ISK
Oleh :
Dita Irmaya
NIM. I1A010010
Pembimbing :
Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM
BAB I
PENDAHULUAN
tidak
terkontrol
terkait
dengan
berbagai
komplikasi
neuropati,
Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan diabetes tipe 2 tidak
sepenuhnya bergantung pada insulin untuk hidup. Perbedaan ini menjadi dasar
pada istilah lama untuk tipe 1 dan 2, diabetes tergantung insulin dan diabetes tidak
tergantung insulin.(medscape)
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian
medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasi dan
merawatnya jika terjadi. Ini merupakan penyakit yang membutuhkan biaya mahal,
di Amerika Serikat pada tahun 2007, biaya yang langsung berhubungan dengan
diabetes adalah 116 milyar dolar, dan total biaya sekitar 174 milyar dolar; orang
dengan diabetes mengeluarkan biaya medis rata-rata 2,3 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. (Medscape)
Di Indonesia, 8.426.000 penduduk menderita diabetes pada tahun 2000,
dan diperkirakan menjadi 21.257.000 pada tahun 2030. Sedangkan untuk dunia,
171.000.000 penduduk menderita diabetes, dan diperkirakan menjadi 366.000.000
pada 2030. Sepuluh negara dengan penderita diabetes terbanyak adalah India,
China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan
Bangladesh.
Predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita
diabetes melitus diakibatkan berbagai faktor. Kepekaan meningkat seiring
lamanya durasi dan beratnya derajat diabetes. Kandungan glukosa darah yang
tinggi menyebabkan gangguan faktor imun penjamu terhadap infeksi.
Hiperkalsemia menyebabkan disfungsi neutrofil dengan meningkatkan kadar
kalsium intraselular dan mengintervensi dengan aktin, diapedesis dan fagositosis.
Kandidiasis vagina dan penyakit vaskular juga berperan penting pada infeksi yang
berulang.(medscape)
Sepanjang waktu, pasien dengan diabetes dapat berkembang sistopati,
nefropati, dan nekrosis papilar renal, mempermudah terjadinya ISK. Efek jangka
panjang sistopati diabetik mencakup refluks vesikouretral dan ISK berulang .
Sebagai tambahan, sebanyak 30 persen wanita dengan diabetes mempunyai
sistokel, sistouretrokel, atau rektokel dalam berbagai derajat. Semua hal ini
berperan dalam frekuensi dan beratnya ISK pada wanita dengan diabetes.
(medscape).
Hipertensi merupakan kondisi komorbid diabetes yang sangat sering
terjadi, mempengaruhi 20-60% pasien diabetes, tergantung pada obesitas, etnis,
dan usia. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering terjadi sebagai bagian dari
sindrom metabolik dari resistensi insulin juga mencakup obesitas sentral dan
dislipidemia. Pada diabetes tipe 1, hipertensi dapat menandakan onset nefropati
diabetik. Hipertensi meningkatkan risiko dari komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular, meliputi stroke, penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskular
perifer, retinopati, nefropati, dan kemungkinan neuropati.
BAB II
LAPORAN KASUS
3.1.Identitas pasien
Nama
: Ny. SN
Umur
: 55 tahun
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
Alamat
MRS
RMK
: 70-02-72
3.2.Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2014.
3.2.1
Keluhan Utama
Demam.
3.2.2
cuma turun sebentar kemudian naik lagi. Pasien merasa badan lemas
kurang lebih 1 minggu terakhir. Tidak ada mual muntah. Tidak ada
keluhan sakit kepala, tidak ada pusing. Pasien mengaku sering kencing
dalm 1 bulan terakhir. Kencing jernih, kencing kemerahan tidak ada, tidak
ada nyeri kencing, tidak ada ada kencing berpasir, nyeri pinggang tidak
ada. Pasien mengaku kurang lebih satu minggu yang lalu diperiksa gula
darahnya dan ternyata tinggi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat
gula darah setiap hari. Pasien juga mengatakan adanya rasa selalu ingin
makan dan selalu ingin minum, dan pasien merasakan adanya penurunan
berat badan.
