Anda di halaman 1dari 267

KAJIAN WACANA

PASCASARJANA UNINDRA

Prof. Dr. H. E. Zaenal Arifin


E-mail zaenalarifin_48@yahoo.com
Website http://www.zaenalarifin28.wordpress.com

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI


2013

KAJIAN WACANA

1. Fungsi Bahasa

2. Bahasa Lisan dan Tulisan


3. Konsep Wacana
4. Konteks Wacana
5. Produk dan Proses
6. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Wacana
7. Implikatur, Referensi, dan Presuposisi
8. Tema, Topik, dan Judul Wacana
9. Kohesi Leksikal dan Gramatikal
10. Teks, Koteks, dan Konteks
11.. Penafsiran Lokal dan Prinsip Analogi
12. Metode Distribusional

1. Fungsi Bahasa
Ada dua fungsi utama bahasa, yaitu
1) fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi yang
dideskripsikan sebagai transaksional;
2) fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan
hubungan-hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi yang
dideskripsikan sebagai interaksional.

Pembedaan transaksional/interaksional
(Brown dan Yule, 1996) sepadan dengan
dikotomi fungsi representatif/ekspresif
(Buhler, 1934), referensial/emotif
(Jakobson, 1960), ideasional/interpersonal
(Halliday, 1970), dan deskriptif/sosialekspresif (Lyons, 1977).

Pandangan transaksional
Manusia mengembangkan adat kebiasaan,
religi, hukum, pola perdagangan, dll. dengan
bahasa.
Bahasa
yang
dipakai
untuk
menyampaikan informasi faktual atau proporsional disebut bahasa transaksional. Pada
bahasa transaksional yang terutama dipikirkan
oleh pembicara (atau penulis) adalah penyampaian informasi yang efektif

Terdapat wacana transaksi, yaitu wacana


yang mementingkan isi, seperti pidato,
ceramah, dakwah, kuliah, atau deklamasi.
Wacana yang bersifat transaksi ialah
instruksi, pemberitahuan, pengumuman,
iklan, surat, undangan, makalah, esai,
cerita pendek, dan novel.

Pandangan interaksional
Jika para ahli linguistik memerhatikan
pemakaian bahasa untuk menyampaikan
informasi faktual atau proporsional, para ahli
sosiologi dan sosioliguistik tertarik pada
pemakaian bahasa untuk memelihara
hubungan-hubungan sosial. Jelaslah, sebagian
besar interaksi manusia ditandai dengan
pemakaian bahasa yang interpersonal
(interaksional) dan bukan transaksional

Teks Lisan
Dalam teks lisan pembicara dapat membuat segala
efek kualitas suara (termasuk mimik). Pembicara tidak
hanya mengawasi produksi sistem komunikasi, tetapi
juga memproses produksi.
Untuk itu, pembicara harus
a. memantau apa yang dikatakan;
b. menentukan apakah itu sesuai dengan maksudnya;
c. merencanakan ujaran berikutnya;
d. memantau performan (penampilannya sendiri).

Teks lisan adalah rekaman verbal tindak komunikasi.


Penganalisis wacana bekerja dengan rekaman pita suatu
peristiwa, dan dari situ ia kemudian membuat transkripsi
tulisan yang dibubuhi catatan menurut kepentingannya.
Rekaman suprasegmental kata-kata lisan (intonasi dan
ritme) sangat berarti daripada rekaman segmental.
Variabel-variabel itu dalam bahasa tulis diwujudkan oleh
tanda baca, huruf besar, huruf miring, paragraf, dsb.

Teks Tertulis
Penulis mungkin tidak memerhatikan apa yang
sudah ditulisnya, tetapi ia dapat
a. berhenti di setiap kata mana pun tanpa takut
disela oleh lawan bicaranya;
b. mempunyai waktu untuk memilih kata tertentu
dan mencarinya dalam kamus;
c. memeriksa kemajuannya dengan catatan
yang dimilikinya;

d. mengubah urutan;
e. mengubah pikiran tentang apa yang
dikatakan.
Jika pembicara bertanggung jawab atas
ucapannya, penulis dapat merevisinya
dengan kata yang pantas dan santun.

Sebuah teks tertulis mungkin disajikan secara


berbeda pada edisi yang berbeda, bentuk huruf,
ukuran kertas, bentuk kolom satu atau dua. Jika
ada pilihan kata yang tidak sama dalam teks
berbeda, editor wajib memperbaikinya.
Realisasi teks yang memadai menempatkan
a. ucapan-ucapan pada huruf yang betul;
b. kalimat-kalimat pada paragraf yang betul;
c. paragraf-paragraf pada bab-bab yang betul.

Kita memakai bahasa dalam wujud kalimat yang


saling berkaitan. Kalimat yang pertama
menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat
kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat
ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama,
dan seterusnya.

Rentetan kalimat yang berkaitan yang


menghubungkan proposisi yang satu
dengan proposisi yang lain itu
membentuk kesatuan yang
dinamakan wacana.

Di bidang politik, misalnya, sering ditemukan kalimat


seperti berikut.
a. Ini baru wacana, belum bisa diimplementasikan
dalam kenyataan di dalam pemilihan kepala
daerah sekarang ini.
b. Kita sedang berbicara dalam wacana politik,
bukan wacana hukum.

Kata wacana dalam kalimat (a) itu


berarti kemampuan berpikir atau
prosedur berpikir secara bersistem;
kemampuan atau prosedur
memberikan pertimbangan berdasarkan
logika, sedangkan wacana pada
kalimat (b) berarti percakapan atau
komunikasi verbal

Waktu kita kedatangan tamu, salam yang disampaikan


oleh tamu di depan pintu kita jawab dengan salam pula.
Baik tamu maupun tuan rumah menyatakan
pengetahuan tentang kehadiran masing-masing, seperti
terlihat pada contoh berikut.
(1) Tamu (I) : Assalamualaikum.
Tuan Rumah (TR) : Waalaikumsalam.
Salam timbal-balik seperti pada (1) menyatakan
pengetahuan T ataupun TR tentang kehadiran masingmasing, di samping kesediaan para pemberi salam itu
untuk secara tersirat menerima kehadiran masingmasing.

Karena kedua salam itu membentuk urutan yang


koheren atau runtut, kita dapat menyatakan bahwa (1)
merupakan contoh wacana yang apik, biarpun
sederhana. Sudah tentu, contoh (1) itu mungkin
merupakan bagian atau fragmen saja dari wacana yang
lebih besar. Hal itu memang demikian apabila TR,
setelah membukakan pintu bagi tamunya, kemudian
melanjutkan percakapannya dengan T seperti pada (2)
ini.
(2) TR: Oh, rupanya Dik Amin. Mari, masuk!
T : Terima kasih, Mas.

Percakapan itu diikuti oleh tindakan bersalam-salaman


dan keduanya kemudian masuk ke ruang tamu dan
duduk. Kemudian, percakapan itu mungkin dilanjutkan
dengan percakapan (3) di bawah ini.
(3) TR : Bagaimana keluarga di rumah?
T : Baik-baik saja, Mas. Di sini begitu juga, bukan?
TR: Alhamdulillah!

Percakapan basa-basi seperti itu diperlukan


sebagai upaya penjajakan agar kedua pelaku
komunikasi memiliki dasar berpijak yang sama
sehingga percakapan atau komunikasi
selanjutnya dapat dilakukan dengan baik.

Apa pun bentuknya, wacana mengandaikan adanya


penyapa dan pesapa (orang yang disapa). Dalam
wacana lisan penyapa ialah pembicara dan pesapa
ialah pendengar. Dalam wacana tulisan penyapa ialah
penulis, sedangkan pesapa ialah pembaca.

Terdapat juga wacana interaksi, baik lisan


maupun tulisan. Wacana lisan yang
menekankan interaksi di antara para
pembicara ialah tanya jawab antara,
misalnya, pasien dan dokter, polisi dan
tersangka, atau jaksa dan terdakwa.
Wacana tulisan yang bersifat interaksi,
antara lain, ialah polemik, surat-menyurat
antarilmuwan, sastrawan, sahabat, dan
dua kekasih.

Jika kita mendengar atau membaca kalimat (4a), kita


sebagai pesapa pada umumnya mengambil simpulan
bahwa Ali ialah murid. Pengetahuan kita menyimpulkan
bahwa seseorang yang pergi ke sekolah pagi-pagi
biasanya murid. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa
dugaan kita itu keliru. Jika demikian, kita harus
mengambil simpulan ulang, sesuai dengan informasi
yang diberikan oleh penyapa.

Jika pembicara kemudian mengatakan kalimat (4b), kita


akan mengubah simpulan kita. Semula Ali kita sangka
seorang murid, tetapi temyata dia seorang guru karena
hanya gurulah yang melakukan hal yang dinyatakan baik
dalam kalimat (4a) maupun kalimat (4b).
(4) a. Ali ke sekolah pagi-pagi hari ini.
b. Kemarin ia terlambat memberikan tes.

Pada contoh (5) jawaban yang diberikan B menyiratkan


bahwa Bambang adalah orang yang sudah menikah dan
dia adalah suami yang suka memukuli istrinya. Simpulan
atau implikasi seperti ini dinamakan implikatur.
(5) A Bagaimana Bambang sekarang?
B: Sudah baik. Dia sudah tidak lagi
memukuli istrinya.

Implikatur Konvensional dan Implikatur Percakapan


Implikatur konvensional didasarkan pada pengetahuan kita
tentang dunia, sedangkan implikatur percakapan benarbenar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan.
Perhatikan kalimat (6) berikut yang merupakan contoh
implikatur konvensional.
(6) Jangan pulang malam-malam, Ani.
Implikatur yang ada pada (6) adalah bahwa gadis yang pulang
malam menghadapi risiko diganggu orang.

Kalimat (7) berikut merupakan contoh


implikatur percakapan.
(7) A: Perutku sudah keroncongan.
B: Kan ada warung di ujung jalan
ini.
Pembicara B beranggapan bahwa A ingin
makan, dan B menyarankan agar A
makan di warung meskipun kalimatnya
tidak memuat kata makan.

3. Konteks Wacana
Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan,
topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Tiga
unsur yang terakhir, yaitu bentuk amanat, kode, dan
sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat
dapat berupa surat, esai, iklan, pemberitahuan,
pengumuman, dan sebagainya.
Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya
bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah,
atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi
yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau
lewat telepon, surat, dan televisi.

Sebuah ujaran yang sama dapat mempunyai pengertian


yang berlainan jika situasi dan unsur-unsur lainnya
berbeda. Bandingkan adegan (8a) dan (8b) berikut ini.
(8) a. Pembicara: Seorang anggota regu kampung
b. Pendengar: Anggota-anggota kampung yang lain
c. Tempat
: Sebuah hutan yang lebat
c. Waktu Situasi: Sore hari

Regu itu telah lama mencari jalan ke


lereng sebuah bukit tempat berkemah.
Mereka sekarang harus menempuh hutan
yang lebat. Mulamula mereka ragu-ragu,
tetapi pemimpin regu itu lalu maju dan
mendahului kawan-kawannya menebas
kayu-kayuan untuk membuat jalan.
Seorang anggota regu berkata, "Nurdin
pemberani."

a. Pembicara: Seorang siswa SMU


b. Pendengar : Kawan-kawannya sekelas
c.Tempat
: Halaman sekolah
d. Waktu Situasi: Seusai pelajaran pertama
Sekelompok siswa laki-laki sedang mengusik kawankawannya siswa perempuan, kecuali Nurdin yang tinggal
diam, tidak mau ikut-ikutan. Semua siswa laki-laki di situ
menggodanya agar dia mencubit lengan siswa
perempuan, tetapi Nurdin tetap diam. Seorang siswa
laki-laki lalu berseru, "Nurdin memang pemberani!"

Jika pada adegan (8a) kata pemberani berarti yang


sebenarnya, yaitu 'orang yang tak gentar', pada (8b)
kata itu berarti sebaliknya, yaitu 'penakut' atau 'pemalu'.
Di samping unsur-unsur konteks di atas, ada unsur lain
yang berupa unsur wacana seperti "dunia fiktif" dalam
cerita fiksi ilmiah. Agaknya dapat dipahami jika seorang
anak yang berumur tiga tahun mengatakan kalimat (9),
pendengarnya akan merasa kagum, sedangkan jika
yang berkata itu seorang pemuda yang berumur dua
puluh tahun, tanggapan pendengarnya tentu berlainan.

(9) Aku bisa melompati pagar itu.


Segi lain ialah perbedaan pendengar. Jika tuturan
(10) ditujukan kepada anak perempuan yang
berumur 3 tahun, kepada seorang wanita yang
berumur 20 tahun, atau kepada seorang nenek
yang berumur 70 tahun, tanggapan orang akan
berbeda-beda.

Pengertian tuturan (10) akan berbeda-beda bagi


pendengar yang berlainan. Perbedaan unsur situasi,
waktu, tempat, dan pembicara serta pendengar telah
diberikan contohnya pada (8-10) di atas. Demikian juga
halnya dengan perbedaan unsur topik, bentuk amanat,
peristiwa, saluran, dan kode. Baik dalam kombinasi
maupun masing-masing, unsur itu dapat dipakai untuk
membantu menafsirkan pengertian tuturan dalam
wacana.
(10) Kamu cantik sekali.

Ungkapan yang sama dapat mempunyai arti yang


berbeda-beda, bergantung pada perangkat benda yang
menjadi konteksnya. Perhatikan contoh kalirnat yang
berikut.
(11) a. Murid-murid di sini mempunyai meja dan
kursinya sendiri.
b. Pak Wali di sini selalu memerhatikan keadaan
warga kota.
c. Sungai Brantas menjadi sumber air, baik bagi
persawahan maupun bagi penduduk sekitarnya
di sini.
d. Pancasila merupakan wawasan hidup kami di
sini.

Frasa preposisional tempat di sini pada (11a) berarti


'kelas' atau 'sekolah' diisyaratkan oleh adanya kata-kata
murid-murid, meja dan kursi. Pada (11b) Pak Wali dan
kota memunculkan pengertian 'kota' bagi frasa itu,
sedangkan pada (11c) perangkat Sungai Brantas,
persawahan, dan penduduk sekitarnya menimbulkan
pengertian 'daerah aliran' bagi frasa yang sama itu.
Selanjutnya pada (11d) perangkat Pancasila dan
wawasan hidup membawa kita ke penafsiran 'Indonesia'
bagi frasa di sini. Jika kita memerhatikan tuturan dalam
(11) di atas, kita dapat mengambil simpulan bahwa
wacana dapat membentuk konteksnya sendiri.

Marilah kita perhatikan contoh (12) berikut.


(12) a. Sekarang pukul berapa?
b. Sekarang semua serba mahal.
c. Di mana kamu tinggal sekarang?
Kata sekarang pada (12a) merujuk pada satu saat, yakni
saat pembicaraan itu terjadi. Pada (12b) rentang
waktunya lebih panjang daripada (12a), tetapi lebih
pendek daripada (12c) yang lamanya dapat bertahuntahun. Pada contoh (11) dan (12) kita lihat bahwa arti di
sini dan sekarang, berubah dari satu kalimat ke kalimat
yang lain sesuai dengan konteks pembicaraan.
Rentang makna suatu unsur dalam kalimat yang
berbeda-beda dapat kita temukan pula pada pembicara,
pendengar, atau acuan unsur lain.

Misalnya, ada seseorang yang bernama Lilik


Prayuwani yang akan pergi ke Malang. Kita
dapat menyebutnya Lilik saja. Seandainya yang
diajak bicara belum tahu siapa Lilik Prayuwani
itu, tentulah akan lebih membantu jika kita
memberi keterangan dengan lebih terperinci
lagi tentang orang itu. Jadi, kita dapat
mengatakan, misalnya, kawanku Lilik Prayuwani
atau aktris ternama, Lilik Prayuwani, atau nama
Lilik Prayuwani, penari balet. Pemilihan bentuk
mana yang dipakai ditentukan oleh asumsi
pembicara mengenai pengetahuan pendengar.

Bagi setiap orang sebenamya ada berbagai cara untuk


memperkenalkan sesuai dengan konteks. Kita mungkin
menjelaskan ihwal orang itu dengan menyatakan ciri-ciri
luarnya, seperti wanita yang memakai rok mini, laki-laki
dengan kacamata hitam, gadis dengan potongan
rambut laki-laki, atau dengan menyampaikan uraian
yang mengandung penilaian seperti wanita cantik dan
menarik itu, atau laki-laki kekar dengan jambang dan
kumis. Bahkan, mungkin kita menyatakan hal itu
dengan menyebutkan apa yang sedang dilakukan oleh
orang itu seperti siswa sedang belajar, perempuan yang
menahan malu, Menteri itu lupa daratan, atau
laki-laki yang suka merayu.

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam


suatu konteks sosial yang khusus hanya satu
peranan yang dilakukan oleh seseorang pada
satu waktu tertentu. Kita dapat melihat hal se
perti itu dalam surat kabar seperti contoh (13) di
bawah ini.
(13) a. Walikota Jakarta Pusat mendapat
pujian khusus di depan umum dari
Mendagri Gamawan Fauzi.
b. Panglima ABRI, ]enderal Agus Suhartono,
Selasa pekan lalu, di Mabes ABRI, menerima
laporan kenaikan pangkat beberapa perwira
tinggi.

c. Dokter H. Kamaruzzaman (52 tahun),


Direktur Rumah Sakit Umum Dr. Zainal
Abidin, Banda Aceh, Jumat malam meninggal
secara mendadak.
d. Ahli nuklir Pakistan, Dr. Abdul Qadeer,
mengungkapkan, "Kami sudah menyelesai
kannya." (pembuatan bom nuklir)
e. Dr. Zainal Abidin Aziz, Direktur Perusahaan
PT ]asa Marga, mengatakan hal itu kepada
wartawan hari Jumat di Jakarta.

Produk dan Proses


Penganalisis wacana hanya memusatkan perhatian pada
produknya, yaitu kata-kata yang dibaca. Pendekatan
seperti itu berkaitan dengan kohesi dan relasi antara
kalimat-kalimat pada teks cetak (Halliday & Hasan, 1976).
Dalam pandangan ini, hubungan kohesif antara unsurunsur dalam kalimat-kalimat pada teks berkaitan
sedemikian rupa sehingga sebuah kata atau frasa
berhubungan dengan kata atau frasa yang lainnya. Unsur
anaforis seperti pronomina dianggap sebagai kata yang
menggantikan, atau mengacu balik kepada kata lain.
Pendekatan seperti itu disebut pandangan teks-sebagaiproduk.

