PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan, terjadi terus
menerus sejak seseorang lahir ke dunia. Proses menua adalah proses alami yang disertai
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu
sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia (lansia). Setelah orang
memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat
patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi
makin rontok, tulang makin rapuh, dan masih banyak lagi. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
(1)
Jumlah orang lansia di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 28,8 juta atau
11% dari total populasi penduduk. Angka ini akan menjadikan Indonesia menempati
urutan ke-4 terbanyak negara berpopulasi lansia setelah Cina, India, dan Amerika. (2)
Namun, ada sekitar 74% dari lansia usia 60 tahun ke atas menderita penyakit kronis yang
harus makan obat terus-menerus selama hidup mereka.(1)
Kurva kematian pada golongan-golongan umur di Indonesia, seperti huruf U yang
artinya kematian terbanyak terdapat pada golongan bayi dan anak kemudian lajut usia
(yang merupakan golongan-golongan masyarakat yang paling rentan penyakit). Sekarang,
golongan
lanjut
usia
Indonesia
masih
berkualitas
rendah
akibat
sisa-sisa
seperti kehilangan gigi, karies gigi dan penyakit periodontal. Gejala-gejala dari penyakit
diatas dapat berupa sakit, terganggunya fungsi mengunyah, serta infeksi, sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup lanjut usia. Kelainan kronik ini, dapat meningkat karena
rendahnya kunjungan pemeriksaan ke pusat kesehatan gigi atau tenaga profesi kedokteran
lainnya.(6)
Dampak negatif dari kesehatan mulut lanjut usia dalam kualitas hidupnya, merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting. Kesehatan mulut yang buruk pada lanjut
usia akan terlihat dengan banyak gigi yang hilang, karies dan penyakit periodontal. Gigi
juga merupakan unsur yang penting dalam tubuh untuk mencapai derajat kesehatan dan
gizi yang baik, terutama pada lanjut usia.(6)
Menurut RISKESDAS 2013, Index DMF-T paling tinggi di Indonesia adalah
kelompok umur 65 tahun ke atas yaitu 18.9 dan yang kedua pada kelompok umur 55-64
tahun yaitu 12.3. Sedangkan untuk proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut di
kelompok umur 55-64 tahun 28.3 % tetapi yang mendapat perawatan hanya 29.5 %, pada
kelompok umur 65 tahun ke atas proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut adalah
sebesar 19.2 % dan yang mendapat perawatan hanya sebesar 24.7%.(7)
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini
adalah:
Bagaiamana perbandingan kesehatan gigi dan mulut pada kelompok lansia binaan
dengan non binaan di Kelurahan Cipete Selatan ?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menilai perbandingan kesehatan gigi dan mulut pada lansia binaan dan
non binaan untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut di Kelurahan
Cipete Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menilai hubungan antara kebersihan gigi dan mulut dengan kesehatan gigi dan
mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan.
2. Menilai hubungan antara praktik kesehatan gigi dan mulut dengan kesehatan
gigi dan mulut pada lansia di Kelurahan Cipete Selatan.
3. Menilai hubungan antara status kesehatan dengan kesehatan gigi dan mulut
1.4.
Manfaaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan hasilnya dapat berguna bagi masyarakat, bagi institusi
yaitu Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan serta bagi ilmu pengetahuan:
1. Bagi masyarakat
Untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran bagi masyarakat khususnya
lansia untuk lebih meningkatkan kesadaran dalam memperhatikan kesehatan
gigi dan mulut
2. Bagi Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan
Untuk memberikan masukan bagi puskesmas Kelurahan Cipete Selatan dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan gigi dan mulut khususnya untuk lansia
3. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini dijadikan suatu masukan untuk meningkatkan kualitas
penelitian, dan bahan referensi bagi peneliti lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
bahkan paling cepat diantara kelompok usia lainnya. Diperkirakan pada tahun 2025 terdapat
1,2 milyar lansia dan pada tahun 2050 akan menjadi 2 milyar lansia di dunia (21% total
penduduk dunia), sebagian besar (sekitar 80%) hidup di negara berkembang. Asia dan Pasifik
merupakan bagian dunia yang tercepat pertambahannya dan salah satu negara yang cepat
pertambahan lansianya adalah Indonesia.(2) Tahun 2000 lansia di Indonesia berjumlah 14,4
juta (7,18%), tahun 2007 sudah mencapai 18,96 juta (8,42%) dan diprediksi akan berlipat