3.2.3
: Sedang
Gizi
: Baik
Berat Badan
: 62 kg
Tinggi Badan
: 158 cm
Tanda vital
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 130/90 mm Hg
Laju nadi
: 95 kali/menit
Laju nafas
: 28 kali/menit
: 38,5oC
GCS
: 4-5-6
Leher
Toraks
Pulmo
Jantung
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Eksremitas
Atas
Bawah
Pemeriksaan
Hemoglobin
Lekosit
Hasil
15,4
7,2
Nilai
Rujukan
11.00 16.00
4.0 10.5
Satuan
g/dL
ribu/uL
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
GDS
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Klorida
5,07
45,7
155
90,3
30,3
33.6
92
119
93
17
0.8
127.0
3.9
91.2
Widal
Salmonella typhi O
Salmonella typhi H
Salmonella paratyphi
AO
Salmonella paratyphi
AH
Salmonella paratyphi
BO
Salmonella paratyphi
BH
Salmonella paratyphi
CO
Salmonella paratyphi
CH
4.0 5.50
32.00 44.00
150 450
80.0 97.0
27.0 32.0
32.0 38.0
<200
0-46
0-45
10-50
0.6-1.2
135-146
3.4-5.4
95-100
Hasil
Negati
ve
1/80
Negati
ve
1/40
Negati
ve
1/40
1/40
1/40
juta/uL
vol%
ribu/uL
Fl
Pg
%
mg/dL
U/I
U/I
mg/dL
mg/dL
mmol/l
mmol/l
mmol/l
Rujuk
an
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
Negati
ve
3. Malaria
b. Planning
darah
1. Diagnostik :
rutin,
widal
slide
test,
antibiotik,
obat
imunoserologi DHF
2. Terapetik
: resusitasi
cairan,
vital,
perdarahan
(epistaksis,
3.7. Evaluasi
Tanggal 22 April 2014
a.Subjective :
(-), Nyeri perut (-), Mual (-), Muntah (-), Makan (+),
Minum (-) Sakit kepala (-), banyak kencing (-),
pandangan kabur (-)
b. Objective
:
TD = 130/90 mmHg
RR = 24 kali/menit
N =76 kali/menit
T = 37oC
Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal
(-/-)
10
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
15.0
7.8
4.92
41.3
140
83.9
30.5
36.3
67
137
142
125
110
32
0.9
3.6
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
11.00 14.00
4.0 10.5
4.0 5.50
32.00 44.00
150 450
80.0 97.0
27.0 32.0
32.0 38.0
70-105
150-220
40-140
0 46
0 45
10 50
0.6 1.2
2.4-5.7
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
g/dL
ribu/uL
juta/uL
vol%
ribu/uL
Fl
Pg
%
mg/dL
mg/dL
mg/dL
U/I
U/I
mg/dL
mg/dL
mg/dL
Kuning-ag
Keruh
BJ
1.015
Ph
5.0
Keton
Negative
Protein-Albumin
Negative
Glukosa
Negative
Bilirubin
Negative
Darah Samar
Negative
Nitrit
Negative
Urobilinogen
0.1
Leukosit
2+
URINALISIS (SEDIMEN)
Leukosit
10-15
Kuning-Jernih
1.005 1.030
5.0 6.5
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
0.1 1.0
Negative
0-3
11
Keton
Protein-Albumin
Glukosa
Bilirubin
Darah Samar
Nitrit
02
Negative
1+
Negative
Negative
Negative
0-2
Negative
1+
Negative
Negative
Negative
c.Assessment
:
2. DHF
3. Malaria
d. Planning
1. ISK
:
1. Diagnostik :
SGPT,
ureum/creatinin,
: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO. Parasetamol 3x500 mg
3. Monitoring : tanda
vital,
perdarahan
(epistaksis,
12
RR = 24 kali/menit
N = 74 kali/menit
T = 36,8oC
Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)
c.Assessment
d. Planning : 1. Diagnostik :
2. Terapetik
:
ISK
darah rutin, kultur urin
: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO.Parasetamol 3x500 mg
3. Monitoring : tanda
vital,
perdarahan
(epistaksis,
13
TD = 100/70 mmHg
RR = 24 kali/menit
N = 72 kali/menit
T = 36,9oC
Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)
e.Assessment
f. Planning : 1. Diagnostik :
2. Terapetik
:
ISK
darah rutin, kultur urin
: IVFD RL 20 tpm
Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO.Parasetamol 3x500 mg
3. Monitoring : tanda
vital,
perdarahan
(epistaksis,
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
15
ISK complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien
yang menderita kelainan anatomik/struktur saluran kemih, atau adanya penyakit
sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.
First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi
saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah
sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari ISK.
Unresolved bakteriuria adalah ineksi yang tidak mempan dengan pemberian
antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena mikroorganisme penyebab
infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian antibiotika yang dipilih.
Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya
dapat dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama. Timbulnya
infeksi berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria persisten. Pada
reinfeksi kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persisten
bakteri penyebab berasal dari dalam saluran kemih
1. Insiden
Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi
baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami
episode ISK daripada pria, hal ini karena uretra wanita lebih pendek daripada pria.
Namun pada neonatus ISK lebih banyak terdapat pada bayi laki-lak (2,7%) yang
tidak
menjalani
sirkumsisi
daripada
bayi
perempuan
(0,7%).
Dengan
bertambahnya usia, insiden ISK terbalik yaitu pada masa sekolah, ISK pada anak
perempuan 3% sedangkan anak laki-laki 1,1%. Insiden ISK ini pada usia remaja
16
sekitarnya
yang
sebelumnya
telah
terinfeksi.
Sebagian
besar
17
18
uromukuoid ini mengikat fimbria bakteri tipe I dan S sehingga mencegah bakteri
menempel pada urotelium. Sayangnya protein ini tidak dapat berikatan dengan
pili P sehingga baktei yang mempunyai jenis pili ini, mampu menempel pada
urotelium. Bakteri jenis ini sangat virulen dibandingkan dengan yang lain. Pada
usia lanjut, produksi uromukuoid ini menurun sehingga mudah sekali terjangkit
ISK. Selain itu, uromukuoid mengadakan ikatan dengan neutrofil sehingga
meningkatkan daya fagositosisnya. Sebenarnya pertahan sistem saluran kemih
yang paling baik adalah mekanisme wash out urine, yaitu aliran urine yang
mampu membersihkan kuman-kuman yang adal di dalam urine. Gangguan dari
mekanisme ini menyebabkan kuman mudah sekali mengadakaan replikasi dan
menempel pada urotelium. Supaya aliran urine adekuat dan mampu menjamin
mekanisme wash out adalah jika (1) jumlah urine cukup dan (2) tidak ada
hambatan di dalam saluran kemih. Oleh karena itu kebiasaan jarang inum dan
pada gagal ginjal, menghasilkan jumlah urine yang tidak adekuat, sehinga
memudahkan
terjadi
infeksi
saluran
kemih.
Keadaan
lain
yang
bisa
mempengaruhi aliran urine dan menghalangi mekanisme wash out adalah adanya
(1) stagnasi atau stasis urine dan (2) didapatkannya benda asing di dalam saluran
kemih yang dipakai sebagai tempat persembunyian oleh kuman. Stagnasi urine
bisa terjadi pada keadaan : (1) miksi yang tidak teratur atau sering menahan
kencing, (2) obstruksi saluran kemih seperti pada BPH, striktura uretra, batu
saluran kemih atau obstruksi karena sebab lain (3) adanya kantong-kantong di
dalam saluran kemih yang tidak dapat mengalir dengann baik, misalkan pada
divertikula, dan (4) adanya dilatasi atau refluks sistem urinaria. Batu saluran
19
20
pemeriksaan kultur urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan
dipstick mauun secara mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau
piuria jika secara mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5
leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan
untuk menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan
jenis antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Untuk mencegah
timbulnya kontaminasi sampel urine oleh kuman yang berada di kulit vagina atau
prepusium, perlu diperhatikan cara
dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada
bayi, (2) kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kontaminasi
oleh kuman-kuman di sekitar introitus vagina, dan (3) miksi dengan pengambilan
urine porsi tengah atau midstream urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan
lebih dari 105 cfu (colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine
porsi tengah, sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan
bakteriruria bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya proses
inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap darah,
atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya
proses inflamasi akut.
Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksaa faal ginjal, faal hepar, faal
hemostasis, elektrolit darah, analisis gas darah, serta kultur kuman untuk
penanganan ISK secara intensif.
21
Pencitraan
Pada ISK sederhana tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada
ISK
rumit
perlu
dilakukan
pemeriksaan
pencitraan
untuk
mencari
22
4. Terapi
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak
perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera
mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan
di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian
medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang
diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.
5. Penyulit
Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, di antaranya: (1)
gagal ginjal akut, (2) urosepsis, dan (3) nekrosis papilla ginjal, (4) terbentuknya
batu saluran kemih, (5) supurasi atau pembentukan abses, dan (6) granuloma.
Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes mellitus Prevalensi bakteriuria
asimtomatik pada pasien diabetes wanita dua kali lebih sering daripada wanita
non diabetes. Demikin pula resiko untuk mendapatkan penyakit akibat ISK lebih
besar. Hal ini diduga karena pada diabetes sudah terjadi kelainan fungsional pada
sistem urinaria maupung fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh. Kelainan
fungsional yang sering dijumpai adalah sistopati diabetikum. Oleh karena pada
diabetes, terjadi penurunan sensitifitas buli-buli sehingga memudahkan distensi
buli-buli
serta
penurunan
kontraktilitas
detrusor
dan
kesemuanya
ini
23
24
2. Klasifikasi
Diabetes dapat diklasifikasikan ke delam empat kategori klinis:
Diabetes tipe 1 (disebabkan destruksi sel , biasanya menjadi tergantung
terhadap insulin secara absolut)
Diabetes tipe 2 (disebabkan defek pada sekresi insulin secara progresif yang
melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin)
Diabetes karena penyebab spesifik lainnya, contohnya disebabkan defek genetik
pada fungsi sel , defek pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti
fibrosis kistik), dan dipicu obat atau zat kimia (seperti pada terapi HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ.
Diabetes mellitus gestasional (diabetes didiagnosis selama hamil)
Beberapa pasien tidak bisa diklasifikasikan secara jelas termasuk diabetes
tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perjalanan penyakit bervariasi luas pada
kedua tipe diabetes. Kadang-kadang, pasien yang didiagnosis dengan diabetes tipe
2 dapat menjadi ketoasidosis. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 secara khas
menampilkan gejala poliuria/polidipsia dan kadang-kadang dengan ketoasidosis.
Bagaimanapun, kesulitan diagnosis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa muda,
dan dewasa tua, dengan diagnosis sebenarnya semakin jelas seiring waktu.
(standar medical care)
25
Gejala Umum
Poliuria
Nokturia
mendadak
polidipsia
Kelelahan
Perubahan
visual
Kelelahan
Kandidiasis
genital,
Atrofi
Diare
paha
muskular
pada
Bau aseton
3. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang
26
27
28
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua)
jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
5. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah
puasa.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal yang pada umumnya tidak diikuti dengan
rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
29
Belum pasti
DM
200
Kadar glukosa
Plasma
<100
DM
100-199
darah sewaktu
vena
Darah
<90
90-199
200
kapiler
Plasma
<100
100-125
125
vena
Darah
<90
90-99
100
(mg/dL)
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dL)
kapiler
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
30
4. Petalaksanaan
31
Pilar Pelaksanann DM
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis
32
33
34
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7
gram (1 sendok teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti
halnya
masyarakat
umum
penyandang
diabetes
dianjurkan
35
36
37
38
Kurangi Aktivitas
Misalnya,
Persering Aktivitas
komputer
Misalnya, jalan cepa, golf, olah otot,
Mengikuti
olahraga
rekreasi
menonton
televisi,
(tidak
menggunakan
lift),
ini
mempunyai
efek
menurunkan
resistensi
insulin
dengan
40
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c) Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat
ini
mempunyai
efek
utama
mengurangi
produksi
glukosa
hati
dipakai
pada
penyandang
diabetes
gemuk.
Metformin
41
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon..
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
42
2. Suntikan
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat
jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
43
44
dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali
basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal
bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
harian.
Cara Penyuntikan Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau
drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah,dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila
tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan
dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin
tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
45
46
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit
yang diberikan sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut
dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin.
47
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain
secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b) Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
c) pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara
pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara
berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan
cara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan
(menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur(untuk menilai adanya hipoglikemia
48
49
50
51
sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapat dilakukan pe meriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah
secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta
hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut
ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar
glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya
penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
f) Kriteria Pengendalian DM
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali
kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan
sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan
lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan
mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah
kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.
Parameter
IMT (kg/m3)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Tekanan darah diastolik (mmHg)
Glukosa Darah Puasa (mg/dL)
Glukosa Darah 2 jam PP (mg/dL)
HbA1c (%)
Kolesterol LDL (mg/dL)
Kolesterol HDL (mg/dL)
Trigliserid (mg/dL)
Risiko KV (-)
18,5-<23
<130
<80
<100
<140
<7
<100
Pria > 40
RisikoKV (+)
18,5-<23
<130
<80
<100
<140
<7
<70
Pria > 40
Wanita > 50
<150
Wanita > 50
<150
52
C. Hipertensi
54
faktor genetik yang terkait mencakup aktivitas tinggi yang tidak sesuai dari
sisttem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis dan sensitivitas
terhadap efek garam pada tekanan darah.
Penyebab
lainnya
yang
umum
adalah
penebalan
aorta
seiring
Koarktatio aorta
Renal
Pregnancy-induced hypertension
Parenkim renal
Kelainan neurologis
Nefritis kronis
Penyakit polikistik
Tumor otak
Nefropati diabetik
Ensefalitis
Hidronefrosis
Asidosis respiratori
Renovaskular
Sleep apnoea
56
Quadriplegia
Vaskulitis intrarenal
Disautonomia familial
Renin-producing tumours
Renoprival
Porfiria akut
Guillain-Barre syndrome
Keracunan timah
Endokrin
Akromegali
Hiperventilasi psikogenik
Hipotiroidisme
Hipoglikemia
Hiperthiroidisme
Luka bakar
Hiperkalsemia
Pankreatitis
(hiperaparatiroidisme)
Ketergantungan Alkohol
Adrenal
i. Cortical
obatan
Sindrom Cushing
Aldosteronisme primer
Setelah resusitasi
Pasca operasi
apparent mineralocorticoid
excess (liquorice)
ii. Medulla
feokromositoma
Tumor kromafin ekstra adrenal
Karsinoid
57
3. Faktor Risiko
Terdapatnya faktor risiko kardiovaskular, terutama diabetes mellitus,
kerusakan organ target, penyakit ginjal dan kardiovaskular, akan meningkatkan
risiko hipertensi. (WHO)
Tabel. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis hipertensi
Faktor Risiko
Tekanan darah sistolik dan diastolik
Pria : usia > 55 tahun
Wanita : usia > 65 tahun
58
Merokok
Dislipidemia
Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuular prematur (pria usia < 55
tahun, wanita usia < 65 tahun)
Obesitas abdominal (lingkar perut 102 cm untuk pria, 88 cm untuk wanita)
Protein C reaktif 1 mg/dL
Kerusakan organ target
Hipertrofi ventrikel kiri (indeks massa LV > 125 g/m 2 pada pria, > 110 g/m2 pada
wanita
Ketebalan intima media karotis 0,9 mm atau plak aterosklerotik
Kreatinin serum > 1,3 mg/dL pada pria, 1,2 mg/dL pada wanita
Mikroalbuminaria
Diabetes mellitus
Gula darah puasa 126 mg/dL
Gula darah pasca puasa 200 mg/dL
Kondisi klinis terkait
Penyakit serebrovaskular (serangan iskemik transien, stroke, perdarahan)
Penyakit jantung (angina, infark miokard, gagal jantung)
Penyakit ginjal (nefropati diabetik, kreatinin serum > 1,5 mg pada pria, > 1,4 mg
pada wanita, proteinuria > 300 mg/24 jam)
Penyakit vaskular perifer
Retinopati lanjut (perdarahan, eksudat, papilledema)
4. Tatalaksana
4.1 Tujuan talaksana
59
60
61
63
Kelas Obat
Indikasi
Kontraindikasi
Mutlak
Tidak
Mutlak
Diuretika
(thiazid)
lanjut,
isolated
Kehamilan
systolic
Insufisiensi
ginjal,
gagal
jantung kongestif
Diuretika
(anti Gagal
jantung
aldosteron)
hiperkalemia
Penyekat
Penyakit
64
pembuluh
kongestif,
darah
kehamilan, paru
takiaritmia
obstruktif
perifer,
menahun, A- intoleransi
V
(derajat
2 atau
pasien
yang
aktif
atau 3)
secara fisik
Calcium
Takiaritmia,
Antagonist
gagal
(dihydropiridine)
penyakit
jantung
pembuluh
darah
kongestif
kehamilan
Calcium
Angina
pektoris, A-V
Antagonist
aterosklerosis
(Verapamil,
takikardia supraventrikuler
block
karotis, (derajat
diltiazem)
Penghambat ACE
Gagal
jantung
kongestif, Kehamilan,
miokardium,
non- ,
stenosis
bilateral
65
Angiotensin
II Nefropati,
receptor
DM
mikroalbuminaria
antagonist
(ATI- proteinuria,
blocker)
tipe
2, Kehamilan,
diabetik, hiperkalemia
hipertrofi ,
stenosis
Penyekat
bilateral
Gagal
hiperlipidemia
jantung
ortostatis
kongestif
Gagal jantung
Risiko
penyakit
pembuluh
koroner
Diabetes
ACEI, ARB
Thiaz, ACEI
5. Pemantauan
Pasien yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi
lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah
tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6
66
bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya
komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes,
dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.
Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:
empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien
dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya kepercayaan pasien
serta sikap terhadap pengobatan.
pasien diberitahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih harus
dicapai, rencana pengobatan selanjutnya, serta pentingnya mengikuti rencana
tersebut.
Penyebab hipertensi resisten:
1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar
2. dosis belum memadai
3. ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi
4. ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup
asupan alkohol berlebih
kenaikan berat badan berlebih
5. kelebihan volume cairan tubuh
67
68
dimulai
pengobatan
antihipertensi.
Walaupun
demikian,
ada
69
BAB IV
DISKUSI
Infeksi saluran kemih adalah infeksi pada saluran kemih yang secara
mikrobiologis terdapat mikroorganisme dalam urin. Infeksi organ urogenitalia
seringkali dijumpai pada praktk dokter sehari-hari mulai infeksi ringan yang baru
diketahui pada saat pemeriksaan urine maupun infeksi berat yang dapat
mengancam jiwa. Pada dasarnya infeksi ini dimulai dari infeksi pada saluran
kemih (ISK) yang kemudian menjalar ke organ-organ genitalia bahkan sampai ke
ginjal. ISK itu sendiri adalah merupakan reaksi inflamasi sel-sel urotelium
melapisi saluran kemih.
Diagnostik ISK dibuat dengan terdapatnya gejala klinis yang sesuai
ditambah dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Gambaran klinis infeksi
saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan
gejala yang sangat berat akibat kerusakan organ-organ lain. Pada umumnya
infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat, epididimis, dan testis)
memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada organ-organ beronggga
(buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang lebih ringan.
Diagnosis berdasarkan simptom iritatif (disuria, frekuensi, dan urgensi)
dan tidak terdapatnya sekret atau rasa gatal pada vagina. Pemeriksaan urine
merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada infeksi saluran
kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan pemeriksaan kultur
urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan dipstick mauun secara
mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara
70
mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per
lapangan pandang besar. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu
(colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine porsi tengah,
sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan bakteriruria
bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.(18_uro)
Pada anamnesis yang dilakukan pada tanggal 21 April 2014, pasien
menunjukkan salah satu tanda klinis dari infeksi saluran kemih yaitu demam.
Demam merupakan gejala sistemik yang paling sering muncul pada kasus infeksi
saluran kemih. Keluhan ini juga disertai keluhan iritatif yaitu urgensi dan poliuria,
dan tidak ada riwayat keluar sekret ataupun rasa gatal pada vagina.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan penderita tampak sakit sedang,
demam. Namun pada pasien tidak ditemukan adanya nyeri ketok ginjal. Untuk
pemeriksaan laboratorium yang menunjang, pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan urinalisa pada tanggal 22 April 2014. Dari hasil urinalisa didapatkan
warna kuning agak keruh, leukosit 2+, dan pada urinalisa sedimen didapatkan
hasil leukosit 10-15. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara
mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per
lapangan pandang besar. Hal ini menunjukkan terjadi piuria pada pasien. Namun
tidak terdapat bukti telah terjadi bakteriuria pada pasien ini.
