Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan, terjadi terus
menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Proses menua adalah proses alami yang disertai
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu
sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia (lansia). Setelah orang
memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat
patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dan masih banyak lagi. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
(1)

Jumlah orang lansia di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta atau

11% dari total populasi penduduk. Angka ini akan menjadikan Indonesia menempati
urutan ke-4 terbanyak negara berpopulasi lansia setelah Cina, India, dan Amerika. (2)
Namun, ada sekitar 74% dari lansia usia 60 tahun ke atas menderita penyakit kronis yang
harus makan obat terus-menerus selama hidup mereka.(1)
Kurva kematian pada golongan-golongan umur di Indonesia, seperti huruf U yang
artinya kematian terbanyak terdapat pada golongan bayi dan anak kemudian lajut usia
(yang merupakan golongan-golongan masyarakat yang paling rentan penyakit). Sekarang,
golongan

lanjut

usia

Indonesia

masih

berkualitas

rendah

akibat

sisa-sisa

penjajahan.Kebanyakan dari mereka bergantung pada keluarga dan kurang produktif.


Keadaan ini akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya tingkat
pendidikan mereka.(3)
Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit yang menyerang segala kelompok umur
baik pada anak-anak sampai dewasa tak terkecuali pada kelompok lansia. Salah satu
masalah kesehatan pada lansia adalah karies gigi dan penyakit periodontal. Penyakit gigi
dan mulut masih menjadi persoalan di Indonesia sebab berdasarkan Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2004.(4) Tingkat prevalensi karies di Indonesia mencapai 90,05%.
Hasil penelitian menunjukkan 95% penderita bergigi dengan umur lebih 65 tahun
mempunyai penyakit periodontal, dan 70% penderita lansia membutuhkan perawatan
periodontal.(5)
Beberapa studi yang dilakukan di negara maju menghasilkan bahwa gangguan mulut
merupakan suatu kelainan yang bersifat kronik yang akan sering dijumpai pada lanjut usia
1

seperti kehilangan gigi, karies gigi dan penyakit periodontal. Gejala-gejala dari penyakit
diatas dapat berupa sakit, terganggunya fungsi mengunyah, serta infeksi, sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup lanjut usia. Kelainan kronik ini, dapat meningkat karena
rendahnya kunjungan pemeriksaan ke pusat kesehatan gigi atau tenaga profesi kedokteran
lainnya.(6)
Dampak negatif dari kesehatan mulut lanjut usia dalam kualitas hidupnya, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting. Kesehatan mulut yang buruk pada lanjut
usia akan terlihat dengan banyak gigi yang hilang, karies dan penyakit periodontal. Gigi
juga merupakan unsur yang penting dalam tubuh untuk mencapai derajat kesehatan dan
gizi yang baik, terutama pada lanjut usia.(6)
Menurut RISKESDAS 2013, Index DMF-T paling tinggi di Indonesia adalah
kelompok umur 65 tahun ke atas yaitu 18.9 dan yang kedua pada kelompok umur 55-64
tahun yaitu 12.3. Sedangkan untuk proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut di
kelompok umur 55-64 tahun 28.3 % tetapi yang mendapat perawatan hanya 29.5 %, pada
kelompok umur 65 tahun ke atas proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut adalah
sebesar 19.2 % dan yang mendapat perawatan hanya sebesar 24.7%.(7)
1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini
adalah:
Bagaiamana perbandingan kesehatan gigi dan mulut pada kelompok lansia binaan
dengan non binaan di Kelurahan Cipete Selatan ?

1.3.

Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menilai perbandingan kesehatan gigi dan mulut pada lansia binaan dan
non binaan untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut di Kelurahan
Cipete Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menilai hubungan antara kebersihan gigi dan mulut dengan kesehatan gigi dan
mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan.
2. Menilai hubungan antara praktik kesehatan gigi dan mulut dengan kesehatan
gigi dan mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan.
3. Menilai hubungan antara status kesehatan dengan kesehatan gigi dan mulut

1.4.

pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan.


Hipotesis Penelitian
2

Hiposis dalam penelitian ini:


1. Terdapat hubungan antara kebersihan gigi dan mulut dengan kesehatan gigi
dan mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan
2. Terdapat hubungan antara praktik kesehatan gigi dan mulut dengan kesehatan
gigi dan mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan
3. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan kesehatan gigi dan mulut
pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan
1.5.

Manfaaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan hasilnya dapat berguna bagi masyarakat, bagi institusi
yaitu Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan serta bagi ilmu pengetahuan:
1. Bagi masyarakat
Untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran bagi masyarakat khususnya
lansia untuk lebih meningkatkan kesadaran dalam memperhatikan kesehatan
gigi dan mulut
2. Bagi Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan
Untuk memberikan masukan bagi puskesmas Kelurahan Cipete Selatan dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan gigi dan mulut khususnya untuk lansia
3. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini dijadikan suatu masukan untuk meningkatkan kualitas
penelitian, dan bahan referensi bagi peneliti lainnya.

1.6 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini dibuat dengan keterbatasan waktu, biaya dan tenaga. Namun peneliti
tetap berusaha melaksanakan penelitian ini sebaik mungkin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kesehatan Gigi dan Mulut pada Lansia


Menua merupakan proses yang terjadi terus menerus yang terjadi secara alamiah.
Proses menua berdampak pada kemunduran fisik, psikologis maupun sosial, sehingga dapat
menimbulkan masalah baik pada diri lansia (lanjut usia) itu sendiri maupun orang
disekitarnya. Proses menua cenderung menimbulkan masalah kesehatan secara umum
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.(1) Lansia di dunia bertambah dengan cepat

bahkan paling cepat diantara kelompok usia lainnya. Diperkirakan pada tahun 2025 terdapat
1,2 milyar lansia dan pada tahun 2050 akan menjadi 2 milyar lansia di dunia (21% total
penduduk dunia), sebagian besar (sekitar 80%) hidup di negara berkembang. Asia dan Pasifik
merupakan bagian dunia yang tercepat pertambahannya dan salah satu negara yang cepat
pertambahan lansianya adalah Indonesia.(2) Tahun 2000 lansia di Indonesia berjumlah 14,4
juta (7,18%), tahun 2007 sudah mencapai 18,96 juta (8,42%) dan diprediksi akan berlipat
ganda menjadi 28,8 juta (11,34%) pada tahun 2020. Di Indonesia Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) memiliki jumlah penduduk lansia terbanyak. Berdasarkan hasil pendataan
keluarga tahun 2008 proporsi lansia di DIY sebesar 12,26%.(8)
Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak ditemukan di rongga mulut
bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan
gigi dan mulut.(9) Indikator untuk menilai karies gigi yang utama digunakan adalah indeks
DMF-T. DMF-T merupakan penjumlahan indeks D-T, M-T, dan F-T, yang menunjukkan
banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang karena karies baik berupa D
(decayed atau gigi berlubang/karies), M (missing atau gigi yang telah/harus dicabut karena
karies), serta F (filling atau gigi yang telah ditambal karena karies). Indeks DMF-T ini sampai
sekarang masih diterima secara luas diseluruh dunia.(9) Rata-rata DMF-T 4,85 berarti setiap
orang di Indonesia rata-rata mempunyai 5 gigi yang karies. Selanjutnya didapatkan prevalensi
karies gigi pada usia 65 tahun sebesar 94,4% dengan DMF-T 18,33.(9)
Penyakit periodontal juga merupakan salah satu penyakit yang sangat meluas dalam
kehidupan masyarakat sehingga mereka menganggap penyakit ini sebagai sesuatu yang tidak
terhindari. Penyakit yang paling sering mengenai jaringan periodontal adalah gingivitis dan
periodontitis. Seperti karies gigi, penyakit periodontal juga lambat perkembangannya dan
apabila tidak dirawat akan menyebabkan kehilangan gigi. Kesehatan gigi atau sekarang
sering disebut dengan kesehatan gigi dan mulut adalah keadaan rongga mulut, termasuk gigi
geligi dan struktur serta jaringan pendukungnya bebas dari penyakit dan rasa sakit, berfungsi
secara optimal, yang akan menjadikan percaya diri serta hubungan interpersonal dalam
tingkatan paling tinggi. Kesehatan rongga mulut memegang peranan penting dalam
mendapatkan kesehatan umum dan kualitas hidup lansia. Keadaan mulut yang buruk,
misalnya banyaknya gigi hilang akibat rusak atau trauma yang tidak dirawat, akan
mengganggu fungsi dan aktivitas rongga mulut, sehingga akan mempengaruhi status gizi
serta akan mempunyai dampak pada kualitas hidup.(5,10)