Pandangan lain tentang wacana adalah pandangan


wacana-sebagai-proses. Perbedaan perlakuan wacana
sebagai produk atau proses telah dijelaskan oleh
Widdowson (1979b:71). Kata-kata, frasa-frasa, dan
kalimat-kalimat yang muncul dalam rekaman tekstual
suatu wacana sebagai bukti usaha penutur/penulis untuk
mengomunikasikan pesannya kepada pendengar/
pembaca. Bagaimana penerima berhasil memahami
pesan seperti yang dimaksudkan pembuat, dan
bagaimana persyaratan penerima, dalam keadaan
tertentu, memengaruhi susunan wacana pembuat.

Nida (1969, 131133) membedakan antara wacana yang


tersusun rapi ataupun kurang rapi dan kumpulan kalimat
yang tidak ada hubungan makna antara yang satu dan
lainnya. Menurut Nida, di dalam wacana pasti ada
berbagai aturan ataupun batasan (constraints, yang
merupakan gejala universal dan berlaku pada semua
bahasa mugkin dengan wujud yang berbeda), tetapi
membuat wacana hadir dalam susunan tertentu.

Wacana merupakan unsur bahasa yang dianggap paling


lengkap dan paling kompleks karena mengandung
sejumlah satuan lainnya. Wacana merupakan suatu teks
yang utuh dan pragmatis. Lebih-lebih lagi untuk memakai
dan memahami wacana ketika berkomunikasi, diperlukan
berbagai peranti sehingga wacana terasa wajib dipelajari
agar orang yang belajar berbahasa dapat berbahasa
dengan baik dan benar.

Kridalaksana (1984) mengatakan bahwa wacana adalah


satuan bahasa terlengkap (fonologi, morfologi, sintaksis:
frasa, klausa, kalimat) dalam hierarki tertinggi atau
terbesar (karena di atas klausa dan kalimat, bahkan
paragraf dan paragraf). Wacana diwujudkan dalam bentuk
karangan yang utuh (maknanya tidak terlepas-lepas,
membawa amanat yang lengkap). Wacana selalu dalam
bentuk karangan yang utuh.

Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian, jadi


wacana bersifat pragmatik.
(1996:1),

wacana

Menurut Brown dan Yule

mempertimbangkan

pembicara

(penutur) dan pendengar (penyimak) sebagai pengguna


bahasa (masyarakat tutur, pada bahasa lisan) atau
penulis dan pembaca (pada bahasa tulis). Ketika
memahami bahasa dalam pemakaian itulah wacana
mempertimbangkan pragmatik (tentang bahasa dan
hubungan

antara

bahasa

dan

konteksnya

yang

komunikatif, tentang makna, termasuk kebenaran isi


informasi wacana, bahkan tentang topik wacana itu).

Unsur-Unsur Wacana
Wacana memiliki dua unsur penting, yaitu unsur dalam (internal)
dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan
aspek formal bahasa dan unsur eksternal berkaitan dengan
sesuatu di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur itu membentuk
satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap.
Lihat contoh berikut.
a. Unsur Eksternal
[Seorang pemuda membawa tas sekolah berdiri di pinggir
jalan menuju ke kampus].
b. Unsur Internal
[Sopir angkutan kota bertanya: Kampus, Mas?

Unsur Internal Wacana


Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata (disebut kalimat
satu kata) dan kalimat. Satuan kata atau kalimat itu jalinmenjalin dengan satuan kata dan kalimat yang lain untuk
membentuk wacana.
Kata dan Kalimat
Jika dilihat di dalam struktur yang lebih besar, misalnya, di
dalam kalimat, kata merupakan bagian dari kalimat karena
sebuah kalimat bisa terdiri atas beberapa kata yang
membentuk satu pengertian yang utuh. Jika dilisankan, sebuah
kalimat diakhiri dengan intonasi final.

Kalimat sering diandaikan seperti sebuah


bangunan yang terdiri atas beberapa ruang
walaupun bisa saja sebuah kalimat hanya terdiri
atas satu kata. Namun, kalimat satu kata itu
harus merupakan pengungkapan atau tuturan
terpendek yang memiliki esensi sebagai kalimat.
Kalimat pendek seperti itu sering terdapat pada
dialog atau percakapan karena pada tempat dan
situasi tertentu orang cenderung bertanya jawab
dengan kalimat pendek, bahkan mungkin tak
berbentuk kalimat.

Lihat dialog berikut.


(9) a. [Ketika pulang dari sekolah, A bertemu dengan B]:
A: Ke mana? Kuliah, ya?
B: Enggak. Mau ke rumah teman, ngerjain tugas
bersama.
b. [Seorang istri bertanya kepada suaminya:]
Istri

: Abang masih sayang aku, kan?

Suami: (diam tak menjawab, ia hanya mengangguk


dan memeluk istrinya erat-erat seperti tak
akan dilepaskannya).

Pada dasarnya, sebuah kata atau sebuah


kalimat menjadi bermakna karena selalu
diandaikan adanya unsur lain yang menjadi
pasangannya. Jadi, sebuah kalimat dapat
dipahami karena adanya makna kalimat
yang menjadi bandingannya itu. Misalnya:
(10) Saya lapar.
Kalimat itu dapat dipahami pendengar atau
pembaca karena diandaikan adanya
kalimat lain yang pernah diketahui, seperti

Walaupun ada kalimat yang sendiri atau


disendirikan, kalimat itu tetap terikait di dalam
wacana. Lihat kalimat penutup surat berikut ini.
(11) Atas perhatian Bapak, saya ucapkan
terima kasih.
Penutup surat itu memang hanya sebuah
kalimat, tetapi tidak mungkin kalimat itu lepas
begitu saja, tanpa kaitannya dengan kalimat lain
di dalam surat itu. Betapa bingung dan risaunya
penerima surat jika ia menerima surat yang
ternyata hanya berisikan satu kalimat itu saja.

Perhatikan kalimat pendek berikut ini.


(12) Dia memang anak baik.
Kalimat pendek itu benar strukturnya dan
jelas
maknanya. Namun, dari segi wacana, masih
banyak yang perlu diungkapkan, misalnya
dia
itu siapa, apa batasan baik di situ, siapa
yang
mengucapkannya, kapan dan mengapa
kalimat

2) Paragraf
Satuan terbesar di dalam sebuah wacana ialah
paragraf (alinea). Jika dilepaskan dari wacana,
sebuah paragraf sudah merupakan suatu kesatuan
informasi yang lengkap, utuh, dan selesai. Dengan
kata lain, sebuah paragraf sudah merupakan sebuah
karangan terbatas yang utuh. Paragraf itulah yang
kemudian dukung-mendukung menjadi sebuah
wacana.

Paragraf adalah seperangkat kalimat


yang membicarakan satu gagasan
utama (satu topik). Kalimat di dalam
paragraf yang kohesif dan koherensif
memperlihatkan kesatuan pikiran dan
memiliki keterkaitan dalam membangun
gagasan utama itu.

(13) (a) AIDS menyerang sistem


kekebalan tubuh manusia. (b) Gejala yang
ditimbulkan penyakit itu biasanya terlambat
disadari penderita sampai akhirnya sistem
kekebalan
tubuhnya
rusak.
(c)
Penyebarannya melalui peredaran darah
menyebabkan virus itu sukar dideteksi. (d)
Sampai saat ini, para ahli kedokteran belum
menemukan vaksin pelumpuh virus itu. (e)
Mereka sudah berkali-kali melakukan
percobaan, tetapi masih saja gagal. (f)
Akhirnya, mereka hampir saja kecewa. 1

Unsur Eksternal Wacana


Unsur eksternal wacana terdiri atas implikatur,
referensi, presupposisi, inferensi, repetisi,dan konteks.
1) Implikatur
Implikatur adalah ujaran yang menyiratkan maksud
yang berbeda dari apa yang diucapkan. Maksud yang
berbeda itu tidak dikemukakan secara eksplisit, tetapi
implisit, hanya disiratkan saja. Jadi, dapat dikatakan
bahwa implikatur ialah maksud, keinginan, atau
ungkapan hati yang kadang-kadang sengaja
disembunyikan pembicara/penulis.

Di bidang wacana, implikatur berarti


sesuatu yang dilibatkan atau menjadi
bahan pembicaraan. Implikatur menjadi
penghubung antara "yang diucapkan"
dan "yang diimplikasikan". Dialog yang
mengandung implikatur selalu berkaitan
dengan penafsiran.

Di bidang wacana, implikatur berarti sesuatu


yang dilibatkan atau menjadi bahan
pembicaraan. Implikatur menjadi penghubung
antara "yang diucapkan" dan "yang
diimplikasikan". Dialog yang mengandung
implikatur selalu berkaitan dengan penafsiran.
Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya
sudah diketahui peserta tuturan, tidak perlu
dieksplisitkan, tetapi justru sering disembunyikan
agar yang diimplikasikan itu tidak mencolok.

(14) [Dengan malu-malu, seorang ibu minta dibelikan


baju hangat kepada anaknya yang akan pergi
berbelanja]:
Ibu: Sekarang ujan melulu, Ibu sering
kedinginan. Ibu enggak punya baju hangat.
Di pasar ada, ya?
Anak: Ada, nanti dibelikan. Ukurannya M apa L,
ya, Bu?

Implikatur
berkaitan
dengan
konvensi
kebermaknaan yang terjadi di dalam proses
komunikasi. Konsep kebermaknaan itu diperlukan
untuk menerangkan perbedaan antara apa yang
diucapkan dan apa yang diimplikasikan. Jika di
dalam suatu pembicaraan, salah satu pesertanya
tidak paham, peserta bisa bertanya, "Apa
maksudnya atau Maaf, saya belum paham; atau
Maaf, saya belum mengerti.

Sebenarnya ada dua macam implikatur, yaitu


implikatur konvensional (conventional
implicature) dan implikatur percakapan
(conversation implicature) (lihat Grice, 1975:44)
Implikatur konvensional ialah implikatur yang
bersifat umum dan konvensional. Semua orang
sudah maklum akan maksud atau pengertian hal
tertentu itu. Lihat contoh berikut.

(15) Obama kemarin napak tilas


perjalanan
Abraham Lincoln, tokoh yang
dikaguminya. Mutiara hitam itu naik kereta
api dari Philadephia menuju Washington,
seperti yang dilakukan Lincoln, untuk
mengikuti acara pelantikan dirinya.

Sebutan Mutiara hitam itu pada kalimat


kedua mengacu ke Obama karena umum
(konvensional, dunia nyata) tahu bahwa Obama
adalah Presiden berkulit hitam pertama bagi
Amerika Serikat. Dapat dipastikan bahwa frasa
itu tidak mengacu ke Abraham Lincoln karena
diketahui secara umum (konvensional) bahwa
Abraham tidak mungkin naik kereta api karena
yang napak tilas adalah Obama. Dengan
demikian, di dalam wacana itu orang tidak akan
memahami sesuatu yang umum diketahui itu
dengan pengertian yang lain.

Implikatur konvensional bersifat nontemporer


karena makna atau pengertian tentang sesuatu
bersifat umum itu ternyata lebih tahan lama.
Makna dan pengertian implikatur percakapan
ternyata lebih variatif karena pemahaman atas
apa yang dimaksudkan sangat bergantung pada
konteks percakapan. Implikatur percakapan itu
hanya muncul dalam tindak percakapan itu saja.
Akibatnya, implikatur itu hanya temporer (pada
saat percakapan berlangsung) dan
nonkonvensional (yang diimplikasikan tidak ada
relasi langsung dengan apa yang diucapkan.

Lihat contoh berikut.


(16) [Di sebuah halte bus menuju Ragunan, seorang
ibu bertanya kepada anak-anak yang akan ke kebun
binatang:]
Ibu: Mau jalan-jalan ke Ragunan, ya Nak?
Anak-anak: Ya, Bu.
[Sambil bergurau Ibu bertanya]: Mau lihat siapa
di sana?
[Sambil bergurau anak-anak menjawab]: Lihat
saudara-saudara kita.
Jika tidak sambil bergurau, pertanyaan itu
seharusnya, Mau lihat apa di sana? Jawaban anakanak, Mau lihat binatang. Implikatur itu hanya dipahami
oleh pembicara dan yang diajak berbicara (karena
pembicaraan berlangsung di halte bus menuju Ragunan

Dalam percakapan, pembicara sering tidak langsung


mengutarakan maksudnya. Apa yang diinginkan justru
disembunyikan lewat ucapannya yang tidak langsung.
Bahkan, yang diucapkannya bisa sangat berbeda dari
apa yang dimaksudkannya. Perhatikan percakapan di
bawah ini.
(17) a. Rika: Aku belum makan, Bu.
Ibu : Nanti, Nak. Bapakmu belum
pulang.
b. Ketua RT: Got mampet, sebentar
lagi musim hujan.
Warga : Besok kita gotong royong,
Pak, supaya wilayah tidak
kebanjiran.

Percakapan antara Rika dan Ibu pada contoh itu


mengandung implikatur, yaitu 'tidak ada nasi, bahkan
mungkin tidak ada uang (dibuktikan dengan Nanti, Nak.
Bapakmu belum pulang) karena Ibu dapat memahami
implikatur tuturan Rika, yakni minta makan, sebenarnya Ibu
menjawab bahwa tidak ada yang bisa dimakan, beras pun
tidak ada. Padahal, kalimat yang diucapkan Rika dan Ibu
sama sekali sepertinya hampir tidak saling berkait satu
sama sekali.

g disampaikannya dengan mengatakan Got mampet, sebentar lagi musim hujan. Warga yang memahami implikatur (maksud ucapa

Gejala yang hampir sama terjadi pada contoh (b). Ajakan


Ketua RT untuk bergotong royong disampaikannya dengan
mengatakan Got mampet, sebentar lagi musim hujan.
Warga yang memahami implikatur (maksud ucapan Ketua
RT), segera menyambutnya dengan kalimat Besok kita
gotong royong, Pak, supaya tidak kebanjiran.

2) Referensi
Referensi atau pengacuan adalah hubungan antara kata
dan sesuatu (benda, binatang, orang dsb.) yang dirujuk
oleh pembicara atau penulis.
Di dalam suatu pembicaraan, yang menentukan rujukan
ialah pembicara (wacana lisan) dan penulis (wacana
tertulis) karena dialah yang tahu tentang apa saja yang
akan dituturkannya. Sesuatu (dunia) yang dirujuk itu bisa
direpresentasikan atau diwujudkan berbeda oleh orang
yang berbeda. Itulah sebabnya, di dalam setiap tuturan
mungkin sekali terjadi perbedaan tafsiran yang
memungkinkan terjadi beda pemahaman.

Referensi terdiri atas referensi endofora dan referensi


eksofora. Jika relasi dari kata yang ditunjuk atau
diinterpretasikan ada di dalam teks, relasi penunjukan itu
dinamakan referensi endofora. Referensi endofora itu
terdiri atas referensi anafora dan referensi katafora. Jika
relasi dari kata yang ditunjuk atau diinterpretasikan ada di
luar teks, relasi penunjukan itu dinamakan referensi
eksofora. Pada referensi eksofora, relasi dari kata yang
ditunjuk atau diinterpretasi bergantung pada konteks
situasional.

Jadi, referensi: a. referensi endofora: relasinya di dalam


teks;
b. referensi eksofora: relasinya di luar teks
Referensi endofora: a. referensi anafora (mengacu ke kiri);
b. referensi katafora (mengacu ke
kanan)

3) Pranggapan (Presupposition)
Di dalam wacana perlu diperhatikan hubungan antara
pembicara atau pendengar (penulis atau pembaca) ketika
mereka berada di dalam suatu peristiwa tutur atau interaksi
tertentu. Praanggapan atau presupposisi (presupposition)
merupakan pengetahuan bersama (common ground)
antara pembicara dan pendengar (penulis atau pembaca)
sehingga pengetahuan itu tidak perlu diutarakan. Konsep
praanggapan berawal dari perdebatan mengenai hakikat
apa yang dirujuk (yaitu sesuatu, benda, keadaan, dan
sebagainya) oleh kata, frasa, kalimat, atau ungkapan.

(22) a. Athiya murid kelas 3 SD. Dia anak baik.


b. Athiya bukan murid kelas 3 SD. Dia bukan anak
baik.
Praanggapan untuk pernyataan (a) ialah bahwa ada
seorang anak yang bernama Athiya, dia murid kelas 3 SD,
dan dia anak baik. Ketika dinegatifkan menjadi kalimat (b),
praanggapannya adalah ada anak yang bernama Athiya,
tetapi dia bukan murid kelas 3 dan dia bukan anak baik.

Contoh lain seperti berikut.


(23) [Ketika sampai di terminal, A berkata]:
A: Wah, aku ketinggalan bus ke Bogor, nih.
Praanggapan atas kalimat itu ialah ada bus yang
berangkat ke Bogor dan bus itu sudah berangkat ketika A
belum sampai di terminal.

Dalam konteks dialogis, praanggapan merupakan


'pengetahuan bersama' antara pembicara dan
pendengar. Sumber pranggapan itu ialah
pembicara. Artinya, perkiraan pengetahuan
tentang sesuatu itu dimulai oleh pembicara ketika
dia mulai mengutarakan tuturannya. Pembicara
itulah yang dapat memperkirakan apakah orang
yang diajaknya berbicara (pendengarnya) paham
ataukah tidak paham mengenai apa yang akan
dibicarakannya.

4) Simpulan (Inferensi)
Simpulan atau inferensi (inference) sering harus
dibuat sendiri oleh pendengar (pembaca) karena
ia belum tahu benar apa sebenarnya yang
dimaksudkan pembicara. Karena dibuat sendiri
oleh pendengar (pembaca), tidak jarang simpulan
itu ternyata salah atau tidak sama persis dengan
apa yang dimaksudkan pembicara atau penulis
wacana.

Dalam konteks dialogis, praanggapan merupakan 'pengetahuan bersama' antara


pembicara dan pendengar. Sumber pranggapan itu ialah pembicara. Artinya, perkiraan
pengetahuan tentang sesuatu itu dimulai oleh pembicara ketika dia mulai mengutarakan
tuturannya. Pembicara itulah yang dapat memperkirakan apakah orang yang diajaknya
berbicara (pendengarnya) paham ataukah tidak paham mengenai apa yang akan
dibicarakannya.

Simpulan merupakan proses yang harus dilakukan


pendengar (pembaca) untuk memahami makna
yang tidak terungkapkan secara harfiah di dalam
wacana (Alwi dkk., 2003:441). Pendengar atau
pembaca harus mampu menangkap, memahami,
menafsirkan, dan menyimpulkan makna wacana
meskipun makna itu tidak eksplisit diungkapkan

Pada wacana lisan dialogis (percakapan), makna


wacana tidak hanya ditentukan oleh aspek formal
bahasa (kalimat dsb.), tetapi juga oleh konteks
situasional. Simpulan percakapan merupakan
proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi
dan konteks. Dengan cara itu, pendengar
(pembaca) dapat menduga maksud pembicara
(penulis) sehingga mereka dapat memberikan
respons atas percakapan itu. Selain itu, konteks
situasional dan sosiokultural menjadi faktor
penting dalam menyimpulkan isi wacana.

