Anda di halaman 1dari 75

HUKUM MENALKINKAN

MAYIT

M A K A L A H
Ditulis untuk Memenuhi Syarat Lulus
dari Mahad Al-Islam
Tingkat Ali

Oleh:

Munashihah Miftahul Jannah


Binti Abu Abdillah
NM.235

MAHAD AL-ISLAM SURAKARTA


1427 H / 2006 M

D A F T A R I S I
Halaman Judul...............................................................................................

Halaman Pengesahan...................................................................................

ii

Halaman Kata Pengantar...............................................................................

iii

Halaman Daftar Isi.........................................................................................

vi

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.............................................................

2. Rumusan Masalah......................................................................

3. Tujuan Penelitian........................................................................

4. Kegunaan Penelitian...................................................................

5. Metodologi Penelitian..................................................................

6. Sistematika Penulisan.................................................................

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MENALKINKAN MAYIT


1. Pengertian dan Penjelasan tentang Menalkinkan Mayit..............

2. Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan


Menalkinkan Mayit......................................................................

2.1Hadits Abu Said Al-Khudriy tentang Perintah untuk


Menalkin dengan Kalimat la ilaha illallah..............................

2.2Hadits Abu Umamah tentang Tata Cara Menalkinkan Mayit. . . 11


2.3Hadits Abdullah bin Abbas tentang Rasulullah Menalkinkan Fathimah binti Asad....................................................... 14
2.4Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin
Umair tentang Praktik Menalkinkan Mayit yang Dilakukan
oleh Para Sahabat................................................................ 15
2.5Riwayat-riwayat dari Abu Jafar tentang Perintah untuk
Menalkinkan Mayit................................................................ 17
1.5.1 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Zurarah).................. 17
1.5.2 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Jabir)...................... 18
BAB III PENDAPAT ULAMA PERIHAL HUKUM MENALKINKAN MAYIT
1. Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah....................................... 20
2. Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah......................................... 22

Hukum

Menalkinkan

Mayit

iii

Munashihah MJ 0235

3. Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh........................................ 23


4. Menalkinkan Mayit merupakan perbuatan bidah........................ 23
BAB IV ANALISA
1. Analisa Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan
dengan Menalkinkan Mayit.......................................................... 25
1.1 Hadits Abu Said.................................................................... 25
1.2 Hadits Abu Umamah.............................................................. 28
1.3 Hadits Ibnu Abbas................................................................ 35
1.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Hamid, dan Hakim bin
Umair................................................................................... 35
1.5 Riwayat-riwayat dari Abu Jafar.............................................. 36
2. Analisa Pendapat Ulama Perihal Hukum Menalkinkan Mayit....... 37
2.1 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah.... 37
2.2 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah...... 45
2.3 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh..... 47
2.4 Analisa pendapat Menalkinkan Mayit Merupakan Perbuatan
Bidah................................................................................... 47
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan.................................................................................. 53
2. Saran-Saran................................................................................. 53
Bibliografi....................................................................................................... 54
Lampiran........................................................................................................ 60

BAB I
P E N D A H U L U A N
Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
Hal ini termaktub dalam firman-Nya, surat Adz-Dzariyat (51):56 yang artinya
((Dan tidaklah aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepadaKu)).
Berkenaan dengan masalah ibadah ini, dalam sebuah hadits disebutkan:














:


0
1

Artinya:
Dari Aisyah radliyallahu anha, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam: Barangsiapa yang melakukan suatu
amalan tanpa ada perintah kami padanya, maka amalan itu ditolak.
Berdasarkan hadits di atas, dapat diketahui bahwa seorang hamba tidak
diperkenankan melakukan suatu amalan ibadah tanpa ada dalil yang benar, baik
dari Al-Qur`an maupun sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Amal
ibadah yang tidak disyariatkan dalam Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, atau dengan kata lain diada-adakan sendiri oleh
pelakunya maka amalan tersebut tidak akan diterima oleh Allah.
1. Latar Belakang Masalah
Di kalangan masyarakat di sekitar tempat tinggal penulis, penulis belum
pernah mendengar adanya praktik menalkinkan mayit ini. Akan tetapi dari
seorang teman yang berdomisili di Jawa Timur penulis mendapatkan
informasi bahwa mayoritas muslimin di tempat ia bermukim biasa melakukannya.
Di dalam kitab-kitab fikih, di antaranya Fiqhus Sunnah2 dan Al-Fatawal
Kubra.3 disebutkan adanya perselisihan ulama dalam masalah ini. Sebagian
mereka berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah,sedang
pihak lain menganggap hukumnya makruh, bahkan ada yang memandang
bahwa perbuatan itu adalah bidah, tidak dicontohkan oleh Rasulullah
1

An-Nawawi, Arbain An-Nawawiyah, terjemahan Aminah Abdullah Dahlan, hlm.18, hadits.5.


Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jz.1, hlm.547-548.
3
Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawal Kubra, jz.3,hlm.25.
2

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

shallallahu alaihi wa sallam. Di samping beberapa pendapat yang bertolak


belakang ini, ada di kalangan mereka yang memperbolehkannya; tidak
menyuruh ataupun menganjurkannya, akan tetapi tidak pula melarangnya.
Banyak hadits yang mereka jadikan sebagai landasan pendapat
mereka masing-masing, akan tetapi di antara hadits-hadits tersebut terdapat
satu hadits yang dipermasalahkan perihal maksud serta pengamalannya,
yaitu hadits Abu Said Al-Khudriy riwayat Muslim 4 yang berbunyi:

)) .
((




Lafal mauta dalam hadits tersebut, oleh sebagian ulama diterjemahkan


dengan makna hakiki, yaitu: orang yang sudah meninggal dunia dan dijadikan
sebagai dasar melakukan talkin di atas kubur. Sekelompok ulama yang lain
berpendapat bahwa lafal mauta dalam hadits tersebut bermakna majasi,
yaitu: orang yang sudah kelihatan tanda-tanda kematiannya.
Dengan adanya perbedaan pendapat dalam hal menalkinkan mayit ini,
penulis terdorong untuk mengadakan studi lebih lanjut, kemudian menyusun
hasilnya dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul: HUKUM MENALKINKAN
MAYIT.
2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka
penulis mengajukan rumusan masalah, yaitu:
Bagaimanakah hukum menalkinkan mayit?
3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hukum menalkinkan mayit.
4. Kegunaan Penelitian
Penulis berharap penelitan ini dengan segala hasilnya dapat
memberikan beberapa kegunaan, antara lain:
4.1 Memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan tentang ilmu AdDin bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
4.2 Sebagai pelengkap literatur-literatur yang membahas tentang hukum
menalkinkan mayit
4.3 Untuk menghindarkan muslimin dari amalan bidah dan perbuatan taklid.
4

Muslim, Ash-Shahih, jld.3, jz.5, kitab 5 Al-Aqdliyah, bab Naqdlu ahkamil bathilah wa
raddu muhdatsatil umur, no.17.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

5. Metodologi Penelitian
5.1 Jenis penelitian5
Menurut tempatnya, penelitian ini tergolong penelitian perpustakaan. Ditinjau dari segi pemakaiannya, penelitian ini termasuk applied
research (penelitian terpakai). Berdasarkan tujuan umumnya, penelitian
ini merupakan riset verifikatif, yaitu riset yang ditujukan untuk menguji
kebenaran suatu pengetahuan. Adapun menurut tarafnya, penelitian ini
tergolong riset inferensial, yaitu menarik kesimpulan dengan jalan
penganalisaan.
5.2 Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong penelitian perpustakaan, maka
penulis mengumpulkan data dengan membaca, menelaah dan
meneliti kitab-kitab yang membahas tentang hukum menalkinkan mayit,
baik berupa kitab hadits, kitab fikih, kitab syarh maupun kitab-kitab lain
yang berberkaitan dengannya.
Sedangkan jenis data yang penulis kumpulkan adalah data primer
dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya; diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.6
Sedang data sekunder adalah;
Data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulan-nya
oleh peneliti misalnya dari biro statistik, majalah,
keterangan-keterangan, atau publikasi lainnya. Jadi, data
sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan
seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang
bukan peneliti sendiri.7
Contoh data primer dalam makalah ini adalah hadits riwayat
Muslim yang penulis kutip langsung dari kitab Shahih Muslim, susunan
beliau. Adapun contoh data sekunder dalam makalah ini adalah riwayat
Said bin Manshur yang penulis kutip dari kitab Nailul Authar karya AsySyaukani.
5.3 Metode Analisa Data
5

Penggolongan ini berdasarkan apa yang ditulis Sutrisno Hadi dalam Metodologi Research, jld.1,
hlm.3, lalu penulis menggolongkan sendiri jenis penelitian ini.
6
Marzuki, Metodologi Riset, hlm.55.
7
Marzuki, Metodologi Riset, hlm.56.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

Untuk memberikan jawaban yang logis pada rumusan masalah


yang penulis ajukan dalam makalah ini, penulis meng-analisis data-data
yang terkumpul dengan menggunakan reflective thinking, yaitu
mengombinasikan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif.8 Berfikir
Induktif adalah berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari
data-data yang khusus, sedangkan yang dimaksud dengan berpikir
deduktif adalah berpikir dengan bersandarkan pada data-data yang
umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus.9
6. Sistematika Penulisan
Supaya pembaca dapat mengikuti alur pembahasan dalam makalah
ini dengan mudah, berikut ini penulis uraikan sistematika penulisannya.
Makalah ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian; bagian awal,
bagian tengah, dan bagian akhir.
Bagian awal makalah ini dimulai dengan halaman judul, halaman
pengesahan, halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.
Adapun bagian tengah dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi pembahasan tentang menalkinkan mayit yang terdiri
dari dua subbab. Subbab pertama menjelaskan pengertian menalkinkan
mayit, sedang subbab kedua menyebutkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat
yang berkaitan dengan menalkinkan mayit, dimulai dengan lafal, terjemah,
dan takhrijnya, kemudian maksudnya, dan dilengkapi dengan kedudukannya.
Bab ketiga memaparkan pendapat para ulama perihal menalkinkan
mayit. Pendapat tersebut dibagi menjadi empat, yaitu: menalkinkan mayit
hukumnya sunnah, menalkinkan mayit hukumnya mubah, menalkinkan mayit
hukumnya makruh, dan menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah.
Bab keempat memuat analisa yang terdiri dari dua subbab, yaitu
analisa hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan

8
9

Marzuki, Metodologi Riset, hlm.21.


Sutrisno Hadi, Metodologi Research, jld.1, hlm.42.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

menalkinkan mayit, dan analisa pendapat ulama perihal hukum menalkinkan


mayit.
Bab kelima, yakni bab terakhir, berisi kesimpulan dan saran-saran.
Pada bagian akhir makalah ini, penulis menyertakan bibliografi dan
lampiran.

