarjana
hukum Islam, atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Sedang diketahui bersama
bahwa PMH merupakan salah satu prodi yang ada di Fakultas Syariah dan Hukum dengan
gelar SHI (Sarjana Hukum Islam). Jelas, bahwa pengumuman ini selain mencoreng nama
baik PMH juga sangat merugikan khususnya hak para alumninya untuk mendaftarkan diri
menjadi CPNS sebagai Panitera Pengganti atau Juru Sita di Peradilan Agama. Hal ini
misalnya terjadi kepada alumni PMH di Aceh yang ditolak oleh panitia seleksi ketika melihat
ijazahnya bertuliskan jurusan PMH.
Ketika dikonfirmasi kepada Ketua Kamar Peradilan Agama, Dr. H. Andi Syamsu
Alam, SH. MH., yang memimpin audiensi saat itu, beliau menyatakan tidak tahu-menahu
perihal hal itu. Menurutnya, pengumuman itu diterima dari Kemenpan (Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan langsung diumumkan.
Dijelaskan bahwa secara prosedural, memang MA memberikan format peraturan terlebih
dahulu kepada Kemenpan mengenai syarat-syarat CPNS itu yang katanya nama prodi PMH

telah dimasukkan di sana. Setelah dari Kemenpan, format peraturan itu kemudian diberikan
lagi kepada MA untuk diumumkan. Ya, kami tidak tau kenapa dan atas dasar apa
Kemenpan tidak memasukkan nama PMH di dalam pengumuman itu. Kami tidak salah, yang
salah adalah Kemenpan. Karena kami telah memasukkan nama PMH di dalam format
peraturan yang kami buat. Kami hanya mengumumkan apa yang telah diberikan oleh
Kemenpan, tuturnya kemudian. Selanjutnya, beliau hanya menyarankan kami untuk segera
beraudiensi dengan Kemenpan sembari berjanji akan memasukkan dan bahkan menerima
prodi PMH pada penerimaan CPNS tahun depan sesuai dengan aturan main yang telah
disediakan.
Lain pada itu, yang sangat disesalkan adalah kenapa instansi setinggi MA yang
disadari lebih kritis dan melek hukum masih mau menerima dan menggunakan
(mengumumkan) format peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang dari
Kemenpan? Bukankah salah satu fungsi MA adalah menguji peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 24A ayat (1) jo. pasal 9 ayat (2) UU. No 12 Tahun 2011?
Sehingga ketika MA dikejar dengan pertanyaan di atas, jawabannya bulet dan muter-muter
saja seakan sengaja membuat kami bingung agar dapat menghindar dari pertanyaanpertanyaan itu.
Kedua, adalah mengenai Peraturan Menteri Agama No. 36 Tahun 2009 tentang
Penetapan Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik di Lingkungan Perguruan Tinggi Agama
dan Peraturan Dirjen Pendidikan Islam No. 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi
PTAI. Peraturan pertama menetapkan bahwa gelar yang semula SHI untuk beberapa prodi
seperti PMH, AS, JS dan MU di Fakultas Syariah dan Hukum harus berubah menjadi S.Sy.
Sedang peraturan kedua menetapkan perubahan nama prodi semisal PMH diganti dengan
PM, JS diganti dengan Siyasah (Hukum Tatanegara) atau Jinayah (Hukum Pidana Islam) dan
lain sebagainya.
Menurut kajian yang kami lakukan, bahwa kedua peraturan itu adalah murni cacat
hukum karena selain tidak memiliki landasan yuridis sama sekali yang memberikan hak dan
wewenang kepada mereka juga bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah yang ada. Sebut saja, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) pasal 21 ayat (1), UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 26 ayat
(1), dan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 58F ayat (2) huruf (b) no.
(1) huruf (b). Dari semua pasal yang disebut itu pada intinya memberikan ketentuan bahwa

masalah pemberian gelar dan penamaaan maupun perubahan dari sebuah prodi merupakan
hak dan wewenang (otonomi) dari masing-masing perguruan tinggi bukan wewenang
Kemenag atau pun Diktis.
Lebih lanjut, pasal 21 ayat (7) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) memberikan ketentuan bahwa gelar akademik, profesi, atau vokasi akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) bukan Peraturan Menteri (Permen).
Akan tetapi, menurut Irfan Fahmi el Kindy, salah satu anggota Peradi, bahwa PP yang
dimaksud dalam pasal itu sampai sekarang belum ada. Beliau juga menjelaskan, kalau pun
PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi yang dijadikan dasar kewenangan Menag (Menteri
Agama) menetapkan gelar akademik, juga tidak tepat. Karena pasal 22 ayat (4) PP 60/1999
menyatakan bahwa jenis gelar dan sebutan, singkatan dan penggunaannya diatur oleh
Menteri. Nah, Menteri disini, bukanlah Menteri Agama. Tetapi Menteri yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional. Coba saja baca pasal 1 PP 60/1999
angka (12) dan (13), di situ ada dua istilah Menteri. Yaitu Menteri dan Menteri Lain.
Yang dimaksud Menteri Lain adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
penyelenggaraan satuan pendidikan tinggi di luar lingkungan Departemen. Jadi sudah
jelaskan.

Menteri

Agama

tidak

punya

kewenangan!

(Dikutip

dari:

http://ekopratamaputra.blogspot.com/2010/03/by-van-elkindy-ada-kurang-lebih-10.html).
Hal lain bahwa kedua peraturan itu adalah cacat hukum karena telah melanggar asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana disebut dalam pasal 5
huruf (b) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Karenanya, dapat dikatakan bahwa kedua peraturan itu sebenarnya batal demi hukum dan
tidak dapat dipakai lagi sebagaimana dipahami dari penjelasan pasal 5 huruf (b) itu yang
berbunyi Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan Perundang undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Oleh sebab itu, ketika kami mengajukan argumentasi sebagaimana ditulis di atas pada
Kemenag, Dede Rosyada, Dirjen Diktis, akhirnya berjanji akan merubah kembali nama PM
menjadi PMH dengan gelar tetap SHI. Akan tetapi, apabila mereka mengingkari janjinya,
kami siap untuk menguji Permen itu kepada MA karena telah membuat peraturan yang
bertentangan dengan UU dan PP serta melakukan aksi lain agar Permen itu tidak dapat
diberlakukan di PTAI khususnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selebihnya, kami

mengajak kepada prodi-prodi lain yang sudah diganti gelarnya khususnya di Fakultas
Syariah dan Hukum untuk ikut berpartisipasi dalam menegakkan hukum di negara hukum
ini. qul al-haq walaw kna murran! Allh al-Mursyid wa Alam bi ash-Shawb...
Jogja, 17 Februari 2014
*Penulis adalah Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan sebagai Redaktur Pelaksana LPM Advokasia.

Biodata Penulis

Nama

: Nasrullah Ainul Yaqin (Anaz Manunggal


Shallallhu Alaih)

TTL

: Pamekasan, 05 Juni 1991

Pendidikan : Civitas akademika Perbandingan Mazhab dan


Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
NIM

: 11360030

Karir

: Pemimpin Umum Jurnal Mazhabuna, Wakil


Pimred Jurnal Dinamika, Redaktur Pelaksana
LPM Advokasia, koordinator PSDA FKMSB
wilayah Yogyakarta, dll.

Alamat

: Perum Polri Gowok, blok F III, Yogyakarta

No. HP

: 089647495280

Email

: Anazmanunggal@gmail.com

No Rekening : 1753-01-005370-50-3, atas nama Nasrullah


Ainul Yaqin.

Anda mungkin juga menyukai