Gigi dan mulut merupakan investasi kesehatan seumur hidup. Peranannya cukup
besar dalam mempersiapkan makanan sebelum absorpsi pada saluran pencernaan disamping
fungsi psikis dan sosial. Kesehatan mulut merupakan bagian fundamental kesehatan umum
dan kesejahteraan hidup. Tahap awal asupan makanan melalui rongga mulut tempat proses
pencernaan dimulai, makanan dikunyah menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus, kemudian
dibasahi dengan saliva untuk ditelan. Makanan yang tidak dicerna secara sempurna tidak
akan terserap dengan baik oleh tubuh, dan juga dapat mempengaruhi fungsi pencernaan
tubuh. Kehilangan gigi geligi dalam jumlah yang banyak tentunya akan mengganggu proses
tersebut sehingga mempengaruhi asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh.
Berbagai laporan memperlihatkan bahwa kehilangan gigi pada lansia cukup besar,
seperti yang dilaporkan oleh WHO, prevalensi kehilangan gigi pada populasi usia 65-75
tahun di Perancis 16,9%, Jerman 24,8%, Amerika Serikat 31%. Di Indonesia berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui prevalensi kehilangan gigi pada
kelompok usia 55-64 tahun sebesar 5,9% dan pada usia 65 tahun sebesar 17,6%.(11)
Masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering terjadi pada lansia adalah terjadinya
karies gigi dan penyakit periodontal. Mayoritas karies gigi pada lansia merupakan karies
akar. Karies dan penyakit periodontal menjadi penyebab utama kehilangan gigi
geligi untuk lansia di Indonesia. Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan 2
penyakit utama yang menyerang penduduk dunia. Di Indonesia, karies gigi
menyerang 90,90% penduduk dengan DMF-T sebesar 6,44 dan 73,50% penduduk
Indonesia menderita penyakit periodontal.(9)
Penyakit karies gigi dialami oleh 90% masyarakat Indonesia, hal ini terkait
dengan masalah pemeliharaan kebersihan mulut.(10) Karies gigi umumnya disebabkan oleh
kebersihan mulut yang buruk, sehingga terjadilah akumulasi plak yang mengandung
berbagai macam bakteri diantaranya Streptococcus mutans sebagai penyebab utama
penyakit karies gigi. Pada golongan usia lanjut penyakit karies gigi lebih menonjol, karena
adanya gangguan fisiologis yang berakibat terganggunya fungsi pengunyahan dan sendi
rahang, sehingga mengganggu kenikmatan hidup. Karies bersifat kronis dan dalam
perkembangannya membutuhkan waktu yang lama, sehingga sebagian besar penderita
mempunyai potensi mengalami gangguan seumur hidup. Namun penyakit ini sering tidak
mendapat perhatian dari masyarakat dan perencana program kesehatan, karena dianggap
tidak membahayakan jiwa.
5

Menurut kelompok usia, ada kecenderungan semakin meningkat usia semakin


meningkat pula pengalaman karies. Prevalensi karies aktif meningkat sampai kelompok usia
35 44 tahun dan menurun kembali pada usia 65 tahun ke atas namun penurunan ini tidak
drastis sebab prevalensi karies aktif pada usia 65 tahun ke atas masih tetap tinggi.(10)

2.2.Karies Gigi
Karies gigi adalah proses demineralisasi yang disebabkan oleh suatu interaksi
antara (produk-produk) mikroorganisme, ludah, bagian-bagian yang berasal dari
makanan dan email.(5) Karies gigi adalah suatu penyakit yang merupakan interaksi dari 4
faktor. Host (penjamu), agent (penyebab), environment (lingkungan) dan time (waktu)
yang menghasilkan kerusakan pada jaringan keras gigi yang tak bisa pulih kembali yaitu
email, dentin dan sementum.(5) Menjaga kebersihan mulut dan perawatan topikal aplikasi
fluor serta menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor setiap hari dapat mengurangi
atau menghambat terjadinya karies pada akar. Topikal fluorida telah direkomendasikan
untuk mencegah karies akar, karena fluorida mempunyai efek mengurangi daya larut
email, meningkatkan remineralisasi lesi karies awal dan bersifat bakterisidal dengan
mempengaruhi proses metabolisme bakteri plak.(12) Menurut Sriyono (2009) akhir-akhir
ini, hasil berbagai penelitian menunjukkan adanya penemuan penting tentang kerja fluor
yang lain, yaitu fluor mempunyai efek remineralisasi pada lesi awal atau pre karies serta
mempunyai sejumlah efek antimikrobial. Indikator status kesehatan untuk menilai
karies gigi yang utama digunakan adalah indeks DMF-T dan prevalensi. DMF-T
merupakan penjumlahan indeks D T, M-T dan F-T, yang menunjukkan banyaknya
kerusakan gigi yang pemah dialami seseorang karena karies baik berupa D/Decay (gigi
berlubang karies), M/Missing (gigi dicabut) serta F/ Filling (gigi ditumpat). Indeks DMFT ini sampai sekarang masih diterima secara luas di seluruh dunia. Pengertian masingmasing komponen dari DMF-T menurut Sriyono (2009) adalah D =Decay yaitu
kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat ditambal. M = Missing yaitu
gigi permanen yang hilang karena karies atau gigi karies yang mempunyai indikasi
untuk dicabut. F = Filling yaitu gigi permanen yang telah ditambal karena karies. Hal-hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu pemeriksa waktu menilai memakai indeks DMF-T,
yaitu:
1) Apabila ada gigi yang ditambal sementara, maka gigi tersebut dimasukkan
kriteria D;
6

2) Apabila sebuah gigi mempunyai satu atau lebih tambalan pada permukaannya,
sedangkan permukaan lain karies, maka gigi tersebut dimasukkan kriteria D;
3) Apabila ada gigi yang telah ditambal dan timbul karies sekunder disekelilingnya,
maka gigi tersebut dimasukkan kriteria D;
4) Apabila ada tambalan preventif misalnya fisur silen, maka gigi tersebut tidak
dirnasukkan kriteria F;
5) Apabila ada tambalan crown, maka gigi tersebut tidak dirnasukkan kriteria F.

