Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
Tujuan Pembelajaran
Setelah selesai mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
immunodefisiensi yang terjadi pada penderita dan menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, terutama immunopatogenesis pada gejala yang diderita, cara diagnosis
penunjanga, serta penatalaksanaan kasus yang bersangkutan.

Skenario
Seorang anak laki-laki umur 12 bulan dengan pneumonia, dirujuk ke poliklinik
anak oleh dokter keluarganya. Gejala ini sudah 4 kali dialami dalam 6 bulan terakhir.
Disampiing itu anak ini juga menderita diare (Giardia lamblia) dan tonsil/adenoidnya
hampir tidak terdeteksi. Anak ini juga mempunyai tinggi dan berat badan dibawah
normal. Anak ini telah mendapatkan imunisasi DPT. Ia mempunyai tiga saudara
perempuan yang sehat berumur 3, 5 dan 7 tahun. Saudara laki-lakinya meninggal pada
umur 10 bulan karena pneumonia bakteri 8 tahun yang lalu. Hasil tes darah
menunjukkan kadar imunoglobulin serum total yang rendah, kadar sel B yang rendah
namun jumlah dan fungsi sel T-nya normal. Semua tes untuk jumlah dan fungsi
makrofag dan netrofil normal.

Klarifikasi Kata Sulit


o Imunisasi DPT
DPT merupakan vaksin yang mengandung tiga elemen, yaitu (1) Toksoid
Corynebacterium diphtheriae (difteri), (2) Bakteri Bordetella pertussis yang telaah
dimatikan (seluruh sel), dan (3) Toksoid Clostridium tetani (tetanus).

Kata Kunci
1. Laki-laki berumur 12 bulan
2. Pneumonia (4 kali dalam 6 bulan)

3. Diare
4. Tonsil/adenoid hampir tidak terdeteksi
5. TB dan BB dibawah normal
6. 3 saudara perempuan sehat
7. Saudara laki-laki meninggal pada umur 10 bulan
8. Serum total rendah, kadar sel B rendah
9. Sel

ag dan netrofil normal

Pertanyaan
1. Bagian organ mana yang berperan dalam sistem imun?
2. Apa itu Immunodefisiensi dan bagaimana pembagiannya?
3. Mengapa hanya laki-laki yang menderita penyakit ini?
4. Mengapa anak ini menderita pneumonia berulang dan diare?
5. Mengapa serum total dan sel B rendah?
6. Apa saja diferensial diagnosisnya?
7. Bagaimana penatalaksanaannya?

makrof

BAB II
PEMBAHASAN
1. Organ yang berperan dalam sistem imun

Organ Limfatik
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis dan fungsional berlainan
berperan dalam respon imun. Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ limfoid
primer dan sekunder. Timus dan sumsum tulang adalah organ primer yang merupakan
organ limfoid tempat pematangan limfosit. Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas
sumsum tulang dan timus.Sumsum tulang merupakan jaringan kompleks tempat
hematopoiesis dan depot lemak. Lemak merupakan 50% atau lebih dari kompartemen

rongga sumsum tulang. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan, diferensiasi
dan proliferasi sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen. Karena
itu organ terebut berisikan limfosit dalam berbagai fase diferensiasi. Sel hematopoietik
diproduksi di sumsum tulang menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam
sirkulasi dan didistribusikan ke berbagai bagian tubuh.

2. Immunodefisiensi
Immunodefisiensi adalah defisiensi respon imun atau gangguan yang ditandai dengan
kurangnya respon imun. Defisiensi respon imun yang terjadi merupakan hasil dari
defisiensi salah satu atau beberapa komponen seperti komplemen, sel B, sel T, sel fagosit,
makrofag , dll. Secara umum, immunodefisiensi dibagi menjadi 2 yaitu immunodefisiensi
primer dan sekunder.
Immunodefisiensi primer adalah defisiensi imun yang didasarkan atas bawaan atau
kongenital. Defisiensi imun ini tergantung dari gen induk yang diturunkan kepada
anaknya. Defisiensi yang terjadi bisa terjadi pada sel B yang ditandai dengan infeksi
rekuren oleh bakteri. Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur dan protozoa
yang rekuren. Defisiensii fagosit disertai ketidakmampuan untuk memakan dan
menghancurkan patogen, biasanya timbul dengan infeksi bakteri rekuren. Penyakit
komplemen menunjukkan defek dalam jalur aktivasi klasik, alternatif dan atau lektin
yang meningkatkan mekanisme pertahanan pejamu spesifik.
Immunodefisiensi sekunder adalah defisiensi imun yang disebabkan oleh pengaruh dari
luar atau yang didapat.Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang
dapat terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun
sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik. Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan defisiensi sekunder adalah proses penuaan, malnutrisi, mikroba
imunosupresif, obat imunosupresif, obat sitotoksik, tumor, trauma, diabetes, dll.