BAB II
P E M B A H A S A N T E N T A N G
M E N AL K I N K AN

M AY I T

Pada bab ini, penulis menguraikan pengertian menalkinkan mayit, serta


menukilkan hadits-hadits yang berkenaan dengannya. Oleh karena itu, penulis
membagi bab kedua ini menjadi dua subbab sebagai berikut:
1. Pengertian Menalkinkan Mayit
Untuk mempermudah pemahaman pembaca mengenai pengertian
menalkinkan mayit, terlebih dahulu penulis kutipkan pengertian talkin dan
mayit. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan:
Kata talkin merupakan bentuk masdar (infinitif/bentuk
nomina yang diturunkan dari bentuk verba) dari kata
laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis berarti mendikte,
mengajar dan memahamkan secara lisan.10
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kamus Lisanul Arab, yaitu:

11

Artinya:
Dan (lafal) at-talqin itu (artinya) seperti (lafal) at-tafhim (=memahamkan).
Dalam kamus Al-Munjid dijelaskan lebih terperinci, sebagai berikut:

12

Artinya:
(kalimat) laqqanahul kalama (artinya) seseorang memahamkan
omongan itu kepada orang lain secara lisan.

Adapun kata mayit (



) dalam bahasa Arab merupakan bentuk
shifah musyabbahah (kata sifat yang dipersamakan dengan kata benda
pelaku) yang berasal dari fiil


-
.

Mengenai bentuk jamak dan arti lafal mayit ini, dalam kamus Al-Munjid
dituliskan:

:






Artinya:

Lafal al-mayyitu (

) bentuk jamaknya adalah: mayyitun (


) , (berarti) orang yang memisahi kehidupan.

13

10

Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.5, hlm.1791.


Ibnu Mandhur, Lisanul Arab, jz.12, hlm.316.
12
Luwais Maluf, Al-Munjid, hlm.730.
13
Luwais Maluf, Al-Munjid, hlm.779.
11

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

Sedangkan dalam kamus Al-Mujamul Wasith disebutkan:


0
:




:


0
( )







:


14
.






Artinya:
(lafal) al-maitu (artinya) orang yang memisahi kehidupan, sedang
(lafal) al-mayyitu (artinya sama dengan lafal) al-maitu. (Lafal) almayyitu (juga berarti) orang yang dapat dihukumi sebagai orang
mati, tetapi
bukan orang mati. Bentuk jamaknya amwatun (
) dandiamauta

(


) .

Dari dua nukilan di atas, dapat diketahui bahwa lafal mayit

mempunyai tiga bentuk jamak, yaitu: amwatun (



) , mauta (
)


dan mayyitun (

) serta mempunyai dua makna yaitu orang yang

memisahi kehidupan (mayit) dan orang yang dapat dikatakan sebagai mayit
padahal dia belum mati. Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Ibnu
Mandhur:

Artinya:
Dan sesungguhnya lafal mayit (

) pantas (digunakan) untuk
15

(menyebut) orang yang sudah mati dan orang yang menjelang mati.
Adapun menalkinkan mayit menurut penjelasan ulama adalah:

16

Artinya:
Adapun (pengertian lafal) at-talkin adalah menyebutkan kalimat
tauhid di hadapan orang yang menjelang mati
Dalam kitab Ibanatul Ahkam dijelaskan:


...







17



...

Artinya:
Menalkinkan mayit itu ada dua macam: jenis yang pertama disepakati
(oleh ulama) perihal disyariatkannya perbuatan tersebut.....Dan (talkin
14
15
16
17

Ibrahim Unais (dkk), Al-Mujamul Wasith, jz.2, hlm.891.


Ibnu Mandhur, Lisanul Arab, jz.12, hlm.316.
As-Saharanfuri, Badzlul Majhud, jld.7, jz.14, hlm.79.
Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.255.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

itu dilakukan) tatkala (orang) menjelang mati, sedangkan jenis talkin


yang kedua diperselisihkan (oleh ulama) tentang pensyariatannya,
yaitu talkin (yang dilakukan) di kubur setelah (selesai) pemakaman.....
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa menurut
bahasa menalkinkan mayit berarti memahamkan/memberikan pengajaran
,secara lisan kepada orang yang menjelang mati, atau orang yang sudah
mati. Adapun menurut istilah menalkinkan mayit berarti menyebutkan kalimat
tauhid di hadapan orang yang menjelang mati atau mengajarkan secara lisan
kepada orang yang sudah wafat dan telah dikuburkan. Adapun menalkinkan
mayit yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Menalkinkan mayit
dengan pengertian yang kedua.
2. Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan Menalkinkan
Mayit
2.1 Hadits Abu Said tentang Perintah untuk Menalkin dengan Kalimat
la ilaha illallah
2.1.1 Lafal, terjemah dan takhrij18

:
))
:

.((
19


.
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Umarah, dia
berkata, Aku telah mendengar Abu Said Al-Khudriy berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Talkinkanlah oleh kalian orang yang menjelang mati20 di
antara kalian (dengan) kalimat la ilaha illallah.
HR. Muslim dan lafal ini miliknya -, Ahmad,21 Abu Dawud,22

18

19
20

21
22


Takhrij:









(Abdul Mahdi, Thuruqu Takhriji Haditsi Rasulillah shallallahu alaihi wa sallam, hlm.9.)
Artinya:
Pencantuman pengarang akan suatu hadits berikut sanadnya di dalam kitab susunannya.
Muslim, Ash-Shahih, jld.2, jz.3, hlm.37, Kitab Al-Janaiz, Bab Talqinul mauta la ilaha illallah, no.1.
Sebagian ulama mengartikan lafal mauta dalam hadits tersebut dengan makna orang yang
sudah mati (mayit) sehingga maksud hadits tersebut adalah perintah untuk Menalkinkan mayit.
Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, jz.3, hlm.3.
Abu Dawud, As-Sunan, jld.2, jz.3, hlm.62, Kitab 20 Al-Janaiz, Bab 16 Fit Talqin, no.3117.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

