Anda di halaman 1dari 22

Pedoman Bologna untuk diagnosis dan penatalaksanaan

adhesive small bowel obstruction (ASBO): 2013 update


pedoman berbasis- bukti dari perkumpulan kelompok
kerja dunia bedah darurat ASBO
Salomone et al

Latar belakang pedoman WSES


Obstruksi perlekatan usus halus atau adhesive small bowel obstruction
memerlukan penatalaksanaan yang sesuai dengan diagnosis dan jalur terapeutik
yang benar. Indikasi dan lamanya penatalaksanaan non- operatif serta waktu yang
tepat untuk dilakukan operasi yang menunjukkan masalah yang berbahaya.
Tertundanya pembedahan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas secara substansial. Namun, laparotomi dan adhesiolisis berulang dapat
memperburuk proses terjadinya perlengketan dan beratnya. Selain itu, beberapa
tambahan dalam peningkatan tingkat kesuksesan NOM dan menklarifikasi
indikasi serta waktu operasi telah tersedia, seperti medium kontras hiperosmolar
larut air.
Tidak ada consensus yang telah dicapai dalam mendiagnosis dan
menangani pasien dengan ASBO dan pedoman khusus serta terupdate masih
kurang.
Kami membuat review menyeluruh dengan literature bahasa Inggris dan
menemukan bahwa terdapat sedikit bukti tingkat tinggi pada bidang ini, dan tidak
menerangkan manual praktikum secara sistematik. Yang terpenting, tidak ada
kriteria diagnostik dan pedoman penatalaksanaan terapetik ASBO yang
terstandarisasi, sehingga, kami menentukan standard untuk hal ini. Pedoman
Bologna mencakup pengobatan berbasis bukti dan mencerminkan konsensus
internasional yang diperoleh melalui diskuksi di kalangan profesional dalam
bidang ini pada tanggal 1- 3 Juli 2010, di Pusat Konvensi Belmeloro, Bologna,
Itali.

Kami bertujuan untuk memvalidasi dan memperbaiki pedoman versi


pertama, membuat hipotesis bahwa model, yang terdapat dalam algoritma
penatalaksanaan, dapat menjadi prediktif, yang akan mencegah tertundanya
penatalaksanaan strangulasi dan dengan sukses membaik.
Oleh karena itu, pada tahun 2013 pedoman telah direvisi dan diupdate oleh
Kelompok Kerja WSES pada ASBO dengan pengembangan algoritma diagnosis
dan penatalaksanaan berbasis- bukti (Gambar 1, Gambar 2).

Gambar 1. Algoritma berbasis bukti untuk diagnosis dan penilaian ASBO

Lebih lanjut, penatalaksanaan yang biasa dapat membantu untuk


menstandarisasi perawatan di seluruh daerah, wilayah, atau Negara dalam
2

memenuhi kebutuhan pemerintah dalam efikasi klinis dan "efisiensi ekonomis"


dengan hasil perbaikan hasil dan penurunan biaya. Perbaikan hasil adalah hal
yang diinginkan dalam setiap praktek pedoman penatalaksanaan.

Gambar 2. Algoritma berbasis bukti mengenai penatalaksanaan ASBO

Catatan mengenai penggunaan pedoman


Pedoman ini berdasarkan- bukti, dengan tingkat rekomendasi juga
berdasarkan bukti. Pedoman menunjukkan metode diagnostic dan terapeutik
untuk penatalaksanaan yang optimal dan pencegahan ASBO.
Pedoman praktek diumumkan pada kerja ini tidak mewakili standar
praktek. Mereka merencanakan perawatan, berdasarkan bukti terbaik yang ada
dan konsensus pakar, tetapi mereka tidak menolak pendekatan lain sebagai

standard praktek. Sebagai contoh, mereka sebaiknya tidak digunakan untuk


memaksa pematuhan terhadap metode penatalaksanaan yang telah diberikan,
metode yang mana yang akhirnya menentukan pada kondisi institusi kesehatan
yang relevan (tingkat staf, pengalaman, peralatan, dan lain-lain) dan karakteristik
pasien. Namun, tanggung jawab terhadap hasil pengobatan terletak pada mereka
yang terlibat secara langsung, dan bukan pada kelompok konsensus.
Definisi
Perlekatan abdomen, yang terbentuk dalam beberapa jam setelah operasi,
menunjukkan penyebab tersering obstruksi usus yang bertanggung jawab terhadap
60% hingga 70% SBO. Obstruksi perlengketan usus halus pasca operasi ditandai
oleh adanya nyeri abdomen, muntah, distensi, dan obstipasi, yang dikonfirmasi
dengan pencitraan.
Faktor- faktor resiko
Pasien dengan ASBO ditangani non bedah memiliki waktu tinggal
dirumah sakit lebih pendek, namun mereka memiliki angka rekurensi yang tinggi,
waktu kembali masuk lebih pendek, meskipun resiko operasi dalam menangani
ASBO sama (Tingat bukti 2b).
SBO dapat diklasifikasikan berdasarkan komplitnya, parsial vs komplit
(atau derajat tinggi vs derajat rendah), berdasarkan etiologi: Adesi vs non- adesi,
berdasarkan waktu: cepat vs lambat (> 0 hari setelah operasi).
Walaupun Zielinski dan Bannon mengajukan untuk menukar focus
tradisional dalam membedakan SBO dari NOM yang diprediksi gagal dengan
tujuan memaparkan pasien dengan kegagalan yang dapat terjadi.
Faktor resiko yang paling penting pada perlekatan SBO adalah jenis
operasi dan luasnya kerusakan peritoneal.
Teknik prosedur (terbuka VS laparoskopi) berperan penting dalam
terjadinya perlekatan terkait morbiditas. Dalam review retrospektif pada 446.331
operasi abdomen, Galinos et al. Menyadari bahwa insidensnya sebesar 7,1% pada
kolesistektomi terbuka vs 0.2% pada laparoskopi; 15,6 pada histerektomi total
abdomen terbuka vs 0,0% pada laparoskopi; 23,9% pada operasi adnexal terbuka