ganda menjadi 28,8 juta (11,34%) pada tahun 2020. Di Indonesia Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) memiliki jumlah penduduk lansia terbanyak. Berdasarkan hasil pendataan
keluarga tahun 2008 proporsi lansia di DIY sebesar 12,26%.(8)
Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak ditemukan di rongga mulut
bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan
gigi dan mulut.(9) Indikator untuk menilai karies gigi yang utama digunakan adalah indeks
DMF-T. DMF-T merupakan penjumlahan indeks D-T, M-T, dan F-T, yang menunjukkan
banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang karena karies baik berupa D
(decayed atau gigi berlubang/karies), M (missing atau gigi yang telah/harus dicabut karena
karies), serta F (filling atau gigi yang telah ditambal karena karies). Indeks DMF-T ini sampai
sekarang masih diterima secara luas diseluruh dunia.(9) Rata-rata DMF-T 4,85 berarti setiap
orang di Indonesia rata-rata mempunyai 5 gigi yang karies. Selanjutnya didapatkan prevalensi
karies gigi pada usia 65 tahun sebesar 94,4% dengan DMF-T 18,33.(9)
Penyakit periodontal juga merupakan salah satu penyakit yang sangat meluas dalam
kehidupan masyarakat sehingga mereka menganggap penyakit ini sebagai sesuatu yang tidak
terhindari. Penyakit yang paling sering mengenai jaringan periodontal adalah gingivitis dan
periodontitis. Seperti karies gigi, penyakit periodontal juga lambat perkembangannya dan
apabila tidak dirawat akan menyebabkan kehilangan gigi. Kesehatan gigi atau sekarang
sering disebut dengan kesehatan gigi dan mulut adalah keadaan rongga mulut, termasuk gigi
geligi dan struktur serta jaringan pendukungnya bebas dari penyakit dan rasa sakit, berfungsi
secara optimal, yang akan menjadikan percaya diri serta hubungan interpersonal dalam
tingkatan paling tinggi. Kesehatan rongga mulut memegang peranan penting dalam
mendapatkan kesehatan umum dan kualitas hidup lansia. Keadaan mulut yang buruk,
misalnya banyaknya gigi hilang akibat rusak atau trauma yang tidak dirawat, akan
mengganggu fungsi dan aktivitas rongga mulut, sehingga akan mempengaruhi status gizi
serta akan mempunyai dampak pada kualitas hidup.(5,10)
Gigi dan mulut merupakan investasi kesehatan seumur hidup. Peranannya cukup
besar dalam mempersiapkan makanan sebelum absorpsi pada saluran pencernaan disamping
fungsi psikis dan sosial. Kesehatan mulut merupakan bagian fundamental kesehatan umum
dan kesejahteraan hidup. Tahap awal asupan makanan melalui rongga mulut tempat proses
pencernaan dimulai, makanan dikunyah menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus, kemudian
dibasahi dengan saliva untuk ditelan. Makanan yang tidak dicerna secara sempurna tidak
akan terserap dengan baik oleh tubuh, dan juga dapat mempengaruhi fungsi pencernaan
tubuh. Kehilangan gigi geligi dalam jumlah yang banyak tentunya akan mengganggu proses
tersebut sehingga mempengaruhi asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh.
Berbagai laporan memperlihatkan bahwa kehilangan gigi pada lansia cukup besar,
seperti yang dilaporkan oleh WHO, prevalensi kehilangan gigi pada populasi usia 65-75
tahun di Perancis 16,9%, Jerman 24,8%, Amerika Serikat 31%. Di Indonesia berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui prevalensi kehilangan gigi pada
kelompok usia 55-64 tahun sebesar 5,9% dan pada usia 65 tahun sebesar 17,6%.(11)
Masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering terjadi pada lansia adalah terjadinya
karies gigi dan penyakit periodontal. Mayoritas karies gigi pada lansia merupakan karies
akar. Karies dan penyakit periodontal menjadi penyebab utama kehilangan gigi
geligi untuk lansia di Indonesia. Karies gigi dan penyakit periodontal merupakan 2
penyakit utama yang menyerang penduduk dunia. Di Indonesia, karies gigi
menyerang 90,90% penduduk dengan DMF-T sebesar 6,44 dan 73,50% penduduk
Indonesia menderita penyakit periodontal.(9)
Penyakit karies gigi dialami oleh 90% masyarakat Indonesia, hal ini terkait
dengan masalah pemeliharaan kebersihan mulut.(10) Karies gigi umumnya disebabkan oleh
kebersihan mulut yang buruk, sehingga terjadilah akumulasi plak yang mengandung
berbagai macam bakteri diantaranya Streptococcus mutans sebagai penyebab utama
penyakit karies gigi. Pada golongan usia lanjut penyakit karies gigi lebih menonjol, karena
adanya gangguan fisiologis yang berakibat terganggunya fungsi pengunyahan dan sendi
rahang, sehingga mengganggu kenikmatan hidup. Karies bersifat kronis dan dalam
perkembangannya membutuhkan waktu yang lama, sehingga sebagian besar penderita
mempunyai potensi mengalami gangguan seumur hidup. Namun penyakit ini sering tidak
mendapat perhatian dari masyarakat dan perencana program kesehatan, karena dianggap
tidak membahayakan jiwa.