Perhatikan percakapan berikut.


(13) A: Wah, kereta ekspres Jakarta-Bogor
sudah lewat, ya Dik?
B: Ya. Ibu mau ke Bogor?
A: Tidak. Ke Bojong.
B: Ibu harus naik kereta lain. Kereta
ekspres tidak berhenti di setiap
stasiun. Tunggu 10 menit lagi, Bu.

Inferensi sangat diperlukan untuk memperoleh


pemahaman yang komprehensif mengenai alur
percakapan, yang mungkin kurang jelas
hubungannya karena banyaknya unsur yang
dilesapkan (elipsis).

Untuk memahami atau menafsirkan wacana yang


memerlukan inferensi, dapat diterapkan prinsip
analogi dan prinsip penafsiran lokal. Prinsip
analogi digunakan untuk memahami wacana
berdasarkan logika atau pengetahuan dan
pengalaman pada dunia umumnya (knowledge
of the world). Prinsip penafsiran lokal digunakan
untuk memahami wacana berdasarkan penafsiran
"konteks lokal" yang melingkupi wacana tersebut.
Karena luasnya konteks yang melingkupinya,
pendengar atau pembaca harus membuat dan
membatasi wilayah tafsirannya.

Dalam penggunaannya, bahasa tidaklah hanya


terdiri atas satu variasi (monolitis) saja, tetapi
terdiri atas sejumlah variasi. Jika ditinjau dari segi
pemakaiannya (use), bahasa terdiri atas berbagai
variasi yang disebut register (ragam bahasa); dari
segi pemakainya (user), bahasa yang terdiri atas
sejumlah variasi yang disebut dialek (Halliday,
1970).

Dengan didasari pikiran tersebut, Hoed memberikan


contoh berikut.
(14) Bukunya yang kira-kira berjumlah 200 eksemplar
habis terendam air ketika terjadi banjir.

Makna kalimat itu belum dapat dipahami utuh dan


komprehensif karena tidak ada konteks yang memperjelas
munculnya kalimat tersebut. Jika dilengkapi dengan situasi,
di mana, kapan, dan siapa yang diacu, kalimat itu akan
mudah dipahami. Konteks yang diperlukan kalimat itu ialah
a. pronomina nya mengacu pada siapa?
b. apakah 200 eksemplar itu satu judul, 50 judul, 100 judul,
atau 200 judul?
c. banjir kapan karena banjir bisa terjadi kapan saja,
d. di mana banjir itu terjadi?

4. Tema, Topik, dan Judul Wacana


Tema menjadi titik tolak suatu ujaran (the starting
of utterance) (Brown dan Yule, 1983:126). Tema
lazim terdapat di dalam berbagai bentuk wacana,
yang mewadahi program atau apa saja yang
hendak dicapai. Oleh karena itu, kita sering
melihat banyak kain rentang (spanduk) memuat
tema suatu peringatan. Sayangnya, tema seperti
itu sering tidak masuk akal atau sering pula tidak
bisa dikerjakan.

Lihat contoh berikut.


(15) Dengan merayakan peringatan hari jadi
kota Bogor, kita lanjutkan pembangunan
sarana dan prasarana kota yang belum
terwujud.
Apakah mungkin hanya dengan merayakan
peringatan hari jadi suatu kota, kita bisa
melanjutkan pembangunan sarana dan prasarana
kota yang belum terwujud?

Tema bersifat abstrak dan ruang lingkupnya Iebih jelas dan


lugas daripada topik. Tema bisa menjadi rumusan dan
kristalisasi dari topik yang akan menjadi landasan
pembicaraan atau menjadi tujuan yang akan dicapai
melalui topik. Tema yang baik haruslah jelas, memiliki
kesatuan dan keutuhan, serta ada kemungkinan untuk
dikembangkan, serta asli (Alwi dkk. 2003:437).

Media massa cetak, seperti surat kabar dan majalah,


menempatkan tema utama pada bagian paling atas setiap
halaman. Kemudian, tema utama bisa diperinci lagi
menjadi beberapa topik tertentu dan setiap topik itu bisa
diperinci lagi menjadi sejumlah judul yang relevan dengan
tema pada halaman itu. Misalnya, tema utama Pelestarian
Lingkungan dapat diturunkan menjadi topik, seperti
Pelestarian Hewan Langka. Topik itu dapat diturunkan lagi
menjadi judul yang masih umum, misalnya Pemeliharaan
Gajah di Wai Kambas. Judul itu masih bisa dikhususkan
lagi, misalnya Pemeliharaan Khusus 8 Ekor Gajah Liar di
Wai Kambas

Sebagai sesuatu yang diturunkan, judul tentu ada


kesamaan dengan topik dan topik pun tentu ada kesamaan
dengan tema. Ketiganya tak dapat dipisahkan. Tentu saja
tema memiliki ruang lingkup lebih luas daripada topik dan
ruang lingkup topik lebih luas daripada judul. Tema
mewadahi topik dan judul.

Lihat urutan hierarki kewacanaan berikut.


JUDUL: Pemeliharaan Gajah Liar di Wai Kambas
(cakupannya sempit)
TOPIK : Pelestarian Hewan Langka (lebih luas daripada
judul)
TEMA: Pelestarian Lingkungan (lebih luas daripada
topik)

Wacana Utuh
Sebuah wacana yang utuh harus memiliki aspek yang
lengkap, padu, dan menyatu. Aspek itu, antara lain, kohesi,
koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal,
aspek fonologis, dan aspek semantis. Keutuhan wacana
juga harus didukung oleh konteks terjadinya wacana.
Dapat dikatakan bahwa keutuhan wacana terjadi karena
adanya keterkaitan antara teks (bahasa) dan konteksnya.
Itulah aspek utama wacana.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa aspek keutuhan


wacana terdiri atas kohesi dan koherensi. Aspek kohesi
meliputi leksikal, gramatikal, fonologis, sedangkan
koherensi mencakup semantik dan topikalisasi.

Alat Kohesi Gramatikal


Untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, kalimatkalimat pendukung wacana harus kohesif (Alwi dkk.,
2003:41). Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah,
menurut defenisi itu, unsur-unsur di dalam wacana dapat
diinterpretasi sesuai dengan kebergantungannya dengan
unsur lain. Hubungan kohesif sering ditandai oleh
kehadiran penanda khusus yang bersifat formal bahasa
(lingual formal).

Kohesi merupakan kepaduan bentuk (bahasa), yang


secara struktural membentuk ikatan sintaktis. Kohesi dapat
dibagi menjadi kohesi gramatikal yang terdiri atas referensi
(reference), substitusi (substitution), elipsis (ellipsis), dan
konjungsi (conjuntion) dan kohesi leksikal terdiri atas
reiterasi (reiteration) dan kolokasi (collocation) (Halliday
dan Hassan, 1976:4, 21).

Pada dasarnya, kohesi mengacu pada hubungan bentuk.


Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang
digunakan untuk menyusun sebuah wacana memiliki
keterkaitan sintaktis (bentuk) yang padu dan utuh. Kohesi
termasuk kelompok unsur internal struktur wacana
(menjadi bagian dari aspek formal atau aspek bahasa dari
wacana itu), sedangkan koherensi termasuk kelompok
unsur eksternal struktur wacana. Oleh karena itu,
organisasi dan struktur wacana bersifat sintaktisgramatikal.

Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia memadankan kohesi


dengan perpautan bentuk dan koherensi dengan
kepaduan makna (Alwi dkk., 2003:41). Kohesi merupakan satuan semantis yang direalisasikan ke dalam tiga
tataran sistem bahasa, yaitu sistem semantis (makna,
meaning), sistem leksikogramatikal (bentuk, gramatikal dan
leksikal, wording), dan sistem fonologis dan morfologis
(bunyi dan tulisan, sounding and writing) (Halliday dan
Hassan, 1979:4--8; 1989:48,73)

Halliday dan Hassan memberikan contoh pertalian


semantis kedua kalimat berikut, yang direalisasikan dalam
bentuk referensi.
(1) Wash and core six cooking apples. Put them into
fireproof dish.
Pronomina them mereka pada teks itu mengacu anaforis
ke nomina six cooking apples enam apel untuk dimasak
pada kalimat pertama sehingga kedua kalimat itu kohesif
(memiliki perpautan bentuk bahasa). Akibatnya, kedua
kalimat itu membentuk sebuah teks yang padu.

2) Benazir Butto, mantan perdana menteri Pakistan,


meninggal dunia akibat ditembak orang tak dikenal ketika
ia sedang memimpin kampanye di Rawalpindi. Jenazahnya
dimakamkan di Larkana di samping makam ayahnya,
Zulfikar Ali Butto.
(

Pronomina nya pada kata jenazahnya mengacu anaforis


ke jenazah Benazir Butto, pada kalimat kedua. Jenazah
pada kalimat itu merupakan akibat logis dari peristiwa
meninggal dunia yang terdapat pada kalimat pertama.
Secara formatif, makna itu tidak terdapat di dalam teks,
tetapi secara koherensif makna itu dapat dipahami
pembaca.

Menurut Stubbs (1983), keruntutan wacana tidak selalu


ditandai secara eksplisit, tetapi dapat ditandai oleh unsur
konteks ekstralinguistis. Ia memberikan contoh berikut.
(3) I think its going to snow tonight, althought were well
into late April: bother this weather, I have just hedded out
the dahlias.
Pada wacana pendek itu, setidak-tidaknya Stubbs
menangkap bahwa ada dua buah asumsi, yaitu pada
waktu sekarang biasanya salju sudah tidak turun dan
semua orang tahu bahwa bunga dahlia akan rusak oleh
dinginnya salju
.

Sebuah teks dikatakan runtut atau memiliki tekstur ketat


dan sarat (tight texture) apabila teks itu menggunakan alat
kohesi formal (Halliday dan Hassan, 1979:295--296). Lihat
contoh berikut.
(4) Siska dan Susanna tampak girang. Pagi itu mereka
berdua duduk di kursi paling depan, di samping Pak Supir.
Tidak ada duka di wajah mereka. Baju merah yang mereka
kenakan pun seperti ikut-ikutan girang. Mereka memang
periang dan (mereka) baik kepada sesama, apalagi kepada
keluarga dan temannya. Kedua anak itu menjadi permata
keluarganya.

Teks dengan alat kohesi tidak formal disebut teks


bertekstur longgar (loose texture) atau teks bersusun
bebas. Perhatikan contoh berikut.
(5) [A bertanya kepada B]:
A: Tumben ada di rumah, nih. Gak masuk kerja hari
ini?
B: Dari dokter, kemarin kehujanan.

Ada dua jenis kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi


leksikal. Setiap kohesi mempunyai sifat relasi masingmasing, yang menunjukkan pertalian bentuk, pertalian
referensi, ataupun pertalian makna. Setiap jenis relasi itu
masih terbagi menjadi beberapa subkategori lagi.
Kohesi gramatikal digunakan untuk menunjukkan adanya
hubungan bentuk (bahasa) di antara kalimat pembangun
wacana. Kohesi gramatikal terdiri atas referensi, substitusi,
elipsis, dan relasi konjungtif. Kohesi leksikal digunakan
untuk menunjukkan adanya hubungan makna (hubungan
isi informasi) di antara kalimat pembangun wacana.

Pengacuan (referensi) terdiri atas pengacuan endoforis


dan pengacuan eksoforis. Pengacuan endoforis (relasinya
di dalam teks) terdiri atas pengacuan anaforis dan
pengacuan kataforis, sedangkan pengacuan eksoforis
(relasinya di luar teks) bergantung pada konteks
situasional.

Pengacuan endoforis adalah pengacuan dalam teks atau


pengacuan pada referen yang ada di dalam teks. Yang
digunakan sebagai alat pengacu pada pengacuan
endoforis ialah pronomina, yaitu pronomina persona,
pronomina demonstratif, ataupun komparatif. Lihat contoh
berikut.
(7) Kemarin saya membeli beberapa buah buku baru.
Akan tetapi, buku itu baru saya baca sebagian.
Frasa buku itu pada kalimat kedua mengacu (refer to) pada
objek beberapa buah buku baru yang ada di dalam teks
pada kalimat pertama, yang menjadi antesedennya.

Anteseden adalah unsur yang mendahului (pada


pengacuan anaforis) atau yang mengikuti (pada
pengacuan kataforis) yang diacu oleh kata atau ungkapan
dalam suatu klausa atau kalimat. Contohnya seperti
berikut.
(8) Saya membeli beberapa buku baru. Akan tetapi,
buku itu ....
Frasa beberapa buku baru pada kalimat pertama itu
merupakan unsur yang mendahului dan yang diacu oleh
frasa buku itu pada kalimat kedua. Beberapa buku baru
pada kalimat pertama itulah yang disebut anteseden.

Berdasarkan arah acuannya, pengacuan endoforis dapat


dibagi menjadi pengacuan anaforis dan pengacuan
kataforis. Pengacuan anaforis adalah pengacuan yang
referennya (acuannya) sudah disebutkan (dalam wacana
lisan) atau yang sudah dituliskan (dalam wacana tulis
Indonesia, sesuatu yang sudah dituliskan itu terletak di
sebelah kiri). Oleh karena itu, pengacuan anaforis lazim
juga disebut pengacuan ke kiri (lihat Halliday dan
Hassan,1976). Perhatikan bahwa buku itu mengacu pada
beberapa buku baru, yang terletak di sebelah kirinya.
Dalam ragam lisan, anteseden beberapa buku baru itu
pasti sudah diucapkan.

Pengacuan, baik endoforis maupun eksoforis, meliputi


a) pronomina persona takrif: misalnya saya, dia, kamu,
mereka, beliau pronomina persona taktakrif: misalnya
barang siapa, seseorang, siapa pun;
b) pronomina demostrativa penunjuk: misalnya ini, itu;
pronomina demostrativa lokatif: misalnya di sini, di sana,
di situ; pronomina demostrativa hal: misalnya begini,
begitu, demikian ini, demikian itu, seperti ini, seperti itu;
c) pembandingan atau komparasi dapat menunjukkan
hubungan pengacuan.

Pronomina yang digunakan dapat berupa pronomina takrif


ataupun taktakrif. Pronomina takrif, seperti aku, ku, kita,
kami (pronomina persona pertama), dia, ia, beliau, mereka,
dan -nya (pronomina persona ketiga). Lihat contoh berikut.
(11) a. Pada tahun yang lalu mantan orang penting
itu menderita sakit. Sekarang ia terpaksa
ditakrif
rumah
sakitPronomina
karena
Pronomina yang digunakanmendekam
dapat berupa pronomina
ataupun taktakrif.
takrif, badannya
seperti aku, ku, kita, kami (pronomina
persona pertama), dia, ia, beliau, mereka, dan -nya (pronomina persona ketiga). Lihat contoh berikut.
bengkak.
Tubuhnya
cairan
(11) a. Pada tahun
yang lalu mantan
orang penting itu banyak
menderita sakit.mengandung
Sekarang ia terpaksa mendekam
di rumah sakit
karena badannya bengkak. Tubuhnya banyak mengandung cairan akibat ginjalnya kurang berfungsi. Ginjalnya tidak mampu
akibat
ginjalnya kurang berfungsi. Ginjalnya tidak
membuang cairan tubuhnya
keluar.
mampu membuang cairan tubuhnya keluar.

Pronomina lain yang digunakan untuk menciptakan


kepaduan paragraf ialah ini, itu, tadi, begini, begitu,
demikian ini, demikian itu, di sini, di situ, di sana, ke sini,
ke situ, dan ke sana serta pronomina persona taktakrif,
seperti barang siapa, seseorang, siapa pun. Lihat contoh
berikut.
(13) Dulu, itulah asrama mereka. Mereka tinggal di situ
sejak kuliah tingkat satu sampai menjadi sarjana.
Orang tua mereka pun sering berkunjung ke situ, ke
asrama itu.

a) Pengacuan Anaforis
Pengacuan anaforis (pengacuan bersifat anafora)
menunjukkan hubungan antara bagian yang satu dan
bagian yang lain di dalam teks. Hubungan itu mengacu
pada sesuatu (anteseden) yang telah disebutkan.
Pengacuan anaforis lazim disebut pengacuan ke kiri. Lihat
contoh berikut.
(14) Kemarin Suzanna membeli sebuah buku baru.
Sekarang buku itu sedang dibacanya.

b) Pengacuan Kataforis
Pengacuan kataforis (pengacuan bersifat katafora)
mengacu pada objek yang akan disebutkan atau yang
akan dituliskan. Karena sesuatu yang akan dituliskan
terletak di sebelah kanan dari apa yang akan dituliskan
(dalam ragam lisan: yang diacu itu belum diucapkan),
pengacuan kataforis lazim juga disebut pengacuan ke
kanan. Contohnya seperti berikut.
(15) Dengan caranya yang kejam dan tidak bersahabat,
sang majikan yang angkuh itu mulai menghina dan
mencari-cari kesalahan para pekerja.

Menurut jenisnya referensi dapat dibagi menjadi referensi


personal, referensi demonstratif, dan referensi komparatif.
Referensi personal meliputi persona pertama (saya, aku,
kita, kami); persona kedua (kamu, engkau, Anda, kalian,
engkau sekalian), dan persona ketiga (dia, beliau, -nya,
mereka). Referensi demonstratif menggunakan pronomina
demonstratif: ini, itu, begini, begitu, sini, situ, sana dan
nomina lokatif: di sini, di situ, di sana. Referensi komparatif
menggunakan perbandingan, seperti bagaikan, sama,
identik, dan serupa.

b. Pengacuan Eksoforis
Pengacuan eksoforis (pengacuan bersifat eksoforis)
menunjuk ke sesuatu di luar teks. Lihat contoh berikut.
(20) a. Barang siapa yang mencuri dan/atau mengambil
hak orang lain tanpa izin harus dihukum.
b. Siapa pun yang korupsi harus dihukum.
Barang siapa dan siapa pun pada contoh di atas tidak
mengacu ke sesuatu yang ada di dalam teks (tidak ada
nomina apa pun yang diacunya di dalam teks itu), tetapi
menunjuk ke sesuatu di luar teks, yaitu orang mana pun
yang melakukan perbuatan seperti dinyatalan dalam
kalimat itu.