vs 0,0% pada laparoskopi dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
apendektomi terbuka dan laparoskopi (1,4% vs 1,3%).
Pada makalah terbaru yang dibuat oleh Reshef et al. Yang membandingkan
resiko ASBO pada 205 pasien yang dilakukan operasi laparoskopi kolorektal dan
205 yang dilakukan operasi serupa terbuka, keduanya tanpa riwayat operasi
terbuka sebelumnya. Setelah rata- rata follow up selama 41 bulan penulis
mendapatkan bahwa walaupun tingkat penerimaan ASBO sama (9% vs 13%, p =
0,3 untuk kelompok laparoskopi yang dan kelompok terbuka), kebutuhan
intervensi operasi ASBO secara signifikan lebih rendah setelah operasi
laparoskopi (2% vs 8%, p = 0,006). Data- data ini menunjukkan bahwa insidens
adesi diduga lebih rendah setelah operasi laparoskopik yang menjadi manfaat
jangka panjang dalam menurunkan SBO.
Faktor resiko lain yang diketahui mencakup operasi kolon dan rectum
(yaitu kolektomi local dengan anastomosis ileal pouchanal), operasi ginekologik,
umur kurang dari 60 tahun, laparotomi sebelumnya dalam waktu 5 tahun,
peritonitis, multiple laparotomi, operasi darurat, reseksi omental, dan trauma
abdomen penetrasi, terutama luka tembak, jumlah episode ASBO sebelumnya
yang tinggi.
Penilaian awal
Setelah pemeriksaan fisik yang akurat dan evaluasi pada WBC, Laktat,
Elektrolit, BUN/ kreat; langkah kerja diagnostik pertama ASBO adalah foto
abdomen supine dan erek yang dapat menunjukkan multiple air- fluid level,
distensi loop- loop usus halus, dan tidak adanya gas pada bagian kolon.
Semua pasien yang dievaluasi untuk obstruksi usus halus sebaiknya
dilakukan foto polos (Tingkat Bukti 2b GoR C).
Penilaian sekunder
CT Scan adalah alat diagnostic tinggi pada SBO dan memiliki nilai yang
baik pada semua pasien dengan foto polos yng tidak dapat disimpulkan apakah
tingkat SBO komplit atau tingkat tinggi SBO. Namun, CT- scan tidak rutin
dilakukan dalam proses penentuan- keputusan, kecuali apabila riwayat klinis,

pemeriksaan fisik, dan foto polos tidak dapat menyimpulkan diagnosis obstruksi
usus halus (Tingkat bukti 2b GoR B).
CT scan sering digunakan untuk menkonfirmasi adanya obstruksi komplit
dalam mengdiagnosis penyebab SBO, yang juga mengeksklusi patologi non- adesi
dan menilai terjadinya strangulasi dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari 90% dan NPV mendekati 100%.
Hubungan CT Scan dengan tanda- tanda iskemia usus seharusnya
menunjukkan ambang rendah terhadap campur tangan operasi (Tahap Bukti 2a
GoR B).
Ultrasound memiliki nilai terbatas dalam obstruksi usus atau pada pasien
dengan distensi usus, karena udara dapat menggelapkan temuan yang ada. Temuan
US yang biasa adalah distensi, peristalsis (diagnosis banding ileus vs SBO
mekanis), perbedaan pada lipatan mukosa disekitar titik transisi, cairan bebas
(tanda- tanda iskemia).
Penggunaan MRI sebaiknya dibatasi pada pasien dengan kontraindikasi
CT atau kontras iodin (Tingkat bukti 2c GoR C).
Kontras larut- air bernilai pada pasien yang dilakuka penatalaksanaan
konservatif non- operatif awal dalam menilai ASBO komplit dan memprediksi
kebutuhan operasi (Tingkat Bukti 1b GoR A). Pemberian kontras larut air
memiliki nilai diagnostic dan terapeutik.
Penyelidikan ini lebih aman daripada barium dalam kasus dan penyebaran
peritoneal dan memiliki nilai terapeutik dalam kasus obstruktif adesif usus halus.
Penatalaksanaan konservatif dan waktu operasi
Penatalaksanaan ASBO menjadi kontroversi karena operasi dapat memicu
perlengketan baru, dimana penatalaksanaan konservatif tidak menghilangkan
penyebab obstruksi. Penatalaksanaan konservatif melibatkan intubasi nasogastric,
pemberian cairan intravena, dan observasi klinis. Strangulasi usus membutuhkan
operasi segera, tetapi iskemia usus sulit untuk ditentukan secara klinis.
Model operasi perawatan akut atau acute care surgery (ACS) dapat
mempengaruhi pasien yang datang dengan SBO karena mereka diserahkan dari
dokter bedah ke dokter bedah lain tanpa perawatan definitif. Pasien ini tidak
6

membutuhkan operasi awal tetapi membutuhkan tindakan setelahnya karena


terjadinya komplikasi atau jika SBO tidak membaik dengan pengobatan
konservatif.
Pada satu studi retrospektif di Australia yang dilakukan oleh Lien et al.
diperhatikan bahwa, pada periode ACS, tidak terdapat perbedaan tingkat
komplikasi atau lamanya tinggal dirumah sakit yang signifikan pada mereka yang
di oper dari dokter yang lain maupun yang tidak, pada periode pew- ACS dan
ACS.
Penulis menyarankan bahwa konsul klinis memberikan titik- audit pada
penatalaksanaan dan oportunitas pasien untuk input kolaboratif. Selain itu,
partisipasi dokter dengan pengalaman klinis yang tinggi dapat meminimalisir
kesalahan dalam transfer informasi akibat peningkatan ketajaman dalam
mengetahui komplikasi pasien.
Penundaan operasi SBO meningkatkan resiko dilakukannya reseksi usus.
Pada review retrospektif yang dilakukan oleh Leung dan teman menemukan
bahwa pasien muda (P = 0,001), tanpa riwayat operasi sebelumnya (P <0,001),
dan tidak adanya penyakit adesif (P <0,001) yang akan dilakukan operasi. CT
Scan yang didapat (P = 0,029) atau radiograf (P <0,001) adalah faktor- faktor yang
meningkatkan waktu ke kamar operasi (OR). Pada kelompok dengan waktu ke
OR kurang dari 24 jam, 12% pasien dilakukan reseksi usus versus waktu ke OR
lebih dari 24 jam, 29% dilakukan reseksi usus.
Beberapa isu meningkat ketika menangani pasien dengan ASBO.
Penatalaksanaan Operatif VS non- operatif
Pasien tanpa tanda- tanda strangulasi atau peritonitis atau riwayat muntah
persisten atau kombinasi tanda- tanda CT scan (cairan bebas, edema
mesenterikum, kurangnya tanda- tanda feses, devaskularisasi usus) dan ASBO
parsial yang dilakukan penatalaksanaan non- operatif secara aman (LoE 1a GoR
A). Pada pasien dengan dekompresi tabung sebaiknya dilakukan (Tingkat Bukti
1b GoR A), atau dengan NGT atau LT.