2.3 Penyakit P eriodontal


Penyakit Periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gigi meliputi
jaringan gingiva, tulang alveolar, sementum dan ligamen periodontal. Penyakit ini
akibat interaksi dari bakteri plak dengan respon peradangan dan imunologi jaringan
periodontal. Walaupun penyakit periodontal dapat diidentifikasi ada beberapa tipe
penyakit periodontal, tetapi secara sederhana dibagi atas gingivitis dan periodontitis.
Pada gingivitis, perubahan peradangan dan imunologi hanya terjadi pada jaringan
gingiva. Pada periodontitis perubahan ini meluas sarnpai ke jaringan yang lebih
dalam pada periodontium.
Gingivitis adalah peradangan pada gusi dengan tanda-tanda klinis perubahan
wama lebih merah dari normal, gusi membengkak, dan berdarah pada tekanan ringan.
Biasanya tidak menirnbulkan rasa sakit, hanya keluhan gusi berdarah bila sikat gigi.(5)
Gingivitis merupakan penyakit jaringan penyangga gigi yang paling ringan, dapat terjadi
akut dan kronis, tetapi bentuk akut lebih sering ditemukan. Faktor penyebab terjadinya
gingivitis adalah faktor lokal dan sistemik. Faktor penyebab lokal adalah plak, kalkulus,
impaksi makanan, karies, dan tambalan yang berlebih. Plak yang merupakan deposit
berisi mikroorganisme mulut beserta eksudatnya berperan penting terhadap terjadinya
inflamasi

tersebut, sedangkan faktor-faktor yang lain merupakan faktor yang

memperberat. Tingkat keparahan dan kerusakan jaringan yang terjadi tergantung pada
daya tahan tubuh dan kualitas reparasi jaringan. Adanya penyakit dan kondisi sistemik
yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh penderita, dapat menambah keparahan
penyakit. Tetapi tanpa adanya iritasi lokal diragukan bahwa penyakit sistemik dapat
menyebabkan periodontal.(9)
Penyakit periodontal dapat terjadi pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, tetapi
prevalensi kerusakan jaringan dan tanggalnya gigi geligi semakin meningkat dengan
7

bertambahnya usia. Terdapat korelasi antara adanya resesi gingiva, hilangnya perlekatan
gingiva dan penurunan jumlah gigi yang tersisa dengan bertambahnya usia. Hasil penelitian
menunjukkan 95% pasien bergigi dengan umur lebih dari 65 tahun mempunyai penyakit
periodontal.(9,13)
Menurut Kiyak et al. (1993), kebutuhan perawatan gigi yang utama bagi lansia
adalah perawatan kebersihan gigi dan mulut (72,1%) dan kebutuhan perawatan
periodontal (42,9%), yang berarti keadaan ini dapat merupakan keadaan status
kesehatan gigi dan mulut lansia yang memerlukan perhatian utama.(9,14)
Lansia rentan terhadap berbagai penyakit sistemik yang bermanifestasi didalam
mulut, juga terhadap penyakit karies gigi dan penyakit periodontal yang berperan sebagai
penyebab utama hilangnya gigi geligi, disebabkan karena kebersihan rongga mulut yang
buruk.(9) WHO (1977) dalam Basic Oral Health Assessment Form menyebutkan bahwa status
penyakit periodontal diukur oleh ada dan tidak adanya kalkulus dan gingivitis per segmen.
2.4 DMF-T
DMF-T merupakan keadaan gigi geligi seseorang yang pernah mengalami kerusakan,
hilang, perbaikan, yang disebabkan oleh karies gigi, indikator ini digunakan untuk gigi geligi
tetap. Gigi sulung digunakan indeks decayed ectraction filled teeth (def-t).
Tujuan pemeriksaan DMF-T adalah untuk melihat status karies gigi, perencanaan
upaya promotif dan preventif, merencanakan kebutuhan perawatan, membandingkan status
pengalaman karies gigi masyarakat dari satu daerah dengan daerah lain atau membandingkan
antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program, serta untuk memantau perkembangan
status pengalaman karies individu.
Indeks ini diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938
untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi
pemeriksaan pada gigi (DMFT) dan permukaan gigi (DMFS). Semua gigi diperiksa kecuali
gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak
berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor, pada kolom yang tersedia langsung diisi kode
D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang) dan F (gigi yang ditumpat) dan kemudian
dijumlahkan sesuai kode. Untuk gigi permanen dan gigi susu hanya dibedakan dengan
pemberian kode DMFT (decayed missing filled tooth) atau DMFS (decayed missing filled
surface) sedangkan deft (decayed extracted filled tooth) dan defs (decayed extracted filled
8

surface) digunakan untuk gigi susu. Rerata DMF adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas
jumlah orang yang diperiksa.
Indeks DMF-T di perkenalkan oleh Klein dkk (1938 cit. Slack, 1981) waktu
mempelajari distribusi karies pada anak-anak di Hagerstone, Maryland. Indeks ini didasarkan
pada kenyataan bahwa kalau jaringan keras gigi mengalami kerusakan maka gigi tersebut
tidak dapat pulih sendiri dan akan meninggalkan bekas kerusakan yang menetap.
Gigi yang rusak tersebut akan tetap tinggal rusak (D - Decay), dan kalau dirawat
dengan dicabut maka akan disebut gigi hilang (M - Missing due to caries) atau ditambal (F Filling due to caries). Maka dari itu indeks karies DMF adalah indeks yang irreversible, yang
berarti indeks tersebut mengukur total life time caries experience.
Pengertian masing-masing komponen dari DMF-T adalah :

D artinya Decay yaitu kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat
ditambal

M artinya Missing yaitu gigi permanen yang hilang karena karies atau gigi karies
yang mempunyai indikasi untuk dicabut.

F artinya Filling yaitu gigi permanen yang telah ditambal karena karies.
Indeks karies dmf dipakai pertama kali oleh Grubbel yang garis besarnya sama

dengan indeks DMF. Banyak dijumpai pada anak-anak di Negara berkembang termasuk
Indonesia, dan cenderung meningkat pada setiap dasawarsa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 90% anak mengalami karies. Angka ini diduga lebih parah di daerah daripada di kota
dan pada anak-anak golongan ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini tentu saja
berpengaruh pada derajat kesehatan anak, proses tumbuh kembang bahkan masa depan
mereka (Depkes RI., 2000). Data SKRT (2004) menyatakan bahwa, prevalensi karies
mencapai 90,06%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan bahwa prevalensi
karies gigi aktif pada usia 12 tahun sebesar 29,8% dengan indeks DMF-T 0,91 dan mencapai
4,46 pada usia 35-44 tahun.
Indeks DMF-T terdiri atas:
a. Decay (karies gigi)