Munashihah MJ 0235

At-Tirmidzi,23 An-Nasa`i,24 Ibnu Majah,25 Ibnu Hibban,26 AlBaihaqi,27 Ibnu Abi Syaibah,28 dan Abu Yala.29
2.1.2 Maksud hadits
Matan hadits Abu Said ini berisi perintah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam supaya muslimin menalkinkan saudara
mereka sesama muslim yang menjelang mati dengan kalimat
tauhid, yaitu: la ilaha illallah.
2.1.3 Kedudukan hadits
Kedudukan hadits Abu Said di atas shahih.30
2.1.4 Keterangan
Hadits yang berisi perintah Rasul untuk menalkinkan orang
yang menjelang mati semisal hadits Abu Said ini diriwayatkan pula
oleh para shahabi lain, yaitu:
1) Aisyah radliyallahu anha, 31dengan lafal
ganti lafal .

sebagai

2) Jabir radliyallahu anhu,32 dengan lafal yang sama dengan lafal


hadits Abu Said.
3) Urwah bin Masud radliyallahu anhu,33 dengan lafal yang sama
dengan lafal hadits Abu Said.
4) Ibnu Abbas radliyallahu anhu, lafal haditsnya lebih panjang,
yaitu:

23

At-Tirmidzi, As-Sunan/Al-Jamius Shahih, jz.3, hlm.297, Kitab 8 Al-Janaiz, Bab 7 Ma ja-a fi


talqinil maridl , no.976.
24
An-Nasa`i, As-Sunan, jld.2, jz.4, hlm.5, Kitab Al-Janaiz, Bab Talqinul mayyit.
25
Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm.464, Kitab Al-Janaiz, Bab 3 Ma ja-a fi talqinil mayyiti lailahaillallah, no.1445.
26
Ibnu Balban, Al-Ihsan bi Tartibis Shahih Ibni Hibban, jz.5, hlm.3, Bab Dzikrul amri bi talqinisy
syahadah, no.2992.
27
Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz.3, hlm.383, Kitab Al-Janaiz, Bab Talqinul mayyit.
28
Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, jz.2, hlm.446, Kitab 6 Al-Janaiz, Bab 7 Fi talqinil mayyit,
no.10864.
29
Abu Yala, Al-Musnad, jz.1, hlm.466-467, no. 1091.
30
Lihat Lampiran, no.1.1.
31
An-Nasa`i, As-Sunan, jld.2, jz.4, hlm.5, kitab Al-Janaiz, bab Talqinul Mayyit.
32
Al-Haitsami, Kasyful Astar, jz.1, hlm.373, bab talqinul mayyit laailaahaillallah, no.785.
Hadits ini dinukil pula dalam:
Al-Haitsami, Majmauz Zawaid, jz.2, hlm.323, kitab Al-Janaiz, bab Talqinul mayyit.
Abu Nuaim, Hilyatul Auliya, jz.3, hlm.310.
Al-Uqaili, Adl-Dluafa`ul Kabir, jz.3, hlm.72-73.
33
Al-Uqaili, Adl-Dluafa`ul Kabir, jz.1, hlm.65, no.63.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

10

Munashihah MJ 0235












34
.....


.

Artinya:
"Talkinkanlah oleh kalian orang-orang yang menjelang
mati di antara kalian dengan persaksian la ilaha illallah,
karena barang siapa yang mengucapkan kalimat
tersebut tatkala menjelang matinya, maka wajib baginya
(untuk masuk ke dalam) jannah......
Ath-Thabarani telah meriwayatkannya dengan sanad
dlaif.35
5) Abu Hurairah radliyallahu anhu. Hadits Abu Hurairah diriwayatkan dari dua jalur; dari Abi Hazim36 dengan lafal yang sama, dan
dari Salman Al-Aghar dengan tambahan sebagai berikut:

37

.



Artinya:
Talkinkanlah oleh kalian orang-orang yang menjelang
mati di antara kalian dengan kalimat la ilaha illallah,
karena barang siapa yang akhir kalimat (yang
diucapkan)nya la ilaha illallah, dia pasti akan masuk
jannah nanti pada suatu hari dalam suatu masa, meskipun sebelum itu (ada) sesuatu yang menimpanya.
Ibnu Hibban telah meriwayatkannya dengan sanad
shahih.38
6) Watsilah bin Al-Asqa radliyallahu anhu. Abu Nuaim mengeluarkan hadits Watsilah dengan lafal berikut:

34

Ath-Thabarani, Al-Mujamul Kabir, jz.12, hlm.196-197, no.13024.


Hadits ini dinukil pula oleh:
Al-Haitsami, Majmauz Zawaid, jz.2, hlm.323, kitab Al-Janaiz, bab Talqinul mayyit.
35
Lihat Lampiran, no.1.2.
36
Muslim, Ash-Shahih, jld.2, jz.3, hlm.37, kitab Al-Janaiz, bab talqinul mauta, no.2.
Dikeluarkan juga oleh:
Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm.464, kitab 6 Al-Janaiz, bab 3 Ma ja-a fi talqinil mayyit, no.1444.
Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz.3, hlm.383, kitab Al-Janaiz, bab Talqinul Mayyit.
Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, jz.2, hlm.446, kitab Al-Janaiz, bab 7 fi talqinil mayyit, no.10875.
37
Ibnu Balban, Al-Ihsan bi Tartibi Shahih Ibni Hibban, jz.5, hlm.3-4, bab dzikrul illah., 2993.
Dikeluarkan juga oleh:
Abdurrazzaq, Al-Mushannaf, jz.3, hlm.387, kitab Al-Janaiz, bab Talqinatul Maridl, no.6045.
38
Lihat Lampiran, no.1.4.