Referensi
1. Referensi endofora (tekstual):
a. Anafora: sudah dituliskan, sudah disebutkan
mengacu ke kiri
b. Katafora: belum dituliskan, belum disebutkan
mengacu ke kanan
2. Referensi eksofora: situasional/kontekstual

Identifikasi rujukan bisa tepat, bisa pula berbeda dari


maksud pembicara. Hasil identifikasi dipengaruhi oleh
berbagai faktor, misalnya kemampuan seseorang di dalam
menyampaikan informasi atau di dalam mengidentifikasi
sesuatu. Perbedaan itu terjadi karena adanya perbedaan
interpretasi atau pemahaman pembicara dan pendengar
terhadap dunianya wacana itu (Kartomihardjo, 1993:35).
Oleh karena itu, dalam memahami ataupun menganalisis
wacana yang memiliki referensi, diperlukan pengetahuan
dan pengalaman tentang dunia (knowledge of world),
paling tidak pengetahuan tentang dunianya wacana itu.

Konjungsi amat mudah dikenali karena menjadi pemarkah


formal. Beberapa jenis konjungsi, antara lain konjungsi
adversatif (misalnya: namun, tetapi), konjungsi kausal
(misalnya: sebab, karena), konjungsi korelatif (misalnya:
apalagi, demikian juga), konjungsi subordinatif (misalnya:
meskipun, kalau), dan konjungsi temporal (misalnya:
sebelumnya, sesudahnya, lalu, kemudian). Contoh:
(22) Badannya masih lelah, tetapi ia tetap saja pergi
bekerja. Hari ini pekerjaannya harus selesai. Ia malu
sebab pekerjaan itu sudah tertunda lebih dari satu
minggu.

Yang dapat digunakan sebagai konjungsi antarkalimat atau


antarsatuan yang lebih besar, antara lain, ialah dengan
demikian, oleh karena itu, jadi, setelah itu, namun, dan
akan tetapi. Karena menghubungkan antara kalimat dan
kalimat, penghubung itu disebut ungkapan penghubung
antarkalimat.

Substitusi
Substitusi (penggantian) dilakukan untuk memperoleh
unsur pembeda atau untuk menjelaskan struktur tertentu
(Kridalaksana, 1984:100). Substitusi merupakan hubungan
gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna.
Perhatikan contoh berikut.
(24) Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus
saya sampaikan kepada Bapak A dan Bapak B yang
telah rela menolong saya ketika dalam kesulitan.
Atas bantuan beliau berdua (Bapak berdua), saya
dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik.

Pelesapan (Elipsis)
Bagian kalimat yang sering dilesapkan ialah subjek atau
predikat (Fokker, 1980:88). Elipsis digunakan dengan
mengandaikan bahwa pembaca atau pendengar sudah
mengetahui sesuatu meskipun sesuatu itu tidak disebutkan
atau dituliskan secara eksplisit. Contoh:
(26) Ya, Allah, terima kasih Engkau telah memberiku
lebih dari apa yang aku minta. Engkau kuatkan dan
sabarkan aku ketika (aku) dalam kesulitan sehingga
aku dapat mengatasinya. Terima kasih, ya, Allah
atas ....

Unsur yang dilesapkan ialah subjek dan predikat. Jika


dilengkapkan, kalimat ketiga itu menjadi seperti berikut.
(27) (Aku mengucapkan) terima kasih, ya, Allah atas
(segala yang Kau berikan kepadaku).

Unsur kosong atau unsur zero (nol, sifar) ialah unsur yang
dilesapkan agar tidak mengulangi apa yang telah
diungkapkan pada bagian terdahulu atau pada bagian lain.
(28) [A bertanya kepada B]:
A: (Kamu) Sudah makan? Kalau (kamu) sudah
makan, ayo (kamu) ikut berjalan-jalan, kita mau
keliling danau, (kita) lihat-lihat taman dan
tambak ikan.
B: Saya sudah makan dan (saya) sudah siap. Ayo,
(saya) ikut berjalan-jalan.

3. Alat Kohesi Leksikal


Kohesi leksikal menunjuk pada hubungan leksikal di antara
bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur
secara kohesif. Kohesi leksikal terdiri atas sinonim (makna mirip),
antonim (lawan kata), hiponim (hubungan bagian atau isi),
meronim (bagian-keseluruhan), repetisi (pengulangan), kolokasi
(penyandingan kata), dan ekuivalensi. Tujuan penggunaan aspekaspek leksikal itu, antara lain, ialah untuk mendapatkan efek
intensitas makna, keindahan bahasa, atau kejelasan informasi.

Unsur kohesi tidak selalu menjamin terbentuknya sebuah wacana


yang utuh dan koherensif karena pemakaian alat kohesi di dalam
suatu teks tidak akan serta-merta menghasilkan wacana yang
koherensif (Alwi dkk., 2003:428). Artinya, struktur wacana juga
dapat dibangun tanpa menggunakan alat kohesi. Namun, wacana
yang baik dan utuh harus memiliki syarat kohesif dan koherensif
sekaligus.

1 Sinonim

1. Sinonim
Bunyi guntur menggelegar memekakkan telinga. Angin bertiup
kencang dan petir sambar-menyambar. Begitulah suasana kota
Bogor jika turun hujan deras. Bahkan, suara guntur sering
menimbulkan rasa takut yang tiada terhingga karena dunia seperti
sudah akan kiamat.
Kata bunyi dan suara memiliki makna yang kurang lebih sama
(bersinonim) dan keduanya digunakan secara bergantian.
Tujuannya, antara lain, untuk menghindari agar teks tidak
membosankan pembaca.
S

2 Antonim

2. Antonim
Masih pukul empat pagi. Jakarta sudah menggeliat bangun.
Satu dua kendaraan sudah mulai melintas, tetapi kantor-kantor
masih tertidur lelap. Taksi yang kami tumpangi ikut melintas di
jalan yang masih sepi. Angin pagi yang sejuk dengan ramah
menyapa kami ketika melewati Taman Monas yang rimbun. Jika
siang sedikit lagi, keadaan di taman ini akan jauh berbeda, Bu,
kata sopir taksi.

3 Hiponim

3. Hiponim
Pasar burung di Jalan Pramuka, Jakarta, menjual berjenisjenis burung, seperti cucakrawa, kutilang, burung dara, srigunting,
kepodang, dan tak ketinggalan burung gereja.
Nama jenis burung, seperti cucakrawa, kutilang, burung
dara, srigunting, dan kepodang merupakan spesies (kata khusus)
dari genus burung (kata umum), yang termasuk dalam kelompok
unggas. Spesies (subordinat) merupakan hiponim dari genus,
yang menjadi superordinatnya. Hiponim digunakan untuk
menjelaskan bagian-bagian dari sesuatu (takson) yang lebih
tinggi.

4 Meronim
Mobil Pak Dosen itu sebuah Kijang tua buatan tahun1985.
Bunyi mesinnya tidak halus lagi. Bodinya di sana-sini sudah
dihiasi tambalan dempul. Catnya lusuh dan kusam. Bemper
belakangnya sudah pula diikat dengan kawat agar tidak lepas.
Jangan tanyakan soal bensinnya yang sangat boros. Bisa-bisa
hasilnya 1 berbanding 45. Artinya, untuk satu liter bensin hanya
cukup untuk menempuh jarak 45 rumah saja.
Perhatikan bahwa mesin, bodi, dan bemper merupakan
bagian-bagian dari sebuah mobil. Bagian-bagian itulah yang
disebut dengan meronim. Akan tetapi, cat dan bensin bukan
merupakan bagian-bagian dari mobil, melainkan sesuatu yang
lazim dimiliki oleh sebuah mobil.

5 Kolokasi (Sanding Kata)


Kolokasi merupakan asosiasi tertentu di dalam pilihan kata.
Sebuah kata yang dipilih selalu dapat bersanding atau
berdampingan dengan kata tertentu lainnya. Oleh karena itu,
hampir dapat diprediksi kata apa yang dapat mendampingi jika
ada sebuah kata tertentu digunakan.
Gadis cantik yang berbudi luhur itu belum juga menikah.
Sayang rasanya jika bunga segar yang indah penghias taman itu
belum ada yang memetiknya. Jagalah, jangan sampai bunga
indah itu layu dan dicampakkan oleh orang lalu.
Nomina gadis dapat diprediksi akan bersanding dengan
adjektiva (yang) cantik, rasanya tidak akan pernah ada gadis yang
*tampan. Frasa gadis yang cantik dalam wacana itu dapat
dikiaskan dengan bunga segar yang indah, bukan bunga yang
layu.

Pertalian Makna (Koherensi)


Koherensi berarti 'pertalian' atau perihal berkaitan. Di bidang
wacana, koherensi berarti pertalian makna atau pertalian isi
kalimat (Tarigan, 1987:92) atau hubungan timbal balik yang
serasi antara kalimat dan kalimat (Keraf, 1984:38). Jadi,
koherensi ialah pertalian di antara kalimat yang satu dan kalimat
yang lain sehingga klimat-kalimat itu membangun kesatuan
makna yang utuh. Wacana yang koherensif memiliki susunan
bahasa yang teratur dan amanatnya jalin-menjalin dengan rapi.

Koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan


dalam suatu teks atau tuturan (Brown and Yule, 1983:224). Pada
wacana, aspek koherensi sangat penting untuk menata pertalian
makna antara proposisi yang satu dan proposisi yang lain demi
mencapai keutuhan makna. Keutuhan yang koherensif dijabarkan
lewat hubungan semantis (makna) antarbagian, yang dapat
diwujudkan melalui kohesi, tetapi dapat juga tidak. Secara
keseluruhan hubungan makna yang koherensif itu menjadi bagian
dari organisasi semantis.

Unsur koherensi sebenarnya tidak hanya pada satuan teks


secara formal, melainkan juga pada kemampuan pembaca
(pendengar) di dalam menghubungkan makna dan menginterpretasikan bentuk wacana yang dihadapinya. Kebermaknaan
unsur koherensi amat bergantung pada hubungan yang serasi
antara teks (wacana) dan pemahaman pembaca atau
pendengarnya (Brown dan Yule, 1986:224)

Koherensi menjadi ukuran bermakna-tidaknya sebuah teks. Hubungan koherensif bisa


tKKKKoherensi

terjadi karena adanya rangkaian fakta dan gagasan


yang teratur dan masuk akal (logis). Koherensi bisa implisit atau
tidak ternyatakan (not stated) karena substansi (isinya) berkaitan
dengan makna yang memerlukan interpretasi. Pemahaman atas
hubungan yang koherensif itu dapat diperoleh melalui upaya
penyimpulan hubungan di antara proposisi yang ada di dalam
wacana.

Hubungan koherensif sebenarnya adalah 'hubungan semantis'


atau hubungan antarproposisi (Kridalaksana, 1978:38--40;
1984:69). Secara struktural, hubungan itu diwujudkan melalui
makna (semantis) antarkalimat di dalam wacana itu. Hubungan itu
dapat ditandai secara leksikal, tetapi dapat juga tidak.
H

Hubungan Pengulangan

Hubungan Pengulangan atau Kata Kunci


Pengulangan itu perlu dilakukan dengan berhati-hati agar
susunan teks tidak terasa asing.
Dodol durian merupakan produk terampil para ibu rumah
tangga. Untuk membuat dodol durian, diperlukan tepung, gula,
santan, dan tentu saja buah durian yang matang. Membuat dodol
(durian) itu biasanya menjadi pekerjaan sampingan. Oleh sebab
itu, para perajin melakukannya setelah mereka menyelesaikan
pekerjaan utama atau jika mereka memiliki waktu luang. Dodol
(durian) itu biasanya untuk keperluan mereka sendiri, tetapi bisa
juga dijual. Dodol durian dapat dikemas dengan rapi dalam ukuran
kecil atau sedang sehingga (dodol durian) menjadi ringan, mudah
dibawa, dan bisa dijadikan oleh-oleh. Ternyata, dodol durian bisa
juga menambah penghasilan.

Hubungan Pembandingan (Komparasi)


Pembandingan digunakan untuk menunjukkan berbagai
hubungan, seperti diperinci berikut ini.
a. Hubungan pembandingan biasa
1) Hubungan pembandingan ditandai oleh salah satu bagian
menyatakan pembandingan bagi bagian lainnya, seperti sama
dengan itu, dalam hal yang demikian, sehubungan dengan itu;
2) Hubungan pembandingan kontras, mengacu pada sesuatu
yang sedang dibicarakan, unsurnya bisa generik karena
identitasnya sama, misalnya seperti, sama dengan, dan identik;
3) Hubungan pembandingan kemiripan, misalnya sama, seperti,
tambahan, demikian pula, dan begitu juga halnya dengan;
4) Hubungan pembandingan perbedaan, misalnya berbeda dari,
lain halnya dengan, sedangkan, tidak seperti;
H

5) hubungan pembandingan spesifik, misalnya lebih banyak,


kurang lebih, kira-kira, lebih kurang, lebih dekat, dan lebih jauh.
b. Hubungan Ibarat.
Hubungan ibarat ditandai oleh salah satu bagian kalimat
memberikan ibarat atau perumpamaan untuk memperjelas bagian
lainnya.
c. Hubungan waktu, seperti sementara itu, segera setelah itu,
beberapa saat kemudian.
d. Hubungan tempat, seperti berdekatan dengan itu, tidak jauh
dari situ.
e. Hubungan sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat ditandai oleh bagian yang satu
menyatakan sebab dan bagian yang lain menjadi akibat.

f. Hubungan Sarana-Hasil
Hubungan ini ditandai oleh salah satu bagiannya menjawab
pertanyaan: "Mengapa itu dulu bisa dicapai?" (padahal, tujuan
sudah tercapai)
g. Hubungan alasan-sebab
Hubungan ini ditandai oleh salah satu bagiannya menjawab
pertanyaan, "Apa alasannya?" Konjungsi yang digunakan untuk
itu, misalnya karena.
h. Hubungan pertentangan, perlawanan
Pada hubungan pertentangan perlawanan, bagian kedua
merupakan perlawanan terhadap implikasi dari bagian pertama.
Konjungsi yang digunakan, misalnya Sebaliknya, Akan tetapi,
Namun, Padahal, Walaupun demikian, Walaupun begitu,
Meskipun begitu, Meskipun demikian, bagaimanapun, walaupun
demikian, sebaiknya, meskipun begitu, lain halnya .

Teks, Nonteks, Koteks, Konteks, dan Tekstur


Banyak orang yang keliru memahami istilah teks dan wacana.
Teks lebih dekat maknanya kepada bahasa tulis, sedangkan
wacana lebih dekat kepada bahasa lisan. Oleh karena itu, secara
umum, teks selalu dipahami sebagai naskah tertulis, bukan
naskah lisan. Dalam tulis-menulis, teks bersifat monolog dan tidak
interaktif (pembaca tidak spontan bereaksi), tetapi wacana
bersifat dialog dan interaktif (pendengar bisa spontan bereaksi).
Teks dapat bisa sejajar dengan naskah atau tulisan yang berisi
materi tertentu, seperti teks/naskah kuliah dan teks/naskah pidato
(tidak ada naskah lisan).

Teks merupakan esensi wujud bahasa. Artinya, teks


direalisasikan (dituliskan atau diucapkan) dalam bentuk wacana
dan lebih bersifat konseptual (Nababan, 1987:64). Atas dasar itu
muncullah pemahaman mengenai teks lisan dan teks tertulis,
yang keduanya sepadan dengan istilah wacana lisan dan wacana
tertulis.

Meskipun teks yang dituliskan seakan-akan terdiri atas kata dan


kalimat, sebenarnya sebuah teks membawa sejumlah makna
yang menyatu. Karena sifatnya sebagai satuan makna itulah, teks
harus dipandang dari dua sisi secara bersamaan, yakni dari sisi
hasil (produk) dan dari sisi proses (Halliday dan Hassan,
1976:10). Teks dianggap sebagai hasil karena teks menjadi
keluaran (output), yang dapat direkam dan dipelajari, memiliki
susunan tertentu, dan dapat dijabarkan ke dalam istilah yang
bersistem. Teks dianggap sebagai proses karena teks merupakan
suatu proses pemilihan makna yang berlangsung terus-menerus
(dari awal sampai akhir wacana) sampai terjadi satuan makna
yang utuh dan selesai.

Berkaitan dengan teks, dikenal pula istilah koteks (co-text)


atau teks yang mendampingi, teks yang koordinatif karena teks
yang hadir di ruang hampa. Teks yang mendampingi itu memiliki
kaitan dengan teks yang didampinginya. Teks yang didampingi
bisa terdapat di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi)
teks yang mendampingi. Perhatikan teks yang terdapat di ujung
kota berikut ini.
a. Terima kasih. Selamat jalan.
b. Selamat datang. Nikmatilah berbagai makanan laut di
kota kami.

Karena pada dasarnya merupakan wujud nyata komunikasi


verbal, wacana selalu mengandaikan adanya addressor (orang
pertama atau O1, yakni pembicara, penulis, penyapa, penutur)
dan addresse (orang kedua atau O2, yakni pasangan bicara atau
pendengar, pembaca, petutur). Keterpahaman terhadap tuturan
antara adressor (O1) dan adresse (O2) akan sangat bergantung
pada latar belakang (budaya dsb.) dan kemampuan O1
menyampaikan maksud (intensionalitas) dan kemampuan
penerimaan (akseptabilitas) O2 terhadap tuturan yang kontekstual
itu. Itulah sebabnya sebuah wacana dapat dipahami oleh adresse
tertentu, tetapi belum tentu dapat dipahami oleh yang lain.

Konteks wacana merupakan bagian dari suatu uraian (bisa


kalimat dsb.) yang mendukung atau menambah kejelasan
makna. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, seperti
situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran (Moeliono et al.,
1988). Unsur-unsur itu memiliki hubungan yang erat dengan
unsur lain, seperti latar dan suasana, peserta, amanat, hasil, cara,
sarana, norma, dan jenis, yang disingkat menjadi SPEAKING,
yang terdiri atas S(etting and scene), P(articipant), E(nd), A(ct
squence), K(ey), I(nstrumentalities), N(orm), G(enre) (Hymes,
1972).

Perhatikan proses berlangsungnya tuturan (language event)


berikut ini.
Pembicara (O1) memiliki gagasan (yang belum
diucapkannya), gagasan itu diwujudkannya ke dalam kode
(encoding) yang berupa bahasa (kata, kalimat dsb.), kemudian
kode itu diucapkannya (fonasi). Kode yang terucapkan itulah yang
secara formal disampaikannya kepada orang diajaknya berbicara
(O2). Kemudian, O2 membaca kode-kode itu (decoding) karena
telah diucapkan atau dituliskan, menyimak (audisi), kemudian
memahami kode. Lihat ringkasan berikut.
O1: punya gagasan beri kode ucapkan atau tuliskan
O2: baca kode simak kode pahami kode
Semua yang menjadi lingkungan terjadinya komunikasi disebut
konteks.