5
2.2.Karies Gigi
Karies gigi adalah proses demineralisasi yang disebabkan oleh suatu interaksi
antara (produk-produk) mikroorganisme, ludah, bagian-bagian yang berasal dari
makanan dan email.(5) Karies gigi adalah suatu penyakit yang merupakan interaksi dari 4
faktor. Host (penjamu), agent (penyebab), environment (lingkungan) dan time (waktu)
yang menghasilkan kerusakan pada jaringan keras gigi yang tak bisa pulih kembali yaitu
email, dentin dan sementum.(5) Menjaga kebersihan mulut dan perawatan topikal aplikasi
fluor serta menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor setiap hari dapat mengurangi
atau menghambat terjadinya karies pada akar. Topikal fluorida telah direkomendasikan
untuk mencegah karies akar, karena fluorida mempunyai efek mengurangi daya larut
email, meningkatkan remineralisasi lesi karies awal dan bersifat bakterisidal dengan
mempengaruhi proses metabolisme bakteri plak.(12) Menurut Sriyono (2009) akhir-akhir
ini, hasil berbagai penelitian menunjukkan adanya penemuan penting tentang kerja fluor
yang lain, yaitu fluor mempunyai efek remineralisasi pada lesi awal atau pre karies serta
mempunyai sejumlah efek antimikrobial. Indikator status kesehatan untuk menilai
karies gigi yang utama digunakan adalah indeks DMF-T dan prevalensi. DMF-T
merupakan penjumlahan indeks D T, M-T dan F-T, yang menunjukkan banyaknya
kerusakan gigi yang pemah dialami seseorang karena karies baik berupa D/Decay (gigi
berlubang karies), M/Missing (gigi dicabut) serta F/ Filling (gigi ditumpat). Indeks DMFT ini sampai sekarang masih diterima secara luas di seluruh dunia. Pengertian masingmasing komponen dari DMF-T menurut Sriyono (2009) adalah D =Decay yaitu
kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat ditambal. M = Missing yaitu
gigi permanen yang hilang karena karies atau gigi karies yang mempunyai indikasi
untuk dicabut. F = Filling yaitu gigi permanen yang telah ditambal karena karies. Hal-hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu pemeriksa waktu menilai memakai indeks DMF-T,
yaitu:
1) Apabila ada gigi yang ditambal sementara, maka gigi tersebut dimasukkan
kriteria D;
6
2) Apabila sebuah gigi mempunyai satu atau lebih tambalan pada permukaannya,
sedangkan permukaan lain karies, maka gigi tersebut dimasukkan kriteria D;
3) Apabila ada gigi yang telah ditambal dan timbul karies sekunder disekelilingnya,
maka gigi tersebut dimasukkan kriteria D;
4) Apabila ada tambalan preventif misalnya fisur silen, maka gigi tersebut tidak
dirnasukkan kriteria F;
5) Apabila ada tambalan crown, maka gigi tersebut tidak dirnasukkan kriteria F.
memperberat. Tingkat keparahan dan kerusakan jaringan yang terjadi tergantung pada
daya tahan tubuh dan kualitas reparasi jaringan. Adanya penyakit dan kondisi sistemik
yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh penderita, dapat menambah keparahan
penyakit. Tetapi tanpa adanya iritasi lokal diragukan bahwa penyakit sistemik dapat
menyebabkan periodontal.(9)
Penyakit periodontal dapat terjadi pada masa anak-anak, remaja dan dewasa, tetapi
prevalensi kerusakan jaringan dan tanggalnya gigi geligi semakin meningkat dengan
7
bertambahnya usia. Terdapat korelasi antara adanya resesi gingiva, hilangnya perlekatan
gingiva dan penurunan jumlah gigi yang tersisa dengan bertambahnya usia. Hasil penelitian
menunjukkan 95% pasien bergigi dengan umur lebih dari 65 tahun mempunyai penyakit
periodontal.(9,13)
Menurut Kiyak et al. (1993), kebutuhan perawatan gigi yang utama bagi lansia
adalah perawatan kebersihan gigi dan mulut (72,1%) dan kebutuhan perawatan
periodontal (42,9%), yang berarti keadaan ini dapat merupakan keadaan status
kesehatan gigi dan mulut lansia yang memerlukan perhatian utama.(9,14)
Lansia rentan terhadap berbagai penyakit sistemik yang bermanifestasi didalam
mulut, juga terhadap penyakit karies gigi dan penyakit periodontal yang berperan sebagai
penyebab utama hilangnya gigi geligi, disebabkan karena kebersihan rongga mulut yang
buruk.(9) WHO (1977) dalam Basic Oral Health Assessment Form menyebutkan bahwa status
penyakit periodontal diukur oleh ada dan tidak adanya kalkulus dan gingivitis per segmen.
2.4 DMF-T
DMF-T merupakan keadaan gigi geligi seseorang yang pernah mengalami kerusakan,
hilang, perbaikan, yang disebabkan oleh karies gigi, indikator ini digunakan untuk gigi geligi
tetap. Gigi sulung digunakan indeks decayed ectraction filled teeth (def-t).
Tujuan pemeriksaan DMF-T adalah untuk melihat status karies gigi, perencanaan
upaya promotif dan preventif, merencanakan kebutuhan perawatan, membandingkan status
pengalaman karies gigi masyarakat dari satu daerah dengan daerah lain atau membandingkan
antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program, serta untuk memantau perkembangan
status pengalaman karies individu.