3. Immunodefisiensi yang terkait jenis kelamin


Berdasarkan skenario diatas, pasien merupakan anak laki yang berumur 12 bulan dan
memiliki saudara laki-laki yang meninggal pada umur 10 bulan. Dalam skenario juga
terlihat bahwa keduanya menderita pneumonia yang berulang dan memiliki serum total,

serta sel B yang rendah. Jadi, defisiensi sel B yang terjadi pada anak tersebut merupakan
hasil dari defisiensi imun primer atau kongenital.

4. Pneumonia berulang dan diare


Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru di mana pulmonary alveolus (alveoli)
yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan.
Radang paru-paru dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh
bakteria, virus, jamur, atau pasilan (parasit). Berdasarkan skenario diatas, pneumonia
yang diderita oleh anak tersebut disebabkan oleh bakteri (Streptococcus pneumonia)
karena sel limfosit B yang berperan untuk melawan bakteri sangat rendah sehingga
bakteri dapat dengan mudah memicu pneumonia bahkan untuk berulang-ulang.
Diare yang disebabkan oleh Giardia lamblia merupakan jenis diare kronik yang
merupakan hasil dari defisiensi imun penderita. Bakteri atau parasit dapat dengan mudah
menginfeksi penderita dan melawan sistem imunnya sehingga menyebabkan diare kronik
yang lama diderita.

5. Serum total dan sel B yang rendah


Sel B merupakan 5-25% dari limfosit dalam darah yang berjumlah sekitar 1000-2000
sel/mm3. Limfosit terbanyak berasal dari sumsum tulang (hampir 50%), sehingga jika
kadar sel B rendah maka serum total yang diperiksa juga rendah.
Sel B yang rendah bisa dikarenakan oleh gangguan perkembangan sel B. Berdasarkan
skenario diatas, dapat dipastikan dipengaruhi oleh gen. Pematangan dan diferensiasi sel B
dilakukan oleh Bruton Tyrosin Kinase (BTK) yang berada dalam kromosom X. Akan
tetapi, dalam kasus ini, terdapat kelainan pada kromosom X yang seharusnya
menghasilkan BTK dan tanpa adanya Bruton tyrosin kinase maka tidak bisa terjadi
pematangan dan diferensiasi sel B.

6. Diferensial Diagnosis
a. X-linked agammaglobulinemia (XLA), atau Bruton agammaglobulinemia
Definisi
agammaglobulinemia X-linked (XLA), atau agammaglobulinemia Bruton, adalah

penyakit immunodeficiency kongenital disebabkan oleh mutasi pada gen yang berisi
kode tirosin kinase Bruton (BTK). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Bruton
pada tahun 1952. BTK sangat penting untuk pematangan sel pra-B dan diferensiasi
menjadi sel B yang matang. Cacat gen BTK terdapat pada lengan kromosom x.
Epidemiologi
X-linked agammaglobulinemia (XLA), atau Bruton agammaglobulinemia hanya
dijumpai pada anak bayi laki-laki setelah 6 bulan karena sudah ada penurunan
bantuan antibodi dari ibunya.
Penyebab
Penyebab

dari

X-linked

agammaglobulinemia

(XLA),

atau

Bruton

agammaglobulinemia adalah karena kromosom X yang berasal dari sel induk wanita
tidak menghasilkan bruton tyrosin kinase. Bruton tyrosin kinase merupakan enzim
yan berperan dalam proses pematangan atau diferensiasi sel B. Jadi, walaupun
didalam sumsum tulang dihasilkan sel pra-B, akan tetapi tanpa bruton tyrosin kinase
maka tidak akan terbentuk sel B yang matang dan berdiferensiasi menjadi sel plasma.
Gejala
Oleh karena kadar sel B yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali membuat
sistem imun penderita sangat rendah sehingga penderita dengan mudah terjangkit
penyakit terutama yang disebabkan oleh bakteri atau parasit. Bayi dengan defisiensi
sel B menderita otitis media rekuren, bronkitis, septikemi, pneumonia, artritis,
meningitis dan dermatitis. Selain itu, bayi dengan penyakit ini memiliki fisik yang
lebih kecil dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sehat karena bayi tersebut
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan dari berbagai penyakit infeksi
yang dideritanya. Kelenjar getah bening, tonsil dan jaringan limfoid lainnya juga
sangat kecil atau bahkan tidak ada.