Indeks karies untuk gigi dewasa sampai saat ini masih menggunakan DMF-T Indeks. Decay
(D) adalah jumlah gigi karies dalam mulut subyek atau sampel, dan karies tersebut masih bisa
ditambal.
b. Missing
Missing atau kehilangan gigi yang dimaksud dalam pemeriksaan DMF-T adalah kehilangan
gigi oleh karena karies. Komponen missing (M) adalah gigi hilang oleh karena karies, dan
hilangnya gigi oleh sebab lain atau bukan karena karies.
c. Filling (tumpatan)
Filling (F), dalam hal ini yang dimaksud adalah tumpatan, termasuk di dalamnya tumpatan
tanpa karies, seperti fissure sealant. Yang termasuk dalam kriteria filling (F) adalah gigi yang
sudah ditumpat, dan tumpatan masih dalam keadaan baik.
Pada indeks DMFT Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi
tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks
DMFT (decayed missing filled teeth) yang digunakan untuk gigi permanen pada orang
dewasa dan deft (decayed extracted filled tooth) untuk gigi susu pada anak-anak.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar. Indeks ini tidak
memerlukan gambaran radiografi untuk mendeteksi karies aproksimal. Kriteria pemeriksaan
seperti terlihat pada Tabel 1. Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan semua DMF
atau def. Komponen D meliputi penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada
subjek <30 tahun, dan kode 4 dan 5 untuk subjek >30 tahun misalnya hilang karena karies
atau sebab lain. Komponen F hanya untuk kode 3. Untuk kode 6 (fisur silen) dan 7 (jembatan,
mahkota khusus atau viner/implan) tidak dimasukkan dalam penghitungan DMFT.
Tabel 1. Kode pemeriksaan karies dengan indeks WHO
Gigi Susu

Gigi permanen,

Kondisi/Status

Mahkota Gigi Mahkota gigi Akar gigi


A

Permukaan gigi sehat/keras

Gigi karies

Gigi dengan tumpatan, ada karies


10

Gigi dengan tumpatan baik, tidak ada karies

Gigi yang hilang karena karies

Gigi yang hilang karena sebab lain

Gigi dengan tumpatan silen

Jembatan, mahkota gigi atau viner/implan

Gigi yang tidak erups

Trauma/fraktur

Dan lain-lain: gigi yang memakai pesawat


cekat ortodonti atau gigi yang mengalami
hipoplasia enamel yang berat

(Sumber: Oral Health Basic Surveys, 1997)


Kriteria untuk karies gigi permanent (DMF-T)
D = Decay ; Jumlah gigi karies yang masih dapat ditambal
M = Missing; Jumlah gigi tetap yang telah/harus dicabut karena karies
F = Filling ; Jumlah gigi yang telah ditambal

Kriteria untuk karies gigi Sulung (def-t)


d = Decay

; Jumlah gigi karies yang masih dapat ditambal

e = extracted; Jumlah gigi tetap yang telah/harus dicabut karena karies


f = Filling

; Jumlah gigi yang telah ditambal

Kriteria penilaian DMF-T (WHO) adalah


Sangat Rendah :

0,0 1,1

11

Rendah

Sedang

2,7 4,4

Tinggi

4,5 6,5

Sangat Tinggi :

1,2 2,6

> 6,6

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:


1. Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori D.
2. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam
kategori D.
3. Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D
4. Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori M.
5. Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan
ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.
6. Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F.
7. Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.
8. Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam
kategori M.2

Untuk menganalisis skor DMFT digunakan formula sebagai berikut:


1. DMF-T count

Total DMF-T
--------------------------Number of people examined

(indicates number of teeth with history of decay)

12

Total def-t

Total def-t
------------------------------Number of children examined

( indicates observable caries experience)


2. FNM

F
-----------------Total DMFT
indicates treatment required for decay
(filling needs met)

3. Percent of decayed teeth

Total DMFT
----------------(indicates the treatment required
for unmet filling needs)

4. Percent of missing teeth

M
------------------Total DMFT
(indicates the number of teeth lost by decay)

5. Average D, M, or F individual

D or M or F
--------------------------Number of people examined

Pada rongga mulut, yang berisiko yaitu permukaan akar:


13

(R-D) + (R-F) x 100

= RCI

-------------------------------(R-D) + (R-F) + (R-N)


Keterangan:
R - D = Root surface with decay
R - F = Root surface that is filled
R - N = Root surface that is sound
Angka DMF-T menunjukkan banyaknya karies yang diderita seseorang dari dulu sampai
sekarang.
Contoh :
DMF = 2 , artinya setiap anak mempunyai dua gigi yang terserang karies
DMF = 0 , artinya gigi anak tersebut sehat.
Perhitungan DMF-T berdasarkan pada 28 gigi permanen, adapun gigi yang tidak dihitung
adalah sebagai berikut :

Gigi molar ketiga.

Gigi yang belum erupsi. Gigi disebut erupsi apabila ada bagian gigi yang
menembus gusi baik itu erupsi awal (clinical emergence), erupsi sebagian
(partial eruption) maupun erupsi penuh (full eruption).

Gigi yang tidak ada karena kelainan kongenital dan gigi berlebih
(supernumerary teeth).

Gigi yang hilang bukan karena karies, seperti impaksi atau perawatan
ortodontik.

Gigi tiruan yang disebabkan trauma, estetik dan jembatan.

Gigi susu yang belum tanggal.

14

Kekurangan indeks DMF-T :


1. Tidak dapat menggambarkan banyak karies yang sebenarnya. Karena jika pada
gigi terdapat dua karies atau lebih, karies yang dihitung adalah tetap satu gigi.
2. Indeks DMF-T tidak dapat membedakan kedalaman dari karies, misalnya karies
superfisial, media dan profunda
3. Tidak valid untuk gigi yang hilang karena penyebab lain selain karies
4. Tidak valid untuk pencabutan perawatan ortodonti
5. Tidak dapat digunakan untuk karies akar

2.5 OHIS
Kebersihan gigi dan mulut dapat diukur dengan mempergunakan indeks. Indeks
adalah angka yang menyatakan keadaan klinis yang didapat pada waktu diadakan
pemeriksaan. Angka yang menunjukan kebersihan gigi dan mulut seseorang ini adalah angka
yang diperoleh berdasarkan penilaian yang objektif, dengan menggunakan suatu indeks,
maka kita dapat membuat suatu evaluasi berdasarkan data-data yang diperoleh, sehingga kita
dapat melihat kemajuan atau kemunduran kebersihan gigi dan mulut seseorang atau
masyarakat.