Ada yang mengatakan bahwa konteks terjadinya percakapan


dapat dibagi menjadi
a)konteks linguistik (linguistic context), berupa kalimat dalam
percakapan;
b) konteks epistemik (epistemic context), yakni latar belakang
pengetahuan yang diketahui bersama oleh partisipan;
c) konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya
percakapan, objek dalam percakapan, dan tindakan para
partisipan;
d) konteks sosial (social context), berupa relasi sosio-kultural
yang melengkapi hubungan di antara partisipan.

Konteks Latar (S, setting)


Konteks latar (setting) bersifat fisik dan meliputi tempat (ruang)
dan waktu atau tempo terjadinya tuturan. Latar suasana
merupakan latar yang mengacu pada suasana psikologis yang
menyertai tuturan.
Ibu : Bangun, sayang. Udah ada matahari, tuh. Ayo, bangun,
nanti Adek kesiangan.
Adek: Nanti, Ma, lima menit lagi. Adek ngantuk banget.

Konteks Peserta (P, partisipant)


Partisipan dalam berkomunikasi langsung ataupun tidak langsung
terdiri atas pembicara atau penulis (penyapa) dan pendengar atau
pembaca (pesapa). Yang berkaitan dengan partisipan ialah status
sosial, usia, latar belakang pendidikan, pengalaman, serta
hubungan di antara mereka, baik secara hubungan pribadi
maupun dinas. Berdasarkan pengalaman bergaul dengan para
anggota masyarakat, kita dapat memahami ujaran berikut.
[Ketika dua orang mengobrol di dekat ruang ujian,
A memperingatkan]:
A: Maaf, Dik, di sini masih ada ujian.

Konteks Hasil (E, ends)


Hasil berupa tanggapan atas suatu pertuturan. Hasil itulah
yang diharapkan penutur dan menjadi tujuan akhir percakapan.
Misalnya, seorang dosen memberikan kuliah Fungsi awalan
meng- dalam bahasa Indonesia kepada mahasiswa S-1 Jurusan
Bahasa Indonesia semester akhir. Kuliah itu bisa mencapai
tujuan, tetapi bisa juga tidak karena hal itu amat bergantung pada
penyampaian pengajar dan penerimaan atau tanggapan
mahasiswa (peserta percakapan) ketika menerima kuliah itu.
Tidak semua bahan dan tujuan yang baik dapat berhasil baik.

Konteks Pesan atau Amanat (A, act)


Pesan (amanat) mengacu pada bentuk dan isi tuturan. Dalam
kajian pragmatik, bentuk pesan meliputi lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. Bentuk amanat, misalnya esai, cerita, pengumuman,
iklan, undangan, surat, dan pengumuman. Perhatikan perbedaan
antara bentuk dan isi amanat berikut.
Perhatian, perhatian! Para penumpang tujuan Bandar Lampung
harap segera naik ke pesawat melalui pintu satu.

Konteks Cara (K, key)


Konteks cara mengacu pada cara, nada, sikap, atau semangat
ketika melakukan percakapan, misalnya percakan dengan
bersemangat menyala-nyala, dengan sedih, dengan riang,
dengan santai, akrab, atau dengan sangat meyakinkan pihak lain.
Kemudian, apakah informasi disampaikan dengan lisan, tertulis,
surat, radio, dsb. Pembicaraan akan berbeda jika disampaikan
dengan nada serius, humoris, sinis, sarkastis, rayuan, dll.

Konteks Sarana (I, instrument)


Sarana atau media mengacu pada apakah seseorang berbahasa
lisan atau tertulis dan mengacu pada variasi bahasa. Berdasarkan
pemakaiannya, akan didapatkan, misalnya percakapan ragam
tulis resmi dan percakapan ragam tulis tidak resmi.

Konteks Norma (N, norms)


Norma mengacu pada aturan yang membatasi tuturan.
Misalnya, apa saja yang boleh dibicarakan, apa saja yang tidak
boleh dibicarakan pada suatu kesempatan, bagaimana cara
membicarakannya (dengan halus, kasar, baik, terbuka, tertutup,
bersungguh-sungguh, atau bergurau).
Dalam pertemuan ceramah, misalnya, pendengar
cenderung diam, hanya mendengarkan atau tidak mendengarkan
ceramah, ada-tidak ada tanya jawab. Keadaan itu berbeda dari
pertemuan diskusi, peserta diskusi aktif menyampaikan
tanggapan, komentar, kritik, ataupun argumentasinya.

Konteks Jenis (G, genre)


Yang dimaksud dengan konteks jenis ialah jenis atau
bentuk wacana, yang langsung menunjuk pada kategori wacana
yang disampaikan. Misalnya, sebuah wacana termasuk kategori
pantun, cerita, teka-teki, novel, karya ilmiah, bahan kuliah, pidato,
doa, atau dialog. Perhatikan, termasuk jenis wacana apakah ini?
empat kali empat
enam belas
sempat tidak sempat
harap (surat ini) dibalas

Tekstur Wacana
Di dalam teks terdapat tekstur, yakni hubungan semantis di
antara setiap pesan yang ada di dalam teks. Tekstur hadir karena
adanya hubungan kohesif di antara kalimat pembangun teks.
Karena hubungan kohesif itulah, setiap unsur di dalam wacana
dapat diidentifikasi berdasarkan hubungannya dengan unsur lain.
Tekstur berkaitan dengan pengetahuan atau pemahaman
pendengar atau pembaca mengenai pertalian makna (semantic
coherence) (Halliday dan Hasan, 1976:2). Untuk memperjelas
konsep itu, mereka memberikan dua buah contoh berikut.

(12) (a) Once upon a time there was a little girl


and she went out for a walk
and she saw a lovely little teddybear
and so she took it home
and when she got home she washed it.
(b) He got up on the buffalo
I have booked a seat
I have put it away in the cupboard
I have not eaten it.

Contoh (a) memiliki kesinambungan makna, tetapi contoh (b)


tidak. Kesinambungan makna itulah yang menyebabkan (a)
memiliki tekstur. Karena tidak memiliki kesinambungan makna,
rentetan kalimat contoh (b) tidak memiliki tekstur.
Pada contoh (a), she selalu hadir mengacu ke a little girl,
sedangkan it selalu mengacu ke a lovely little teddybear. Artinya,
she memiliki referen yang sama dengan a little girl, tetapi it
berkoreferen dengan a lovely little teddybear. Padahal, dalam
contoh (b), it tidak memiliki referen yang sama dengan bagian
mana pun juga.

Klasifikasi Wacana
Nida (1969) mengelompokkan wacana atas dasar
hubungan antarunsur di dalam wacana itu sendiri.Ia
mengelompokkan wacana seperti berikut.
a. Wacana naratif. Wacana ini ditandai oleh banyaknya
peristiwa dan tindakan, serta adanya hubungan waktu
(tempo) di antara peristiwa itu.
b. Wacana deskriptif. Wacana ini ditandai oleh
banyaknya hubungan ruang (spatial), antara objek dan
objek serta oleh banyaknya abstraksi.
c. Wacana argumentatif. Wacana ini ditandai oleh
adanya hubungan sebab-akibat yang masuk akal (logis).

Menurut Nida, perlu diperhatikan hal berikut.


1) Ada wacana yang berstruktur jelas sehingga struktur
hampir seperti formula.
2) Setiap bahasa memiliki karakter sendiri di dalam
menunjukkan hubungan internal wacana atau hubungan
antarwacana.
3) Hubungan itu bisa menyangkut waktu, ruang, atau
sebab akibat.
4) Biasanya wacana memiliki penanda yang
menunjukkan identifikasi setiap pelaku peristiwa, penanda
untuk menonjolkan atau mengabaikan sesuatu (hal,
peristiwa, tindakan, pelaku, dll.), serta penanda yang
menunjukkan terlibat-terlibatnya penulis pada pokok
pembicaraan.

Wacana menurut Eksistensinya


Dari segi eksistensi atau kenyataan (realitasnya), wacana
dapat dibagi menjadi wacana verbal dan wacana nonverbal.
Wacana verbal harus menghadirkan bahasa (language exist)
dengan mengacu pada kelengkapan struktur internal wacana
itu sendiri. Sebaliknya, rangkaian wacana nonverbal (language
like) tidak mengharuskan hadirnya bahasa.

Jenis wacana yang mengacu pada wacana nonbahasa


atau wacana nonteks, misalnya isyarat dan tanda. Wacana
nonbahasa yang berupa isyarat, seperti gerak tangan, gerak
kepala, gerak mata, gerak bibir, gerak kaki, gerak bahu, dan
gerak tubuh. Wacana nonbahasa berupa tanda, seperti tanda
atau rambu lalu lintas serta tanda selain tanda dan rambu itu.
Selain tanda dan rambu lalu lintas, terdapat, misalnya suara
azan, suara kentungan, suara sirine (untuk menandai bahaya
atau tanda untuk memulai sesuatu), dan suara terompet.

Realitas makna tanda dari bunyi atau suara diwujudkan


dan disepakati oleh masyarakat pendukungnya. Bisa saja
bunyi, suara, atau tanda yang sama memiliki realitas makna
berbeda pada masyarakat yang berbeda. Misalnya, pada
masyarakat tertentu menggelengkan kepala untuk menandai
tidak atau tidak setuju, tetapi pada masyarakat yang lain
untuk menandai ya atau setuju.

Wacana menurut Jumlah Penuturnya


Berdasarkan jumlah penutur yang berperan di dalamnya,
wacana dapat dibedakan menjadi wacana monolog, wacana
dialog, dan wacana polilog. (Halim, 1969:70; Dardjowidjojo,
1986). Wacana monolog dapat berupa pidato, khutbah, berita
radio dan televisi, serta cerita anak kepada orang tuanya, atau
sebaliknya. Wacana dialog dicirikan oleh adanya informasi
timbal balik di antara penutur dan pendengar. Wacana polilog
memungkinkan terjadinya pertukaran informasi tiga jalur atau
lebih (Halim, 1969:70).
Wa

Menurut Dardjowidjojo, di dalam wacana monolog


pembicara boleh terus berbicara (penulis boleh terus menulis)
karena ia tidak perlu memerhatikan tanggapan verbal
pendengar atau pembacanya.
Wacana dialog melibatkan dua orang atau dua pihak, yakni
pembicara dan pendengar (penulis dan pembaca). Oleh karena
itu, pembicara di dalam wacana dialog harus menyimak
tanggapan verbal dari yang diajaknya berbicara agar
keterkaitan kalimat dalam pasangan berdampingan (adjacency
pair) betul-betul diperhatikan (Dardjowidjojo, 1986:93).
Wacana polilog melibatkan banyak orang atau banyak
pihak.

Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh satu


orang. Biasanya wacana monolog tidak menyediakan waktu
untuk respons pendengar ataupun pembaca. Penuturannya
berlangsung satu arah, dari penuturnya saja. Contoh wacana
monolog ialah orasi, ceramah, khutbah, dan pidato
pembacaan berita di TV ataupun radio, dan pembacaan puisi.
Dalam kenyataannya, wacana monolog lisan, seperti orasi,
ceramah, khutbah, dan pidato sering diselingi pertanyaan,
misalnya ketika penutur meminta persetujuan, dukungan, atau
ketidaksetujuan pendengar. Cara itu dipakai penutur untuk
berinteraksi dengan pendengarnya. Ketika terjadi pertanyaan,
wacana itu telah berubah menjadi wacana semimonolog.

Dari segi sarana atau media komunikasinya, wacana terdiri


atas wacana lisan (spoken discourse) dan wacana tertulis
(written discourse).
Wacana lisan dapat berupa rangkaian percakapan
(tuturan) yang utuh dan selesai (dari awal sampai akhir),
seperti dialog ekonomi, politik dsb. oleh para tokoh melalui
radio dan televisi atau obrolan yang utuh dan selesai di antara
orang-orang di warung kopi. Sebaliknya, wacana lisan dapat
juga berupa sepenggal percakapan (tuturan) atau percakapan
yang tidak selesai atau tidak lengkap (tidak dimulai dari awal;
mungkin dari awal, tetapi tidak sampai akhir)

Wacana yang utama (yang primer) itu justru wacana lisan


karena bahasa lebih dulu lahir lewat mulut (lisan). Wacana
lisan dapat menjadi objek kajian pertama dan utama wacana,
sedangkan wacana tulis sering dianggap rekaman (duplikasi)
wacana lisan.
Wacana lisan memiliki kelebihan jika dibandingkan
dengan wacana tulisan karena wacana lisan itu alami (natural),
langsung (ada aksi dan interaksi), mengandung unsur
suprasegmental, bersifat suprasentensial (di atas kalimat), dan
berlatar belakang konteks situasional.

Kelebihan itu memang merupakan ciri alami wacana lisan


sebab ketika wacana itu tercipta, secara alami pula tersedia
di sekelilingnya sejumlah perangkat nonbahasa yang tidak
tampak (tidak eksplisit). Perangkat itu ada dan sangat
berpengaruh pada makna dan keutuhan wacana, misalnya
gerak tubuh (kinesik), perubahan raut wajah, dan aspek
suprasegmental (lagu, tekanan, intonasi, nada). Perangkat
yang tidak tampak atau tidak eksplisit itu tidak terdapat pada
wacana tulis.

Wacana tulis (written discourse) masih sangat efektif untuk


menyampaikan berbagai gagasan, pesan, wawasan, pengetahuan, atau apa pun hasil kreativitas manusia. Wacana tulis
sering dianggap sama dengan teks atau naskah. Pada kajian
wacana, teks atau naskah kurang diperhatikan dan sering
dianggap hanya berkaitan dengan huruf (grafem). Padahal,
gambar, lukisan, tabel, dan ilustrasi juga menjadi bagian
wacana tulis karena wacana dapat diwujudkan dalam bentuk
kata, kalimat, paragraf, atau karangan yang utuh yang
berisikan amanat yang lengkap (Kridalaksana, 1984: 208).

Wacana tulis dapat berupa


a. teks bahan tertulis yang dapat berupa satu atau sejumlah
paragraf yang mengungkapkan sesuatu secara runtut dan
bersistem, seperti surat, artikel, novel, atau karya ilmiah;
b. satu paragraf (apabila wacana itu memang hanya terdiri atas
satu paragraf);
c. satu wacana yang mungkin dibentuk oleh sebuah kalimat
majemuk koordinatif, subordinatif, atau kalimat majemuk elipsis
(menghilangkan bagian tertentu).

Berdasarkan sifatnya, wacana dibagi menjadi wacana fiksi


dan wacana nonfiksi. Wacana nonfiksi atau wacana ilmiah
adalah wacana yang didasarkan pada pola, cara, dan metode
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Bahasanya denotatif, lugas, dan jelas, dan tidak terlalu
mementingkan estetika sebab yang paling penting ialah
kebenaran isi. Penyampaiannya boleh dengan contoh atau
ilustrasi, jangan mengabaikan kaidah gramatika. Contoh
wacana nonfiksi ialah laporan hasil penelitian, naskah bahan
kuliah, dan petunjuk penggunaan komputer. Perbedaan
mencolok antara bahasa wacana fiksi dan wacana nonfiksi
adalah segi diksi dan gaya penyampaian.

Bentuk dan isi wacana fiksi berorientasi pada imajinasi.


Biasanya, tampilan dan bahasanya mengandung keindahan
(estetika). Mungkin sekali wacana fiksi berisi fakta atau
kenyataan, tetapi gaya penyampaiannya indah. Walaupun
begitu, karya semacam itu tetap tergolong karya fiktif karena
proses penciptaan dan sifatnya memang fiktif. Bahasanya
konotatif, analogis, dan multiinterpretatif karena pada
umumnya berdasarkan asas kebebasan berpuisi (licentia
puitica) dan kebebasan bergramatika (licentia gramatica).
Wacana fiksi dapat dibagi menjadi wacana prosa, wacana
puisi, dan wacana drama.

Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan atau


ditulis dalam bentuk prosa. Novel, cerita pendek, artikel,
makalah, buku, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, dan
beberapa bentuk kertas kerja dapat digolongkan sebagai
wacana prosa.
Wacana puisi dituturkan dalam bentuk puisi. Bahasa dan
isinya berorientasi pada keindahan. Puisi, lagu, tembang, dan
balada merupakan contoh wacana puisi.
Wacana drama disampaikan dalam bentuk drama.
Biasanya, drama berbentuk percakapan atau dialog.

Menurut pemaparannya, wacana dibagi menjadi wacana


naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, epistoleri, dramatik,
seremonial, dan wacana doa.
Wacana naratif adalah wacana yang
menggambarkan dan menceritakan sesuatu dengan sejelasjelasnya kepada pembaca tentang urutan peristiwa yang
terjadi pada suatu waktu. Unsur terpenting di dalam wacana
naratif ialah tindakan atau laku perbuatan. Unsur itulah yang
dipaparkan dengan seterang-terangnya sehingga ketika
membacanya, pembaca seakan-akan melihat, bahkan serasa
mengalami sendiri apa yang dipaparkan itu.

nya w acana ini dimulai oleh alinea pembuka, isi, dan diakhiri dengan alinea penutup.

pembaca. Wacana narasi sugestif menyajikan suatu peristiwa pada waktu tertentu sehingga memberikan makna tersirat atau tersurat, d

Ada wacana naratif yang sugestif dan wacana naratif yang


ekspositoris. Wacana naratif biasanya dihubungkan dengan
cerita. Wacana naratif sugestif atau narasi imajinatif
menyajikan rangkaian peristiwa dengan cara begitu rupa
sehingga wacana itu dapat merangsang daya khayal
(imajinasi) pembaca. Wacana narasi sugestif menyajikan
suatu peristiwa pada waktu tertentu sehingga memberikan
makna tersirat atau tersurat, dan cenderung menggunakan
bahasa figuratif dengan menampilkan kata-kata konotatif.
Wacana narasi sugestif dapat berbentuk fiksi, seperti
dongeng, cerpen, novel, dan roman.

Dongeng, cerpen, novel, dan roman dapat pula


merupakan bentuk wacana naratif fiktif jika memilki
kekhasan pada alur dan suspensi, latar dan waktu, tokoh
dan karakter, sudut pandang, dan makna yang terkandung
di dalamnya.

Wacana narasi ekspositoris bersifat nonfiktif, yang


bersebalikan dengan wacana narasi sugestif. Wacana
ekspositori
memaparkan,
memberitahukan,
atau
menjelaskan sesuatu secara informaI, apa adanya, tidak
memaksa pembaca untuk menerima atau menolak isi
paparan. Oleh karena itu, wacana ini biasanya disajikan
dengan bahasa denotatif dan rasional. Tujuannya ialah untuk
menambah
pengetahuan
pembaca,
bukan
untuk
menimbulkan imajinasi. Diharapkan setelah membaca
wacana itu, wawasan pembaca dapat bertambah luas.