b. Transient Hypogammaglobulinemia of infancy


Definisi
Transient Hypogammaglobulinemia of infancy atau hipogamaglobulinemia sementara
merupakan suatu defisiensi imun dimana bayi lambat memproduksi IgG sehingga
proses diferensiasi sel B juga lambat.
Penyebab
Penyebab dari penyakit ini belum jelas, tetapi ada hubungannya dengan defisiensi
sementara dari sel Th. Ketika kadar IgG yang berasal dari ibu mulai menurun maka
bayi harus segera memproduksi IgG namun dalam kasus ini, bayi agak lambat dalam
memproduksi IgG-nya.
Gejala
Bayi menderita hipogamaglobulinemia sementara bisa terkena berbagai penyakit
karena kurangnya kadar IgG. Bayi dengan penyakit ini sering menderita infeksi
kuman piogenik positif-Gram (kulit, selaput orak atau saluran napas) namun akan
membaik pada usia 16-30 bulan.
c. AIDS
Definisi
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus HIV ada
dua yaitu HIV-1 dan HIV-2, akan tetapi keduanya tetap membuat penderitanya
mengalami sindrom defisiensi imun.
Penyebab
Penyakit AIDS merupakan penyakit yang dikarenakan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Virus HIV dapat berupa HIV-1 dan HIV-2 yang merupakan
virus lenti yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas
tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain. Akibatnya akan berpengaruh pada daya
bunuh makrofag, khemotaksis menurun, limfosit B menurun, limfosit T menurun, NK
sel menurun daya bunuhnya dan ekspansi klonalnya menurun.

Gejala
Gejala klinis primer yang dapat dilihat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah,
mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala,
nyeri belakang mata, fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna (anoreksia,
nausea, diare, jamur di mulut). Selain itu, penderita AIDS akan mudah terinfeksi
berbagai virus, bakteri, jamur dan protozoa.

Dari diferensial diagnosis diatas bisa dibuat perbandingan-perbandingan mengenai


penyakit tersebut dan menegakkan diagnosis terhadap penyakit yang ada di skenario
berdasarkan gejala-gejala yang timbul.
Tabel perbandingan
XLA/Bruton

Hypogamaglobulin

Hanya laki-laki
Bayi (0-2 tahun)
Kadar sel B menurun
Kadar IgG menurun atau

Disease

Sementara

tidak ada
Kadar sel T normal
Hanya
rentan
pada

bakteri
Jaringan limfosit hampir

tidak terdeteksi
TB dan BB dibawah

Perbandingan

AIDS

normal
Dari table diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tersebut menderita X-linked
agammaglobulinemia (XLA), atau Bruton agammaglobulinemia.
7. Penatalaksanaan
Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membuktikan penyebab dari penyakit


XLA, yaitu:
Pemeriksaan darah rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau
kelainan lainnya.
Pemeriksaan imunologis seperti uji tapis (kadar IgG, IgM dan IgA; Titer isoaglutinin;
respon antibodi pada vaksin) dan uji lanjutan yaitu enumerasi sel B (CD19 atau CD20),
kadar subklas IgG, kadar IgE dan IgD, titer antibodi natural dan foto faring lateral untuk
mencari kelenjar adenoid.
Pencegahan
XLA merupakan immunodefisiensi yang besifat kongenital sehingga tidak bisa dicegah
pembentukannya. Orang tua yang memiliki sejarah XLA sebelumnya (keluarga)
sebaiknya melakukan pemeriksaan amniosentesis. Setelah itu, orang tua bisa mencegah
kehamilan atau sedia untuk merawat anak laki-laki yang menderita Bruton
Agammaglobulinemia.
Pengobatan
Tindakan kuratif untuk defisiensi imun ini tidak bisa dilakukan karena penyakit ini
termasuk dalam imunodefisiensi primer yang merupakan kongenital dan dibawa dalam
gen sehingga tidak bisa disembuhkan.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah

Melakukan diagnosa dan terapi dini sehingga lebih baik dalam ditanggulangi.

Pemberian

injeksi

gammaglobulin

pada

intravena

(IVIg:

Intravenous

Immunoglobulin) setiap 3-4 minggu. Pemberian IVIg harus mencapai keadaan


dimana kadar IgG sebanyak 800 mg/Kg (sesuai berat badan penderita).
Namun,

pemberian

IVIg

ini

bukan

untuk

mengobati

memperpanjang hidup penderita.

Bisa diberi antibiotik sebagai pelengkap

Pencegahan dari komplikasi selanjutnya, yaitu


Hindari vaksinasi dengan virus yang hidup, misal vaksin polio, dll.

namun

hanya

Anda mungkin juga menyukai