Menurut Green dan Vermillion untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut adalah
dengan mempergunakan suatu indeks yang disebut Oral Higiene Index Simplified (OHIS). Nilai dari OHI-S ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara debris
indeks dan kalkulus indeks.
Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada gigi tertentu dan pada permukaan
tertentu dari gigi tersebut, yaitu :
Untuk rahang atas yang diperiksa :
1. Gigi molar pertama kanan atas pada permukaan bukal.
15

2. Gigi insisivus pertama kanan atas pada permukaan labial.


3. Gigi molar pertama kiri atas pada permukaan bukal.
Untuk rahang bawah yang diperiksa :
1. Gigi molar pertama kiri bawah permukaan lingual.
2. Gigi insisivus pertama kiri bawah pada permukaan labial.
3. Gigi molar pertama kanan bawah pada permukaan lingual.
Bila ada kasus dimana salah satu gigi indeks tersebut tidak ada, maka penilaian dilakukan
sebagai berikut :
a. Bila molar pertama atas atau bawah tidak ada, penilaian dilakukan pada molar kedua
atas atau bawah.
b. Bila molar pertama dan molar kedua atas atau bawah tidak ada, penilaian dilakukan
pada molar ketiga atas atau bawah.
c. Bila molar pertama, kedua dan ketiga atas atau bawah tidak ada, tidak dapat dilakukan
penilaian.
d. Bila insisivus pertama kanan atas tidak ada, penilaian dilakukan pada insisivus
pertama kiri atas.
e. Bila insisivus pertama kanan atau kiri atas tidak ada, tidak dapat dilakukan penilaian.
f. Bila insisivus pertama kiri bawah tidak ada, penilaian dilakukan pada insisivus
pertama kanan bawah.
g. Bila insisivus pertama kiri atau kanan bawah tidak ada, tidak dapat dilakukan
penilaian.
Bila ada kasus diantara keenam gigi indeks yang seharusnya diperiksa tidak ada,
maka penilaian debris indeks dan kalkulus indeks masih dapat dihitung apabila ada dua gigi
indeks yang dapat dinilai (Nio, 1990).
Kriteria penilaian OHI-S menurut Depkes R.I., (1995), kriteria penilaian kebersihan
gigi dan mulut (OHI-S) seseorang dapat dilihat dari adanya debris dan kalkulus pada
permukaan gigi. Untuk menentukan kriteria penilaian debris atau penilaian OHI-S, maka
dipakai tabel debris score dan calculus score sebagai berikut:
Tabel 2
Kriteria Penilaian Pemeriksaan Debris
No KRITERIA

NILAI
16

1.

Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris atau0


pewarnaan ekstrinsik.

2.

a.

Pada permukaan gigi yang terlihat, pada debris lunak1

yang menutupi permukaan gigi seluas 1/3 permukaan atau


kurang dari 1/3 permukaan.
b.

Pada

permukaan

gigi

yang

terlihat

tidak

ada

debris lunak tetapi ada pewarnaan ekstrinsik yang menutupi


permukaan gigi sebagian atau seluruhnya.
3.

Pada permukaan gigi yang terlihat pada debris lunak yang 2


menutupi

permukaan

tersebut

seluas

lebih

dari

1/3

permukaan gigi, tetapi kurang dari 2/3 permukaan gigi.

4.

Pada permukaan gigi yang terlihat ada debris yang menutupi3


permukaan tersebut seluas lebih 2/3 permukaan atau seluruh
permukaan gigi.

Debris Index =

Jumlah penilaian debris


Jumlah gigi yang diperiksa

Dalam pemeriksaan calculus kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut :


Tabel 3
Kriteria Penilaian Pemeriksaan Kalkulus
No KRITERIA

NILAI

1.

Tidak ada karang gigi

2.

Pada permukaan gigi yang terlihat ada karang gigi1


supragingival menutupi permukaan gigi kurang dari 1/3
permukaan gigi.
17

3.

a.

Pada permukaan gigi yang terlihat ada karang2

gigi supragingival menutupi permukaan gigi lebih dari 1/3


permukaan gigi.
b.

Sekitar bagian cervikal gigi terdapat sedikit

subgingival
4.

a.

Pada permukaan gigi yang terlihat adanya karang gigi 3

supragingival menutupi permukaan gigi lebih dari 2/3 nya


atau seluruh permukaan gigi.
b.

Pada permukaan gigi ada karang gigi subgingival yang

menutupi dan melingkari seluruh cervikal (A. Continous


Band of Subgingival Calculus).

Calculus Index = Jumlah penilaian calculus


Jumlah gigi yang diperiksa
Penilaian debris score dan calculus score adalah sebagai berikut :
a.

Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-0,6.

b.

Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 0,7-1,8.

c.

Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 1,9-3,0.

Penilaian OHI-S adalah sebagai berikut :


a.

Baik (good), apabila nilai berada diantara 0-1,2.

b.

Sedang (fair), apabila nilai berada diantara 1,3-3,0.

c.

Buruk (poor), apabila nilai berada diantara 3,1-6,0.

OHI-S atau Oral Hygiene Index Simplified merupakan hasil penjumlahan Debris Index(DI)
dan Calculus Index (CI).
OHI-S = Debris Index + Calculus Index
Atau
18

OHI-S = DI + CI

2.6 Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.(15)
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori S-O-R atau
Stimulus Organisme Respon. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

1. Perilaku tertutup (convert behavior)


Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku
aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang

19

tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial
manusia yang sangat mendasar.
Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu
tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara
khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif
terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial.
Dalam

kedokteran,

perilaku

seseorang

dan

keluarganya

dipelajari

untuk

mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah


kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan
yang holistik dan komprehensif. Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi,
ekonomi, antropologi dan kedokteran.
2.6.1 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman
serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok :
1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)
2) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan (Health
Seeking Behavior)
3) Perilaku kesehatan lingkungan
Menurut Becker, konsep perilaku sehat ini merupakan pengembangan dari konsep
perilaku yang dikembangkan Bloom. Becker menguraikan perilaku kesehatan menjadi tiga
domain, yakni pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap terhadap kesehatan (health
attitude) dan praktik kesehatan (health practice). Hal ini berguna untuk mengukur seberapa
besar tingkat perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian. Becker
mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi, yaitu :
1. Pengetauan
Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang
terhadap cara-cara memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit
20

menular, pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait atau memengaruhi kesehatan,


pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan untuk
menghindari kecelakaan.
2. Sikap
Sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap terhadap
penyakit menular dan tidak menular, sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan
atau memengaruhi kesehatan, sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan sikap
untuk menghindari kecelakaan.
3. Praktek atau Tindakan
Praktek kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas
orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit
menular dan tidak menular, tindakan terhadap faktor-faktor yang terkait dan atau
memengaruhi kesehatan, tindakan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan tindakan
untuk menghindari kecelakaan.(16)

Menurut Skinner perilaku kesehatan (healthy behavior) diartikan sebagai respon


seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan
faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan, minuman, dan
pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit
dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila
sakit atau terkena masalah kesehatan.(16)
2.6.2 Domain Perilaku
Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang
perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangannya,
domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :

Pengetahuan (knowledge)
21

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan itu
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoadmojo, 1993).

Sikap (attitude)
Sikap adalah suatu bentuk evaluasif atau reaksi perasaan, sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak pada objek tersebut.
Sikap sebagai efek positif atau efek negative terhadap objek psikologis (Notoadmojo,
1993).

Tindakan atau praktik (practice)


Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (Overt Behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan beberapa faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan.