Mayit

Hukum

Menalkinkan

11

Munashihah MJ 0235














39

.






Artinya
Hadirilah orang-orang yang menjelang mati di antara
kalian dan talkinkanlah mereka dengan kalimat la ilaha
illallah, serta berikanlah kabar gembira kepada mereka
dengan jannah.
Abu Nuaim telah meriwayatkannya dengan sanad
dlaif. 40

Dengan adanya beberapa jalur periwayatan tersebut,


maka hadits yang berisi anjuran untuk Menalkinkan orang yang
menjelang mati ini dapat dikategorikan dalam kelompok hadits
masyhur.41
2.2 Hadits Abu Umamah tentang Tata Cara Menalkinkan Mayit
2.2.1Lafal, terjemah dan takhrij




)) :


:








,











,

:






,


:


:

,

Abu Nuaim, Hilyatul Auliya, jz.5, hlm.186.


Lihat Lampiran, no.1.5.


)Ath-Thahhan,
Taisir Musthalahil Hadits, hlm.22).
Artinya:
Hadits Masyhur menurut istilah (ahli hadits) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau
lebih pada setiap tingkatan sanadnya- (akan tetapi) belum mencapai batas (jumlah rawi pada
hadits) mutawatir.

39
40
41

Hukum

Menalkinkan

Mayit

12

Munashihah MJ 0235





:


,













((


)) :













0((





42

Artinya:
Dari Said bin Abdillah Al-Audi, dia berkata, Aku
menyaksikan Abu Umamah tatkala dia dalam keadaan
menjelang mati, dia (Abu Umamah) berkata, Apabila aku
mati, maka perlakukan aku sebagaimana Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk
memperlakukan mayit-mayit di kalangan kita. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada
kita seraya bersabda, Apabila salah seorang dari saudara
kalian mati dan kalian telah meratakan tanah di atas
kuburnya (mayit), maka hendaklah salah seorang di antara
kalian berdiri pada arah kepala kuburnya, lalu hendaklah dia
menyeru, Hai fulan bin fulanah! karena sesungguhnya dia
(mayit itu) mendengarnya, akan tetapi tidak menjawab,
kemudian dia menyeru, Hai fulan bin fulanah! maka
sesungguhnya mayit itu tegak dalam keadaan duduk,
kemudian dia menyeru lagi, Hai fulan bin fulanah! maka
sesungguhnya dia (mayit itu) menjawab, Berilah petunjuk
kepadaku, mudah-mudahan Allah mengasihimu! akan
tetapi kalian tidak menyadari. Maka hendaklah dia menyeru,
Ingatlah apa yang engkau keluar dari dunia dulu
dengannya (melaziminya), yaitu persaksian la ilaha illallah
wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu dan (ingatlah)
bahwa engkau telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara,
dengan Al-Islam sebagai agama, dengan Muhammad
sebagai Nabi dan dengan Al-Qur`an sebagai panutan, maka
sesungguhnya salah seorang dari malaikat Munkar dan
Nakir itu memegang tangan temannya seraya berkata,
Marilah kita pergi, kita tidak duduk (singgah) di hadapan
orang yang hujjahnya telah diajarkan, maka Allah menjadi
pembelanya
(mengalahkan)
keduanya.
Bertanyalah
seseorang, Wahai Rasulullah, (bagaimana) jika dia (orang
yang Menalkinkan mayit itu) tidak tahu nama ibu mayit?
bersabda Rasul, Hendaknya dia menasabkannya kepada
Hawa Hai fulan bin Hawa.
Ath-Thabarani telah meriwayatkannya dengan sanad dlaif.
2.2.2Maksud hadits
42

Ath-Thabarani, Al-Mujamul Kabir, jz.8, hlm.249-250, no.7979.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

13

Munashihah MJ 0235

Hadits di atas menceritakan bahwa Said bin Abdillah


menyaksikan Abu Umamah tatkala dia sudah mendekati ajalnya.
Abu Umamah berwasiat agar setelah dia wafat dan dikuburkan,
hendaklah dia ditalkinkan sebagaimana telah diajarkan Rasulullah.
Cara menalkinkan mayit tersebut adalah dengan memanggil nama mayit itu dengan menasabkannya kepada Ibunya,
atau jika tidak diketahui nama ibunya, maka dinasabkan kepada
Hawa, ibu sekalian manusia.
Panggilan kepada mayit ini diserukan tiga kali, karena pada
seruan pertama ia hanya mendengar tapi tidak menjawab,
kemudian pada seruan kedua ia mulai duduk tegak, setelah itu
pada seruan ketiga barulah mayit itu menjawab seruan tersebut
seraya memohon supaya diberi petunjuk.
Adapun isi talkin adalah mengingatkan mayit tentang
persaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba serta utusan-Nya.
Selain itu juga mengingatkan bahwa dia dulu di dunia telah ridla
dengan Allah sebagai sesembahan, ridla dengan Al-Islam sebagai
agama, ridla dengan Muhammad sebagai Nabi dan ridla dengan AlQur`an sebagai panutan.
Hadits Abu Umamah ini juga menjelaskan bahwa orang
yang sudah ditalkinkan dengan kalimat itu tidak akan ditanyai oleh
malaikat Munkar dan Nakir. Tatkala keduanya datang ke kubur itu
dan melihat bahwa mayit itu sudah ditalkinkan, maka keduanya
memilih pergi dari tempat tersebut karena Allahlah yang akan
membelanya dan mengalahkan keduanya.
Menalkinkan mayit setelah dikuburkan ini menurut Abu
Umamah - sebagaimana tersebut dalam hadits tersebut - merupakan sunnah yang disuruhkan oleh Rasulullah.
2.2.3Kedudukan hadits
Hadits Abu Umamah ini berkedudukan dlaif.43