Wacana narasi ekspositoris memberikan pengetahuan


atau informasi mengenai suatu peristiwa. Tulisan tentang
sejarah, biografi, dan otobiografi, misalnya, merupakan
contoh wacana naratif yang menjelaskan kejadian atau
peristiwa yang berkenaan dengan riwayat hidup atau
pengalaman hidup seseorang atau kelompok orang. Contoh
lainnya ialah wacana ilmiah atau artikel dan wacana tentang
pembentukan informasi, tips, atau opini. Pemaparan tentang
sesuatu itu diharapkan memberikan manfaat kepada
pembaca. Wacana ekspositori dapat berupa ilustrasi yang
disertai contoh, identifikasi, komparasi, atau uraian yang
kronologis demi tercapainya pemahaman yang baik
mengenai isi wacana itu.

Wacana argumentatif bertujuan memengaruhi sikap


ataupun pendapat pendengar atau pembaca. Wacana itu
berisikan fakta yang disusun demikian rupa sehingga dapat
diketahui apakah fakta itu benar atau tidak. Wacana
argumentatif menggunakan logika sebagai alat bantu utama
dalam menyelidiki masalah yang dikemukakan, apa yang
menimbulkan masalah, apa tujuan menyelidiki, apa maslahat
dan mudaratnya, dan bagaimana mengatasinya. Semua itu
dipaparkan dengan argumentasi yang kritis dan teratur.

Wacana argumentatif memiliki bagian pendahuluan, bagian


isi, dan bagian simpulan. Pendahuluan membicarakan apa
persoalan itu, bagaimana latar belakang historis, apa
hubungannya dengan persoalan yang dibahas. Penulis harus
menetapkan dengan tepat titik tidak sepakatnya dengan apa
yang diargumentasikan itu. Bagian isi atau bagian tubuh
argumen memuat bahasan masalah dengan menyajikan fakta
yang dapat diuji kebenarannya dengan metode induktif,
deduktif, analogi, atau metode ilmiah lainnya. Bagian
simpulan berisikan simpulan pembahasan. Simpulan harus
berdasarkan tujuan utama pembahasan.

Wacana deskripsi mengekspresikan sesuatu dengan


bahasa. Lewat deskripsi itu diharapkan pembaca dapat
memahami apa yang terdapat pada pikiran penulis. Wacana
yang berisi gambaran atas sesuatu seperti apa adanya,
sesuai dengan kenyataan disebut wacana deskriptif. Penulis
hanya memotretkan keadaan itu untuk pembaca melalui
tulisannya karena ia ingin agar pembaca memperoleh
pengalaman dan pengetahuan dari potret itu.

Yang
menonjol
pada
wacana
deskriptif
ialah
penggambaran objek seperti apa adanya, misalnya tentang
ciri, sifat, atau hakikatnya, sehingga pembaca bisa mengenali
objek yang dimaksudkan penulis. Jika penulis menggambarkan sesuatu dengan objektif (sesuai dengan
kenyataan), wacana yang dihasilkannya disebut wacana
deskriptif realistis. Akan tetapi, jika wacana yang
dihasilkannya menggambarkan sesuatu dengan subjektif dan
penulis turut menginterpretasikannya, wacana yang dihasilkannya disebut wacana deskriptif impresionistis atau
gambaran sesuai dengan subjektivitas penulis.

Berdasarkan ranah serta substansi yang dikemukakannya,


wacana dapat dibagi menjadi wacana politik, wacana sosial,
wacana budaya, wacana ekonomi, wacana militer, wacana
hukum dan wacana kriminalitas. Wacana yang berkembang
dan digunakan secara khusus dan hanya terbatas pada
bidangnya saja disebut register. Jadi, register adalah wacana
yang hanya digunakan di lingkungan dan kelompok dengan
nuansa tertentu.

Pada wacana ekonomi, terdapat beberapa register dan setiap


register memiliki kekhasan sendiri. Banyak kata dan istilah yang
hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Persaingan pasar,
biaya produksi, biaya tinggi, konsumen, inflasi, devaluasi, indeks
harga saham gabungan, dan uang kartal adalah contoh kata
atau istilah di bidang ekonomi.

Wacana sosial tentu berkait dengan kehidupan sosial dan


kehidupan sehari-hari. Sulit untuk mengatakan persoalan apa
yang tidak termasuk persoalan sehari-hari. Persoalan pangan,
papan, pendidikan, pernikahan, kematian, perceraian,
misalnya, merupakan contoh persoalan sosial.

Banyak orang memandang politik sebagai suatu bidang yang


penuh siasat, strategi, trik, dan taktik. Bahkan, ada yang
menganggapnya sebagai bidang yang penuh tantangan dan
keberanian. Bagaimanapun juga bidang politik melahirkan
istilah dan jargon politik yang maknanya lebih dipahami oleh
mereka yang berada di lingkungan itu.

Hingga saat ini wacana militer hanya dipakai dan berkembang


di bidang militer. Nama instansi militer, nama dokumen, bahkan
birokrasi kepangkatan ataupun komunikasi di bidang militer sering
menggunakan istilah yang hanya dikenal di kalangan militer.
Istilah ataupun nama itu pada umumnya berbentuk singkatan dan
akronim. Contohnya, koramil (komando rayon militer),
Kemhankam (kementerian pertahanan dan keamanan), Ietjen
(letnan jenderal), opsmil (operasi militer), wamil (wajib militer),
desersi, intel (inteligen), pamen (perwira menengah), prada
(pajurit dua), dan ditbekangad (direktorat perbekalan angkatan
darat).

Kata, nama, ataupun istilah itu umumnya hanya dikenal dan


digunakan di bidang militer. Munculnya singkatan atau akronim
baru di dunia militer biasanya berkait langsung dengan munculnya
kebijakan atau putusan baru, munculnya lembaga, pekerjaan,
ataupun tugas baru. Mungkin dasar kerja yang harus serba cepat,
rahasia, disiplin, loyal, hierarkis, serta harus mengikuti garis
komando yang sudah jelas dan tahan uji menjadi alasan mengapa
militer harus mengekspresikannya dalam bentuk singkatan dan
akronim. Wacana militer banyak berkaitan langsung dengan
bidang pertahanan negara.

Wacana budaya berkaitan dengan aktivitas budaya. Wilayah


wacana budaya berkaitan dengan wilayah 'kebiasaan atau tradisi,
adat-istiadat, sikap hidup, tata cara, dan hal-hal yang
membudaya dalam kehidupan sehari-hari'. Semua itu
menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan (sebagai lambang
aktivitasnya), yang kemudian ada yang disebut wacana budaya.
Wujud aktivitas budaya pada umumnya lebih dekat ke sesuatu
yang yang dilakukan manusia sehari-hari di lingkungannya.
Karena lingkungan yang dekat itu adalah daerah tempat
tinggalnya, budaya lebih bersifat daerah (lokal) dengan
menggunakan bahasa daerah. Hal itu bisa dimengerti karena
bahasa merupakan sarana pertama yang digunakan masyarakat
untuk mengekspresikan dirinya (budayanya).

Hipotesis Sapir-Whorf (sebagian ahli menyebut 'relativitas


bahasa') menyatakan bahwa bahasa berpengaruh terhadap
mental, perilaku, dan budaya manusia. Bahasa menjadi alat
pembentuk gagasan, yang memengaruhi pandangan penutur
terhadap dunia sekitarnya (Wardhaugh, 1992:218). Salah satu
tafsiran dari hipotesis tersebut ialah bahwa gagasan manusia
tentang realitas sosial budaya di sekitamya sangat dekat dengan
sistem bahasa yang dimiliki dan diujarkannya.

Bahasa menjadi kunci utama untuk memahami budaya


(Nababan, 1986:51). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan pola
hidup, sistem nilai, adat istiadat yang hidup dan berkembang di
tengah masyarakat, dapat dipahami dan dipelajari lewat bahasa.
Hubungan bahasa dan budaya bersifat timbal batik serta
bersinggungan. Bahasa menjadi representasi budaya dan budaya
membentuk dan mengendalikan bahasa.

Judul wacana olahraga Markus Jadi Tembok Beton bagi


Timnya tidak mungkin ditafsirkan dengan benar jika pembaca
tidak mengetahui dengan pasti siapa Markus, apa nama
Bahasa menjadi kunci utama untuk memahami budaya (Nababan, 1986:51). Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan pola
timnya,
dan
apa
dengan
tembok
hidup, sistem nilai, adat
istiadat
yangyang
hidup dandimaksudkan
berkembang di tengah masyarakat,
dapat jadi
dipahami
dan dipelajari beton
lewat bahasa.
Hubungan bahasa dan budaya bersifat timbal batik serta bersinggungan. Bahasa menjadi representasi budaya dan budaya
bagi dan
timnya
dalam
membentuk
mengendalikan
bahasa. judul itu? Secara harfiah, Markus jadi
tembok beton bisa diartikan Orang yang bernama Markus
menjad tembok beton. Padahal, di bidang sepak bola, yang
dimaksud dengan tembok beton ialah menjadi penjaga
gawang yang amat tangguh supaya tidak kemasukan bola.
Karena hanya disebut satu nama, dapat diduga Markus adalah
seorang penjaga gawang. Judul wacana Markus Jadi Tembok
Beton bagi Timnya berarti Markus Jadi penjaga gawang yang
amat tangguh bagi timnya.

Dalam wacana olahraga jika pemain tengah suatu


kesebelasan tampil tidak meyakinkan, dia dikatakan pemaintengah yang mandul atau pemain-tengah yang ompong.
Dalam konteks sepak bola, istilah itu tidak berarti pemaintengah itu tidak mempunyai anak atau pemain tengah itu
ompong, tidak bergigi, tetapi 'pemain-tengah itu tampil
dengan tidak membawa manfaat maksimum karena ia tidak
pandai mengalirkan bola dengan baik dari pemain belakang
ke pemain depan. Makna itu diyakini benar apabila latar
(setting) terjadinya wacana tersebut dapat diketahui melalui
prinsip penafsiran lokal.

Dalam wacana kesehatan terdapat istilah penyakit jantung


ringan berarti penyakit jantung stadium awal (bukan: penyakit
yang jantung menjadi ringan atau jantung berkurang berat
timbangannya; nyeri lutut, gizi buruk (sering dianggap bentuk
halus dari busung lapar), plasenta, partusi, diabetes, flu burung,
dan glukoma.
Terserang penyakit gila anjing bukan berarti terserang
penyakit gila seperti anjing, melainkan terserang penyakit rabies
mungkin karena digigit anjing yang menderita rabies (penyakit
menular yang menyerang binatang berdarah panas, seperti
anjing, kera, dan serigala dan dari binatang itu bisa ditularkan
kepada manusia).

Wacana hukum dan kriminallitas dapat dikenali lewat pilihan kata


dan istilah serta gaya komposisi yang digunakannya. Misalnya,
dalam wacana hukum terdapat istilah pelaku kejahatan, DPO
(daftar pencarian orang), vonis putusan akhir pengadilan, jaksa
penuntut umum (JPU), dan hakim. Di bidang hukum juga dikenal
istilah memutus, seperti memutus perkara (bukan: memutuskan).
Isi wacana hukum dan kriminallitas banyak berkaitan dengan
pekerjaan polisi, penegak hukum, dan dunia kejahatan atau
pelanggaran hukum dan gangguan keamanan masyarakat.

IkIan (advertising) ialah (a) berita pesanan untuk mendorong,


membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan/atau
jasa yang ditawarkan; (b) pemberitahuan kepada khalayak
mengenai barang atau jasa yang dijual dengan menggunakan
media nonpersonal. Iklan merupakan proses komunikasi yang
memiliki kekuatan penting sebagai sarana pemasaran, membantu
layanan, serta menyebarluaskan gagasan atau ide melalui media
tertentu dalam bentuk informasi persuasif. Bahasa iklan bertujuan
memengaruhi masyarakat agar tertarik pada apa yang diiklankan,
kemudian membelinya (produk).

Wacana berita, seperti wacana di TV dan radio, termasuk jenis


wacana tertulis. Wacana tertulis yang dibaca oleh penulisnya
bersifat visual, tetapi wacana tulis yang dilisankan ataupun yang
dibacakan orang lain bersifat auditif. Teks berita yang baik
dimulai dari pokok terpenting, baru kemudian diikuti oleh bagianbagian kurang penting (seperti segitiga terbalik). Esai, wacana
ilmiah, drama, atau fiksi dimulai dari yang bukan pokok, lalu
diakhiri dengan hal atau pikiran yang pokok (Warren, 1955).

Wacana hortatori (wacana persuasif) berdasarkan prinsip


bahwa pikiran manusia dapat dipengaruhi, bahkan dapat diubah.
Oleh karena itu, pikiran manusia dipersuasi agar terpengaruh
untuk berubah. Wacana ini berisi ajakan atau nasihat, dapat
berupa ekspresi dsb., untuk memengaruhi atau meyakinkan orang
lain dengan cara membujuk (mempersuasi) untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, bisa sekarang atau bisa juga nanti.
Untuk itu, penulis harus memiliki kredibilitas dan kemampuan
untuk memikat pembaca dan harus ada bukti yang cukup untuk
meyakinkan pembaca.

Wacana dramatik berisi percakapan di antara penutur. Wacana


jenis ini harus menghindari atau mengurangi sifat naratif.
Contoh wacana dramatik ialah skenario film atau sinetron,
naskah drama pentas, seperti wayang orang dan ketoprak.

Wacana epistoleri ialah wacana dalam bentuk suratmenyurat. Pada umumnya wacana ini memiliki bentuk dan
sistem yang lazim digunakan atau sesuai dengan aturan.
Biasanya wacana ini terdiri atas paragraf pembuka, paragraf
isi, dan paragraf penutup.

Wacana seremonial digunakan dalam upacara (seremoni).


Karena berkaitan dengan konteks dan suasana seremoni, wacana
ini hanya digunakan pada waktu upacara, misaInya pada waktu
upacara adat dan upacara bendera. Wacana ini pada umumnya
berkaitan dengan konteks sosial budaya yang melatarbelakanginya. Biasanya wacana ini terdiri atas paragraf pembuka,
paragraf isi, dan diakhiri dengan bagian penutup. Contoh wacana
seremonial ialah pidato pada upacara hari-hari besar, upacara
adat, atau upacara pernikahan.

Wacana doa digunakan ketika berdoa. Karena berkaitan


dengan konteks dan suasana doa, wacana ini hanya digunakan
ketika orang berdoa, baik berdoa sendiri-sendirii maupun berdoa
bersama-sama. Bentuk wacana ini pada umumnya sangat erat
kaitannya dengan konteks agama tertentu yang menjadi latar
belakangnya. Wacana ini bisa juga terdiri atas paragraf pembuka,
paragraf isi, dan diakhiri dengan pararaf penutup, misalnya doa
pada upacara hari-hari besar agama, doa ketika hendak makan,
atau pada upacara pernikahan.

Wacana prosedural menunjukkan prosedur atau menceritakan cara mengerjakan atau cara menghasilkan sesuatu.
Umumnya kalimat wacana prosedural berisi cara, syarat,
atau aturan yang harus dipenuhi agar sesuatu dilaksanakan
atau sesuatu bisa berhasil baik. Wacana prosedural bisa
berbicara tentang prosedur atau cara merawat, cara
membuat, cara menyimpan, cara menjaga, atau cara
menemukan sesuatu, misalnya tentang resep masakan, cara
merawat bayi, cara merawat tanaman, cara mengolah tanah,
atau memelihara kecantikan.

ANALISIS WACANA
Sampai dengan awal tahun 50-an, kajian tata bahasa
hanya terbatas pada kalimat. Pada tahun 1952, Zellig S.
Harris menyatakan rasa tidak puasnya terhadap kenyataan
tersebut.
Menurutnya, banyak persoalan yang tidak
tersentuh oleh gramatika. Ia lalu menulis dan memublikasikan artikelnya, Discourse Analysis, yang kemudian
dimuat oleh majalah Language Nomor 28:13 dan 474--494.
Dalam tulisan itu ia mengemukakan pentingnya mengkaji
bahasa secara komprehensif; tidak hanya terhenti pada
aspek internal-struktural. Aspek eksternal yang melingkupi
kalimat secara kontekstual justru penting dikaji demi
mendapatkan informasi yang jelas mengenai wacana itu.

Tampaknya, Harris melawan arus karena yang berkembang


di Amerika pada masa itu ialah strukturalis, yang
dikembangkan Bloomfield dan pengikutnya. Mereka tegastegas memisahkan kajian sintaksis dari kajian semantik dan
hal lain selain kalimat. Boas dan Sapir juga pernah mengkaji
bahasa dalam kaitannya dengan budaya dan masyarakat.
Namun, Bloomfield, ilmuwan yang sangat berpengaruh itu,
tetap pada ajarannya, yaitu kajian linguistik harus menelaah
bentuk dan isi bahasa, bukan yang lainnya. Akibatnya,
imbauan Harris untuk keluar dari kungkungan Bloomfiled dan
mengembangkan kajian linguistik kurang mendapat
tanggapan.

Di Inggris Firth (1935) menganjurkan agar para linguis


menelaah bahasa percakapan. Menurutnya, "di situlah bisa
ditemukan pemahaman yang lebih baik dan luas tentang
bahasa dan bagaimana bahasa beroperasi". Anjuran itu
mendapat tanggapan. Lahirlah analisis percakapan tentang
jual-beli yang dilakukan oleh Mitchell dalam komunitas di
Cyrenaica. Mitchell kira-kira semasa dengan Harris, tetapi ia
mengkaji percakapan (wacana lisan vs wacana tulis). Dalam
analisisnya, Haris tidak secara tegas melibatkan konteks
sosial, tetapi Micthell justru dengan sengaja memasukkan
konteks sosial. Lalu, di Eropa, terutama di Prancis, muncul
analisis wacana dengan ancangan semiotik strukturalis.

Di Amerika muncul pendekatan sosiolinguistik (pelopornya


Dell Hymes), antara lain mengkaji komunikasi percakapan
dan bentuk sapaan, yang kemudian berkembang menjadi
kajian wacana yang lebih luas. Minat dan hasil penelitian
sosiolinguistik terus bermunculan pada tahun 1960-an. Kajian
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan variasi stilistika
makin terbuka dan makin bersentuhan dengan faktor sosial.
Keadaan itu mendorong munculnya kajian wacana, yang
dianggap menjadi wadah persoalan fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan variasi stilistika. Muncullah kajian
bahasa yang lebih variatif, seperti filsafat bahasa dan
etnografi (Austin; Searle); etnografi komunikasi (Gumperz
dan Hymes); etnometodologi, dialektologi, atau analisis
percakapan (Harvey dan Erving); kajian psikolinguistik
(psikologi) dan intelegensia artifisial (Bartlett).