Tingkatan tindakan ada 4, yaitu :


1) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek dengan
tindakan yang diambil.
2) Respon terpimpin (guided respon), yaitu apabila seseorang dapat melakukan
sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.
3) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis atau sesudah itu merupakan kebiasaan.
4) Adaptasi (adaption), suatu tindakan atau praktek yang sudah berkembang
dengan baik dan dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.(16)
2. 7 Fungsi Pengunyahan

22

Gigi merupakan organ manusia yang terpenting, tanpa gigi geligi manusia tidak dapat
mengunyah makanan. Gigi berfungsi untuk mengunyah beraneka ragam makanan dengan
tekstur dan nilai gizi yang berbeda-beda. Kehilangan gigi merupakan penyebab terbanyak
menurunnya fungsi pengunyahan. Kehilangan gigi juga dapat mempengaruhi kesehatan
umum dan rongga mulut sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.
Masalah yang sering terjadi pada bidang kesehatan gigi dan mulut adalah gangguan
fungsi kunyah akibat perubahan gigi. Mastikasi adalah proses penghancuran makanan secara
mekanik yang bertujuan membentuk bolus yang kecil sehingga dapat mempermudah proses
penelanan. Komponen mastikasi terdiri dari gigi-geligi, sendi rahang, sistem saraf, dan otototot kunyah rongga mulut, dengan tahap-tahap yang terjadi yaitu tahap membuka mandibula,
tahap menutup mandibula, dan tahap kontak gigi antagonis dengan gigi lain atau kontak gigi
dengan makanan.(19) Permukaan oklusal menjadi faktor penting, karena jumlah gigi
berpengaruh terhadap pemecahan atau pelumatan makanan.(20) Faktor usia mempengaruhi
efektivitas mastikasi seperti, menurunnya pengurangan ukuran partikel serta durasi
pengunyahan.(21) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi performa mastikasi yaitu kekuatan
gigit, tingkat keparahan maloklusi, area kontak oklusal dan ukuran tubuh, dan fungsi motorik
oral.(22) Disfungsi lain berhubungan dengan jumlah saliva yang mempengaruhi proses
mastikasi karena sulitnya pembentukan bolus sebelum menelan.(23)
Penurunan kemampuan mastikasi yang paling signifikan terdapat pada populasi lansia
dengan keadaan tidak bergigi.(24) Gangguan pada kemampuan mastikasi muncul pada individu
yang memiliki kurang dari 20 atau kurang dari 10 pasang gigi dengan oklusi yang baik. (25)
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rerata jumlah kehilangan gigi lansia adalah
11,47.(26) Kondisi tak bergigi mempengaruhi patologi otot pengunyahan dan mempengaruhi
penurunan fungsi pengunyahan sesuai dengan faktor usia.

2.7.1 Kehilangan Gigi


Kehilangan gigi sebagian
Kehilangan gigi sebagian merupakan suatu keadaan dimana hilangnya satu atau lebih gigi
dari jumlah seluruhnya. Kehilangan gigi memiliki prevalensi yang tinggi pada manula di
seluruh dunia dan berkaitan erat dengan status sosial ekonomi. Studi epidemologis
menunjukkan bahwa individu dengan status sosial ekonomi bawah dan individu dengan
23

tingkat pendidikan rendah lebih sering mengalami kehilangan gigi daripada individu status
ekonomi lebih tinggi. Berbagai laporan memperlihatkan bahwa kehilangan gigi pada manula
cukup besar, seperti yang dilaporkan oleh WHO, prevalensi kehilangan gigi pada populasi
usia 65-75 tahun di Negara Perancis 16,9%, Jerman 24,8%, dan 31% untuk Amerika Serikat.7
Indonesia memiliki angka hilangnya gigi yang tergolong tinggi yaitu 24% penduduk dengan
kondisi tak bergigi pada masyarakat yang berumur di atas 65 tahun.(17)
Kehilangan gigi pada usia lanjut umumnya disebabkan oleh penyakit periodontal. Penyakit
periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gigi meliputi jaringan gingival, tulang
alveolar, sementum dan ligamentum periodontal. Penyakit ini akibat interaksi dari bakteri
plak dengan respon peradangan dan imunologi jaringan periodontal. Penyakit periodontal
terbagi atas gingivitis dan periodontitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi dan
keparahan penyakit periodontal meningkat sejalan dengan usia. Hilangnya dukungan tulang
alveolar dan adanya peradangan jaringan periodontal merupakan stimulus terjadinya modot,
bergeser, atau miringnya gigi dan akan meningkatkan mobilitas (goyang) gigi geligi,
sehingga gigi mudah tanggal.(3)
2.7.2 Akibat kehilangan gigi
1.

Migrasi dan rotasi gigi Hilangnya kesinambungan pada lengkung gigi dapat
menyebabkan pergeseran, miring atau berputarnya gigi. Karena gigi ini tidak lagi
menempati posisi yang normal untuk menerima beban yang terjadi pada saat
pengunyahan, maka akan mengakibatkan kerusakan struktur periodontal. Gigi yang
miring lebih sulit dibersihkan, sehingga aktivitas karie dapat meningkat.

2.

Erupsi berlebih Bila gigi sudah tidak mempunyai antagonis lagi, maka akan terjadi
erupsi berlebih (overeruption). Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai
pertumbuhan tulang alveolar. Bila hal ini terjadi tanpa pertumbuhan tulang alveolar,
maka struktur periodontal akan mengalami kemunduran sehingga gigi mulai ekstrusi.

3.

Penurunan efisiensi kunyah Pada kelompok yang sudah kehilangan cukup banyak
gigi, terutama pada bagian posterior, akan merasakan betapa efisiensi kunyahnya
menurun.

4.

Gangguan pada sendi temporo-mandibula Kebiasaan mengunyah yang buruk,


penutupan (over clousure), hubungan rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi,
dapat menyebabkan gangguan pada struktur sendi rahang.

24

5.

Beban berlebih pada jaringan pendukung Bila penderita sudah kehilangan sebagian
gigi aslinya, maka gigi yang masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar
sehingga terjadi pembebanan berlebih (over loading). Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan membran periodontal dan lama kelamaan gigi akan menjadi goyang dan
akhirnya tanggal. Selain itu gigi yang menerima beban terlalu besar dapat
menyebabkan pengikisan (atrisi) pada gigi geligi.

6.

Kelainan bicara & estetik Kehilangan gigi pada bagian depan atas dan bawah sering
kali menyebabkan kelainan bicara, karena gigi khususnya yang depan termasuk
bagian organ fonetik. Selain itu kehilagan gigi bagian depan akan mempengaruhi
estetik dikarenakan akan mengurangi daya tarik seseorang, apalagi dari segi pandang
manusia modern.

7.

Terganggunya kebersihan mulut Migrasi dan rotasi gigi menyebabkan gigi kehilangan
kontak dengan tetangganya, demikian pula gigi yang kehilangan lawan gigitnya.
Adanya ruang interproksimal tidak wajar ini, mengakibatkan celah antar gigi mudah
disisipi sisa makanan. Dengan sendirinya kebersihan mulut tadi terganggu dan mudah
terjadi plak. Pada tahap berikut terjadinya karies gigi dapat meningkat.(18)

2.8 Kerangka Teori

Baik

Baik

Sedan

Sedan

Buruk

Buruk

Kebersihan Gigi
dan Mulut (OHIS)

Baik > 20
gigi

Buruk < 20 gigi

Praktik
Kesehatan
Gigi dan

Fungsi
Pengunyaha
n

Kesehatan Gigi dan Mulut pada


Lansia

25
Karies
DMF-T
Gigi

Gingivitis
Penyakit
Periodonta

Periodonti
tis

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
3
Kebersihan
Gigi dan Mulut
- Baik
- Sedang
4 - Buruk

Praktik Kesehatan Gigi dan


Mulut
- Baik
- Sedang
- Buruk

lansia binaan dan non


binaan

Fungsi Pengunyahan
-

Baik
Buruk

26

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


3.2

Variabel Penelitian

Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Bebas (independent variable)
1. Kebersihan Gigi dan Mulut
2. Praktik Kesehatan Gigi dan Mulut
3. Status Kesehatan
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
3.2.2 Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kesehatan gigi dan mulut pada lansia
binaan dan non-binaan di Kelurahan Cipete Selatan.