43

Lihat Lampiran, no.2.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

14

Munashihah MJ 0235

2.3 Hadits Ibnu Abbas tentang Rasulullah Menalkinkan Fathimah binti


Asad
2.3.1 Lafal, terjemah dan takhrij

(
)



:
:



:
44
.
.
Artinya:
Muhammad bin Ali bin Al-Husain -dalam kitab Al-Majalis-45
(meriwayatkan) dengan sanad yang telah lewat pada (bab)
berbuat keutamaan dengan mengafani (mayat), dari Ibnu
Abbas bahwasanya Nabi saw. tatkala beliau meletakkan
Fathimah binti Asad Ibu Ali bin Abi Thalib- alaihis salam
pada kuburnya, beliau berjalan sampai berada di arah
kepalanya kemudian beliau bersabda Wahai Fathimah!
Apabila malaikat Munkar dan Nakir mendatangimu dan
menanyaimu tentang Pemeliharamu, maka jawablah, Allah
adalah Pemeliharaku, Muhammad adalah Nabiku, Al-Islam
adalah agamaku, Al-Qur`an adalah kitabku, dan anakku
(yakni Ali bin Abi Thalib) adalah pemimpin serta
pengurusku, kemudian Nabi berdoa, Ya Allah!
Teguhkanlah Fathimah dengan ucapan yang teguh lalu
beliau keluar dari kuburnya dan menaburkan tanah di
atasnya beberapa taburan.
Muhammad bin Al-Husain telah meriwayatkannya. Hadits ini
adalah hadits maudlu.
2.3.2

Maksud hadits
Hadits Ibnu Abbas tersebut menceritakan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tatkala meletakkan jasad Fathimah
binti Asad Ibu Ali bin Abi Thalib/istri paman Rasul- ke dalam
kubur, beliau Menalkinkannya dengan menghadap ke arah
kepalanya. Adapun isi talkin yang beliau serukan adalah: jika
malaikat Munkar dan Nakir mendatangimu dan menanyakan

44

45

Muhammad bin Al-Husain Al-Hurr Al-Amili, Wasailusy Syiah, jz.2 (dari jld.1), hlm.844-845, kitab
At-Thaharah, bab Istihbabu qiraatil hamdi..., no.9.
Kitab tersebut disusun oleh Abu Jafar: Muhammad bin Al-Hasan Ath-Thusy.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

15

Munashihah MJ 0235

perihal Pemeliharamu, maka jawablah: Allah adalah Pemeliharaku, Muhammad adalah Nabiku, Islam adalah agamaku, Al-Qur`an
adalah kitabku, dan anakku yakni Ali bin Abi Thalib- adalah
pemimpin dan pengurusku sebagaimana disebutkan dalam hadits
tersebut. Selain Menalkinkan demikian, beliau juga mendoakannya serta menaburkan tanah di atas kuburnya.
2.3.3

Kedudukan hadits
Hadits Ibnu Abbas ini adalah hadits maudlu (palsu).46

2.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin Umair
tentang Praktik Menalkinkan Mayit yang Dilakukan oleh Para
Sahabat
2.4.1 Lafal, terjemah dan takhrij



:
:
:


-




47
0
.

Artinya:
(Diriwayatkan) dari Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan
Hakim bin Umair, mereka berkata, Apabila kubur seorang
mayit telah diratakan, dan orang banyak telah meninggalkan
kubur tersebut, mereka menyukai supaya diserukan kepada
mayit tersebut dikuburnya, Hai fulan, katakanlah! tiada
Sesembahan selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada
Sesembahan selain Allah -sebanyak tiga kali- Hai fulan,
katakanlah! Pemeliharaku adalah Allah, agamaku Islam,
Nabiku Muhammad shallallahu alaihi wa alihi wa sallam.
Kemudian (barulah) dia pergi.
Said bin Manshur telah meriwayatkannya dengan sanad
dlaif.
2.4.2

Maksud riwayat
Asy-Syaukani menjelaskan maksud kalimat



dalam riwayat di atas sebagai berikut:

46
47

Lihat Lampiran, no.3.


Asy-Syaukani, Nailul Authar, jz.4, hlm.77.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

16

Munashihah MJ 0235

) (
48
.
Artinya:
Perkataan rawi (
= adalah mereka dulu
menyukai) secara dhahir, yang menyukai perbuatan tersebut
adalah para sahabat yang mereka dapati (masa)nya.