Analisis wacana sebagai disiplin ilmu, yang metodologinya


jelas dan eksplisit, baru benar-benar berkembang pada
awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana pun
terbit, misalnya oleh Stubbs (1983), Brown and Yule
(1983), dan van Dijk (1985). Analisis wacana terus
berkembang pada persoalan pokok seperti yang
dibicarakan sekarang, misalnya tentang wacana politik dan
wacana emansipasi wanita.

Analisis Wacana secara Hierarkis


Secara hierarkis, wacana dimulai dari tataran yang
lingkupnya paling kecil menuju ke tataran yang cakupannya
paling besar, yaitu dari fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan wacana. Oleh karena itu, analisisnya bisa
dimulai secara berurutan, yakni dari analisis fonologi (bunyi
bahasa) sebagai kajian awal
bahasa, kajian morfologi
(tentang bentuk dan proses morfologis kata), kajian sintaksis
(tentang kalimat dan tata kalimat), kajian semantik (tentang
makna dan perubahan makna), kajian pragmatik (tentang
pemakaian bahasa berkaitan dengan konteksnya) dan kajian
wacana (kajian tentang kata, kalimat, pemakaian wacana,
dan interpretasinya). Kajian wacana dianggap sebagai kajian
bahasa yang terlengkap karena mencakup kajian bahasa
yang ada di bawahnya.

Wacana dapat dianalisis dengan teknik analisis internal dan


eksternal. Analisis internal meliputi analisis teks dan koteks,
tema, topik, judul, aspek keutuhan wacana leksikal, gramatikal,
dan semantik, sedangkan analisis eksternal meliputi, misalnya
inferensi, presuposisi (praanggapan), implikatur, dan
pemahaman yang dalam tentang konteks yang menjadi latar
belakang terjadinya wacana.

JJika

ingin memahami sebuah wacana, tidak seluruh unit


harus dikaji karena analisis dapat saja hanya dilakukan
terhadap satu atau dua unsur yang memang dibutuhkan
untuk mencari kejelasan. Tinggi-rendahnya kualitas suatu
analisis wacana sama sekali tidak berkaitan dengan sedikitbanyaknya unit yang dianalisis. Kualitas analisis itu sangat
dipengaruhi oleh kemampuan linguistik analis serta teknik
dan metode analisis yang digunakannya.

Analisis wacana berupaya menginterpretasi ujaran yang


dihubungkan dengan konteks tempat diucapkannya ujaran itu.
Yang termasuk konteks ujaran ialah orang-orang yang terlibat
dalam interaksi, pengetahuan umum mereka mengenai dunia
wacana itu, kebiasaan dan adat-istiadat yang berlaku, dan
tempat ketika ujaran tersebut terjadi.

Pemahaman mengenai wacana memerlukan pengetahuan


tentang dunianya wacana itu atau tentang dunia, terutama
yang berkaitan dengan wacana itu dan pengetahuan
mengenai prinsip penting tentang wacana, antara lain, prinsip
penafsiran lokal dan prinsip analogi.

Prinsip Penafsiran Lokal


Penafsiran lokal (interpretasi lokal) menjadi dasar
menginterpretasi wacana. Caranya ialah mencari konteks
yang melingkupi wacana itu, yaitu wilayah, area, atau lokal
tempat terciptanya wacana. Konteks sangat bergantung
pada jenis wacana. Konteks lokal wacana tulis, misalnya,
ialah konteks di sekitar media yang digunakan oleh
wacana.
Perhatikan judul rubrik berikut.
(3) Suara Pembaca
Apa maksud judul itu? Pembaca mana yang boleh
bersuara di situ? Mengapa pembaca boleh mengirimkan
suaranya (berupa pendapat, keluhan dsb.) ke rubrik itu dan
mengapa orang lain suka membacanya? Apanya yang
menarik? Siapa yang dituju pengirim suara pembaca dan
apa saja yang menjadi harapan, kritik, atau protesnya?
Berbagai pertanyaan tentang judul akan dapat terjawab jika
pembaca mampu meginterpretasi judul itu dengan baik.

Pemahaman lokal atas apa yang ditemukan di sekitar


konteks juga dapat digunakan untuk menginterpretasi isi
wacana. Misalnya, judul sebuah rubrik Anggota DPR main
api dengan Tanjung Api-api? Terhadap judul itu muncul
pertanyaan, misalnya, apa itu Tanjung Api-api, di mana
letaknya, dan apa yang terjadi di sana? Apa yang dimakud
dengan main api dan apa hubungan anggota DPR dengan
Tanjung Api-api? Siapa saja anggota DPR yang main api
dan mengapa hal itu bisa terjadi? Semua pertanyaan itu
dapat dijawab jika pembaca memiliki pengetahuan dunia
yang memadai mengenai Tanjung Api-api dan apa saja
yang terjadi di sana yang ada kaitannya dengan anggota
DPR.

Jika sebuah wacana hadir lewat konteks tuturan lisan,


pendengar atau yang diajak berbicara harus melihat konteks
yang terdekat dengan hadirnya wacana itu. Misalnya, jika
seseorang akan mandi, dia akan pergi ke kamar mandi,
membawa handuk, sabun mandi, dan sikat gigi (jika alat
mandi belum tersedia di kamar mandi). Tidak mungkin
rasanya jika orang yang akan mandi membawa semua alat
mandi ke teras (kecuali teras dilengkapi kamar mandi.

Begitu juga jika pagi-pagi Ayah berkata


(4) Ayah: Tolong buatkan aku segelas kopi, Bu.
Dapat diduga bahwa kemungkinan besar permintaan itu
terjadi di rumah (bukan: di ruang tunggu dokter). Karena
memahami konteks lokal, Ibu segera ke dapur menyiapkan
gelas, sendok kecil, air panas, gula, dan kopi. Ibu tidak ke
ruang depan menyalakan lampu, lalu membaca koran.
Kesigapan Ibu pergi ke dapur dan menyedu kopi telah
menunjukkan pemahamannya terhadap wacana itu. Jika Ibu
pergi ke ruang depan, menyalakan lampu, lalu membaca
koran, hal itu dapat menjadi pertanda bahwa Ibu tidak paham
konteks lokal, salah dengar, atau Ibu tidak mau memenuhi
permintaan Ayah.

Prinsip Analogi
Prinsip analogi adalah prinsip memahami wacana yang
menganjurkan kepada siapa pun yang ingin memahami
wacana (tulis ataupun lisan) agar memiliki bekal pengetahuan
umum (pengetahuan dunia) yang memadai atau pengetahuan
yang luas tentang dunia. Anjuran itu tidak berlebihan, tidak
mengada-ada karena wacana merupakan kristalisasi dan
penyederhanaan dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Kristalisasi dan penyederhanaan itu disusun rapi, menyatu,
komprehensif, utuh, dan lengkap. Itulah sebabnya untuk
memahami dan menginpretasi wacana dengan benar, sangat
dibutuhkan bekal pengetahuan yang luas tentang dunianya
wacana tersebut.

Prinsip analogi mampu menjelaskan gejala bahasa yang


ada di sekitar kita. Jika hanya dengan analisis sintaksis, tentu
tidak akan dapat terjelaskan dengan baik tulisan kecil
(5) Pecah berarti membeli.
Tulisan itu biasanya terletak di rak barang keramik atau
barang pecah belah di toko (di supermarket). Tujuannya ialah
untuk mengingatkan pengunjung agar mereka berhati-hati
ketika menyentuh barang keramik.
Secara sintaksis kalimat itu terdiri atas subjek: pecah dan
predikat berarti membeli. Akan tetapi, dengan beranalogi pada
kenyataan jika barang keramik itu pecah, pengunjung yang
memecahkan harus mengganti dengan keramik yang sama
atau membayar ganti rugi sesuai dengan harga jual. Dengan
pengetahuan itu, kalimat Pecah berarti membeli dapat
dipahami dengan baik.

Wacana memang unik, banyak aspek yang melingkupinya,


yang sering tidak tampak, tetapi aspek itu ternyata benar
adanya.
Kadang-kadang di jalan-jalan kita menemukan tulisan
berikut.
(6) a. Berani ngetrek, cekek!
b. Hati-hati, ngebut, benjut.
c. Dilarang kencing (di sini), kecuali anjing.
Sebuah wacana tidak mungkin begitu saja muncul di
masyarakat tanpa latar belakang dan sebab yang jelas,
wacana tidak hadir di ruang hampa. Sebagai masyarakat yang
santun dan bertoleransi tinggi, mengapa dari mereka bisa lahir
wacana bernada mengancam seperti itu? Analisis gramatikal
internal atau analisis kalimat saja tidak akan dapat memahami
kalimat peringatan itu. Untuk itu, diperlukan prinsip analogi.

Secara sosial, ngetrek (melakukan kebut-kebutan atau


balap liar mobil, motor dsb.) menjadi suatu kebiasaan buruk
bagi sebagian remaja kota. Di banyak tempat, kebut-kebutan
liar dilakukan pada malam hari ketika penduduk kota sedang
lelap tidur. Hingar-bingar suara mesin mobil atau motor tentu
saja menganggu orang-orang yang sedang tidur itu. Biasanya
kalimat bernada mengancam itu merupakan puncak
kekesalan warga karena warga sudah berkali-kali memperingatkan para pengebut, tetapi peringatan itu sama sekali
tidak dihiraukan.

Tulisan ngebut, benjut biasanya terdapat di gang atau di


jalan yang padat penghuni. Tulisan itu sering dilengkapi
dengan alasan Hati-hati, banyak anak-anak. (Yang) Ngebut,
benjut. Berdasarkan pengalaman warga bahwa sering ada di
antara orang berkendara itu yang kebut-kebutan dan
membahayakan keselamatan mereka atau keselamatan
orang lain. Itulah sebabnya mereka menuliskan peringatan
itu.

Begitu pula halnya dengan wacana berikut ini.


(7)Dilarang kencing di sini, kecuali anjing.
Biasanya tulisan itu terdapat di gang atau di pinggir jalan
yang diharapkan dapat terjaga kebersihan dan kesehatannya.
Bahkan, wacana itu sering dipendekkan menjadi Dilarang
kencing, kecuali anjing atau Yang kencing, anjing.
Pemendekan itu justru untuk mengeraskan peringatan atau
larangan, kata dilarang dan di sini tidak diperlukan, tulisan itu
langsung memberi label, (Siapa pun) yang kencing,
(kelakuannya seperti kelakuan) anjing. Yang menarik dari
tulisan itu ialah adanya permainan bunyi: ngetrek-cekek;
ngebut-benjut; kencing-anjing.

Cara Menganalisis Wacana


Analisis wacana dapat berhasil dengan baik apabila
dilakukan dengan teknik dan metode yang sesuai dan
memadai, serta didasari oleh pengetahuan dan kemampuan
yang memadai juga. Beberapa metode substantif yang sering
digunakan untuk menganalisis wacana, antara lain, ialah
metode deskriptif, metode distribusional, metode analisis isi
(analisis konten), dan metode pragmalinguistik. Berikut ini
penjelasan satu per satu mengenai metode itu.

Metode deskriptif digunakan untuk memerikan, menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan fenomena objek
penelitian. Metode ini menjelaskan data atau objek secara
alami, objektif, dan apa adanya (lihat Arikunto, 1993:310).
Metode deskriptif yang digunakan untuk meneliti wacana pada
umumnya dimulai dengan mengklasifikasi objek penelitian.
Kemudian, hasil klasifikasi itu dianalisis secara deskriptif.

Metode penelitian ini dapat diterapkan, misalnya, untuk


meneliti wacana surat kabar ataupun majalah. Beberapa
peneliti deskriptif umumnya akan mencari, memutuskan,
memilih, dan mengumpulkan satu atau dua jenis wacana
yang ada pada surat kabar ataupun majalah. Kemudian,
jenis wacana itu dijadikan objek penelitian.

Langkah analisis deskriptif wacana surat kabar, antara lain,


seperti berikut.
1. Pilih dan tentukan wacana yang akan diteliti. Surat kabar
memiliki banyak jenis wacana, seperti wacana untuk kolom
opini atau artikel, wacana kartun, wacana judul utama, wacana
iklan, wacana berita olahraga, wacana kesehatan, wacana
resep masakan, wacana penjelajahan, dan wacana pikiran
pembaca.

2. Tentukan unit analisis. Pilah dan tentukan satuan data apa


dan yang mana yang akan dijadikan dasar analisis bagi
wacana yang dijadikan objek penelitian. Satuan data yang
menjadi dasar analisis disebut unit analisis. Misalnya,
penelitian tentang kalimat pengacuan yang terdapat di dalam
rubrik Olahraga. Unit analisisnya adalah rangkaian kalimat
yang mengandung pengacuan.
2

3. Analisis dan deskripsikan satuan data. Kalimat yang terpilih


diklasifikasi dan direduksi untuk mendapatkan data yang valid
dan dapat dipercaya. Kalimat pengacuan yang memiliki
kesamaan pola dikelompokkan, lalu dianalisis secara
deskriptif. Hasilnya berupa seperangkat uraian yang
memaparkan, menggambarkan, atau menjelaskan gejala
pengacuan yang terjadi pada wacana Olahraga tersebut.

Metode Distribusional
Metode distribusional digunakan untuk menganalisis
struktur internal wacana. Analisis ini sering mengabaikan
unsur ekstemal wacana (konteks wacana) karena yang
penting ialah bagaimana memahami struktur wacana sebagai
satuan lingual yang tidak berkaitan dengan konteks
situasional.
Metode distribusional berawal dari anggapan bahwa
seperangkat aspek gramatikal dibangun oleh satuan lingual.
Aspek gramatikal itu perlu diurai proses pembentukan dan
perubahannya, apa akibatnya apabila susunan dan struktur
gramatikal mengalami mobilisasi dan perubahan. Analisis
distribusional cocok untuk mendeskripsikan wacana sintaktis
bebas konteks.

Metode Analisis Isi


Dari namanya dapat diduga bahwa metode analisis konten
wacana dipakai untuk menganalisis isi wacana. Peneliti
wacana dengan kajian analisis konten wacana juga dapat
membuat inferensi (simpulan) yang bisa ditiru dan sahih
dengan memperhatikan konteks. Analisis konten wacana bisa
digunakan untuk menyusun interpretasi penelitian yang sesuai
dan komprehensif. Analisis konten wacana sensitif konteks.
Oleh karena itu, analisis ini dapat digunakan untuk memproses
bentuk-bentuk simbolik. Peneliti bisa memberi makna pada
data berupa kalimat, paragraf, atau seluruh wacana dengan
mempertimbangkan dan memformulasikan semua itu pada
konteks (tempat, waktu, situasi ketika peristiwa terjadi) yang
melingkupi data itu.

Langkah penelitian dengan metode analisis konten


sebagai berikut.
1. Data: a. menentukan satuan (unit analisis)
b. menentukan sampel
c. merekam/mencatat
2. Mereduksi data (membuang data yang tidak relevan)
3. Inferensi (menyimpulkan)
4. Analisis (mencari isi dan makna simbolik).
Analisis konten untuk mendeskripsikan struktur dan isi
wacana agar bisa menyimpulkan dan mengetahui akibat
pemakaian wacana.

Metode Pragmalinguistik
Metode pragmalinguistik atau metode pragmatik
merupakan gabungan metode analisis pragmatik dan
linguistik (struktural). Metode ini melihat wacana sebagai
satuan lingual (sebagai struktur bahasa), tetapi lebih
mementingkan aspek pemakaian bahasa secara langsung
(pragmatik).
Metode ini mengkaji bagaimana para partisipan dapat
bertutur dan dapat memahami isi tuturan sesuai dengan
konteks situasi yang tepat. Jadi, pragmatik menelaah makna
eksternal bahasa.

Perhatikan tuturan berikut.


(8) Aduh, banyak asap!
Secara semantik, makna kalimat itu sangat jelas, yaitu
informasi tentang 'aduh, ada asap dan asap itu banyak'.
Akan tetapi, dari sisi pragmatik, makna kalimat itu bisa
berbeda-beda sesuai dengan konteks. Oleh karena itu,
maknanya bagi tuturan itu bisa, antara lain
1. 'awas hati-hati, berbahaya banyak asap' (diucapkan
ketika terjadi kebakaran dsb.);
2.
pemberitahuan
bahwa
ada
sesuatu
yang
terbakar(kalau tidak, tidak mungkin ada asap);
3. 'perintah menutup pintu' (diucapkan di dalam ruangan
agar ruangan tidak kemasukan asap);
4. 'perintah membuka pintu' (diucapkan di dalam ruangan
yang penuh asap dan agar asap tidak membahayakan
penghuni ruangan);
5. 'awas, berhati-hati ' (diucapkan ketika ada orang yang
akan melintas di dekat asap itu);

Masih banyak makna lain dari tuturan itu asalkan


interpretasi itu sesuai dengan konteks kejadian adanya
banyak asap. Jadi, sejumlah makna dapat lahir dari tuturan
tertentu karena makna tuturan (kalimat) amat relatif,
bergantung pada konteks yang melingkupinya.
Pragmatik sejalan dengan performance pemakaian
bahasa (Chomsky) atau la parole (de Saussure), yang
berorientasi pada bahasa lisan. Oleh karena itu, pendekatan
pragmatik terhadap wacana harus mempertimbangkan faktor
nonverbal, seperti:
a. unsur suprasegmental (intonasi, nada, pelan, keras
dsb.);
b. gerak tubuh ketika berkomunikasi, termasuk gerak
mata (kinesik);
c. jarak antarpenutur (akrab-tidak akrab dsb., proksemik);
d. pemanfaatan waktu ketika berinteraksi (kronesik).
Selain itu, ada empat hal penting lainnya perlu dipelajari
pragmatik, yaitu deiksis, tindak ujar, praanggapan, dan

Deiksis adalah hal atau fungsi menunjuk sesuatu di luar


bahasa (Kridalaksana, 1984:36). Kata-kata yang bermakna
persona (seperti saya, kamu, dia), bermakna tempat (seperti
depan, belakang, atas, bawah, samping, sini, sana, situ), dan
bermakna waktu (seperti sekarang, nanti, besok) adalah katakata yang deiktis karena tidak memiliki tunjukan (referensi)
tetap. Tunjukannya selalu berganti-ganti.

Perhatikan kata-kata, seperti kursi, batu, meja, lukisan,


sepatu, rak buku, mobil, dan rumah yang acuannya tetap.
Kata rumah atau kursi diucapkan di mana pun, kapan pun,
dan oleh siapa pun, benda tunjukannya tetap sama karena
batasannya sudah pasti, seperti rumah adalah bangunan
yang ... untuk tempat tinggal; kursi adalah benda yang ...
untuk tempat duduk. Namun, tunjukan kata deiktis, seperti
saya, sini, sekarang, atas, dan bawah baru dapat diketahui
jika dikatakan oleh siapa, di mana, dan kapan diucapkan.