Indeks ini diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE, Knutson JW pada tahun 1938
untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap karies gigi. Pemeriksaannya meliputi
pemeriksaan pada gigi (DMFT) dan permukaan gigi (DMFS). Semua gigi diperiksa kecuali
gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak
berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor, pada kolom yang tersedia langsung diisi kode
D (gigi yang karies), M (gigi yang hilang) dan F (gigi yang ditumpat) dan kemudian
dijumlahkan sesuai kode. Untuk gigi permanen dan gigi susu hanya dibedakan dengan
pemberian kode DMFT (decayed missing filled tooth) atau DMFS (decayed missing filled
surface) sedangkan deft (decayed extracted filled tooth) dan defs (decayed extracted filled
8
surface) digunakan untuk gigi susu. Rerata DMF adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas
jumlah orang yang diperiksa.
Indeks DMF-T di perkenalkan oleh Klein dkk (1938 cit. Slack, 1981) waktu
mempelajari distribusi karies pada anak-anak di Hagerstone, Maryland. Indeks ini didasarkan
pada kenyataan bahwa kalau jaringan keras gigi mengalami kerusakan maka gigi tersebut
tidak dapat pulih sendiri dan akan meninggalkan bekas kerusakan yang menetap.
Gigi yang rusak tersebut akan tetap tinggal rusak (D - Decay), dan kalau dirawat
dengan dicabut maka akan disebut gigi hilang (M - Missing due to caries) atau ditambal (F Filling due to caries). Maka dari itu indeks karies DMF adalah indeks yang irreversible, yang
berarti indeks tersebut mengukur total life time caries experience.
Pengertian masing-masing komponen dari DMF-T adalah :
D artinya Decay yaitu kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat
ditambal
M artinya Missing yaitu gigi permanen yang hilang karena karies atau gigi karies
yang mempunyai indikasi untuk dicabut.
F artinya Filling yaitu gigi permanen yang telah ditambal karena karies.
Indeks karies dmf dipakai pertama kali oleh Grubbel yang garis besarnya sama
dengan indeks DMF. Banyak dijumpai pada anak-anak di Negara berkembang termasuk
Indonesia, dan cenderung meningkat pada setiap dasawarsa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 90% anak mengalami karies. Angka ini diduga lebih parah di daerah daripada di kota
dan pada anak-anak golongan ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ini tentu saja
berpengaruh pada derajat kesehatan anak, proses tumbuh kembang bahkan masa depan
mereka (Depkes RI., 2000). Data SKRT (2004) menyatakan bahwa, prevalensi karies
mencapai 90,06%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan bahwa prevalensi
karies gigi aktif pada usia 12 tahun sebesar 29,8% dengan indeks DMF-T 0,91 dan mencapai
4,46 pada usia 35-44 tahun.
Indeks DMF-T terdiri atas:
a. Decay (karies gigi)
Indeks karies untuk gigi dewasa sampai saat ini masih menggunakan DMF-T Indeks. Decay
(D) adalah jumlah gigi karies dalam mulut subyek atau sampel, dan karies tersebut masih bisa
ditambal.
b. Missing
Missing atau kehilangan gigi yang dimaksud dalam pemeriksaan DMF-T adalah kehilangan
gigi oleh karena karies. Komponen missing (M) adalah gigi hilang oleh karena karies, dan
hilangnya gigi oleh sebab lain atau bukan karena karies.
c. Filling (tumpatan)
Filling (F), dalam hal ini yang dimaksud adalah tumpatan, termasuk di dalamnya tumpatan
tanpa karies, seperti fissure sealant. Yang termasuk dalam kriteria filling (F) adalah gigi yang
sudah ditumpat, dan tumpatan masih dalam keadaan baik.
Pada indeks DMFT Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena biasanya gigi
tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi. Indeks ini dibedakan atas indeks
DMFT (decayed missing filled teeth) yang digunakan untuk gigi permanen pada orang
dewasa dan deft (decayed extracted filled tooth) untuk gigi susu pada anak-anak.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan kaca mulut datar. Indeks ini tidak
memerlukan gambaran radiografi untuk mendeteksi karies aproksimal. Kriteria pemeriksaan
seperti terlihat pada Tabel 1. Cara perhitungannya adalah dengan menjumlahkan semua DMF
atau def. Komponen D meliputi penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada
subjek <30 tahun, dan kode 4 dan 5 untuk subjek >30 tahun misalnya hilang karena karies
atau sebab lain. Komponen F hanya untuk kode 3. Untuk kode 6 (fisur silen) dan 7 (jembatan,
mahkota khusus atau viner/implan) tidak dimasukkan dalam penghitungan DMFT.
Tabel 1. Kode pemeriksaan karies dengan indeks WHO
Gigi Susu
Gigi permanen,
Kondisi/Status
Gigi karies
Trauma/fraktur
0,0 1,1
11
Rendah
Sedang
2,7 4,4
Tinggi
4,5 6,5
Sangat Tinggi :
1,2 2,6
> 6,6
Total DMF-T
--------------------------Number of people examined
12
Total def-t
Total def-t
------------------------------Number of children examined
F
-----------------Total DMFT
indicates treatment required for decay
(filling needs met)
Total DMFT
----------------(indicates the treatment required
for unmet filling needs)
M
------------------Total DMFT
(indicates the number of teeth lost by decay)
5. Average D, M, or F individual
D or M or F
--------------------------Number of people examined
= RCI
Gigi yang belum erupsi. Gigi disebut erupsi apabila ada bagian gigi yang
menembus gusi baik itu erupsi awal (clinical emergence), erupsi sebagian
(partial eruption) maupun erupsi penuh (full eruption).