Hal ini dinyatakan pula oleh Ash-Shanani dalam kitab


Subulus Salam,49 Sulaiman An-Nuri, dan Abbas Alawi dalam kitab
Ibanatul Ahkam.50
Berpijak pada keterangan di atas, maka riwayat ini
memberikan pengertian bahwa para sahabat dahulu biasa
Menalkinkan mayit setelah dikuburkan. Menalkinkan mayit ini
dilakukan setelah kubur mayit diratakan dan orang-orang yang
menguburkannya meninggalkan tempat tersebut.
Adapun cara Menalkinkan mayit adalah dengan menyerunya kemudian menyuruhnya supaya mengucapkan kalimat tauhid
la ilaha illallah, asyhadu an lailahailallah -sebanyak tiga kali-.
Selain itu, mayit juga diseru supaya menyatakan bahwa Allah
adalah Pemeliharanya, Islam adalah agamanya, dan Nabi
Muhammad adalah Nabinya.
2.4.3

Kedudukan riwayat
Kedudukan riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib,
dan Hakim bin Umair ini dlaif.51

2.5 Riwayat-riwayat dari Abu Jafar tentang Perintah Menalkinkan Mayit


Terdapat dua jalur periwayatan dalam hal ini, yaitu:
2.5.1 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Zurarah)
2.5.1.1 Lafal, terjemah dan takhrij

)):

) :
48
49
50
51

Asy-Syaukani, Nailul Authar, jz.4, hlm.77.


Ash-Shanani, Subulus Salam, jz.2, hlm.233.
Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.256.
Lihat Lampiran, no.4.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

17

Munashihah MJ 0235

) :
(
...52
.
Artinya:
Dari Zurarah, dari Abu Jafar alaihis salam berkata,
dia berkata, Apabila engkau meletakkan mayat
pada liang lahadnya, maka katakanlah, Dengan
(menyebut) nama Allah dan (berada) di jalan Allah,
serta (tetap melazimi) agama Rasulullah shallallahu
alaihi wa alihi, dan bacalah ayat kursi,53 lalu
tepuklah pundak kanannya dengan tanganmu
kemudian serulah, Hai fulan bin fulan! Katakanlah,
Aku telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara,
dengan Al-Islam sebagai agama, dengan
Muhammad sebagai Rasul, dan dengan Ali sebagai
pemimpin kemudian (hendaklah) disebutkan (nama)
imam pada zamannya
Abu Jafar telah meriwayatkannya dengan sanad
dlaif.
Riwayat ini dikutip pula oleh Muhammad bin AlHusain dalam kitab Wasailusy Syiah.54
2.5.1.2 Maksud riwayat
Riwayat Abu Jafar dengan jalur Zurarah di atas
menjelaskan bahwa orang yang mengikuti/membantu
pelaksanaan penguburan mayit, hendaknya melakukan
beberapa hal, di antaranya: tatkala dia meletakkan mayit ke
liang lahad, hendaklah dia membaca doa: bismillah wa
ala millati Rasulillah shallallahu alaihi wa alihi dan
membaca ayat kursi. Kemudian setelah mayit diletakkan,
hendaklah dia menepuk pundak kanan mayit itu, lalu
Menalkinkannya supaya dia menyatakan bahwa dirinya
telah ridla dengan Allah sebagai Pemelihara, ridla dengan
Al-Islam sebagai agama, ridla dengan Muhammad sebagai
52
53
54

Abu Jafar, Tahdzibul Ahkam, jz.1, hlm.457, bab Talqinul muhtadlarin, no.135.
Surat Al-Baqarah (2): 255.
Muhammad bin Al-Husain, Wasailusy Syiah, jz.2 dari jld.1, hlm.844, kitab At-Thaharah, bab
Istihbabu qiraatil hamdi ., no.6.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

18

Munashihah MJ 0235

Rasul, dan ridla dengan Ali sebagai pemimpin, demikian


pula ridla dengan pemimpin pada zamannya.
2.5.1.3 Kedudukan riwayat
Riwayat ini tergolong riwayat dlaif.55
2.5.2 Riwayat Abu Jafar (dengan jalur Jabir bin Yazid)
2.5.2.1 Lafal, terjemah dan takhrij

:


) :



(


56

.
.
Artinya:
Dari Jabir bin Yazid, dari Abu Jafar alaihis salam,
dia berkata, Yang harus dilakukan oleh salah
seorang diantara kalian apabila mayitnya telah
dimakamkan dan sudah diratakan (tanah)nya, serta
telah ditinggalkan kuburnya- adalah: dia tinggal di
dekatnya, kemudian menyeru, Hai fulan bin fulan!
Bukankah engkau tetap memegang perjanjian yang
telah kami ikrarkan denganmu: persaksian bahwa
tidak ada Sesembahan selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah shallallahu alaihi
wa alihi, dan bahwa Ali amirul mukminin- alaihis
salam adalah pemimpinmu, begitu pula fulan dan
fulan, sampai dia sebutkan pemimpin terakhir
mereka. Maka sesungguhnya jika salah seorang dari
kalian melakukan yang demikian itu, berkatalah
seorang dari dua malaikat kepada temannya, Kita
telah dicukupi dari mendatanginya dan menanyainya, karena dia telah ditalkinkan. Kemudian kedua
malaikat itu berpaling darinya dan tidak menemuinya.
Abu Jafar telah meriwayatkannya. Riwayat ini
adalah riwayat maudlu.
55
56

Lihat Lampiran, no. 5.1.