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak
perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera
mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan
di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian
71
72
gram/hari secara IV/IM dengan dosis tunggal atau dosis terbagi setiap 12 jam
selama 4 sampai 14 hari tergantung tipe dan beratnya infeksi.
Pada kepustakaan, antibiotik terpilih pada pengobata ISK pada pasien
diabetes melitus bisa diberikan trimetoprim-sulfametoksazol(TMS). TMS bekerja
dengan menghambat dua tahapanpada biosintesis anam nukleat dan protein
esensial untuk banyak bakter. Trimetoprim bekerja dengan menghambat
dihydrofolate reductase, yang menghambat produksi asam tetrahidrofolat dari
asam dihidrofolat. Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat sintesis asam
dihidrofolat dengan berkompetisi terhadap asam paraaminobenzoat. TMS
dimetabolisme di hati dan dieksresi di urine dalam bentuk obat awal (tidak
berubah). TMS diberikan pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh
bakteri yang sensitif seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, spesies
Enterobacter, Morganella morganii, Proteus mirabilis, dan Proteus vulgaris. Pada
pielonefritis dapat diberikan 1 tablet dosis ganda atau 2 tablet dosis normal per
oral setiap 12 jam selama 14 hari. Ada sistitis akut dapat berikan selama 3 hari.
Pada penelitian Rosenberg JM et al yang membandingkan efektivitas
penggunaan
seftriakson
dengan
pengobatan
standar
yaitu
trimetoprim
73
74
75
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Pasien juga diketahui mengidap hipertensi sejak tahun 2010. Pasien rutin
mengkonsumsi obat antihipertensi. Saat datang, tekanan darah pasien 130/90
mmHg. Pada pasien hipertensi dengan DM, maka pilihan untuk obat
antihipertensinya adalah thiazid, beta blocker, ACEI, ARB, CCB.
76
BAB V
PENUTUP
77
DAFTAR PUSTAKA
1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl
J Med 2002; 347(22): 1770-1782.
2. Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA,
Sumarno W et al. Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di
Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;6: 16-18.
3. FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.
4. World Health Organization. 2003. Background Document: The Diagnosis,
Treatment And Prevention Of Typhoid Fever, Geneva, Switzerland.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 (online)
(http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESI
A_2010.pdf.
6. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl
J Med 2002; 347(22): 1770-1782.
7. Pramitasari, O. P. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita
Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Journal Kesehatan
Masyarakat. 2013; Volume 2.
8. James, Chin MD, MPH. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Edisi 17. Jakarta: Infomedia.
9. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta:
Interna Publishing, 2009.
10. Huan J. Chang, MD, MPH. Typhoid Fever. JAMA. 2009;302(8):914.
11. Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy. Horrisons Gastroenterology and
Hepatology. 2010. China : The McGraw-Hill.
12. Gladwin, M., Trattler, B., 1999, The enteric. In: Clinical Microbiology
Made Ridiculously Simple. Med Master Inc.Miami, 54-61.
13. Herawati, M.H., dan L. Ghanie.2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan
Kejadian Demam Tifoid Di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti Dan
Pengembang Kesehatan.Volume XIXNomor 4: hal 165-173.
78
14. Wardana IMTN, Herawati S, dan Yasa IWPS. 2010. Diagnosis demam
thypoid dengan pemeriksaan widal. SMF patologi klinik FK Udayana. 1-13
15. Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12 (1): 31-37.
16. Saraswati NA, Junaidi AR, dan Ulfa M. 2012. Karakteristik tersangka
demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit muhammadiyah palembang
periode tahun 2010. syifa'MEDIKA; 3(1): 1-11.
17. Mulyawan Sylvia, Surjawidjaja Julius. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal
Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit.
Jakarta:2004. p. 14-6.
18. Camilo Acusta, Dr et all. Background Document: The Diagnosis, Treatment
and Prevention of Typhoid Fever. WHO. 2007.
19. Anonymous. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. KEMENKES RI.
2006: no. 364.
20. Loho, T., Sutanto, H., Silman, E., 2000, Dalam: Demam tifoid peran
mediator, diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan
Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta, 22-42.
21. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol
dan seftriakson di RSUD Dr. Soetomo dan di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Malang: 27-32.
22. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet
2005; 366: 749-62.
23. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid
fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.whoint/vaccines-documents/
24. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and
safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30.
25. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A
comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric
fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.
79