Gigi yang tidak ada karena kelainan kongenital dan gigi berlebih
(supernumerary teeth).
Gigi yang hilang bukan karena karies, seperti impaksi atau perawatan
ortodontik.
14
2.5 OHIS
Kebersihan gigi dan mulut dapat diukur dengan mempergunakan indeks. Indeks
adalah angka yang menyatakan keadaan klinis yang didapat pada waktu diadakan
pemeriksaan. Angka yang menunjukan kebersihan gigi dan mulut seseorang ini adalah angka
yang diperoleh berdasarkan penilaian yang objektif, dengan menggunakan suatu indeks,
maka kita dapat membuat suatu evaluasi berdasarkan data-data yang diperoleh, sehingga kita
dapat melihat kemajuan atau kemunduran kebersihan gigi dan mulut seseorang atau
masyarakat.
Menurut Green dan Vermillion untuk mengukur kebersihan gigi dan mulut adalah
dengan mempergunakan suatu indeks yang disebut Oral Higiene Index Simplified (OHIS). Nilai dari OHI-S ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil penjumlahan antara debris
indeks dan kalkulus indeks.
Pemeriksaan debris dan kalkulus dilakukan pada gigi tertentu dan pada permukaan
tertentu dari gigi tersebut, yaitu :
Untuk rahang atas yang diperiksa :
1. Gigi molar pertama kanan atas pada permukaan bukal.
15
NILAI
16
1.
2.
a.
Pada
permukaan
gigi
yang
terlihat
tidak
ada
permukaan
tersebut
seluas
lebih
dari
1/3
4.
Debris Index =
NILAI
1.
2.
3.
a.
subgingival
4.
a.
b.
c.
b.
c.
OHI-S atau Oral Hygiene Index Simplified merupakan hasil penjumlahan Debris Index(DI)
dan Calculus Index (CI).
OHI-S = Debris Index + Calculus Index
Atau
18
OHI-S = DI + CI
2.6 Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.(15)
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori S-O-R atau
Stimulus Organisme Respon. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
19
tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial
manusia yang sangat mendasar.
Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu
tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara
khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif
terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial.
Dalam
kedokteran,
perilaku
seseorang
dan
keluarganya
dipelajari
untuk
Pengetahuan (knowledge)
21
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan itu
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoadmojo, 1993).
Sikap (attitude)
Sikap adalah suatu bentuk evaluasif atau reaksi perasaan, sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak pada objek tersebut.
Sikap sebagai efek positif atau efek negative terhadap objek psikologis (Notoadmojo,
1993).
22
Gigi merupakan organ manusia yang terpenting, tanpa gigi geligi manusia tidak dapat
mengunyah makanan. Gigi berfungsi untuk mengunyah beraneka ragam makanan dengan
tekstur dan nilai gizi yang berbeda-beda. Kehilangan gigi merupakan penyebab terbanyak
menurunnya fungsi pengunyahan. Kehilangan gigi juga dapat mempengaruhi kesehatan
umum dan rongga mulut sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.
Masalah yang sering terjadi pada bidang kesehatan gigi dan mulut adalah gangguan
fungsi kunyah akibat perubahan gigi. Mastikasi adalah proses penghancuran makanan secara
mekanik yang bertujuan membentuk bolus yang kecil sehingga dapat mempermudah proses
penelanan. Komponen mastikasi terdiri dari gigi-geligi, sendi rahang, sistem saraf, dan otototot kunyah rongga mulut, dengan tahap-tahap yang terjadi yaitu tahap membuka mandibula,
tahap menutup mandibula, dan tahap kontak gigi antagonis dengan gigi lain atau kontak gigi
dengan makanan.(19) Permukaan oklusal menjadi faktor penting, karena jumlah gigi
berpengaruh terhadap pemecahan atau pelumatan makanan.(20) Faktor usia mempengaruhi
efektivitas mastikasi seperti, menurunnya pengurangan ukuran partikel serta durasi
pengunyahan.(21) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi performa mastikasi yaitu kekuatan
gigit, tingkat keparahan maloklusi, area kontak oklusal dan ukuran tubuh, dan fungsi motorik
oral.(22) Disfungsi lain berhubungan dengan jumlah saliva yang mempengaruhi proses
mastikasi karena sulitnya pembentukan bolus sebelum menelan.(23)
Penurunan kemampuan mastikasi yang paling signifikan terdapat pada populasi lansia
dengan keadaan tidak bergigi.(24) Gangguan pada kemampuan mastikasi muncul pada individu
yang memiliki kurang dari 20 atau kurang dari 10 pasang gigi dengan oklusi yang baik. (25)
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rerata jumlah kehilangan gigi lansia adalah
11,47.(26) Kondisi tak bergigi mempengaruhi patologi otot pengunyahan dan mempengaruhi
penurunan fungsi pengunyahan sesuai dengan faktor usia.