27

3.3 Definisi Operasional

No.

Nama Variabel Penelitian

Definisi Operasional

Alat Ukur

Bagaimana Cara
Ukur

Hasil Ukur

Skala

Refe

Kesehatan Gigi dan Mulut

Keadaan terbebas dari nyeri mulut kronik dan


wajah, kanker rongga mulut dan tenggorokan,
luka pada rongga mulut, kelainan rongga mulut
bawaan seperti bibir sumbing, penyakit
periodontal, gigi berlubang dan gigi tanggal, dam
penyakit dan kelainan lain yang terdapat pada
rongga mulut.

DMF-T

Peneliti melakukan
pemeriksaan
kesehatan gigi dan
mulut responden
secara langsung,
kemudian mencatat
dan menentukan
kriteria kebesihan
gigi dan mulut
responden sesuai
indeks DMF-T.

1. Sangat Rendah
(0 1,1)
2. Rendah
(1,2 2,6)
3. Sedang
(2,7 4,4)
4. Tinggi
(4,5 6,5)
5. Sangat Tinggi
(> 6,6)

Ordinal

WHO

Kebersihan Gigi dan Mulut

Intervensi yang dilakukan untuk mencegah


penyakit terkait dengan plak gigi, termasuk
perawatan mukosa mulut, lidah, gigi, bibir, gusi
dan gigi tiruan.

OHIS

Peneliti melakukan
pemeriksaan
kebersihan gigi dan
mulut responden
secara langsung,
kemudian mencatat
dan menentukan
kriteria kebesihan
gigi dan mulut
responden sesuai
indeks OHIS.

1. Baik
(0 1,2)
2. Sedang
(1,3 3,0)
3. Buruk
(3,1 6,0)

Ordinal

OCon
2012

40

No.

Nama Variabel Penelitian

Definisi Operasional

Alat Ukur

Bagaimana Cara
Ukur

Hasil Ukur

Skala

Refe

Notoat
2003

Praktik Kesehatan Gigi dan


Mulut

Respons seseorang terhadap stimulus dalam Wawancara


bentuk tindakan nyata atau terbuka terkait dengan dengan
kesehatan gigi dan mulut.
Kuesioner

Responden
menjawab 8 butir
pertanyaan dalam
kuesioner yang
dibuat oleh peneliti
berdasarkan jurnal
Determinant of Oral
Hygiene Behaviour:A
Study based on the
Theory of Planned
Behaviour oleh
Community Dentistry
and Oral
Epidemiology

1. Baik
(13 16)
2. Sedang
(8 12)
3. Buruk
(0 7)

Ordinal

Status Kesehatan

Suatu konsep holistik yang tidak hanya dibatasi


oleh ada tidaknya penyakit, termasuk didalamnya
harapan hidup individu yang mencakup fungsi
normal tubuh seseorang, kelainan atau penyakit
fisik dan mental.

Responden diminta
menjawab kuesioner
yang
dibacakan/ditanyakan
oleh peneliti
mengenai pernah atau
tidaknya didiagnosis
penyakit diabetes
melitus dan
hipertensi.

1. Diabetes Melitus
2.Hipertensi
3. Tidak Ada
4.Diabetes Melitus
& Hipertensi

Nominal Austra
Institu
Health
Welfar

Wawancara
dengan
Kuesioner

41

BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti mencari hubungan
antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan melakukan pengukuran pada saat
tertentu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan mulai dari
tanggal 10 April 2015 sampai dengan 16 Mei 2015.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi target adalah seluruh lansia di Kecamatan Cilandak. Populasi
terjangkau adalah seluruh lansia yang tercatat di posyandu lansia di Kelurahan
Cipete Selatan.
4.3.2 Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan berdasarkan total sampling
untuk lansia binaan dan purposive sampling dari pasien lansian yang datan ke unit
pelayanan umum di Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan untuk lansia non binaan.
4.3.3 Kriteria Pemilihan
Kriteria Inklusi
1. Lansia yang tercatat di posyandu lansia di Kelurahan Cipete Selatan
2. Lansia yang dapat menulis dan membaca
Kriteria Eksklusi
1. Lansia yang tidak berpartisipasi pada saat posyandu lansia bulan April 2015
2. Lansia yang mempunyai gangguan mental emosional
3. Lansia yang menolak untuk berpartisipasi

Perhitungan Besar Sampel


Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus
populasi infinit:
42

dengan:
no = Besar Populasi infinit
Z = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P
= Indeks DMF-T pada lansia berusia lebih dari 65 tahun yaitu 0.189(9)
Q
= Prevalensi/proporsi yang tidak mengalami peristiwa yang diteliti
(1-P) = (1 0.00187) = 0.811
d
= Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p <10% adalah 0.05
Sehingga:

235, 53 Pembulatan 236 sampel


Besar populasi finit didapatkan dengan rumus:

dengan:
n
= Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
no = Besar sampel dari populasi infinit
N
= Besar sampel populasi finit = 30
Sehingga:

26.81 Pembulatan 27 sampel


antisipasi drop out = 10% x n
antisipasi drop out = 10% x 27 = 2.7
Total sampel = n + antisipasi drop out
Total sampel = 27 + 2.7 = 29.7 dibulatkan menjadi 30 sampel
Disimpulkan bahwa sampel penelitian diambil dengan jumlah 30. Dan untuk sampel
pembandingnya diambil dari lansia yang tidak aktif mengikuti posyandu lansia dengan
jumlah yang sama yaitu 30 sampel.
4.4 Bahan dan Instrumen Penelitian

4Pengumpulan Data
Data primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu berupa wawancara dengan
menggunakan alat bantu berupa kuesioner dengan daftar pertanyaan yang
43

digunakan adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel yang


akan diteliti.
Data sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip resmi, serta
literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian.

4.4.1 Instrumen Penelitian


Instrumen untuk

mengumpulkan

data

responden

adalah

dengan

menggunakan data dari kuesioner(29) dan pemeriksaan gigi menggunakan


nierbeken, kaca mulut, alkohol, gelas plastik, dan tissue.
4.5 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1 Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dari sejumlah kuesioner yang telah

disebarkan

kepada responden, kemudian diolah secara manual yang akan disajikan dalam
bentuk tabel. Cara pengolahan data sebagai berikut:
4.5.2 Editing
Data yang telah dikumpulkan diperiksa kebenarannya dan dikoreksi
kesalahannya dalam pengisian data. Dalam tahap ini data yang dikumpulkan
dilakukan pengecekan atas isi kuesioner, sehingga menghasilkan data yang akurat
untuk pengolahan data selanjutnya.
4.5.3

Coding
Yaitu melakukan pengkodean terhadap beberapa variabel yang akan diteliti.

Coding mempermudah pada saat analisa data dan entry data.