Pada pasien ASBO yang ditangani secara konservatif, volume drainase


yang melalui tabung panjang pada hari ke- 3 (nilai: 500 mL) adalah indicator
operasi.
Juga pada pasien dengan episode berulang dan laparatomi sebelumnya
karena perlengketan, pengobatan konservatif yang lama (mencakup nutrisi
parenteral) dapat diprediksi dan sering menghindari tindakan resiko tinggi yang
kompleks, tetapi penggunaan alat diagnostik tambahan dapat dilakukan untuk
menemukan pasien yang akan membutuhkan operasi awal.
Pasien yang dilakukan operasi dalam enam minggu sebelum episode
obstruksi usus halus, pasien dengan tanda- tanda strangulasi atau peritonitis
(demam, takikardia dan leukositosis, asidosis metabolik dan nyeri terus menerus),
pasien dengan hernia dan pasien dengan telah membaik pada saat masuk BUKAN
kandidat terapi konservatif +/- pemberian WSCA (Tingkat bukti 1a GoR A).
SBO komplit (tidak ada bukti adanya udara dalam kolon) dan
meningkatnya serum phosphokinase creatine yang memprediksi adanya kegagalan
NOM (Tingkat Bukti 2b GoR C). Cairan intraperitoneal bebas, edema mesenterik,
kurangnya tanda- tanda feses pada usus halus pada CT, dan riwayat muntah,
nyeri perut berat (VAS> 4), disetensi abdomen, peningkatan WBC dan usus
devaskularisasi usus pada CT yang memprediksi kebutuhan laparotomi darurat
pada saat masuk (Tingkat Bukti 2c GoR C).
Adanya kontras larut- air pada kolon yang terlihat pada foto polos
abdomen dalam waktu 24 jam setelah pemberiannya menunjukkan resolusi ASBO
(Tingkat Bukti 1a GoR A). Diantara pasien ASBO yang ditangani awal dengan
strategi konserviatif, prediksi resiko operasi menjadi sulit.
Takikardia, demam, nyeri fokal, meningkatnya hitung sel darah putih, dan
peningkatan tingkat laktat tinggi menunjukkan iskemia usus, tetapi indikator ini
tidak begitu khusus. Apabila iskemia usus tidak mungkin terjadi, pendekatan
konservatif dilakukan selama 24- 48 jam.
Zielinski dan Bannon dalam review terbaru menunjukkan data kombinasi
dari kontras oral dengan model prediktif yang mengidentifikasi pasien dengan
edema mesenteric, kurangnya tanda- tanda feses usus halus dan obstipasi dari 12

jam berisiko tinggi. Penulis merekomendasikan eksplorasi segera pada setiap


pasien yang datang dengan tanda- tanda strangulasi atau ketiga model yang
terlihat pada saat masuk dan tanpa kontras di kolon dalam waktu 8 jam setelah
pemberian.
Selain itu Schraufnagel et al. dalam analisis univariat menunjukkan
bahawa komplikasi, reseksi, lamanya tinggal dan kematian lebih cenderung pada
pasien yang masuk dengan ASBO dan dioperasi pada hari ke- empat atau
kemudian.
Penatalaksanaan non- operatif
Tidak ada keuntungan dengan penggunaan dekompresi tabung panjang
dibandingkan dengan penggunaan tabung nasogastrik (Tingkat Bukti 1b GoR A).
Namun dekompresi tabung awal, dengan tabung panjang atau nasogastric
dapat bermanfaat (Tingkat Bukti 2b GoR C) pada penatalaksanaan awal ASBO
non strangulasi, dengan resusitasi cairan dan koreksi ketidakseimbangan
elektrolit. Bagi kasus ASBO yang menantang, tabung panjang sebaiknya
ditempatkan sesegera mungkin dengan bantuan endoskopi daripada panduan
fluoroskopi.
Penggunaan Gastrografin pada ASBO aman (dari segi morbiditas dan
mortalitas) dan menurunkan kebutuhan operasi, waktu resolusi obstruksi dan
lamanya tinggal di rumah sakit (Tingkat Bukti 1a GoR A). Namun, reaksi
anafilaktoid dan aspirasi letal telah dijelaskan.
Gastrografin boleh diberikan dengan dosis 50- 150 ml, baik secara oral
maupun via NGT dan dapat diberikan cepat atau setelah pengobatan konservatif
tradisional selama 48 jam (Tingkat Bukti 1b GoR A).
Mengenai nilai terapeutik Gastrografin, beberapa penulis menegaskan
bahwa kontras larut air menurunkan lamanya tinggal di rumah sakit tetapi tidak
menurunkan kebutuhan operasi, yang lain telah membuktikan bahwa hal tersebut
efektif dalam menurunkan kebutuhan operasi dan menurunkan lamanya tinggal
dirumah sakit, tanpa perbedaan komplikasi dan mortalitas.
Sebagai tambahan bahwa terapi oral dengan dengan magnesium oksida, L.
acidophilus dan simethicone dapat mempercepat resolusi pengobatan konservatif
9

ASBO parsial dan memendekkan lamanya tinggal di rumah sakit (Tingkat Bukti
1b GoR A).
Terapi hiperbaric oksigen (HBO) dapat bermanfaat terhadap pasien tua
dengan resiko anestesiologik yang tinggi (Tingkat Bukti 2b GoR B). Terapi HBO
dapat menjadi salah satu pilihan pada penatalaksanaan pasien dimana operasi
tidak dapat dilakukan.
Indikasi Penundaan Operasi
Biasanya NOM, jika tidak ada tanda- tanda strangulasi atau peritonitis,
dapat ditunda hingga 72 jam pada SBO adesif (Tingkat Bukti 2b GoR C).
Setelah

hari

tanpa

perbaikan,

studi

WSCA

atau

operasi

direkomendasikan (Tingkat Bukti 2b GoR C).