tingkat pendidikan rendah lebih sering mengalami kehilangan gigi daripada individu status
ekonomi lebih tinggi. Berbagai laporan memperlihatkan bahwa kehilangan gigi pada manula
cukup besar, seperti yang dilaporkan oleh WHO, prevalensi kehilangan gigi pada populasi
usia 65-75 tahun di Negara Perancis 16,9%, Jerman 24,8%, dan 31% untuk Amerika Serikat.7
Indonesia memiliki angka hilangnya gigi yang tergolong tinggi yaitu 24% penduduk dengan
kondisi tak bergigi pada masyarakat yang berumur di atas 65 tahun.(17)
Kehilangan gigi pada usia lanjut umumnya disebabkan oleh penyakit periodontal. Penyakit
periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gigi meliputi jaringan gingival, tulang
alveolar, sementum dan ligamentum periodontal. Penyakit ini akibat interaksi dari bakteri
plak dengan respon peradangan dan imunologi jaringan periodontal. Penyakit periodontal
terbagi atas gingivitis dan periodontitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi dan
keparahan penyakit periodontal meningkat sejalan dengan usia. Hilangnya dukungan tulang
alveolar dan adanya peradangan jaringan periodontal merupakan stimulus terjadinya modot,
bergeser, atau miringnya gigi dan akan meningkatkan mobilitas (goyang) gigi geligi,
sehingga gigi mudah tanggal.(3)
2.7.2 Akibat kehilangan gigi
1.
Migrasi dan rotasi gigi Hilangnya kesinambungan pada lengkung gigi dapat
menyebabkan pergeseran, miring atau berputarnya gigi. Karena gigi ini tidak lagi
menempati posisi yang normal untuk menerima beban yang terjadi pada saat
pengunyahan, maka akan mengakibatkan kerusakan struktur periodontal. Gigi yang
miring lebih sulit dibersihkan, sehingga aktivitas karie dapat meningkat.
2.
Erupsi berlebih Bila gigi sudah tidak mempunyai antagonis lagi, maka akan terjadi
erupsi berlebih (overeruption). Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai
pertumbuhan tulang alveolar. Bila hal ini terjadi tanpa pertumbuhan tulang alveolar,
maka struktur periodontal akan mengalami kemunduran sehingga gigi mulai ekstrusi.
3.
Penurunan efisiensi kunyah Pada kelompok yang sudah kehilangan cukup banyak
gigi, terutama pada bagian posterior, akan merasakan betapa efisiensi kunyahnya
menurun.
4.
24
5.
Beban berlebih pada jaringan pendukung Bila penderita sudah kehilangan sebagian
gigi aslinya, maka gigi yang masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar
sehingga terjadi pembebanan berlebih (over loading). Hal ini akan mengakibatkan
kerusakan membran periodontal dan lama kelamaan gigi akan menjadi goyang dan
akhirnya tanggal. Selain itu gigi yang menerima beban terlalu besar dapat
menyebabkan pengikisan (atrisi) pada gigi geligi.
6.
Kelainan bicara & estetik Kehilangan gigi pada bagian depan atas dan bawah sering
kali menyebabkan kelainan bicara, karena gigi khususnya yang depan termasuk
bagian organ fonetik. Selain itu kehilagan gigi bagian depan akan mempengaruhi
estetik dikarenakan akan mengurangi daya tarik seseorang, apalagi dari segi pandang
manusia modern.
7.
Terganggunya kebersihan mulut Migrasi dan rotasi gigi menyebabkan gigi kehilangan
kontak dengan tetangganya, demikian pula gigi yang kehilangan lawan gigitnya.
Adanya ruang interproksimal tidak wajar ini, mengakibatkan celah antar gigi mudah
disisipi sisa makanan. Dengan sendirinya kebersihan mulut tadi terganggu dan mudah
terjadi plak. Pada tahap berikut terjadinya karies gigi dapat meningkat.(18)
Baik
Baik
Sedan
Sedan
Buruk
Buruk
Kebersihan Gigi
dan Mulut (OHIS)
Baik > 20
gigi
Praktik
Kesehatan
Gigi dan
Fungsi
Pengunyaha
n
25
Karies
DMF-T
Gigi
Gingivitis
Penyakit
Periodonta
Periodonti
tis
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
3
Kebersihan
Gigi dan Mulut
- Baik
- Sedang
4 - Buruk
Fungsi Pengunyahan
-
Baik
Buruk
26
Variabel Penelitian
Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Bebas (independent variable)
1. Kebersihan Gigi dan Mulut
2. Praktik Kesehatan Gigi dan Mulut
3. Status Kesehatan
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
3.2.2 Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kesehatan gigi dan mulut pada lansia
binaan dan non-binaan di Kelurahan Cipete Selatan.
27
No.
Definisi Operasional
Alat Ukur
Bagaimana Cara
Ukur
Hasil Ukur
Skala
Refe
DMF-T
Peneliti melakukan
pemeriksaan
kesehatan gigi dan
mulut responden
secara langsung,
kemudian mencatat
dan menentukan
kriteria kebesihan
gigi dan mulut
responden sesuai
indeks DMF-T.
