Anda di halaman 1dari 4

Pada Suatu Siang

Dengan hati-hati kukaitkan peniti pada jilbab yang telah menyelimuti kepalaku.
Nggak ada celana lain? Itu celana ketat sekali sampai pantat dan betismu kemana-mana.
Gantilah dengan celana yang longgar.. Protes ayah saat melihatku berdandan di depan kaca.
Untuk kesekian kalinya himbauan ayah kembali tak kuiindahkan. Aku beranjak dari kaca rias
yang berada di ruang utama kemudian sesegera mungkin menghindari sorotan mata ayah yang
terus menelusuri tiap jengkal penampilanku.
Mel, nanti sore kamu antar pesanan risoles ke tempat Mamah Dedeh ya. Ibu ada arisan
kelompok Haji sedangkan Ayah ada acara rutin di majelis taklim. Suara ibu menggiringku ke
dapur dimana ia sedang sibuk menumis kangkung.
Iya, tapi Amel baru pulang setelah jam empat karena jam dua masih ada kuliah agama.
Jawabku sambil menyalami tangan kanan ibu kemudian menciumnya. Sekonyong-konyong ia
matikan kompor dan berhenti menumis.
Kamu niat pakai jilbab nggak sih? Kalau pakai jilbab itu ya sampai menutup dada,
jangan dibiarkan terbuka seperti ini. Aduh! Ini lagi baju kamu ketat sekali sampai bentuk
badanmu terlihat begitu! Setelah ayah kini giliran ibu mulai mengoreksi penampilanku. Ia
turunkan sisa kain jilbab yang aku ikat ke belakang leher kemudian ia tarik-tarik kemejaku yang
menggantung di pinggang agar menutupi pantatku. Dimata ayah dan ibu ada saja yang salah
dengan penampilanku. Persoalan semacam ini akan terus terjadi sampai gaya berpakaianku
belum memenuhi standar yang mereka dan agamaku- inginkan.
***
Pada suatu siang aku datang ke kos Edo, pacarku, hanya untuk kabur dari mata kuliah
Agama Islam. Materi perkuliahan dan dosen yang tidak atraktif membuat banyak mahasiswa
absen dari kelas tersebut. Jarak kos Edo dengan kampus tidak begitu jauh yaitu hanya sepuluh
menit saja bila ditempuh menggunakan sepeda motor. Pada hari-hari biasa aku sering
menghabiskan waktu di kos Edo untuk menunggu jadwal kelas berikutnya. Biasanya kalau Edo
sedang tidak ada jadwal kuliah, kami biasa bermain play station, menonton film atau hanya
sekedar mengobrol sampai senja tiba. Tak jarang aktivitas kami berakhir di atas ranjang dimana
nafas, desahan, lenguhan hingga pekik tawa saling beradu, sebagai luapan rasa puas telah mampu
menyenangkan satu sama lain .