4.5.3.1 Processing
Yaitu memproses data, agar data yang sudah di entry dapat dianalisis.
Processing dilakukan dengan cara mengentry data dari kuesioner ke paket
komputer menggunakan program Statistical Package For Social Science (SPSS)
versi 20.
4.5.3.2 Cleaning
Yaitu pembersihan data, yang merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah dientry, apakah ada kesalahan atau tidak.
4.6 Analisis Data
1. Analisis Univariat
44

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan frekuensi dan presentase dari tiap
variabel yang diteliti. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau diagram.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melakukan analisis terhadap dua variabel, yaitu
menilai apakah terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji
hipotesis menggunakan statistika non parametrik dengan Uji Chi Square (x2). Tingkat
kemaknaan yang digunakan adalah p <0,005. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program SPSS versi 22.
4.6.1 Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a.

Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel
4.7 Etika Penelitian
Etika penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kerahasiaan data
subyek penelitian yang telah bersedia mengikuti penelitian ini. Data yang dimaksud
didapatkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden, yang sebelumnya telah
memberi persetujuan tertulis untuk diikutsertakan sebagai subyek penelitian melalui
informed consent. Pengisian informed consent dilakukan secara sukarela setelah
responden mendapatkan informasi serta penjelasan secara adekuat dari peneliti mengenai
penelitian yang sedang dilakukan.

4.8 Jadwal Kegiatan


TAHAP KEGIATAN
1

Waktu (dalam minggu)


3 4 5 6 7 8 9

10

Perencanaan
1
Pemilihan topik dan judul
2
Penulusuran kepustakaan
3
Pembuatan proposal
4
Konsultasi dengan pembimbing
5
Presentasi proposal
Pelaksanaan
1
2

Pemilihan pasien
Pengumpulan data dan survey
45

3
Pengolahan data
4
Konsultasi dengan pembimbing
Pelaporan Hasil
1
Penulisan laporan sementara
2
Revisi
3
Presentasi hasil penelitian

4.9 Alur Penelitian


Subyek
Purposive Sampling

Lansia yang
datang di unit
pelayanan umum
Puskesmas
Kelurahan Cipete
Selatan
Wawancara dengan
kuesioner

Total Sampling

Lansia di
Posyandu Lansia
Kelurahan Cipete
Selatan
Wawancara dengan
kuesioner

Pemeriksaan gigi

Pemeriksaan gigi

Pengumpulan
Data

Analisis Data

46

DAFTAR PUSTAKA
1. Kuntjoro ZS. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. Available at: http://www.epsikologi.com./artikel/lanjut-usia/masalah-kesehatan-jiwa-lansia. Last update: April,
16th 2002. Accessed April 28th 2015.
2. United Nations Population Division. World Population Prospects: The 2002 Revision,
New York, NY, USA: United Nations, 2003.
3. Darmojo R B. Martono H. 2004. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 3.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004 p.108-9
4. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 Dalam :Surkesnas Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
5. Carranza FA. Glickmans Clinical Periodontology. 10th edition. Philadelphia: W.B.
Saunders; 2006.p.110-19, 344-70
6. Wangsarahardja K, Dharmawan OV, Kasim E. Hubungan Antara Status Kesehatan
Mulut dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia. Universa Medicina 2007; 28: 186-94
7. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Kesehatan Nasional 2013: Laporan Nasional.
Jakarta; 2013. hlm. 110-24.
8. Anonymous.
Penduduk

Lanjut

Usia.

Available

at:

http://

www.menegpp.go.id/aplikasidata/> Accessed: April, 23rd 2015.


9. Sriyono NW. Hubungan antara Hambatan-Hambatan Perawatan Kesehatan Gigi
dan Mulut dengan Status Kesehatan Gigi Usila. Ceril V, VII, Yogyakarta: FKGUGM; 1995.p . 473 -482.
10. Soemitro S. Kesehatan Jaringan Periodontal pada Lanjut Usia. JITEKGI, 3 (2) ;
47

2006.p. 38-41
11. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Kesehatan Nasional 2007: Laporan Nasional.
Jakarta; 2008. hlm. 50-111.
12. Fluorides and oral health. Geneva: World Health Organization; 1994. WHO Technical
Report Series, No. 846
13. Petersen PE. Yamamoto T. Improving the oral health of older people: the approach of
the WHO Global Oral Health Programme. Community Dentistry and Oral
Epidemiology 2005;33:81-92.

14. Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani IW, Setiowulan W. Hubungan
Antara Usia dengan Status Penyakit Periodontal pada Lanjut Usia. Dalam:
Amain M. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aeculapius; 2009
15. Lestari, S., Busro, S., Sudhana, W., 2005, Gambaran Perilaku dan Status Kesehatan
Gigi dan Mulut Lansia di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, Majalah
Ilmiah Kedokteran Gigi, FKG Usakti, Jakarta, 62 : 83 89.
16. Notoatmodjo, Soekidjo, Sarwono, Solita. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia; 1985.p.23
17. Amurwaningsih M, Nisaa U, Darjono A. Analisis hubungan kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan mulut (OHRQol) dan status kecemasan dengan status
nutrisi pada masyarakat usia lanjut. FKG Unnisula. [online]. Available from: URL:
http://journal.unissule.ac.id/majalahilmiahsultanagung/article/view/140 [diakses 13
Desember, 2013].
18. Gunadi H. Buku Ajar ilmu geligi tiruan sebagian lepasan. Jakarta: Hipokrates; 2012,
hal.31-3.
19. Gomes SG, Custodio W, Cury AA, Garcia RC. Effect of salivary flow rate on
masticatory efficiency. Int J Prosthodont. 2009;22:168-72.
20. Bourdiol P, Mioche L. Correlations between functional and occlusal tooth-surface
areas and food texture during natural chewing sequences in humans. Arch Oral Biol.
2000;45:691-9.
21. Woda A, Foster K, Mishellany A, Peyron MA. Adaptation of healthy mastication to
factors pertaining to the individual or to the food. Physiol Behav. 2006;89:28-35.
22. Hatch JP, Shinkai RSA, Sakai S, Rugh JD, Paunovich ED. Determinants of
masticatory performance in dentate adults. Arch Oral Biol. 2000;46:641-8.

48

23. Ikebe K, Matsuda K-i, Kagawa R, Enoki K, Yoshida M, Maeda Y, et al. Association
of masticatory performance with age, gender, number of teeth, occlusal force and
salivary flow in japanese older adults: is ageing a risk factor for masticatory
dysfunction? Arch Oral Biol. 2011;56:991-6.
24. Weijenberg RAF, Scherder EJA, Lobbezoo F. Mastication for the mindThe
relationship between mastication and cognition in ageing and dementia. J Neu Bio
Rev. 2011;35:483-97.
25. Musacchio E, Perissinotto E, Binotto P, Sartori L, Silva-Netto F, Zambon S, et al.
Tooth loss in the elderly and its association with nutritional status, socio-economic
and lifestyle factors. Acta Odontol Scand. 2007;65:78-86.
26. Sundjaja Y, Kusdhany ML, Fardaniah S. Hubungan antara kehilangan gigi dan
pemakaian gigi tiruan dengan kualitas hidup pra-lansia dan lansia perempuan [thesis].
Jakarta: Universitas Indonesia; Mei 2010. Indonesian.

49

Anda mungkin juga menyukai