1. Sangat Rendah
(0 1,1)
2. Rendah
(1,2 2,6)
3. Sedang
(2,7 4,4)
4. Tinggi
(4,5 6,5)
5. Sangat Tinggi
(> 6,6)
Ordinal
WHO
OHIS
Peneliti melakukan
pemeriksaan
kebersihan gigi dan
mulut responden
secara langsung,
kemudian mencatat
dan menentukan
kriteria kebesihan
gigi dan mulut
responden sesuai
indeks OHIS.
1. Baik
(0 1,2)
2. Sedang
(1,3 3,0)
3. Buruk
(3,1 6,0)
Ordinal
OCon
2012
40
No.
Definisi Operasional
Alat Ukur
Bagaimana Cara
Ukur
Hasil Ukur
Skala
Refe
Notoat
2003
Responden
menjawab 8 butir
pertanyaan dalam
kuesioner yang
dibuat oleh peneliti
berdasarkan jurnal
Determinant of Oral
Hygiene Behaviour:A
Study based on the
Theory of Planned
Behaviour oleh
Community Dentistry
and Oral
Epidemiology
1. Baik
(13 16)
2. Sedang
(8 12)
3. Buruk
(0 7)
Ordinal
Status Kesehatan
Responden diminta
menjawab kuesioner
yang
dibacakan/ditanyakan
oleh peneliti
mengenai pernah atau
tidaknya didiagnosis
penyakit diabetes
melitus dan
hipertensi.
1. Diabetes Melitus
2.Hipertensi
3. Tidak Ada
4.Diabetes Melitus
& Hipertensi
Nominal Austra
Institu
Health
Welfar
Wawancara
dengan
Kuesioner
41
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti mencari hubungan
antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan melakukan pengukuran pada saat
tertentu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan mulai dari
tanggal 10 April 2015 sampai dengan 16 Mei 2015.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi target adalah seluruh lansia di Kecamatan Cilandak. Populasi
terjangkau adalah seluruh lansia yang tercatat di posyandu lansia di Kelurahan
Cipete Selatan.
4.3.2 Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan berdasarkan total sampling
untuk lansia binaan dan purposive sampling dari pasien lansian yang datan ke unit
pelayanan umum di Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan untuk lansia non binaan.
4.3.3 Kriteria Pemilihan
Kriteria Inklusi
1. Lansia yang tercatat di posyandu lansia di Kelurahan Cipete Selatan
2. Lansia yang dapat menulis dan membaca
Kriteria Eksklusi
1. Lansia yang tidak berpartisipasi pada saat posyandu lansia bulan April 2015
2. Lansia yang mempunyai gangguan mental emosional
3. Lansia yang menolak untuk berpartisipasi
dengan:
no = Besar Populasi infinit
Z = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P
= Indeks DMF-T pada lansia berusia lebih dari 65 tahun yaitu 0.189(9)
Q
= Prevalensi/proporsi yang tidak mengalami peristiwa yang diteliti
(1-P) = (1 0.00187) = 0.811
d
= Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p <10% adalah 0.05
Sehingga:
dengan:
n
= Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
no = Besar sampel dari populasi infinit
N
= Besar sampel populasi finit = 30
Sehingga:
4Pengumpulan Data
Data primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu berupa wawancara dengan
menggunakan alat bantu berupa kuesioner dengan daftar pertanyaan yang
43
mengumpulkan
data
responden
adalah
dengan
disebarkan
kepada responden, kemudian diolah secara manual yang akan disajikan dalam
bentuk tabel. Cara pengolahan data sebagai berikut:
4.5.2 Editing
Data yang telah dikumpulkan diperiksa kebenarannya dan dikoreksi
kesalahannya dalam pengisian data. Dalam tahap ini data yang dikumpulkan
dilakukan pengecekan atas isi kuesioner, sehingga menghasilkan data yang akurat
untuk pengolahan data selanjutnya.
4.5.3
Coding
Yaitu melakukan pengkodean terhadap beberapa variabel yang akan diteliti.
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan frekuensi dan presentase dari tiap
variabel yang diteliti. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau diagram.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melakukan analisis terhadap dua variabel, yaitu
menilai apakah terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji
hipotesis menggunakan statistika non parametrik dengan Uji Chi Square (x2). Tingkat
kemaknaan yang digunakan adalah p <0,005. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program SPSS versi 22.
4.6.1 Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a.
Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel
4.7 Etika Penelitian
Etika penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kerahasiaan data
subyek penelitian yang telah bersedia mengikuti penelitian ini. Data yang dimaksud
didapatkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden, yang sebelumnya telah
memberi persetujuan tertulis untuk diikutsertakan sebagai subyek penelitian melalui
informed consent. Pengisian informed consent dilakukan secara sukarela setelah
responden mendapatkan informasi serta penjelasan secara adekuat dari peneliti mengenai
penelitian yang sedang dilakukan.
10
Perencanaan
1
Pemilihan topik dan judul
2
Penulusuran kepustakaan
3
Pembuatan proposal
4
Konsultasi dengan pembimbing
5
Presentasi proposal
Pelaksanaan
1
2
Pemilihan pasien
Pengumpulan data dan survey
45
3
Pengolahan data
4
Konsultasi dengan pembimbing
Pelaporan Hasil
1
Penulisan laporan sementara
2
Revisi
3
Presentasi hasil penelitian
Lansia yang
datang di unit
pelayanan umum
Puskesmas
Kelurahan Cipete
Selatan
Wawancara dengan
kuesioner
Total Sampling
Lansia di
Posyandu Lansia
Kelurahan Cipete
Selatan
Wawancara dengan
kuesioner
Pemeriksaan gigi
Pemeriksaan gigi
Pengumpulan
Data
Analisis Data
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuntjoro ZS. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. Available at: http://www.epsikologi.com./artikel/lanjut-usia/masalah-kesehatan-jiwa-lansia. Last update: April,
16th 2002. Accessed April 28th 2015.
2. United Nations Population Division. World Population Prospects: The 2002 Revision,
New York, NY, USA: United Nations, 2003.
3. Darmojo R B. Martono H. 2004. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 3.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004 p.108-9
4. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 Dalam :Surkesnas Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
5. Carranza FA. Glickmans Clinical Periodontology. 10th edition. Philadelphia: W.B.
Saunders; 2006.p.110-19, 344-70
6. Wangsarahardja K, Dharmawan OV, Kasim E. Hubungan Antara Status Kesehatan
Mulut dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia. Universa Medicina 2007; 28: 186-94
7. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Kesehatan Nasional 2013: Laporan Nasional.
Jakarta; 2013. hlm. 110-24.
8. Anonymous.
Penduduk
Lanjut
Usia.
Available
at:
http://
2006.p. 38-41
11. Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Kesehatan Nasional 2007: Laporan Nasional.
Jakarta; 2008. hlm. 50-111.
12. Fluorides and oral health. Geneva: World Health Organization; 1994. WHO Technical
Report Series, No. 846
13. Petersen PE. Yamamoto T. Improving the oral health of older people: the approach of
the WHO Global Oral Health Programme. Community Dentistry and Oral
Epidemiology 2005;33:81-92.
14. Mansjoer A., Triyanti K., Savitri R., Wardhani IW, Setiowulan W. Hubungan
Antara Usia dengan Status Penyakit Periodontal pada Lanjut Usia. Dalam:
Amain M. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aeculapius; 2009
15. Lestari, S., Busro, S., Sudhana, W., 2005, Gambaran Perilaku dan Status Kesehatan
Gigi dan Mulut Lansia di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat, Majalah
Ilmiah Kedokteran Gigi, FKG Usakti, Jakarta, 62 : 83 89.
16. Notoatmodjo, Soekidjo, Sarwono, Solita. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia; 1985.p.23
17. Amurwaningsih M, Nisaa U, Darjono A. Analisis hubungan kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan mulut (OHRQol) dan status kecemasan dengan status
nutrisi pada masyarakat usia lanjut. FKG Unnisula. [online]. Available from: URL:
http://journal.unissule.ac.id/majalahilmiahsultanagung/article/view/140 [diakses 13
Desember, 2013].
18. Gunadi H. Buku Ajar ilmu geligi tiruan sebagian lepasan. Jakarta: Hipokrates; 2012,
hal.31-3.
19. Gomes SG, Custodio W, Cury AA, Garcia RC. Effect of salivary flow rate on
masticatory efficiency. Int J Prosthodont. 2009;22:168-72.
20. Bourdiol P, Mioche L. Correlations between functional and occlusal tooth-surface
areas and food texture during natural chewing sequences in humans. Arch Oral Biol.
2000;45:691-9.
21. Woda A, Foster K, Mishellany A, Peyron MA. Adaptation of healthy mastication to
factors pertaining to the individual or to the food. Physiol Behav. 2006;89:28-35.
22. Hatch JP, Shinkai RSA, Sakai S, Rugh JD, Paunovich ED. Determinants of
masticatory performance in dentate adults. Arch Oral Biol. 2000;46:641-8.
48
23. Ikebe K, Matsuda K-i, Kagawa R, Enoki K, Yoshida M, Maeda Y, et al. Association
of masticatory performance with age, gender, number of teeth, occlusal force and
salivary flow in japanese older adults: is ageing a risk factor for masticatory
dysfunction? Arch Oral Biol. 2011;56:991-6.
24. Weijenberg RAF, Scherder EJA, Lobbezoo F. Mastication for the mindThe
relationship between mastication and cognition in ageing and dementia. J Neu Bio
Rev. 2011;35:483-97.
25. Musacchio E, Perissinotto E, Binotto P, Sartori L, Silva-Netto F, Zambon S, et al.
Tooth loss in the elderly and its association with nutritional status, socio-economic
and lifestyle factors. Acta Odontol Scand. 2007;65:78-86.
26. Sundjaja Y, Kusdhany ML, Fardaniah S. Hubungan antara kehilangan gigi dan
pemakaian gigi tiruan dengan kualitas hidup pra-lansia dan lansia perempuan [thesis].
Jakarta: Universitas Indonesia; Mei 2010. Indonesian.
49