Perhatikan contoh berikut.


(9) [Ketika ada orang mengetuk pintu, pemilik rumah
bertanya:]
Pemilik: Siapa yang ngetuk pintu?
Tamu : Saya.
Pemilik: Saya, siapa, ya?
Tamu : Nengah, Bu. (Bisa nama siapa pun juga)
Bisa jadi seorang anak ketika berperan sebagai pembicara,
ia menyebut dirinya saya. Akan tetapi, pada kesempatan lain
ketika ibunya menjadi pembicara, Ibu juga menyebut dirinya
saya.

Lihat contoh berikut.


(10) a. [Ketika anak menjadi pembicara:]
Anak: Saya pergi ke sekolah, ya, Bu.
Ibu : Hati-hati, ya, Nak.
b. [Ketika Ibu menjadi pembicara:]
Ibu : Kamu harus rajin berdoa dan belajar. Saya
doakan Insya Allah kamu sukses.
Anak: Ya, akan saya usahakan, Bu.
Kata saya pada kedua kalimat itu deiktis karena menunjuk
pada persona yang mengucapkannya. Saya dalam tuturan
(a) menunjuk pada Anak, tetapi saya pada tuturan (b)
masing-masing menunjuk pada Ibu dan Anak. Makna
pragmatik tuturan (a) anak minta izin kepada ibunya untuk
pergi ke sekolah, makna tuturan (b) Ibu menyemangati
anaknya untuk berdoa dan berusaha agar sukses. Tuturan
yang sama bisa berubah makna pragmatiknya apabila yang

Perhatikan contoh berikut ini.


(11) [Ketika pedagang es krim melintas di depan rumah,
Adik berkata:]
Adik: Ada es krim, Bu.
Tuturan yang diucapkan Adik bisa memiliki makna
pragmatik, 'Bu, saya minta dibelikan es krim'. Dalam bentuk
utuh tuturan itu bisa menjadi
(12) Adik: a. Belikan aku es krim, Bu.
b. Bu, saya minta dibelikan es krim.
Akan tetapi, jika diucapkan seorang anak dengan nada
tertentu ketika ia menemukan es krim di dalam lemari es
ibunya, tuturan itu bisa menyatakan kegirangan, misalnya
(13) Anak: Ada es krim, Bu.
Ibu : Ya, makanlah.

Tindak Ujar

Tindak ujar merupakan fungsi bahasa yang menjadi sarana


untuk melakukan sesuatu. Setiap tuturan yang diucapkan oleh
penutur sebenamya mengandung fungsi komunikasi tertentu.
Sebuah tuturan tentu tidak asal saja hadir, tetapi pasti
mengandung makna ataupun maksud tertentu. Fungsi itulah
yang menyebabkan para penutur melakukan suatu tindakan.

Misalnya, ketika merasa kegerahan di kelas, Ibu Guru


berkata kepada salah seorang muridnya yang duduk tidak
jauh dari jendela.
(14) Ibu Guru: Lia, jendela itu bisa dibuka, ya?
Lia
: Bisa. Ibu kegerahan, ya? (Lia pun
membuka jendela)
Tuturan itu bukan sekadar pertanyaan kepada Lia tentang
apakah jendela bisa dibuka atau tidak, tetapi Ibu Guru justru
meminta Lia melakukan suatu tindakan, membukakan
jendela untuknya. Sebenarnya, Ibu Guru sedang minta tolong
agar Lia mau membuka jendela. Dengan gaya penyampaian
seperti itu, pihak yang diperintah (Lia) tidak merasa diperintah
dengan keras.

Jika hanya sekadar pertanyaan, tuturan itu bisa dijawab


seperti berikut.
(15) Ibu Guru: Lia, jendela itu bisa dibuka, ya?
Lia
: Bisa, Bu.
Tidak bisa, Bu.
Dalam percakapan sehari-hari, tuturan seperti itu banyak
terjadi dan dapat berjalan dengan lancar karena para peserta
tuturan berada dalam suasana yang kira-kira sama sehingga
mereka sudah saling mengerti maksud tuturan.
Hal yang bisa dilakukan tindakan di dalam suatu
percakapan, sebagai fungsi komunikasi (Kaswanti Purwo,
1990:20), antara lain ialah:
a. permintaan (requests),
b. perintah (command),
c. ajakan (invitations),
d. tawaran (offers), dan
e. penerimaan tawaran (acceptation of offers}.

Tindak ujar dalam kajian pragmatik terbagi menjadi tindak


lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi dari suatu tuturan ialah
makna dasar dan referensi dari tuturan itu. Komunikasi yang
lokusif adalah komunikasi yang bersifat ideasional. Tuturan
lokusif ialah tuturan yang mengatakan sesuatu. Kalimat dari
tuturan lokusif dipandang sebagai proposisi yang
mengandung subjek (topik) dan predikat (komentar).

Ilokusi suatu tuturan adalah daya yang ditimbulkan oleh


pemakaian tuturan itu, misalnya sebagai perintah, ejekan,
keluhan, Tindak ilokusi (illocutionary act) merupakan tindak
ujar akibat dari tuturan ilokusif. Komunikasi ilokusif bersifat
interpersonal, tetapi isinya mengandung tindakan. Misalnya,
tindak bahasa pertanyaan, pernyataan, tawaran, janji, ejekan,
permintaan, permohonan, perintah, dan pujian.

TTindak

perlokusi (perlocutionary act) berupa hasil (efek)


yang ditimbulkan tuturan (terhadap pendengar/pembaca).
Tuturan perlokusif mengandung maksud yang diinginkan
oleh penutur agar keinginannya tampak wujudnya dalam
tindakan. Ringkasnya, lokusi berkaitan dengan makna
referensi tuturan, ilokusi daya tuturan, dan perlokusi
hasil tuturan.

Lihat contoh berikut.


(16) [Sore hari ketika baru pulang kerja, Ayah bertanya
kepada Ardi:]
Ayah: Burung sudah dikasih makan, Di?
Ardi : Sudah, Yah, tadi siang.
Dalam kalimat itu, Ayah tidak hanya bertanya, tetapi ada
maksud lain yang ingin disampaikannya kepada Ardi. Lokusi
tuturan itu memang tampak pada predikatnya yang bernada
bertanya, tetapi ilokusinya berupa perintah agar Ardi memberi
burung makan (yang menjadi tindak ujar). Perlokusinya ialah
hasil yang ditimbulkan oleh tuturan, yaitu Ardi sudah/belum
memberi burung makan.

Perhatikan contoh yang diberikan oleh Sumarmo (dalam


Dardjowidjojo, 1988:177) berikut ini.
(17) Rumahmu besar sekali, Nak.
Lokusi tuturan itu menggambarkan keadaan rumah
pendengar (yang besar sekali); ilokusinya bisa berupa pujian
jika benar rumah itu memang besar sekali, tetapi bisa
menjadi ejekan jika ternyata rumah itu tidak besar, bahkan
rumah itu kecil sekali. Perlokusinya bisa ada rasa girang
karena dipuji, tetapi bisa timbul rasa malu, rasa sedih, atau
justru menjadi sadar karena diejek.

Berdasarkan cara penyampaiannya, tuturan dapat dibedakan


menjadi tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Pada
tuturan langsung, isi tuturan yang diucapkan sama persis
dengan tindak ujar. Tuturan langsung lebih mudah dipahami
dan dikenali karena eksplisit dan terus-terang, tetapi tuturan
tidak langsung disampaikan dengan cara lain. Maknanya
hanya dapat dipahami apabila yang diajak berbicara
memahami konteks tuturan. Maksud yang diinginkan bisa
sama sekali tidak dieksplisitkan di dalam tuturan itu, tidak
tampak pada kata-kata yang digunakan di dalam kalimat itu.
Akan tetapi, karena sudah terbiasa mendengar dan tahu
konteksnya, yang diajak berbicara bisa memahaminya.

Misalnya, seorang Ibu yang meminta agar anaknya


menyapu ruang tamu, ia berkata seperti berikut.
(18) a. Ibu : Eka, ruang tamu kotor. Nanti kita ada tamu,
Nak.
Eka: Ya, Bu. Nanti saya bersihkan.
b. Ibu : Eka, ruang tamu kotor. Tolong bersihkan
sebentar, Nak.
Eka: Ya, Bu. Nanti saya bersihkan.
c. Ibu: Eka, ruang tamu kotor, Nak. Nanti kita ada
tamu.
Eka: Ya, Bu. Saya sudah tahu.
Tuturan (a) berupa tuturan tidak langsung karena
Ibu tidak mengatakan secara langsung tindak ujar yang
dinginkannya, tuturan (b) berupa tuturan langsung karena Ibu
mengatakan langsung tindak ujar yang diinginkannya, dan
pada tuturan (c), bisa jadi Eka tidak paham atau tidak mau
paham makna pragmatik tuturan yang diucapkan ibunya.

Perhatikanlah contoh lain berikut ini.


(19) [Ketika seorang jejaka bertamu ke rumah B,
pacarnya, hingga lewat jam malam, ibu kos pacarnya
bertanya:]
Ibu kos: Pukul berapa, Ani?
Ani
: Pukul 10, Bu.
B
: Maaf, Bu, saya kemalaman. Saya mohon
pamit, Bu.
Sebenarnya, ibu kos hanya bertanya, tetapi makna
pragmatisnya ia meminta tamu supaya segera pulang
karena sudah lewat jam malam. Jika lengkap, mungkin
kalimat ibu kos itu seperti berikut.
(20) Ibu kos : Sudah pukul 10, mengapa tamu belum
pulang juga, Ani?
Pacar Ani: Maaf, Bu, saya kemalaman. Saya mohon
pamit, Bu.

Teknik Analisis Keruntutan


Wacana, sebagai struktur yang direpresentasikan oleh
sejumlah kalimat, perlu diuraikan kesatuan dan keruntutan
alur maknanya. Untuk menganalisis pola keruntututan itu,
digunakan teknik permutasi (pembalikan) dan teknik
substitusi (penggantian).

Teknik Permutasi
Teknik permutasi (pembalikan) digunakan untuk
menguji kesejajaran atau kelancaran makna dalam
rangkaian kalimat dan menguji ketegaran letak suatu
unsur dalam susunan beruntun. Teknik pembalikan
dilakukan dengan memindahkan wujud satuan lingual
sebagai satu kesatuan. Perhatikan kalimat pengumuman
berikut.
Kepada para penumpang harap membayar dengan
uang pas.
Pengumuman itu biasanya terdapat di loket-loket
penjualan karcis bus, tiket kereta api, atau pesawat
terbang. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh pemberi
pengumuman? Ternyata yang diinginkannya ialah semua
pembeli hendaklah membayar dengan uang pas agar
layanan menjadi cepat, lancar, tanpa harus sibuk
memberikan uang kembalian. Lalu, apakah keinginan itu
terlihat pada kalimat itu?

Ketika kalimat pengumuman itu dibalik, kalimat hasil


pembalikan itu benar, tegar susunannya, maknanya pun
dapat dipahami. Akan tetapi, informasi yang dihasilkannya
tetap juga tidak seperti yang diinginkan pemberi
pengumuman. Perhatikan bahwa yang mendapat bayaran
dengan uang pas, justru para penumpang.
(22) Harap membayar dengan uang pas kepada para
penumpang.
Apa sebenarnya yang terjadi? Kalimat pengumuman
itu salah karena subjek kalimat didahului oleh kepada. Jika
kata depan kepada itu dihilangkan, maknanya menjadi
benar, jelas, dan yang diinginkan pemberi pengumuman
tercapai.

Lihat hasilnya berikut ini.


(23) Para penumpang harap membayar dengan uang pas.
Perbaikan itu diperoleh melalui analisis permutasi
Permutasi
dapat
menunjukkan
jelasnya
hubungan
antarkalimat atau antarbagian kalimat. Teknik itu dapat
membantu menemukan koherensi tidaknya wacana.
Walaupun begitu, hasil permutasi tidak selalu menunjukkan
kegramatikalan kalimat, bahkan sering kali hasil permutasi
merusak susunan kalimat. Namun, itulah yang dicari lewat
permutasi itu.

Bagaimanapun juga, teknik permutasi dapat digunakan


untuk menguji kebenaran dan kesejajaran kalimat dan
tegar-tidaknya keruntutan kalimat yang saling
berhubungan. Apabila hasil permutasi menunjukkan
susunan yang tegar dan gramatikal, hampir dapat
dipatikan bahwa rangkaian kalimat itu memiliki kadar
kesinambungan yang tinggi. Sebaliknya, jika hasil
permutasi menjadi tidak lazim, itu berarti bahwa kadar
kesinambungan di antara kalimat itu rendah.

Perhatikan contoh berikut.


(24) Adr (seorang sekretaris daerah provinsi) dilaporkan
ke polisi. Ia diduga kuat telah menyuap anggota DPR.
Pelabuhan di Pulau Bintan menyalahi peruntukan lahan. Adr
dan sang anggota DPR ditangkap aparat kepolisian di tempat
terpisah.
Untuk memahami makna wacana di atas, pembaca
membutuhkan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada
pertengahan tahun 2008 di salah satu provinsi di dekat Pulau
Sumatra, tempat munculnya wacana itu. Wacana itu terasa
tidak mudah dipahami karena kalimat Pelabuhan di Pulau
Bintan menyalahi peruntukan lahan hadir tiba-tiba di situ, Dua
kalimat pertama memiliki kadar repetitif yang tinggi karena
kedua kalimat itu dapat dikenai teknik pembalikan.

Hasilnya sebagai berikut.


(25) Karena diduga menyuap anggota DPR, Adr
(sekretaris
daerah provinsi) ditangkap aparat kepolisian.
Anak kalimat pada bagian pertama merupakan sebab
(karena diduga menyuap anggota DPR) dan pada bagian
kedua menjadi akibat (Adr ditangkap aparat kepolisian). Jika
kalimat itu dipermutasi, hasilnya tidak membingungkan, tetap
ada kesinambungan karena alur kalimat tidak terputus.
Secara keseluruhan makna wacana jelas, tidak ambigu.
Kedua unsur itu tidak dapat diselingi unsur lain dan tidak
boleh disisipi (misalnya, Pelabuhan di Pulau Bintan
menyalahi peruntukan lahan). Penyisipan mengakibatkan
makna kalimat menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan itulah
penyebab rangkaian kalimat belum tentu dapat disebut
wacana karena informasinya terputus (wacana tidak
koherensif.

Lihat contoh berikut.


(26) Karena diduga menyuap anggota DPR, Pelabuhan
di Pulau Bintan menyalahi peruntukan lahan, Adr (sekretaris
daerah provinsi) ditangkap aparat kepolisian.
Makna kalimat (26) itu tidak dapat dipahami karena
hadirnya bagian yang disisipkan Pelabuhan di Pulau Bintan
menyalahi peruntukan lahan

Teknik substitusi atau teknik penggantian digunakan untuk


menganalisis kalimat atau rangkaian kalimat dengan cara
mengganti bagian atau unsur kalimat tertentu dengan unsur
lain di luar kalimat itu. Teknik itu untuk menguji serasi
tidaknya tautan makna suatu unsur dengan konteks
internalnya. Lihat wacana berikut.
(27) Redaksi menerima sumbangan tulisan dan gambar
dari para pembaca. Kami berhak mengubah tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah isi tulisan Anda.

Rangkaian kata tulisan Anda pada bagian terakhir kalimat


kedua merupakan unsur referensi anaforis. Kata itu menunjuk
pada tulisan yang telah disebut pada kalimat pertama. Tidak
semua bentuk itu dapat saling menggantikan. Perhatikan hasil
penerapan teknik penggantian berikut ini.
(28) Redaksi menerima sumbangan tulisan dan gambar
dari para pembaca. Kami berhak mengubah tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah isi tulisan tersebut (itu/Anda,
*demikian tadi, *demikian itu).

Ternyata *demikian tadi dan *demikian itu tidak dapat


menggantikan unsur sebelumnya karena penggantian itu
justru mengakibatkan susunan kalimat menjadi tidak koheren
dengan kalimat sebelumnya. Jadi, penerapan teknik
penggantian membuktikan bahwa bentuk tertentu tidak begitu
saja dapat menggantikan bentuk yang lain. Teknik
penggantian adalah teknik pembuktian gramatikal-tidaknya
struktur kalimat. Perhatikan contoh berikut.
(29) Kami berhak mengubah tulisan yang akan dimuat
tanpa mengubah isi tulisan *demikian/*demikian itu.
Tidak berterimanya kata *demikian atau *demikian itu pada
contoh (29) itu menunjukkan bahwa kata atau frasa itu tidak
memiliki ketepatan tautan makna dengan konteks atau
susunan kalimat secara keseluruhan.
T

Lihat contoh lain berikut ini.


(30) (a) Tahun dua puluhan. (b) Anak perempuan
sudah mulai senang memperlihatkan bagian-bagian
tubuhnya yang elok yang membuat laki-laki bisa terangsang.
(c) Roknya sudah menutup lutut, tetapi di bagian atas,
blusnya terbuka sedikit di bagian dada, seperti hanya terbuat
dari selembar kain. (d) Blusnya juga tidak berlengan
sehingga dapat membuat para lelaki tergiur.

Roknya (30c) mengacu ke rok anak-anak


perempuan pada (30b) (karena anak laki
tidak mengenakan rok), sedangkan tetapi
pada
(30d)
digunakan
untuk
mempertentangkan Roknya sudah menutup
lutut dan blusnya terbuka sedikit ... . Kata
blusnya pada (30d) mengacu anaforis ke
blus anak-anak perempuan pada (30c).
Unsur elipsis pada (30c) mengacu ke
blusnya (30d). Bentuk non-eliptisnya bisa
menjadi blus anak-anak perempuan tidak
berlengan.

(31) (a) .... (b) Dia juga memang termasuk gadis yang
berpakaian kurang seronok, ditambah lagi kukunya yang
sengaja dipanjangkan dan dicat dengan warna merah
menyala. (c) Rambutnya panjang dan keriting kecil-kecil. (d)
Tetapi, dia memang benar-benar cantik. (e) Kulitnya kuning
langsat dan bersih, tangan dan betisnya pun berisi. (f)
Walaupun bibirnya bersemu merah oleh lipstik, wajahnya
tetap sangat menawan.

Kata juga bertugas menghubungkan


kalimat
sebelum
dengan
kalimat
berikutnya. Konjungsi tetapi
menghubungkan kalimat (31c) dan (31d). Pada
kalimat itu enklitik -nya pada kulitnya,
tangannya, dan betisnya mengacu secara
anaforis ke (d)ia pada (31d). Konjungsi
walaupun
...
pada
kalimat
(31f)
mempertentangkan ungkapan bibirnya
bersemu merah dan ungkapan wajahnya
tetap sungguh sangat menawan pada
kalimat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai