Anda di halaman 1dari 79

Laporan Kasus

ISK

Oleh :
Dita Irmaya
NIM. I1A010010

Pembimbing :
Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FK UNLAM RSUD ULIN
BANJARMASIN
Mei, 2014

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh


hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi
insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme lemak dan protein juga
merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin.
Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang
diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek
patofisiologi yang menggabungkan resistensi insulin dan kegagalan sel dan
dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat juga berkaitan dengan lingkungan
hormonal gestasional, defek genetik, infeksi lainnya, dan obat-obat tertentu.
(Jurnal Farmasi)
Diabetes mellitus tipe 2 mencakup susunan disfungsi ditandai dengan
hiperglikemia dan merupakan akibat dari kombinasi resistensi insulin, inadekuat
sekresi insulin, dan sekresi glukagon tidak sesuai atau berlebihan. Diabetes tipe 2
yang

tidak

terkontrol

terkait

dengan

berbagai

komplikasi

neuropati,

makrovaskular, mikrovaskular. (medscape)


Komplikasi mikrovaskular dari diabetes mencakup retina, renal, dan
kemungkinan penyakit neuropati. Komplikasi mikrovaskular mencakup arteri
koroner dan penyakit vaskular perifer. Neuropati diabetik mempengaruhi saraf
otonom dan perifer. (medscape)

Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan diabetes tipe 2 tidak
sepenuhnya bergantung pada insulin untuk hidup. Perbedaan ini menjadi dasar
pada istilah lama untuk tipe 1 dan 2, diabetes tergantung insulin dan diabetes tidak
tergantung insulin.(medscape)
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian
medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasi dan
merawatnya jika terjadi. Ini merupakan penyakit yang membutuhkan biaya mahal,
di Amerika Serikat pada tahun 2007, biaya yang langsung berhubungan dengan
diabetes adalah 116 milyar dolar, dan total biaya sekitar 174 milyar dolar; orang
dengan diabetes mengeluarkan biaya medis rata-rata 2,3 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. (Medscape)
Di Indonesia, 8.426.000 penduduk menderita diabetes pada tahun 2000,
dan diperkirakan menjadi 21.257.000 pada tahun 2030. Sedangkan untuk dunia,
171.000.000 penduduk menderita diabetes, dan diperkirakan menjadi 366.000.000
pada 2030. Sepuluh negara dengan penderita diabetes terbanyak adalah India,
China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan
Bangladesh.
Predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita
diabetes melitus diakibatkan berbagai faktor. Kepekaan meningkat seiring
lamanya durasi dan beratnya derajat diabetes. Kandungan glukosa darah yang
tinggi menyebabkan gangguan faktor imun penjamu terhadap infeksi.
Hiperkalsemia menyebabkan disfungsi neutrofil dengan meningkatkan kadar
kalsium intraselular dan mengintervensi dengan aktin, diapedesis dan fagositosis.

Kandidiasis vagina dan penyakit vaskular juga berperan penting pada infeksi yang
berulang.(medscape)
Sepanjang waktu, pasien dengan diabetes dapat berkembang sistopati,
nefropati, dan nekrosis papilar renal, mempermudah terjadinya ISK. Efek jangka
panjang sistopati diabetik mencakup refluks vesikouretral dan ISK berulang .
Sebagai tambahan, sebanyak 30 persen wanita dengan diabetes mempunyai
sistokel, sistouretrokel, atau rektokel dalam berbagai derajat. Semua hal ini
berperan dalam frekuensi dan beratnya ISK pada wanita dengan diabetes.
(medscape).
Hipertensi merupakan kondisi komorbid diabetes yang sangat sering
terjadi, mempengaruhi 20-60% pasien diabetes, tergantung pada obesitas, etnis,
dan usia. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering terjadi sebagai bagian dari
sindrom metabolik dari resistensi insulin juga mencakup obesitas sentral dan
dislipidemia. Pada diabetes tipe 1, hipertensi dapat menandakan onset nefropati
diabetik. Hipertensi meningkatkan risiko dari komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular, meliputi stroke, penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskular
perifer, retinopati, nefropati, dan kemungkinan neuropati.

BAB II
LAPORAN KASUS
3.1.Identitas pasien
Nama

: Ny. SN

Umur

: 55 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Jl. Tunas Baru Banjarmasin

MRS

: 21 April 2014 pukul 10.20 WITA

RMK

: 70-02-72

3.2.Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2014.
3.2.1

Keluhan Utama
Demam.

3.2.2

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Demam terus menerus dan muncul tiba-tiba. Demam
disertai menggigil. Pasien sudah minum obat penurun panas tetapi demam

cuma turun sebentar kemudian naik lagi. Pasien merasa badan lemas
kurang lebih 1 minggu terakhir. Tidak ada mual muntah. Tidak ada
keluhan sakit kepala, tidak ada pusing. Pasien mengaku sering kencing
dalm 1 bulan terakhir. Kencing jernih, kencing kemerahan tidak ada, tidak
ada nyeri kencing, tidak ada ada kencing berpasir, nyeri pinggang tidak
ada. Pasien mengaku kurang lebih satu minggu yang lalu diperiksa gula
darahnya dan ternyata tinggi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat
gula darah setiap hari. Pasien juga mengatakan adanya rasa selalu ingin
makan dan selalu ingin minum, dan pasien merasakan adanya penurunan
berat badan.
3.2.3

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tmemiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus, hipertensi

(sejak 2010), stroke.


3.2.4

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku di keluarganya memiliki riwayat penyakit hipertensi.

Pada keluarga tidak memiliki riwayat penyaki diabetes mellitus, stroke.


3.3.Pemeriksaan fisik
21 April 2014
Deskripsi Umum
Kesan sakit

: Sedang

Gizi

: Baik

Berat Badan

: 62 kg

Tinggi Badan

: 158 cm

Tanda vital
Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 130/90 mm Hg

Laju nadi

: 95 kali/menit

Laju nafas

: 28 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler)

: 38,5oC

GCS

: 4-5-6

Kepala dan leher


Kepala

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),


edema periorbita (-/-), konj. palpebra hiperemis
(-/-)

Leher

: Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)

Toraks
Pulmo

I : Tarikan nafas simetris


P : Fremitus raba simetris
P : Suara perkusi sonor (+/+)
A : Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

I : Ictus cordis (+)

P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula,


getaran/ thrill (-)
P : Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V
linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea
midclavicula sinistra
A : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar
suara bising
Abdomen
Inspeksi

: Cembung, distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (-),


hepar, lien, massa tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Eksremitas
Atas

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah

: Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

3.4. Pemeriksaan penunjang


Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 April 2014.

Pemeriksaan
Hemoglobin
Lekosit

Hasil
15,4
7,2

Nilai
Rujukan
11.00 16.00
4.0 10.5

Satuan
g/dL
ribu/uL

Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Klorida

5,07
45,7
155
90,3
30,3
33.6
92
119
93
17
0.8
127.0
3.9
91.2

Widal
Salmonella typhi O
Salmonella typhi H
Salmonella paratyphi
AO
Salmonella paratyphi
AH
Salmonella paratyphi
BO
Salmonella paratyphi
BH
Salmonella paratyphi
CO
Salmonella paratyphi
CH

4.0 5.50
32.00 44.00
150 450
80.0 97.0
27.0 32.0
32.0 38.0
<200
0-46
0-45
10-50
0.6-1.2
135-146
3.4-5.4
95-100

Hasil
Negati
ve
1/80
Negati
ve
1/40
Negati
ve
1/40
1/40
1/40

juta/uL
vol%
ribu/uL
Fl
Pg
%
mg/dL
U/I
U/I
mg/dL
mg/dL
mmol/l
mmol/l
mmol/l

Rujuk
an
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve

3.5. Daftar Masalah


1. Demam Menggigil
2. Poliuria
3. Tekanan darah tinggi
3.6. Rencana awal
Demam menggigil, badan lemas, sering kencing:
a. Assessment :
1. Infeksi Saluran Kemih
2. DHF

3. Malaria
b. Planning

darah

1. Diagnostik :
rutin,

widal

slide

test,

antibiotik,

obat

imunoserologi DHF
2. Terapetik

: resusitasi

cairan,

simptomatis (demam, nyeri)


3. Monitoring : tanda

vital,

perdarahan

(epistaksis,

melena), asupan cairan


4. Edukasi

: tirah baring, perbanyak asupan cairan,


makanan gizi seimbang, diet rendah
serat, teratur minum obat

3.7. Evaluasi
Tanggal 22 April 2014
a.Subjective :

Demam (<), Menggigil (-), Lemas

(-), Nyeri perut (-), Mual (-), Muntah (-), Makan (+),
Minum (-) Sakit kepala (-), banyak kencing (-),
pandangan kabur (-)
b. Objective
:
TD = 130/90 mmHg

RR = 24 kali/menit

N =76 kali/menit

T = 37oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal
(-/-)

10

Tabel 2. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22 April 2014.


Pemeriksaan
DARAH
Hemoglobin
Lekosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
GDP
Kolesterol Total
Trigliserida
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin
Asam Urat
Salmonella typhi O
Salmonella typhi H
Salmonella paratyphi AO
Salmonella paratyphi AH
Salmonella paratyphi BO
Salmonella paratyphi BH
Salmonella paratyphi CO
Salmonella paratyphi CH
URINALISIS
Warna-Kekeruhan

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

15.0
7.8
4.92
41.3
140
83.9
30.5
36.3
67
137
142
125
110
32
0.9
3.6
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

11.00 14.00
4.0 10.5
4.0 5.50
32.00 44.00
150 450
80.0 97.0
27.0 32.0
32.0 38.0
70-105
150-220
40-140
0 46
0 45
10 50
0.6 1.2
2.4-5.7
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative

g/dL
ribu/uL
juta/uL
vol%
ribu/uL
Fl
Pg
%
mg/dL
mg/dL
mg/dL
U/I
U/I
mg/dL
mg/dL
mg/dL

Kuning-ag
Keruh
BJ
1.015
Ph
5.0
Keton
Negative
Protein-Albumin
Negative
Glukosa
Negative
Bilirubin
Negative
Darah Samar
Negative
Nitrit
Negative
Urobilinogen
0.1
Leukosit
2+
URINALISIS (SEDIMEN)
Leukosit
10-15

Kuning-Jernih
1.005 1.030
5.0 6.5
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
0.1 1.0
Negative
0-3

11

Keton
Protein-Albumin
Glukosa
Bilirubin
Darah Samar
Nitrit

02
Negative
1+
Negative
Negative
Negative

0-2
Negative
1+
Negative
Negative
Negative

c.Assessment
:
2. DHF
3. Malaria
d. Planning

1. ISK
:

1. Diagnostik :

darah rutin, imunoserologi DHF,


SGOT/

SGPT,

ureum/creatinin,

urinalisis, kultur urin


2. Terapetik

: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO. Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda

vital,

perdarahan

(epistaksis,

melena), asupan cairan


4. Edukasi

: tirah baring, perbanyak asupan cairan,


makanan gizi seimbang, diet rendah
serat, teratur minum obat

Tanggal 23 April 2014


a.Subjective :

Demam (-), Menggigil (-), Lemas (-),

Nyeri perut (-), Mual (-), Muntah (-), Makan (+),

12

Minum (+) Sakit kepala (-), banyak kencing (-),


pandangan kabur (-)
b. Objective
:
TD = 100/70 mmHg

RR = 24 kali/menit

N = 74 kali/menit

T = 36,8oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)
c.Assessment
d. Planning : 1. Diagnostik :
2. Terapetik

:
ISK
darah rutin, kultur urin

: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO.Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda

vital,

perdarahan

(epistaksis,

melena), asupan cairan


4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,
makanan gizi seimbang, diet rendah
serat, teratur minum obat
Tanggal 24 April 2014
a. Subjective :

Demam (-), Menggigil (-), Lemas (-),

Nyeri perut (-), Mual (-), Muntah (-), Makan (+),


Minum (+) Sakit kepala (-), banyak kencing (-),
pandangan kabur (-)
b. Objective :

13

TD = 100/70 mmHg

RR = 24 kali/menit

N = 72 kali/menit

T = 36,9oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)
e.Assessment
f. Planning : 1. Diagnostik :
2. Terapetik

:
ISK
darah rutin, kultur urin

: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO.Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda

vital,

perdarahan

(epistaksis,

melena), asupan cairan


4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,
makanan gizi seimbang, diet rendah
serat, teratur minum obat
BLPL

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Kemih


Infeksi organ urogenitalia seringkali dijumpai pada praktk dokter seharihari mulai infeksi ringan yang baru diketahui pada saat pemeriksaan urine
maupun infeksi berat yang dapat mengancam jiwa. Pada dasarnya infeksi ini
dimulai dari infeksi pada saluran kemih (ISK) yang kemudian menjalar ke organorgan genitalia bahkan sampai ke ginjal. ISK itu sendiri adalah merupakan reaksi
inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih.
Infeksi akut pada organ padat (testis, epididimis, prostat, ginjal) biasanya
lebih berat daripada yang mengenai organ berongga (buli-buli, ureter, atau uretra);
hal itu ditunjukkan dengan keluhan nyeri atau keadaan klinis yang lebih berat.
Cara penanggulangannya kadang-kadang cukup dengan pemberian antibiotika
yang sederhana, atau bahkan tiak perlu diberi antibiotika. Namun pada infeksi
yang berat dan sudah menimbulkan kerusakan pada berbagai macam organ,
membutuhkan terapi suportif dan antibiotik yang adekuat. Tujuan terapi pada
infeksi organ urogenitalia adalah mencegah atau menghentikan diseminasi kuman
dan produk yang dihasilkan oleh kuman pada sirkulasi sistemik dan mencegah
kerusakan terjadinya kerusakan organ urogenitalia.
Beberapa istilah dalam ISK:
ISK uncomplicated (sederhana) yaitu infeksi saluran kemih pada pasien tanpa
disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.

15

ISK complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien
yang menderita kelainan anatomik/struktur saluran kemih, atau adanya penyakit
sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.
First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi
saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah
sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari ISK.
Unresolved bakteriuria adalah ineksi yang tidak mempan dengan pemberian
antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena mikroorganisme penyebab
infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian antibiotika yang dipilih.
Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya
dapat dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama. Timbulnya
infeksi berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria persisten. Pada
reinfeksi kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persisten
bakteri penyebab berasal dari dalam saluran kemih

1. Insiden
Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi
baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami
episode ISK daripada pria, hal ini karena uretra wanita lebih pendek daripada pria.
Namun pada neonatus ISK lebih banyak terdapat pada bayi laki-lak (2,7%) yang
tidak

menjalani

sirkumsisi

daripada

bayi

perempuan

(0,7%).

Dengan

bertambahnya usia, insiden ISK terbalik yaitu pada masa sekolah, ISK pada anak
perempuan 3% sedangkan anak laki-laki 1,1%. Insiden ISK ini pada usia remaja

16

anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8%. Bakteriuria asimtomatik pada


wanita usia 18-40 tahun adalah 5-6% dan angka itu meningkat menjadi 20% pada
wanita usia lanjut.
2. Patogenesis
Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas dari mikroorganisme
atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke
dalam saluran kemih dan berbiak di dalam media urine. Mikroorganisme
memasuki saluran kemih melalui cara: (1) ascending, (2) hematogen seperti pada
penularan M. Tuberculosis atau S. Aureus, (3) limfogen dan (4) langsung dari
organ

sekitarnya

yang

sebelumnya

telah

terinfeksi.

Sebagian

besar

mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara ascending. Kuman


penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus
dan hidup secara komensal di dalam introitus vagina, prepusium penis, kulit
perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui
uretra-prostat-vas deferens-testis (pada pria)-buli-buli ureter, dan sampai ke
ginjal. Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan
antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agen dan epitel
saluran kemih sebagai pejamu. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh
karena pertahanan tubuh dari pejamu yang menurun atau karena virulensi agen
meningkat.
Kemampuan pejamu untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam
saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah: (1) pertahanan
lokal dari pejamu, dan (2) peranan dari sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas

17

imunitas humoral maupun imunitas selular. Diabetes mellitus, usia lanjut,


kehamilan, penyakit-penyakit imunosupresif merupakan keadaan-keadaan yang
mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih dan menyulitkan pengobatannya.
Tabel. Pertahanan lokal tubuh terhadap infeksi
Beberapa faktor pertahanan lokal dari tubuh terhadap suatu infeksi
Mekanisme pengosongan urine yang teratur dari buli-buli dan gerakan
peristaltik ureter (wash out mechanism)
Derajat keasaman (pH) urine yang rendah
Adanya ureum dalam urine
Osmolalitas urine yang cukup tinggi
Estrogen pada wanita usia produktif
Panjang uretra pada pria
Adanya zat antibakteria pada kelenjar prostat atau PAF (prostatic antibacterial
factor) yang terdiri atas unzur Zn
Uromukoid (protein Tamm-Horsfall) yang menghambat penempelan bakteri
pada urotelium
Kuman E. Coli yang menyebabkan ISK mudah berbiak di dalam urine, di sisi lain
urine bersifat bakterisidal terhadap hampir sebagian besar kuman dan spesies
E.coli. Derajat keasamaan urine, osmolalitas, kandungan urea dan asam organik,
serta protein-protein yang ada di dalam urine bersifat bakterisidal. Protein di
dalam urine yang bertindak sebagai bakterisidal adalah uromukoid atau protein
Tamm-Horsfall (THP). Protein ini disintesis sel epitel tubuli pars ascenden Loop
of Henle dan epitel tubulus distalis. Setelah disekresikan ke dalam urine,

18

uromukuoid ini mengikat fimbria bakteri tipe I dan S sehingga mencegah bakteri
menempel pada urotelium. Sayangnya protein ini tidak dapat berikatan dengan
pili P sehingga baktei yang mempunyai jenis pili ini, mampu menempel pada
urotelium. Bakteri jenis ini sangat virulen dibandingkan dengan yang lain. Pada
usia lanjut, produksi uromukuoid ini menurun sehingga mudah sekali terjangkit
ISK. Selain itu, uromukuoid mengadakan ikatan dengan neutrofil sehingga
meningkatkan daya fagositosisnya. Sebenarnya pertahan sistem saluran kemih
yang paling baik adalah mekanisme wash out urine, yaitu aliran urine yang
mampu membersihkan kuman-kuman yang adal di dalam urine. Gangguan dari
mekanisme ini menyebabkan kuman mudah sekali mengadakaan replikasi dan
menempel pada urotelium. Supaya aliran urine adekuat dan mampu menjamin
mekanisme wash out adalah jika (1) jumlah urine cukup dan (2) tidak ada
hambatan di dalam saluran kemih. Oleh karena itu kebiasaan jarang inum dan
pada gagal ginjal, menghasilkan jumlah urine yang tidak adekuat, sehinga
memudahkan

terjadi

infeksi

saluran

kemih.

Keadaan

lain

yang

bisa

mempengaruhi aliran urine dan menghalangi mekanisme wash out adalah adanya
(1) stagnasi atau stasis urine dan (2) didapatkannya benda asing di dalam saluran
kemih yang dipakai sebagai tempat persembunyian oleh kuman. Stagnasi urine
bisa terjadi pada keadaan : (1) miksi yang tidak teratur atau sering menahan
kencing, (2) obstruksi saluran kemih seperti pada BPH, striktura uretra, batu
saluran kemih atau obstruksi karena sebab lain (3) adanya kantong-kantong di
dalam saluran kemih yang tidak dapat mengalir dengann baik, misalkan pada
divertikula, dan (4) adanya dilatasi atau refluks sistem urinaria. Batu saluran

19

kemih, benda asing d dalam saluran kemih ( di antaranya adalah pemakaian


kateter menetap), dan jaringan atau sel-sel kanker yang nekrosis, semuanya
merupakan tempat persembunyian bakteri sehingga sulit untuk dibersihkan oleh
aliran urine.
Faktor dari mikroorganisme
Bakteri diperlengkapi dengan pili atau fimbirae yang terdapat di permukaannya.
Pili berfungsi untuk menempel urotelium melalui reseptor yang ada di permukaan
urotelium. Ditinjau dari jenis pilinya, terdapat 2 jenis bakteri yang mempunyai
virulensi berbeda, yaitu bakteritipe pili 1 (yang banyak menimbulkan infeksi pada
sistitis) dan tipe pili P (yang sering menimbulkan infeksi berat pielonefritis akut).
Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,
menghasilakn toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat
merubah suasana menjadi basa.
3. Diagnosis
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala
hingga menunjukkan gejala yang sangat berat akibat kerusakan organ-organ lain.
Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat,
epididimis, dan testis) memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada
organ-organ beronggga (buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang
lebih ringan.
Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan urine merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada
infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan

20

pemeriksaan kultur urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan
dipstick mauun secara mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau
piuria jika secara mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5
leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan
untuk menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan
jenis antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Untuk mencegah
timbulnya kontaminasi sampel urine oleh kuman yang berada di kulit vagina atau
prepusium, perlu diperhatikan cara

pengambilan sampel urine. Sampel urine

dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada
bayi, (2) kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kontaminasi
oleh kuman-kuman di sekitar introitus vagina, dan (3) miksi dengan pengambilan
urine porsi tengah atau midstream urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan
lebih dari 105 cfu (colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine
porsi tengah, sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan
bakteriruria bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya proses
inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap darah,
atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya
proses inflamasi akut.
Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksaa faal ginjal, faal hepar, faal
hemostasis, elektrolit darah, analisis gas darah, serta kultur kuman untuk
penanganan ISK secara intensif.

21

Pencitraan
Pada ISK sederhana tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada
ISK

rumit

perlu

dilakukan

pemeriksaan

pencitraan

untuk

mencari

penyebab/sumber terjadinya infeksi. Foto polos abdomen. Pembuatan foto polos


berguna untuk mengetahu adanya batu radio-opak pada saluran kemih atau adanya
distribusi gas yang abnormal pada pielonefritis akut. Adanya kekaburan atau
hilangnya bayangan garis psoas dan kelainan dari bayangan bentuk ginjal
merupakan petunjuk adanya abses perirenal atau abses ginjal. Batu kecil atau batu
semiopak kadangkala tidak tampak pada foto ini, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan foto tomografi. PIV adalah pemeriksaan rutin untuk mengevaluasi
pasien yang mendertia ISK complicated. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan
adanya pielonefritis akut dan adanya obstruksi saluran kemih, tetapi pemeriksaan
ini sulit untuk mendeteksi adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses
ginjal yang fungsinya sangat jelek. Voiding sistouretrografi. Pemeriksaan ini
diperlukan untuk mengungkapkan adanya refluks vesikoureter, buli-buli
neurogenik, atau divertikulum ureta pada wanita yang sering menyebabkan infeksi
yang sering kambuh. Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang sangat berguna
untuk mengungkapkan adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses pada
perirenal/renal terutama pada pasien gagal ginjal. Pada pasien gemuk, adanya luka
operasi, terpasangnya pipa drainase, atau pembalut luka pasca operasi dapat
menyulitkan pemeriksaan ini. CT scan merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif
dalam mendeteksi penyebab ISK daripada PIV atau USG, tetapi biaya yang
diperlukan untuk pemeriksaan ini relatif mahal.

22

4. Terapi
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak
perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera
mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan
di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian
medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang
diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.
5. Penyulit
Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, di antaranya: (1)
gagal ginjal akut, (2) urosepsis, dan (3) nekrosis papilla ginjal, (4) terbentuknya
batu saluran kemih, (5) supurasi atau pembentukan abses, dan (6) granuloma.
Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes mellitus Prevalensi bakteriuria
asimtomatik pada pasien diabetes wanita dua kali lebih sering daripada wanita
non diabetes. Demikin pula resiko untuk mendapatkan penyakit akibat ISK lebih
besar. Hal ini diduga karena pada diabetes sudah terjadi kelainan fungsional pada
sistem urinaria maupung fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh. Kelainan
fungsional yang sering dijumpai adalah sistopati diabetikum. Oleh karena pada
diabetes, terjadi penurunan sensitifitas buli-buli sehingga memudahkan distensi
buli-buli

serta

penurunan

kontraktilitas

detrusor

dan

kesemuanya

ini

menyebabkan terjadinya peningkatan residu urine. Kesemuanya itu menyebabkan


mudah terjadi infeksi. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien diabetes yang
menderita ISK adalah: sistisitis emfisematosa, pielonefritis emfisematosa,
nekrosis papiller ginjal, abses perinefrik, dan bakteriemia. Mudahnya terjadi

23

komplikasi emfisematosa pada organ dimungkinkan karena pada diabetes (1)


sering terinfeksi oleh kuman yang membentuk gas, (2) menurunnya perfusi
jaringan, dan (3) kadar glukosa yang tinggi memudahkan pertumbuhan
uropatogen. Pielonefritis pada pasien diabetes mendapatkan terapi antibiotik
parenteral sampai 24 jam bebas deman dan gejalanya mereda, setelah itu
diteruskan dengan pemberian obat-obatan per oral sampai 14 hari. Pemilihan
antibiotik disesuaikan dengan kultur dan sensitifitas kuman. Golongan
trimetoprim-sulfametoksazol cukup baik untuk ISK, namun harus hati-hati jika
bersama dengan obat antidiabetikum.
B. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang kompleks, yang
memerlukan perawatan medis secara terus menerus dengan strategi penurunan
risiko multifaktor untuk mengontrol kadar gula darah. Diabetes mellitus adalah
kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh
gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya.
Perubahan metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting
dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes
mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau
diabetes tipe 2 (dengan komplek patofisiologi yang menggabungkan resistensi
insulin dan kegagalan sel dan dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat
juga berkaitan dengan lingkungan hormonal gestasional, defek genetik, infeksi
lainnya, dan obat-obat tertentu.(Jurnal Farmasi)

24

2. Klasifikasi
Diabetes dapat diklasifikasikan ke delam empat kategori klinis:
Diabetes tipe 1 (disebabkan destruksi sel , biasanya menjadi tergantung
terhadap insulin secara absolut)
Diabetes tipe 2 (disebabkan defek pada sekresi insulin secara progresif yang
melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin)
Diabetes karena penyebab spesifik lainnya, contohnya disebabkan defek genetik
pada fungsi sel , defek pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti
fibrosis kistik), dan dipicu obat atau zat kimia (seperti pada terapi HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ.
Diabetes mellitus gestasional (diabetes didiagnosis selama hamil)
Beberapa pasien tidak bisa diklasifikasikan secara jelas termasuk diabetes
tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perjalanan penyakit bervariasi luas pada
kedua tipe diabetes. Kadang-kadang, pasien yang didiagnosis dengan diabetes tipe
2 dapat menjadi ketoasidosis. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 secara khas
menampilkan gejala poliuria/polidipsia dan kadang-kadang dengan ketoasidosis.
Bagaimanapun, kesulitan diagnosis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa muda,
dan dewasa tua, dengan diagnosis sebenarnya semakin jelas seiring waktu.
(standar medical care)

3. Gejala Klinis Diabetes Mellitus


Berikut gejala klinis pada diabetes mellitus

25

Gejala Umum
Poliuria

Gejala diabetes tipe 1


Gejala diabetes tipe 2
Penurunan berat badan Biasa menngenai orang

Nokturia

mendadak

diikuti dengan kelebihan berat

Deplesi garam & air: rasa poliurea, noktureea, dan badan


haus, pusing

polidipsia

Kelelahan

Umumnya muncul pada usia 40 tahun

Perubahan

Sebagian besar mengenai

aktivitas usia 10-12 tahun

visual

Kelelahan

Kandidiasis

genital,

berlebihana, tinfeksi trsktus urinarius

Gejala infeksi : Puritis, peningkatan nafsu makan


infeksi kulit & kuku

Atrofi

Diare

paha

muskular

pada

Bau aseton

3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang

26

diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik


DM seperti di bawah ini:
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).

27

2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma


puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL.
Tabel kriteria diagnostik DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa)

28

Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua)
jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
5. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah
puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal yang pada umumnya tidak diikuti dengan
rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.

29

Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk


penyakit lain atau general check-up
Tabel . Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Bukan DM

Belum pasti

DM
200

Kadar glukosa

Plasma

<100

DM
100-199

darah sewaktu

vena
Darah

<90

90-199

200

kapiler
Plasma

<100

100-125

125

vena
Darah

<90

90-99

100

(mg/dL)
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dL)
kapiler
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

30

Bagan . Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi


Glukosa

4. Petalaksanaan

31

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes.
5.1 Tujuan Pelaksanaan
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa
-

nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.


Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.


Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,


tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
4.1
a.
b.
c.
d.

Pilar Pelaksanann DM
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama


beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan
yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

32

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan


perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.
b. Terapi gizi medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
1) Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

33

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.


Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan
lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu,
dan tempe.

34

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat

Seperti

halnya

masyarakat

umum

penyandang

diabetes

dianjurkan

mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta


sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

35

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek


samping pada lemak darah.
Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI)
2. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada
beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:

36

IMT = BB(kg)/ TB(m2)


Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%
dengan aktivitas sangat berat.
Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan

37

Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk


meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal
perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.
Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
C. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.

38

Kurangi Aktivitas

Misalnya,

Hindari aktivitas sedenter

menggunakan internet, main game

Persering Aktivitas

komputer
Misalnya, jalan cepa, golf, olah otot,

Mengikuti

olahraga

rekreasi

menonton

televisi,

dan bersepeda, sepakbola

beraktivitas fisik tinggi pada waktu


liburan
Aktivitas Harian

Misalnya, berjalan kaki ke pasar (tidak

Kebiasaan bergaya hidup sehat

menggunakan mobil), menggunakan


tangga

(tidak

menggunakan

lift),

menemui rekan kerja (tidak hanya


melalui telepon internal), jalan dari
tempat parkir
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e) DPP-IV inhibitor
39

a) Pemicu Sekresi Insulin


1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
b) Peningkatan sensitivtas terhadap insulin
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan

ini

mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan


ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien

40

dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c) Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat

ini

mempunyai

efek

utama

mengurangi

produksi

glukosa

hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.


Terutama

dipakai

pada

penyandang

diabetes

gemuk.

Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin


>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
d) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens
e) DPP-IV Inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

41

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon..
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

42

2. Suntikan
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat
jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin

43

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia..


Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short
acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan

44

dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali
basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal
bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Cara Penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau
drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah,dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila
tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan
dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin
tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

45

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan


jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah
unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/mL).
b) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1
yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan
pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
c) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

46

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin.

6.3 Penilaian hasil terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a) Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

47

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b) Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
c) pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara
pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara
berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan
cara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan
(menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur(untuk menilai adanya hipoglikemia

48

nokturnal yang kadang tanpa gejala),atau ketika mengalami gejala seperti


hypoglycemic spells
PDGM terutama dianjurkan pada:
Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
Penyandang DM dengan terapi insulin berikut
Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi
Wanita yang merencanakan hamil
Wanita hamil dengan hiperglikemia
Kejadian hipoglikemia berulang.

49

50

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed-time)


dilakukan
pada jam 22.00
d) Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar
glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat
bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka
waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak
dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
e) Pemantauan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah
>300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang
diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,

51

sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapat dilakukan pe meriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah
secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta
hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut
ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar
glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya
penyulit akut diabetes, khususnya KAD.

f) Kriteria Pengendalian DM
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali
kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan
sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan
lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan
mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah
kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.

Parameter
IMT (kg/m3)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Tekanan darah diastolik (mmHg)
Glukosa Darah Puasa (mg/dL)
Glukosa Darah 2 jam PP (mg/dL)
HbA1c (%)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigliserid (mg/dL)

Risiko KV (-)
18,5-<23
<130
<80
<100
<140
<7
<100
Pria > 40

RisikoKV (+)
18,5-<23
<130
<80
<100
<140
<7
<70
Pria > 40

Wanita > 50
<150

Wanita > 50
<150

52

Hipertensi pad Diabetes


Indikasi pengobatan :
Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.
Sasaran (target penurunan) tekanan darah:
Tekanan darah <130/80 mmHg
Bila disertai proteinuria 1gram /24 jam :
< 125/75 mmHg
Pengelolaan:
Non-farmakologis:
Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan
aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi
konsumsi garam
Farmakologis:
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH):
Pengaruh OAH terhadap profil lipid
Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:
Penghambat ACE
Penyekat reseptor angiotensin II
Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
Diuretik dosis rendah
53

Penghambat reseptor alfa


Antagonis kalsium
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-39 mmHg atau
tekanan diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan
gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan
terapi farmakologis
Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik
>90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsiks
ung.
Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan
monoterapi.
Catatan
- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II
receptor blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat
memperbaiki mikroalbuminuria.
- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.- Diuretik (HCT)
dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa.
- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.
- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis
secara bertahap.
- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

C. Hipertensi

54

Hipertensi adalah salah satu penyakit terbanyak yang mengnai manusia


dan merupakan faktor risiko mayor untuk strok, infark miokard, penyakit
vaskular, dan penyakit ginjal kronik. Hipertensi merupakan faktor risiko
terpenting yang bisa diubah pada penyakit jantng koroner (penyebab kematian
terbanyak pada Amerika Utara), stroke (penyebab ketiga kematian), gagal jantung
kongestif, penyakit ginjal stadium akhir, dan penyakit vaskular perifer.
1. Klasifikasi
Berdasarkan rekomendasi dari Joint National Comitte (JNC) 7, klasifikasi tekanan
darah (dalam mmHg), untuk dewasa dengan umur 18 tahun ke atas adalah:
Normal : sistolik lebih renddah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80
mmHg
Prehipertensi : sistolik 120-139 mmHg, diastolik 80-89 mmHg
Derajat 1 : sistolik 140-159 mmHg, diastolik 90-99 mmHg
Derajat 2 : sistolik 160 mmHg, diastolik 100 mmHg
2. Etiologi
2.1 Hipertensi Primer
Sekitar 95% dari orang dewasa dengan hipertensi menderita hipertensi
primer (disebut juga hipertensi esensial). Penyebab dari hipertensi primer tidak
diketahui meskipun faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi regulasi
tekanan darah saat ini sedang dipelajari.Faktor lingkungan mencakup asupan
garam berlebih, obesitas, dan mungkin gaya hidup sedentari. Beberapa faktor
55

faktor genetik yang terkait mencakup aktivitas tinggi yang tidak sesuai dari
sisttem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis dan sensitivitas
terhadap efek garam pada tekanan darah.
Penyebab

lainnya

yang

umum

adalah

penebalan

aorta

seiring

bertambahnya usia. Ini menyebabkan hipertensi yang dikenal dengan hipertensi


sistolik predominan atau terisolasi yang ditandai dengan tekanan sistolik yang
tinggi ( sering dengan tekanan diastolik yang normal), yang sering ditemukan
pada lansia.
2.2 Hipertensi sekunder
Hipertensi jenis ini relatif dalam jumlah kecil, sekitar 5% dari semua
hipertensi, dimana penyebab tekanan darah tinggi dapat diidentifikasi dan kadangkadang dapat ditangani. Tipe utama dari hipertensi sekunder adalah penyakit
ginjal kronis, stenosis arteri renal, sekresi aldosteron berlebih, feokromositoma,
dan sleep apnea. (ash-ish guidelines)
1. Hipertensi Primer
2. Hipertensi Sekunder

Koarktatio aorta

Renal

Pregnancy-induced hypertension

Parenkim renal

Kelainan neurologis

Nefritis kronis

Peningkatan tekanan intrakranial

Penyakit polikistik

Tumor otak

Nefropati diabetik

Ensefalitis

Hidronefrosis

Asidosis respiratori

Renovaskular

Sleep apnoea
56

Stenosis arteri renal

Quadriplegia

Vaskulitis intrarenal

Disautonomia familial

Renin-producing tumours

Definition and classification

Renoprival

Porfiria akut

Retensi natrium primer (Sindrom

Guillain-Barre syndrome

Liddle, Sindrom Gordon)

Keracunan timah

Endokrin

Stress akut,mencakup operasi

Akromegali

Hiperventilasi psikogenik

Hipotiroidisme

Hipoglikemia

Hiperthiroidisme

Luka bakar

Hiperkalsemia

Pankreatitis

(hiperaparatiroidisme)

Ketergantungan Alkohol

Adrenal

Penyalahgunaan alkohol dan obat-

i. Cortical

obatan

Sindrom Cushing

Krisis sel sabit

Aldosteronisme primer

Setelah resusitasi

Hiperplasia adrenal kongenital

Pasca operasi

apparent mineralocorticoid

Peningkatan volume intravaskular

excess (liquorice)
ii. Medulla
feokromositoma
Tumor kromafin ekstra adrenal
Karsinoid

57

Hormon eksogenous: estrogen,


glukokortikoids, mineralokortikoids,
simpatomimetik, makanan mengandung
tiramin, monoamine oxidase
inhibitors
3. Hipertensi sistolik
1. Peningkatan cardiac output
Insuffisiensi katup aorta

Penyakit Paget tulang


Beri-beri

Fistula arteriovenousa, duktus Sirkulasihiperkinetik


arteriosus paten
Tirotoksikosis
2. Rigiditas aorta
3. Hipertensi iatrogenik

3. Faktor Risiko
Terdapatnya faktor risiko kardiovaskular, terutama diabetes mellitus,
kerusakan organ target, penyakit ginjal dan kardiovaskular, akan meningkatkan
risiko hipertensi. (WHO)
Tabel. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis hipertensi
Faktor Risiko
Tekanan darah sistolik dan diastolik
Pria : usia > 55 tahun
Wanita : usia > 65 tahun

58

Merokok
Dislipidemia
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuular prematur (pria usia < 55
tahun, wanita usia < 65 tahun)
Obesitas abdominal (lingkar perut 102 cm untuk pria, 88 cm untuk wanita)
Protein C reaktif 1 mg/dL
Kerusakan organ target
Hipertrofi ventrikel kiri (indeks massa LV > 125 g/m 2 pada pria, > 110 g/m2 pada
wanita
Ketebalan intima media karotis 0,9 mm atau plak aterosklerotik
Kreatinin serum > 1,3 mg/dL pada pria, 1,2 mg/dL pada wanita
Mikroalbuminaria
Diabetes mellitus
Gula darah puasa 126 mg/dL
Gula darah pasca puasa 200 mg/dL
Kondisi klinis terkait
Penyakit serebrovaskular (serangan iskemik transien, stroke, perdarahan)
Penyakit jantung (angina, infark miokard, gagal jantung)
Penyakit ginjal (nefropati diabetik, kreatinin serum > 1,5 mg pada pria, > 1,4 mg
pada wanita, proteinuria > 300 mg/24 jam)
Penyakit vaskular perifer
Retinopati lanjut (perdarahan, eksudat, papilledema)

4. Tatalaksana
4.1 Tujuan talaksana
59

Tujuan utama tatalaksana pasien dengan hipertensi adalah untuk


menurunkan secara maksimum risiko morbiditas dan mortalitass kardiovaskular.
Hal ini memerlukan:
Terapi terhadap semua faktor risiko yang reversibel mencakup merokok,
dislipidemia, dan diabetes mellitus
Manajemen yang sesuai terhadap kondisi klinis seperti gagal ginjal kongestif,
penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer dan serangan iskemik transien.
Mencapai nilai tekanan darah <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes
mellitus atau penyakit ginjal kronis.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.
Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan
tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta
penyakit penyerta lainnya.
Terapi nonfarmakologis terdiri dari:
menghentikan merokok
menurunkan berat badan berlebih
menurunkan konsumsi alkohol berlebih
latihan fisik
menurunkan asupan garam
meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

60

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang


dianjurkan oleh JNC 7:
diuretika, terutama jenis thiazid dan antagonis aldosteron
Beta blocker
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi, terapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu :
faktor sosio ekonomi
profil faktor risiko kardiovaskular
ada tidaknya kerusakan organ target
ada tidaknya penyakit penyerta
variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain
bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan risiko kardiovaskular

61

Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi


menyatakan keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.
Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi
tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu.
Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang
memerlukan pertimbangan khusus (Special Consideration), yaitu kelompok
Indikasi yang Memaksa (Compelling Indication) dan Keadaan Khusus lainnya
(Special Situation).
Indikasi yang memaksa meliputi:
gagal jantung
pasca infark miokardium
risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
diabetes
penyakit ginjal kronis
pencegahan strok berulang
Keadaan khusus lainnya meliputi:
populasi minoritas
obesitas dan sindrom metabolik
62

hipertrofi ventrikel kanan


penyakit arteri perifer
hipertensi pada usia lanjut
hipotensi postural
demensia
hipertensi pada perempuan
hipertensi pada anak dan dewasa muda
hipertensi urgensi dan emergensi
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target
tekanan darah dicapai secara progresif dala beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang
memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah
memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi
tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi
dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan
darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan
dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah.
Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik
tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat

63

meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah


obat yang harus diminum bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah
diuretika dan ACEI atau ARB
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
kadang-kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

Kelas Obat

Indikasi

Kontraindikasi
Mutlak

Tidak
Mutlak

Diuretika

Gagal jantung kongestif, usia Gout

(thiazid)

lanjut,

isolated

Kehamilan

systolic

hypertension, ras afrika


Diuretika (Loop)

Insufisiensi

ginjal,

gagal

jantung kongestif
Diuretika

(anti Gagal

jantung

kongestif, Gagal ginjal,

aldosteron)

pasca infark miokardium

hiperkalemia

Penyekat

Angina pektoris, pasca infark Asma,

Penyakit

64

miokardium, gagal jantung penyakit

pembuluh

kongestif,

darah

kehamilan, paru

takiaritmia

obstruktif

perifer,

menahun, A- intoleransi
V

block glukosa, atlit

(derajat

2 atau

pasien

yang

aktif

atau 3)

secara fisik
Calcium

Usia lanjut, isolated systolic

Takiaritmia,

Antagonist

hypertension, angina pektoris,

gagal

(dihydropiridine)

penyakit

jantung

pembuluh

darah

perifer, aterosklerosis karotis,

kongestif

kehamilan
Calcium

Angina

pektoris, A-V

Antagonist

aterosklerosis

(Verapamil,

takikardia supraventrikuler

block

karotis, (derajat

diltiazem)

atau 3), gagal


jantung
kongestif

Penghambat ACE

Gagal

jantung

kongestif, Kehamilan,

disfungsi ventrikel kiri, pasca hiperkalemia


infark

miokardium,

non- ,

stenosis

diabetik nefropati, nefropati arteri renalis


DM tipe 1, proteinuria

bilateral

65

Angiotensin

II Nefropati,

receptor

DM

mikroalbuminaria

antagonist

(ATI- proteinuria,

blocker)

tipe

2, Kehamilan,

diabetik, hiperkalemia
hipertrofi ,

stenosis

ventrikel kiri, batuk karena arteri renalis


ACEI

Penyekat

bilateral

Hiperplasia prostat (BPH), Hipotensi

Gagal

hiperlipidemia

jantung

ortostatis

kongestif

Indikasi yang memaksa

Pilihan terapi awal

Gagal jantung

Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo ant

Pasca infark miokard

BB, ACEI, Aldo Ant

Risiko

penyakit

pembuluh

darah Thiaz, BB, ACEI, CCB

koroner
Diabetes

Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB

Penyakit ginjal kronis

ACEI, ARB

Pencegahan stroke berulang

Thiaz, ACEI

5. Pemantauan
Pasien yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi
lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6
66

bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya
komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes,
dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:
empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien
dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya kepercayaan pasien
serta sikap terhadap pengobatan.
pasien diberitahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih harus
dicapai, rencana pengobatan selanjutnya, serta pentingnya mengikuti rencana
tersebut.
Penyebab hipertensi resisten:
1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. dosis belum memadai
3. ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi
4. ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
asupan alkohol berlebih
kenaikan berat badan berlebih
5. kelebihan volume cairan tubuh

67

asupan garam berlebih


terapi diuretika tidak cukup
penurunan fungsi ginjal berjalan progresif
6. adanya terapi lain
masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan darah
adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinterkasi dengankerja obat
antihiperteni
7. adanya penyebab hipertensi lain/sekunder.
Jika dalam 6 bulan target pengobatan ( termasuk target tekanan darah) tidak
tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau
subspesialis.Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau
penyakit ginjal, baik

American Diabetes Association (ADA) maupun

International Society of Nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan


kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60
ml/men/1,73 m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau
hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi
glomerulus mencapai < 30 ml.men/1,73 m2 atau lebih awal jika pasien berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis
pasien diragukan.

68

Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan


cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti
sebelum

dimulai

pengobatan

antihipertensi.

Walaupun

demikian,

ada

kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara


bertahap bagi pasien yang diagnoss hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh
terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus disertai pengawasan
tekanan darah yang ketat.

69

BAB IV
DISKUSI
Infeksi saluran kemih adalah infeksi pada saluran kemih yang secara
mikrobiologis terdapat mikroorganisme dalam urin. Infeksi organ urogenitalia
seringkali dijumpai pada praktk dokter sehari-hari mulai infeksi ringan yang baru
diketahui pada saat pemeriksaan urine maupun infeksi berat yang dapat
mengancam jiwa. Pada dasarnya infeksi ini dimulai dari infeksi pada saluran
kemih (ISK) yang kemudian menjalar ke organ-organ genitalia bahkan sampai ke
ginjal. ISK itu sendiri adalah merupakan reaksi inflamasi sel-sel urotelium
melapisi saluran kemih.
Diagnostik ISK dibuat dengan terdapatnya gejala klinis yang sesuai
ditambah dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Gambaran klinis infeksi
saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan
gejala yang sangat berat akibat kerusakan organ-organ lain. Pada umumnya
infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat, epididimis, dan testis)
memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada organ-organ beronggga
(buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang lebih ringan.
Diagnosis berdasarkan simptom iritatif (disuria, frekuensi, dan urgensi)
dan tidak terdapatnya sekret atau rasa gatal pada vagina. Pemeriksaan urine
merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada infeksi saluran
kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan pemeriksaan kultur
urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan dipstick mauun secara
mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara

70

mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per
lapangan pandang besar. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu
(colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine porsi tengah,
sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan bakteriruria
bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.(18_uro)
Pada anamnesis yang dilakukan pada tanggal 21 April 2014, pasien
menunjukkan salah satu tanda klinis dari infeksi saluran kemih yaitu demam.
Demam merupakan gejala sistemik yang paling sering muncul pada kasus infeksi
saluran kemih. Keluhan ini juga disertai keluhan iritatif yaitu urgensi dan poliuria,
dan tidak ada riwayat keluar sekret ataupun rasa gatal pada vagina.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan penderita tampak sakit sedang,
demam. Namun pada pasien tidak ditemukan adanya nyeri ketok ginjal. Untuk
pemeriksaan laboratorium yang menunjang, pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan urinalisa pada tanggal 22 April 2014. Dari hasil urinalisa didapatkan
warna kuning agak keruh, leukosit 2+, dan pada urinalisa sedimen didapatkan
hasil leukosit 10-15. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara
mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per
lapangan pandang besar. Hal ini menunjukkan terjadi piuria pada pasien. Namun
tidak terdapat bukti telah terjadi bakteriuria pada pasien ini.
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak
perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera
mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan
di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian

71

medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang


diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.
Pada kepustakaan yang lain,pada ISK yang disertai dengan komplikasi
seperti abnormalitas struktur urologi, diabetes, imunosupresi, hamil, atau baru saja
mengalami manipulasi pada traktus urulogi, maka untuk tatalaksana pertama
dapat diberikan antibiotik trimetoprim/sulfa atau golongan fluoroquionolone
selama 7-14 hari (fluoroquinolone kontraindikasi pada kehamilan).
Pada pasien ini cairan intravena Ringer Laktat (RL) 20 tetes per menit,
injeksi ceftriakson 2 x 1 gram, injeksi ranitidin 2 x 1, dan parasetamol 3 x 500 mg
per oral. Pemberian RL dimaksudkan sebagai hidrasi pada pasien di atas.
Ceftriakson digunakan sebagai antibiotik yang dipilih.
Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yang
memiliki aktivitas spektrum luas pada gram negatif, dan lebih lemah pada gram
positif. Ceftirakson memiliki efektivitas yang lebih tinggi pada organisme yang
resisten, sangat stabil pada bakteri penghasil beta laktamase. Efek antibakteri
ditimbulkan dari hambatan sintesis dinding sel oelh pengikatan 1 atau lebih
protein pengikat penisilin, menimbulkan efek antimikrobial dengan mengganggu
sintesis dari peptidoglikan (komponen struktur utama dari dinding sel bakteri).
Ceftriakson diabsorpsi secara baik melalui intramuskular dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, mencakup kandung empedu, paru, tulang, cairan serebrospinal,
dimetabolisme di hati dan di ekskresi lewat urin (33-65% dalam bentuk awal),
feses. Pada infeksi saluran kemih, seftriakson dapat diberikan dengan dosis 1-2

72

gram/hari secara IV/IM dengan dosis tunggal atau dosis terbagi setiap 12 jam
selama 4 sampai 14 hari tergantung tipe dan beratnya infeksi.
Pada kepustakaan, antibiotik terpilih pada pengobata ISK pada pasien
diabetes melitus bisa diberikan trimetoprim-sulfametoksazol(TMS). TMS bekerja
dengan menghambat dua tahapanpada biosintesis anam nukleat dan protein
esensial untuk banyak bakter. Trimetoprim bekerja dengan menghambat
dihydrofolate reductase, yang menghambat produksi asam tetrahidrofolat dari
asam dihidrofolat. Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat sintesis asam
dihidrofolat dengan berkompetisi terhadap asam paraaminobenzoat. TMS
dimetabolisme di hati dan dieksresi di urine dalam bentuk obat awal (tidak
berubah). TMS diberikan pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh
bakteri yang sensitif seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, spesies
Enterobacter, Morganella morganii, Proteus mirabilis, dan Proteus vulgaris. Pada
pielonefritis dapat diberikan 1 tablet dosis ganda atau 2 tablet dosis normal per
oral setiap 12 jam selama 14 hari. Ada sistitis akut dapat berikan selama 3 hari.
Pada penelitian Rosenberg JM et al yang membandingkan efektivitas
penggunaan

seftriakson

dengan

pengobatan

standar

yaitu

trimetoprim

sulfametoksazol. Peneliti membagi menjadi dua kelompok yaitu 20 orang yang


mendapatkan pengobatan seftriakson, dan 13 orang yang mendapat trimetoprim
sulfametoksazol. Hasil penelitian menunjukkan angka kesembuhan pada
kelompok yang mendapat seftriakson (18 dari 20, 90%) tidak didapatkan
perbedaan signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan
trimetoprim sulfametoksazol (13 dari 13). (single dose...)

73

Pada pasien diberikan ranitidin 2 x 1. Ranitidin merupakan antagonis


reseptor H2. Ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 pada sel parietal
lambung untuk menimbulkan hambatan pada sekresi lambung. Ranitidin pada
pasien rawat inap diberikan sebagai profilaksis stress ulser atau acid supressive
therapy (AST). Pemberian ranitidin sebagai AST mengikuti indikasi yang telah
ditetapkan. Faktor risiko pada pasein sebagai indikasi untuk pemberian AST
adalah pasien yang menggunakan bantuan ventilasi mekanik selama lebih dari 48
jam, pasien dengan koagulopati (ditandai dengan jumlah trombosit di bawah 50 x
109 /L, atau international normalized ratio INR lebih besar dari 1,5 atau waktu
partial thromboplastin meningkan 2x dibandingkan dengan nilai normal), sepsis
berat, syok, gagal hati, gagal ginjal, luka bakar dengan luas lebih dari 35%
permukaan tubuh, transplantasi organ, trauma kepala, trauma korda spinalis,
riwayat penyakit ulkus peptik, riwayat perdarahan saluran cerna. Penggunaan
terapi steroid tidak dianggap sebagai faktor risiko terjadinya stress ulkus kecuali
digunakan bersamaan dengan adanya faktor risiko lainnya seperti penggunaan
aspirin atau obat antiinflamasi non steroid.
Pemberian ranitidin sebagai AST merupakan obat tersering yang
diresepkan pada pasien rawat inap. Berbagai penelitian menunjukkan pemberian
AST sering berlebihan pada pasien rawat inap. Pada penelitian Ruchi Gupta et al,
70% dari pasien rawat inap mendapatkan AST, dan 73% diantaranya tidak perlu.
Untuk gejala demamnya, pada pasien ini mendapatkan parasetamol per
oral 3 x 500 mg. Parasetamol merupaka golongan analgesik antipiretik yang
bekerja di hipotalamus untuk menimbulkan efek antipiretik, dan bekerja di perifer

74

pada pembentukan sensasi nyeri, juga menghambat sisntesis prostaglandin pada


sistem saraf pusat. Parasetamol dimetabolisme di hati dan dieksresi lewat urin.
Untuk mendapatkan efek antipiretik dan analgetik, diberikan dosis 325-650 mg
per oral atau per rektal setiap 4 jam jika perlu, atau 500 mg per oral setiap 8 jam
jika perlu. Dosis maksimal per hari adalah 4 gram.
Pada tanggal 24 April 2014, pasien tidak lagi mengalami, demam. Pasien
juga sudah dapat makan dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan
intravena. Dengan demikian, pasien ini diperbolehkan pulang dan menjalani rawat
jalan.
Pasien di atas juga mengidap diabetes mellitus dan hipertensi terkontrol.
Diabtetes mellitus diketahui dari anamnesis bahwa pasien sudah mengkonsumsi
obat anti diabetes sejak seminggu terakhir. Pengelolaan DM dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).
Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. Pada pasien ini menerima obat hipoglikemik oral (OHO).
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

75

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Pasien juga diketahui mengidap hipertensi sejak tahun 2010. Pasien rutin
mengkonsumsi obat antihipertensi. Saat datang, tekanan darah pasien 130/90
mmHg. Pada pasien hipertensi dengan DM, maka pilihan untuk obat
antihipertensinya adalah thiazid, beta blocker, ACEI, ARB, CCB.

76

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 55 tahun yang didiagnosis


ISK dengan diabetes mellitus dan hipertensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah
ditatalaksana dengan terapi suportif, simptomatik dan definitif. Setelah pasien
dirawat selama 4 hari dari tanggal 21 s/d 24 April 2014 akhirnya pasien
diperbolehkan pulang dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat jalan.

77

DAFTAR PUSTAKA

1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl
J Med 2002; 347(22): 1770-1782.
2. Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA,
Sumarno W et al. Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di
Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;6: 16-18.
3. FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.
4. World Health Organization. 2003. Background Document: The Diagnosis,
Treatment And Prevention Of Typhoid Fever, Geneva, Switzerland.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 (online)
(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESI
A_2010.pdf.
6. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl
J Med 2002; 347(22): 1770-1782.
7. Pramitasari, O. P. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita
Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Journal Kesehatan
Masyarakat. 2013; Volume 2.
8. James, Chin MD, MPH. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Edisi 17. Jakarta: Infomedia.
9. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta:
Interna Publishing, 2009.
10. Huan J. Chang, MD, MPH. Typhoid Fever. JAMA. 2009;302(8):914.
11. Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy. Horrisons Gastroenterology and
Hepatology. 2010. China : The McGraw-Hill.
12. Gladwin, M., Trattler, B., 1999, The enteric. In: Clinical Microbiology
Made Ridiculously Simple. Med Master Inc.Miami, 54-61.
13. Herawati, M.H., dan L. Ghanie.2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan
Kejadian Demam Tifoid Di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti Dan
Pengembang Kesehatan.Volume XIXNomor 4: hal 165-173.

78

14. Wardana IMTN, Herawati S, dan Yasa IWPS. 2010. Diagnosis demam
thypoid dengan pemeriksaan widal. SMF patologi klinik FK Udayana. 1-13
15. Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12 (1): 31-37.
16. Saraswati NA, Junaidi AR, dan Ulfa M. 2012. Karakteristik tersangka
demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit muhammadiyah palembang
periode tahun 2010. syifa'MEDIKA; 3(1): 1-11.
17. Mulyawan Sylvia, Surjawidjaja Julius. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal
Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit.
Jakarta:2004. p. 14-6.
18. Camilo Acusta, Dr et all. Background Document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention of Typhoid Fever. WHO. 2007.
19. Anonymous. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. KEMENKES RI.
2006: no. 364.
20. Loho, T., Sutanto, H., Silman, E., 2000, Dalam: Demam tifoid peran
mediator, diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan
Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta, 22-42.
21. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol
dan seftriakson di RSUD Dr. Soetomo dan di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang: 27-32.
22. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet
2005; 366: 749-62.
23. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid
fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.whoint/vaccines-documents/
24. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and
safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30.
25. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A
comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric
fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.

79

Anda mungkin juga menyukai