Jika ileus masih ada hingga lebih daripada 3 hari dan volume drainse pada
hari ke- 3 adalah >500 ml, operasi untuk ASBO direkomendasikan (Tingkat Bukti
2b GoR C).
Dengan pemantauan ketat dan jika tidak ada tanda- tanda yang
menandakan komplikasi, periode observasi lebih dari 10 hari sebelum operasi
aman dilakukan.
Namun, jika onset demam dan leukositosis lebih dari 15.000/ mm 3
(predictor komplikasi usus) diobservasi, kemudian NOM dihentikan dan operasi
direkomendasikan.
Pasien yang tidak respon dengan tabung- panjang dan pengobatan
konservatif dalam 72 jam memiliki resiko besar terjadinya ASBO berulang
(Tingkat Bukti 2b GoR C).
Faktor resiko rekurensi adalah umur <40 tahun, perlekatan yang rumit
(Tingkat Bukti 1b GoR A) dan komplikasi pasca operasi.
Penggunaan Gastrografin tidak mempengaruhi tingkat rekurensi atau
rekurensi dibutuhkannya operasi jika dibandingkan dengan pasien yang ditangani
secara konservatif tradisional (Tingkat Bukti 1b GoR A).
Penatalaksanaan operasi: pendekatan terbuka VS laparoskopi

10

Operasi terbuka adalah metode pilihan untuk penatalaksanaan operasi pada


strangulasi ASBO dan setelah pengobatan konservatif gagal (LoE 2c GOR C).
Pada kelompok pasien laparoskopi dapat dicoba dengan menggunakan
teknik akses terbuka (LoE 2c GOR C).
Akses pada kuadran kiri atas seharusnya aman (LoE 4 GOR C).
Laparoskopi lisis adhesi sebaiknya dilakukan pada kasus episode pertama
SBO dan/ atau anticipated single band adhesion (yaitu SBO setelah apendektomi
atau histerektomi) (LoE 3b GOR C).
Ambang rendah untuk konversi terbuka sebaiknya dijaga jika ditemukan
perlengketan luas (LoE 2c GOR C).
Konversi terhadap laparoskopi- dibantu adhesiolysis (mini- laparotomy
dengan insisi kurang dari 4 cm) atau laparotomi perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan perlengketan pada pelvis (LoE 3b GOR C).
Luasnya adhesiolisis masih diperdebatkan. Pendekatan adhesiolisis pada
obstruksi usus diantara dokter bedah umum di United Kingdom telah ditetatpkan
pada tahun 1993. Setengah dari semua dokter bedah membagi semua adesi untuk
mencegah rekurensi obstruksi usus, dimana setengah lainyya membatasi
adesiolisis pada perekatan yang bertanggung jawab terhadap obstruksi.
Resiko perlengketan dinding abdomen anterior meningkat seiring dengan
jumlah laparotomi sebelumnya meskipun hubungan ini bukanlah bukti hubungan
antara laparotomi sebelumnya dan adhesiolisis yang disebabkan oleh enterotomi.
Umur yang lebih tua dan jumlah laparotomi sebelumnya yang lebih tinggi
dapat menjadi predictor terjadinya enterotomi yang tidak disengaja. Pasien dengan
tiga atau lebih laparotomi sebelumnya memiliki peningkatan 10 kali lipat
terjadinya enterotomy daripada pasien dengan riwayat satu atau dua laparotomi
sebelumnya yang menunjukkan reformasi perlengketan setelah setiap operasi
ulang.
Sejarahnya, laparotomi dan adhesiolisis terbuka telah menjadi pengobatan
pasien yang perlu di operasi akibat obstruksi usus halus. Namun, hal tersebut
sering menyebabkan terjadinya perlengketan intraabdominal sekitar 10% hingga

11

30% pasien yang membutuhkan laparotomi lain obstruksi perlengketan usus


halus.
Pada model hewan, laparoskopi telah menunjukkan menurunkan insidens,
luas, dan beratnya perlengketan intraabdominal daripada operasi terbuka, yang
berpotensi menurunkan tingkat rekurensi obstruksi perlengketan usus halus.
Tolutope dan Scott memberikan kuesioner terhadap semua dokter bedah
umum yang terdaftar di Connecticut, untuk mengetahui pendapat mereka tentang
penggunaan laparoscopic lysis of adhesion (LLA) untuk menangani perlengketan
obstruksi usus halus daripada lisis terbuka perlengketan atau open lysis of
adhesion (OLA) dari segi keamanan, kontraindikasi, dan hasil.
Berdasarkan laporan, 60% responden menggunakan LLA pada prakteknya,
dengan 38% dari kelompok ini menggunakan LLA untuk kurang dari 15% pada
kasus perlengketan SBO. Dibandingkan dengan dokter bedah yang berlatih lebih
dari 15 tahun, sejumlah dokter bedah yang berlatih kurang dari 15 tahun
menganggap LLA lebih aman (P = 0,03) dan memiliki hasil yang lebih baik (P =
0,04) daripada OLA. Lebih banyak dokter bedah dalam rumah sakit akademik
menganggap LLA aman daripada dokter bedah di rumah sakit non- akademic (P =
0,04), dan banyak lagi anggota dari Society of American Gastrointestinal and
Endoscopic Surgeons/ Society of Laparoendoscopic Surgeons, menganggap LLA
aman daripada bukan anggota (P = 0,001).
Data- data ini menunjukkan bahwa pelatihan terbaru ini dan ketertarikan
atau keahlian dalam persatuan pembedahan minimal invasive mempengaruhi
pilihan dokter bedah untuk laparoscopic lysis of adhesion.
Laparoskopi terlihat lebih menguntungkan diatas laparotomi dari segi
terjadinya perlengketan pada dinding abdomen dan pada lokasi operatif, karena
tidak adanya luka lebih lanjut pada peritoneum parietal anterior dan arena
biasanya eksplorasi ileum terbatas untuk memecahkan penyebab obstruksi,
meluasnya diseksi hingga ligamen Treitz hanya apabila penyebab obstruksi tidak
dideteksi.
Laparoscopic adhesiolysis pada obstruksi usus halus memiliki beberapa
keuntungan: (1) kurangnya nyeri post- operatif, (2) fungsi usus lebih cepat