Usai makan siang bersama, akhirnya kami putuskan untuk kembali menonton The
Simpson yang menjadi film favorit kami berdua. Baru lima belas menit film berjalan, rasa kantuk
sudah mulai hinggap. Barangkali ini efek dari kuliah jam tujuh pagi tadi sampai tengah hari yang
akhirnya membuat badanku lelah juga. Kusandarkan sebagian kepalaku di bahu Edo. Tak lama
kemudian Edo membalasnya dengan rangkulan di pinggangku. Perlahan ia rapatkan tubuhnya
kepadaku. Selang menit berikutnya Edo mengangkat wajahku sambil ia dekatkan pada wajahnya.
Kali ini rasa kantuk dengan mudah terkalahkan oleh hasratku yang juga ingin mencumbunya.
Seperti biasa mulut kami mulai beradu. Melumat satu sama lain. Seperti yang biasa kami lakukan
di rumah kalau ayah dan ibu sedang tidak ada. Sesuatu berdesir dari dalam dadaku saat Edo
mulai mengarahkan bibirnya ke leherku setelah sebelumnya ia lepaskan peniti dari jilbabku.
Sambil membuka kancing kemejaku satu persatu, ia terus menyapu leherku dengan bibirnya.
Sampai beberapa saat kemudian giliran dadaku yang menjadi sasaran berikutnya. Tak mau kalah
perlahan kuberikan sentuhan halus beberapa kali hingga remasan keras di antara
selangkangannya. Yang terjadi selanjutnya hanyalah desahan hanya nafas yang terengah-engah,
suara mengaduh diiringi dengan peluh yang terus menetes di sekujur tubuh.
***
Tidak butuh waktu lama bagi Edo untuk membuatku orgasme terlebih dahulu. Setelah
beberapa saat kuatur nafasku yang terengah-engah, kini giliranku untuk memberikannya
kepuasan meski hanya dengan tangan. Waktu akan berjalan sangat lama bagiku untuk menunggu
Edo mengalami ejakulasi. Jika sudah mendapatkan kepuasan biasanya Edo langsung tertidur
sambil memelukku di sisinya. Tanpa bisa ikut memejamkan mata, aku menerawang ke atas
langit-langit kamar. Yang terbersit kemudian adalah wajah kedua orangtuaku, sosok yang kadang
membuatku sulit untuk mendapatkan kenikmatan dari Edo jika sesaat wajah mereka berdua
terbayang. Tanpa munafik aku akui ada rasa bersalah yang hinggap di benakku. Rasa bersalah
karena telah gagal bertindak tidak sesuai dengan harapan dan nilai-nilai yang orangtuaku
ajarkan. Rasa bersalah ini selalu membayang setiap kali kali ayah menyampaikan tausyiah di
depan keluarga besar atau di depan jamaahnya. Ayahku bisa jadi akan dihujat habis-habisan oleh
orang-orang jika tau kalau anak perempuan satu-satunya sudah tidak perawan lagi. Kalau sudah
begitu orangtuaku yang akan disalahkan karena telah keliru mendidik anaknya, padahal selama
ini mereka dianggap sebagai guru oleh banyak orang. Ya, katakanlah aku ini perempuan
munafik yang diluarnya saja memakai jilbab tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan
apa yang kukenakan. Bagiku tidak ada hubungan antara pakaian yang dikenakan dengan perilaku

seseorang. Di sisi lain aku tidak akan pernah menyalahkan kedua orangtuaku atas apa yang telah
kulakukan selama ini. Aku juga tidak akan menyalahkan Edo yang mungkin dianggap telah
mengintervensi pilihanku untuk tidak berperilaku abstinent, yaitu tidak melakukan hubungan
seks sampai sebelum menikah. Aku ingat betul sebelum kami memutuskan untuk melakukannya
pertama kali, Edo menanyaiku berulang-ulang tentang keputusan yang kuambil. Kemudian
terjadi diskusi panjang tentang segala risiko yang mungkin akan kami terima jika melakukannya,
seperti sanksi sosial, agama, dan risiko reproduksi. Edo benar-benar memastikan bahwa
keputusan yang kuambil bebas dari tekanannya dan benar-benar memang atas pilihanku sendiri.
Aku sering heran dengan orang-orang yang menganggap bahwa tidak semestinya perempuan itu
memiliki hasrat seksual, termasuk juga ayahku. Laki-laki akan dianggap wajar jika memiliki
hasrat seksual sedangkan perempuan dianggap tak lumrah jika memilikinya. Mereka sering lupa
kalau hasrat seksual itu merupakan anugerah bagi seluruh manusia, tak terkecuali perempuan.
Amel sayang.. kamu buruan mandi gih. Nanti keburu maghrib kamu bisa dimarahin Ayah lagi
kalau belum pulang. Kamu kan udah jarang shalat maghrib berjamaah di rumah, nanti Ayah bisa
ngomel lho. Ucapan Edo membuyarkan lamunanku seketika. Rupanya dia hanya memejamkan
mata saja tanpa benar-benar tertidur.
Memang sekarang jam berapa? tanyaku.
Nih sudah jam lima seperempat. Jawab Edo seraya memperlihatkan jam yang tertera pada
layar di handphone-nya.
Haaah?? Jam lima?? Sialan! Seharusnya aku mengantar pesanan risoles ke tempat Mamah
Dedeh jam empat tadi! Tanpa mandi dan cuci muka, buru-buru aku kenakan celana dalam, bra,
kemeja dan celana jeans skinny yang sebelumnya berserakan di lantai. Tak lupa kukaitkan peniti
pada jilbabku, namun kali ini tidak dengan hati-hati.
Aww!!
***
Pada suatu siang
Kuberikan hasrat dan rasa sayang
Hanya untukmu seorang
Bibirmu yang merah, basah, dan merekah
Semakin membuatku bergairah
Diantara nafas yang terengah

Suara-suara yang mendesah


Dan suhu kamar yang semakin bikin gerah
Kukerahkan segala hasrat dan gairah
Hingga akhirnya tubuhmu melemah

Anda mungkin juga menyukai