12

kembali, (3) lama tinggal di rumah sakit lebih pendek, (4) berkurangnya waktu
pemulihan menyebabkan cepatnya kembali ke aktivitas lengkap, (5) menurunnya
komplikasi luka, dan (6) menurunnya perlengketan terbentuknya perlengketan
pasca operasi.
Data- data ini telah divalidasi dalam satu meta- analisis yang dilakukan
oleh Ming- Zhe Li et al. yang mendapati bahwa tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan antara operasi terbuka berbanding laparoskopi adhesiolysis dalam
jumlah cedera usus intraoperatif, juga infeksi luka, juga pada moertalitas secara
keseluruhan. Sebaliknya terdapat perbedaan statistik yang signifikan mengenai
komplikasi paru- paru dan penurunan panjangnya ileus pada kelompok
laparoskopi daripada kelompok terbuka. Penulis mendukung pendekatan
laparoskopi lebih aman daripada tindakan terbuka, tetapi di tangan dokter bedah
laparaskopik berpengalaman pada pasien yang dipilih.
Selain itu, Stephanian et al. memperhatikan bahwa trauma minimum,
durasi operasi yang singkat, hasil kosmetik yang baik dan periode pasca operasi
tanpa komplikasi dengan efikasi pendekatan laparoskopi.
Pada konferensi consensus mengenai laparoscopic adhesiolysis, panel ahli
Italia merekomendasikan pilihan intraoperatif pasien setelah laparoskopi
eksplorasi, karena pendekatan ini membolehkan banyak pasien yang mendapatkan
manfaat dari tindakan mini-invasif ini. Mereka setuju bahwa hanya kriteria
eksklusi absolute adhesiolysis laparoskopi pada SBO berkaitan dengan
pneumoperitoneum

(yaitu

ketidakstabilan

hemodinamik

atau

gangguan

kardiopulmonal); semua kontraindikasi lain relatif dan sebaiknya dinilai pada


kasus dasar, tergantung pada kemampauan laparoskopi dokter bedah. Terlebih lagi
pada SBO inkomplit parsial (setelah tes Gastrografin negatif) dan gejala obstruktif
kronik adalah aplikasi ideal untuk adhesiolysis laparoskopi dengan tingkat
konversis sebesar 8,7%.
Namun, tidak ada percobaan acak terkontrol yang membandingkan operasi
terbuka dengan adhesiolysis laparoskopi, dan indikasi serta hasil spesifik
adhesiolysis laparoskopi pada perlengketan SBO masih kurang dipahami. Hanya
RCT pada adhesiolysis laparoskopi yang menilai insidens nyeri perut kronik

13

setelah pengacakan adhesiolysis laparoskopi atau tanpa pengobatan selama


laparoskopi diagnostik dan gagal dalam menunjukkan perbedaan yang signifikan
dari segi nyeri atau tidak nyaman.
Meskipun data dari satu uji coba retrospektif terkontrol menunjukkan
bahwa laparoskopi dapat dilakukan dan lebih baik dari segi lamanya dirumah sakit
dan penurunan mortalitas.
Dalam analyisis retrospektif yang dilakukan oleh Grafen et al. yang
membandingkan hasil pengobatan laparoskopi ASBO terhadap laparotomy
eksplorasi dan konversi sekunder terhadap operasi terbuka. Sebanyak 93 pasien
telah dibagi manjadi laparoskopi sukses (71%), konversi sekunder (26%) dan
laparotomi primer (3%). Kelompok pertama mempunyai perlekatan yang lebih
sederhana, beberapa operasi sebelumnya, skor ASA yang lebih rendah, masa
pembedahan yang singkat, serta durasi di ICU dan lamanya di rumah sakit;
namun, mereka berusia lebih muda dan durasi operasinya lebih singkat. Walaupun
mortalitas terjadi sekitar 6%, tanpa melihat teknik operasi. Para penulis,
menemukan bahwa pasien dengan riwayat apendektomi sebelumnya atau
kolesistektomi sebelumnya dapat ditangani secara laparoscopik tanpa kebutuhan
dilakukan konversi sekunder; di pihak lain lamanya ileus (rata- rata 4,3 hari)
dengan distensi abdomen progresif dan jumlah operasi yang lebih banyak.
Akhirnya alasan konversi menjadi adhesiolysis terbuka adalah: control
laparoskopi yang tidak adekuat akibat distensi usus, perlengketan yang luas,
perforasi iatrogenic dan reseksi segmen nekrotik.
Apabila memutuskan antara pendekatan terbuka atau laparoskopi,
pertimbangan pertama adalah bahawa dokter bedah terlatih dan mampu
melakukan laparoskopi.
Sesuai dengan keinginan pasien, individu dengan obstruksi akut usus halus
dan peritonitis, udara bebas atau usus gangrene memerlukan operasi segera dan
yang terbaik dilakukan laparotomi. Pasien tanpa peritonitis yang tidak membaik
dengan tindakan konservatif sebaiknya dilakukan adhesiolysis laparoskopi. Pada
kasus ini, penting untuk mempertimbangkan diameter usus, tahap proses distensi
abdomen, dan lokasi obstruksi (yaitu, proksimal atau distal). Suter et al.

14

mendapati bahwa diameter usus melebihi 4 cm terkait dengan tingkat peningkatan


konversi: 55% berbanding 32%. Pasien dengan obstruksi usus halus distal dan
komplit

mempunyai

peningkatan

insiden

komplikasi

intraoperative

dan

peningkatan resiko konversi. Pasien dengan distensi abdomen persisten setelah


intubasi nasogastric juga tidak mungkin ditangani secara berhasil dengan
laparoskopi.
Pengaruh padatnya perlengketan dan jumlah operasi sebelumnya dalam
berhasilnya adhesiolysis laparoskopi masih menjadi kontroversi. Len et al.
menyatakan bahwa yang dokumentasi riwayat berat atau luasnya perlengketan
adalah kontraindikasi dilakukannya laparoskopi. Sebaliknya, Suter et al.
mendapati tidak ada korelasi antara jumlah dan atau jenis operasi sebelumnya dan
peluang keberhasilan laparoskopi. Faktor- faktor lain seperti elevasi hitung sel
darah putih atau demam tidak menunjukkan korelasi dengan peningkatan tingkat
konversi. Satu kelompok pasien yang merupakan kandidat yang baik untuk
dilakukan adhesiolysis laparoskopi adalah mereka dengan obstruksi usus halus
yang tidak membaik, parsial atau rekuren yang didapat pada stusi kontras.
Pada review sistematik Irish pada lebih dari 2000 kasus ASBO, 1284
(64%) telah sukses ditangai dengan pendekatan laparoskopi, 6,7% dengan lapassisted, dan 0,3% dikonversi menjadi hernia repair; secara keseluruhan tingkat
konversi laparotomi midline adalah 29%.

Perlengketan padat, reseksi usus,

patologi yang tidak dikenali dan cedera iatrogenic berperan terhadap mayoritas
konversi. Apabila etiologi terkait dengan perlengketan single- band, tingkat
kesuksesan menjadi 73,4%. Morbiditas dan mortalitas sebesar 14,8% dan 1,5%.
Tingkat enterotomy yang tidak sengaja adalah 6,6%. Pada perspektif laparoskopi
menjadi pengobatan ASBo yang efektifdengan morbiditas yang dapat diterima.
Navez et al. melaporkan bahawa apabila penyebab obstruksi adalah
single- band, adhesiolysis laparoskopi berhasil 100%.
Apabila etiologi lain yang ditemukan, seperti hernia internal, hernia
inguinal, neoplasma, inflammatory bowel disease, intususepsi, dan batu empedu
ileus, konversi menajdi minilaparotomi atau laparotomi formal sering diperlukan.

15

Enterotomy yang tidak disengaja selama pembukaan ulang abdomen atau


diseksi perlengketan berikutnya adalah satu komplikasi yang ditakutkan setelah
operasi laparotomi sebelumnya. Insidensnya sebesar 20% pada operasi terbuka
dan antara 1% dan 100% pada laparoskopi.
Insiden enterotomi intraoperative semasa adhesiolysis laparoskopi berkisar
antara 3% hingga 17,6%, dengan kebanyakan penulis melaporkan insidens sebesar
10%.
Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah enterotomi yang tidak
diketahui. Walaupun enterotomi yang tidak diketahui dapat terjadi setelah
laparotomi, insidennya lebih tinggi setelah laparoskopi.
Hasil jangka panjang rekurensi terbatas, dengan kebanyakan laporan kasus
melaporkan follow up rata- rata antara 12 dan 24 bulan.
Kemungkinan laparoskopi diagnostik berkisar antara 60% hingga 100%
dengan efektivitas terpeutik pendekatan laparaskopik rendah (40- 88%). Faktor
prediktif untuk keberhasilan adhesiolysis laparoskopi adalah: jumlah laparotomi
sebelumnya 2, non- median laparotomi sebelumnya, apendektomi pada operasi
sebelumnya menyebabkan perlekatan, perlengketan unique band sebagai
mekanisme pathogenetik obstruksi usus halus, penatalaksanaan laparoskopi awal
dalam waktu 24 jam dari onset gejala, tidak ada tanda- tanda peritonitis pada
pemeriksaan fisis, pengalaman dokter bedah.
Waktu operasi adalah lebih banyak pada pasien yang dilakukan operasi
laparoskopi daripada pasien yang dilakukan laparotomi.
Morbiditas pasca operasi lebih rendah pada pasien yang dilakukan
adhesiolysis laparoskopi daripada yang dilakukan pendekatan laparotomik. Lebih
lanjut, morbiditas yang lebih tinggi tampak pada pasien yang dilakukan
laparotomi; sedangkan mortalitas sama Pada kedua kelompok (0-4%). Akhirnya
laparoskopi adhesiolysis dapat menghindari laparotomi, yang dapat menyebabkan
perlengketan baru dan obstruksi usus, walaupun beberapa penulis menyadari
insidens rekuren usus halus yang lebih besar pada pasien yang dilakukan
laparoskopi daripada laparotomi.

16

Teknik operatif berperan terhadap kesukssesan laparoskopi. Trokar awal


sebaiknya diletakkan jauh (teknik lokasi alternatif) dari bekas luka untuk
menghindari terjadinya perlengketan. Beberapa penyelidik merekomendasikan
penggunaan CT scan atau ultrasonografi untuk membantu menentukan lokasi
yang aman untuk insersis awal trokar.
Kuadran kiri atas atau pinggang sebelah kiri biasanya tempat paling aman
untuk mendapatkan akses ke dalam rongga abdomen. Alternatifnya port 10 mm
dapat dimasukkan pada pinggang sebelah kiri dengan dua port tambahan 5 mm di
kuadran kiri atas dan bawah (atau 10 mm dan 5 mm). Oleh karena itu, 3 port
segitiga dipasang pada kuadran kanan bawah, paparan dan akses yang baik dan
akses ke fossa iliac kanan dapat diperoleh dan teknik yang berjalan pada usus
halus dengan gaya retrograde, dimulai dari katup ileocecal (dekompresi usus)
proksimal ke arah titik peralihan diantara loop yang kolasp dan dilatasi.
Pendekatan terbuka (Hassan) dengan penglihatan langsung adalah lebih
dapat diprediksi. Setelah akses yang aman diperoleh, tujuan berikutnya adalah
untuk memberikan gambaran yang mencukupi untuk insersi trokar yang tersisa.
Hal ini sering memerlukan beberapa tahap adhesiolysis di sepanjang dinding
abdomen anterior. Beberapa teknik tersedia, seperti diseksi jari pembedahan
melalui lokasi trocar awal dan dengan menggunakan kamera untuk diseksi
perlengketan. Terkadang, rektrasksi lembut adhesi akan memisahkan bidang
jaringan. Paling sering adhesiolysis dibutuhkan. Penggunaan kauter dan
ultrasound dibatasi atau sebisa mungkin dihindari untuk mencegah kerusakan
jaringan termal dan cedera usus.
Resiko enterotomy dapat menurun jika perawatan yang teliti dilakukan
pada penggunaan penggenggam atraumatik saja dan jika manipulasi, distensi usus
buncit

diminimalisir

dengan

mengendalikan

mesenteri

mengendalikan usus yang mengembang dan edema selama

usus.

Untuk

adhesiolysis

berbahaya dan resikonya meningkat sepanjang obstruksi yang terjadi; hal ini
merupakan alasan mengapa operasi awal dianjurkan pada studi multisenter yang
menunjukkan: tingkat kesuksesan intervensi laparoskopi awal pada SBO akut
lebih tinggi setelah durasi gejala yang lebih singkat (24 jam vs 48 jam).

17

Setelah penempatan trokar, tujuan awal adalah untuk mengeksplorasi usus


distal yang kolaps. Hal ini dibantu dengan menggunakan teleskop bersudut dan
maksimal kemiringan/ rotasi dari meja operasi. Hal tersebut mungkin diperlukan
untuk menggerakkan laparoskop dengan trokar yang berbeda untuk meningkatkan
visualisasi. Hanya perlengketan patologis yang lisis. Adhesiolysis tambahan hanya
menambah waktu operasi dan resiko operasi tanpa manfaat. Daerah yang lisis
sebaiknya diinspeksi untuk pendarahan dan cedera usus yang mungkin terjadi.
Kesimpulannya, kriteria pemilihan yang teliti untuk laparoskopi: (1)
Kestabilan hemodinamik dan pasien tidak syok, (2) tidak adanya peritonitis atau
sepsis intraabdominal yang berat, (3) proksimal yaitu obstruksi SB, (4) distensi
terlokalisasi pada radiografi, dan/ atau (5) tidak adanya distensi abdomen yang
berat, (6) anticipated single band, (7) prediksi rendah atau menengah Skor PAI <=
3 kuadran abdomen, dan terakhir (8) pengalaman dan kemampuan laparoskopi
dokter bedah. Obstruksi parsial lebih baik dengan pendekatan pertama nonoperative dengan medium kontras hiperosmolar sederhana larut air dengan tujuan
terapeutik dan diagnostik. Obstruksi SB komplit tidak lagi dianggap sebagai
kriteria eksklusi pendekatan laparoskopi.
Panel pakar juga setuju, karena dari studi yang diambil, bahwa
laparoscopic lysis adhesion sebaiknya dilakukan pada kasus episode pertama
SBO dan/ atau perlengketan anticipated single band (yaitu SBO setelah
apendektomi atau histerektomi). Insisi midline sebelumnya bukanlah criteria
eksklusi absolute pendekatan laparoskopi.
Sebuah studi multicenter dari 103 pasien dari WSES- Italian Working
Group pada perlengketan peritoneal dan pengobatan ASBO, yang ditampilkan
pada Kongres Klinis American College of Surgeons 2013, yang menerangkan
mengenai teknik operasi pendekatan laparoskopi untuk ASBO yang aman dan
dikonfirmasi bahwa laparoskopi sebaiknya dicoba, pada kasus episode SBO
pertama dan/ atau anticipated single band adhesion (yaitu setelah SBO
apendektomi atau histerektomi). Ambang rendah konversi terbuka sebaiknya
dijaga jika didapatkan perlengketan luas, seperti yang sering terjadi pada pasien
dengan laparotomi midline dan beberapa operasi sebelumnya. Insisi laparotomi

18

midline sebelumnya dan jumlah episode ASBO sebelumnya dengan estimasi skor
PAI > = 2 pada lebih dari 3 daerah abdomen, terkait dengan serangkaian kasus
peningkatan konversi dan lamanya waktu operasi.
Pencegahan
Kami perlu mencegah ASBO (Loe 2b Gor B).
Pada gambaran insidens perlengketan dan tingkat rekurensi ASBO serta
pembesaran masalah kesehatan dan beban keuangan terkait perlengketan,
pencegahan atau pengurangan perlengketan pasca operasi adalah prioritas penting.
Membrane hyaluronic acid- carboxycellulose dan icodextrin dapat mengurangi
perlengketan (LoE 1a GOR A dan LoE 1b GOR A).
Icodextrin dapat mengurani resiko obstruksi ulang pada ASBO (LoE 1 b
GOR A).
Hyaluronic acid-carboxycellulose tidak menurunkan kebutuhan operasi
ASBO (LoE 1a GOR A).
Kebanyakan literature yang ada berdasarkan pada pasien ginekologi. Pada
pasien bedah umum tidak ada rekomendasi atau pedoman khusus.
Setiap strategi pencegahan seharusnya aman, dapat dilakukan, dan murah.
Gabungan strategi pencegahan mungkin lebih efektif.
Pada review yang sama, penulis merekomendasikan pendekatan
laparoskopi jika boleh, penggunaan barrier bioabsorbable, hemostasis yang
cermat, menghindari diseksi jaringan berlebih dan iskemia serta menurunkan
bahan operasi yang ada.
Pada follow up jangka panjang, studi yang dilakukan oleh Fevang et al.
operasi dapat mengurangi resiko masuknya pasien dengan ASBO dimasa
mendatang, walaupun resiko operasi baru episode ASBO sama tanpa melihat
metode pengobatannya (pembedahan vs konservatif).
Teknik intraoperatif seperti menghindari diseksi peritoneal yang tidak
perlu, menghindari tertumpahnya kandungan usus atau batu empedu, dan
penggunaan sarung tangan bebas- kanji adalah prinsip dasar yang perlu digunakan
pada semua pasien.

19

Pada kebanyakan tindakan abdomen, pendekatan laparoskopi terkait


dengan insiden perlengketan SBO yang lebih rendah atau adhesion- related- re
admission.
Terdapat beberapa bukti kelas I mengenai obstetric dengan teori bahwa
jahitan peritoneum meningkatkan resiko perlengketan.
Mengenai barrier mekanis tidak ada kemajuan yang telah dibuat dalam 6
tahun. Penulis yakin bahwa halangan perlengketan yang diserap menurunkan
insidens terjadinya perlengketan setelah laparoskopi dan laparotomi. Gore- Tex
mungkin lebih superior dalam mencegah terjadinya perlengketan tetapi
kegunaannya terbatas pada penjahitan. Tidak ada bukti efektivitas Seprafilm dan
Lembaran fibrin dalam mencegah terbentuknya perlengketan.
Agen kimia/ cairan mempunyai keuntungan teori dalam menutup lokasi
yang berpotensi mengalami perlengketan daripada barrier mekanik.
Pada P.O.P.A. terbaru studi yang dilakukan oleh Catena et al. pada 91
pasien yang secara aca diberikan 2000 cc icodextrin 4% dan 90 dilakukan
perawatan tradisional. Penulis menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam insiden kebocoran usus halus atau kerosakan anastomotic; waktu
pembedahan, hilangnya darah, insidens reseksi usus halus, kembalinya fungsi
usus, LOS, mobiditas dan mortalitas awal dan lambat dibandingkan. Setelah ratarata follow up selama 41,4 bulan, terdapat 2 kasus ASBO berulang pada kelompok
icodextrin dan 10 kasus pada kelompok control (p <0,05). Hanya seorang pasien
pada kelompok pertama yang dilakukan pembedahan menunjukkan Skor Beratnya
Perlengketan= 2, sementara tiga pasien pada kelompok lain dioperasi, dan
ASSnya adalah 3,2 dan 3. Sama dengan data ini, penggunaan larutan icodextrin
4% tampak aman dan efektif dalam mencegah terjadinya perlengketan intraabdomen dan resiko obstruksi ulang,.
Larutan intergel (Lifecore Biomedical, Inc, Chaska, MN), yang
mengandungi 0,5% hyaluronate ferik, merupakan satu lagi produk yang
digunakan untuk mencegah perlengketan. Pada studi awal, larutan tersebut
menunjukkan menurunkan jumlah, berat, dan luasnya perlengketan pada operasi

20

peritoneal. Namun, penggunaan Intergel pada operasi abdomen di mana saluran


gastrointestinal dibuka masih menyebabkan komplikasi pasca operasi.
Satu temuan eksperimen yang menarik adalah penurunan jumlah dan jenis
perlengketan setelah stimulasi motilitas gastrointestinal pasca operasi dengan agen
prokinetik.
Pada akhirnya, disebutkan bahwa infus peritoneal dengan salin dingin
dapat menurunkan derajat perlengketan intra abdomen pasca operasi pada model
hewan.

Gambar 3. Peritoneal adhesion index: dengan deskribsi pada setiap daerah abdomen dengan skor
perlengketan terkait, jumlah skor akan menjadi hasil PAI.

Kuantifikasi Perlengketan
Diantara system penilaian perlengketan yang berbeda yang diajukan,
utamanya oleh ginekolog, lebih komplit dan mudah untuk menggunakan skor PAI
yang diajukan oleh Coccolini et al. faktanya, perhatian khusus sebaiknya
diberikan dalam penilaian keseragaman. Kami kemudian menyarankan sistem
klasifikasi tegas untuk perlengketan dalam usaha menyeragamkan definisi dan

21

analisis berikutnya. Dengan cara ini, dokter bedah yang berbeda dengan
penatalaksanaan yang berbeda dapat secara efektif mengevaluasi pasien dan
membandingkan kondisinya dengan evaluasi yang lalu dengan menggunakan
sistem klasifikasi universal (Gambar 3). Klasifikasi ini berdasarkan tampilan
makroskopik perlengketan dan perluasannya pada wilayah abdomen yang
berbeda. Dengan menggunakan kriteria penilaian tertentu, doktor dapat
menetapkan peritoneal adhesion index (PAI) antara 0 hingga 30, dengan uraian
keadaan intra-abdomen.
Kesimpulan
ASBO adalah penyakit yang umum terjadi. Pengobatan non- operatif
sebaiknya dicoba dengan tidak adanya tanda- tanda peritonitis atau strangulasi.
WSCM aman dan memiliki peran definitive dalam mendiagnosis (untuk
memprediksi perbaikan atau dibutuhkannya operasi) dan terapi (untuk
mengurangi waktu perbaikan gejala dan lamanya tinggal di rumah sakit). Operasi
terbuka pada beberapa dokter bedah masih menjadi yang paling aman dan
pendekatan operasi yang paling berkesan, walaupun pendekatan laparoskopi aman
dan dapat dilakukan pada pasien terpilih karena komplikasi yang sedikit, lamanya
tingkat ileus, komplikasi pulmonal terkait penggunaannya. Pencegahan dengan
membran hyaluronik- acid carboxycellulose atau icodextrin, sebenarnya telah
mendapat modal relevan. Kuantifikasi perlengketan dan penilaian perlengketan
adalah alat yang menjanjikan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut yang
mengarah

pada

diagnosis

dan

penatalaksnaan ASBO

dan

pencegahan

perlengketan peritoneal.

22

Anda mungkin juga menyukai