Abu Jafar, Tahdzibul Ahkam, jz.1, hlm.459, bab 23 Fi talqinil muhtadlarin, no.141.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

19

Munashihah MJ 0235

2.5.2.2 Maksud riwayat


Riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid
tersebut memberikan pengertian bahwa apabila seorang
mayit telah dikuburkan dan makamnya telah diratakan
hendaknya tidak semua hadirin meninggalkan tempat
tersebut, akan tetapi ada salah seorang yang tetap tinggal
di dekat makam itu untuk Menalkinkan si mayit, yaitu
mengingatkannya tentang persaksian bahwa tiada
Sesembahan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan-Nya, selain itu juga mengingatkan bahwa Ali adalah
pemimpinnya, demikian pula pemimpin-pemimpin lain
semasa hidupnya hingga pemimpin di akhir hayatnya.
Jika seorang mayit telah ditalkinkan demikian,
-menurut riwayat ini- kedua malaikat yang bertugas
menanyai mayit di dalam kubur meninggalkan mayit
tersebut tanpa menemuinya.
2.5.2.3 Kedudukan riwayat
Riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid di
atas adalah riwayat maudlu.57

57

Lihat Lampiran, no.5.2.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

20

Munashihah MJ 0235

B A B III
P E N D A P AT U L A M A P E R I H A L
H U K U M M E N A L K I N K A N M AYI T
Masalah Menalkinkan mayit setelah dikuburkan merupakan suatu
permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Sepanjang pengkajian
penulis terdapat empat pendapat ulama dalam masalah tersebut, yaitu: sunnah,
makruh, mubah dan bidah. Berikut ini penulis paparkan pendapat-pendapat
tersebut satu persatu:
1. Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah58
Pendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya sunnah ini
dinyatakan oleh Asy-Syafii,59 ulama madzhab Asy-Syafii,60 Abu
Hanifah,61 Imam

Ahmad

Qayyim Al-Jauziyyah dan

bin

Hambal,62

Al-Baghdadi)

Al-Qadli Husain, Al-Mutawalli, Asy-Syaikh


Abu Amr bin
58

Shalah,

64

An-Nawawi,

65

(menurut pandangan Ibnul


ulama madzhab Hambali,63
Nashr

Al-Maqdisi Ar- Rafii,

Ibnul Arabi,66

Al-

Sunnah disebut juga mandub (dianjurkan), nafilah (tambahan), tathawwu (perbuatan suka rela),
mustahab (disukai) dan ihsan (perbuatan baik). (Disadur dari Ushulul Fiqh karya Abu Zahrah,
hlm.39).
59
Asy-Syafii (Gaza, Palestina , 150 H/767 M - Fustat [Cairo], Mesir, 204 H/20 Januari 820 M).
Mujtahid besar, ahli hadits, ahli bahasa Arab, ahli tafsir, dan ahli fikih. Dalam bidang hadits
dikenal dengan gelar Nashirus sunnah (pembela sunnah Rasul). (Abdul Aziz Dahlan (et.al),
Ensiklopedi Hukum Islam, jld.5, hlm. 1679).
60
Pendapat ulama madzhab Asy-Syafii dicantumkan dalam kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arbaah
karya Al-Jaziri, jz.1, hlm.501.
61
Abu Hanifah (Kufah, Irak, 80 H/699 M Baghdad, Irak, 150 H/767 M). Ahli fikih, mujtahid besar,
pendiri Madzhab Hanafi. Nama lengkapnya Abu Hanifah Numan bin Tsabit. (Abdul Aziz Dahlan
(et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.1, hlm. 12).
62
Ahmad bin Hambal (Baghdad, Rabiul Akhir 164 H/Desember 780 M Rabiul Awwal 241/Juli 855
M). Ulama, mujtahid besar, ahli hadits, ahli fikih, dan pendiri madzhab Hambali. Nama lengkapnya
Ahmad bin Muhammad bin Hambal. (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.1,
hlm. 55).
Pendapat Ahmad bin Hambal ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Ar-Ruh, hlm.16, sedangkan AlBaghdadi mencatatnya dalam kitab Irsyadus Salik, hlm.19 (footnote no.1).
63
Pendapat ulama madzhab Hambali dicantumkan dalam kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arbaah
karya Al-Jaziri, jz.1, hlm.501.
64
Kelima ulama ini adalah ulama pengikut madzhab Asy-Syafii. Al-Qadli Husain (wafat th.462H.),
Al-Mutawalli (-), Asy-Syaikh Nashr Al-Maqdisi (wafat th.490H.), Ar-Rafii (wafat th.623 H.), Abu
Amr bin Shalah (-).(KH.Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.80).
Pendapat mereka dinyatakan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, jz.5,
hlm.303-304.
65
An-Nawawi (Nawa, Damascus, Muharram 631/Oktober 1233 24 Rajab 676/Desember
1277). Seorang syaikh Islam yang banyak menulis buku, ahli di bidang hadits, fikih, dan bahasa.
Dikenal sebagai seorang mujtahid yang sibuk dengan kegiatan mudzakarah (tukar pikiran).
(Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.4, hlm. 1315).
Pendapat An-Nawawi tertulis dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, jz.5, hlm.303-304.
66
Ibnul Arabi: Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Abdillah bin Ahmad. Beliau adalah
penyusun kitab Aridlatul Ahwadzi.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

21

Munashihah MJ 0235

Qadli,67 Abul-Khaththab,68 Al-Qurthubi,69 Ats-Tsaalibi,70 Ibnu Hajar AlHaitami,71 Khatib Syarbini,72 Imam Ramli,73 Sayyid Bakri Syatha,74 Syaikh
Nawawi Al-Bantani,75 dan KH. Sirajuddin Abbas.76
Pendapat Asy-Syafii dan Abu Hanifah dijelaskan dalam kitab Ibanatul
Ahkam sebagai berikut:

,


77

.....


Artinya:
Adapun Menalkinkan (mayit) di kubur sesudah pemakamannya, hal
itu diperselisihkan. Menurut Asy-Syafii dan Abu Hanifah,
(Menalkinkan mayit) itu disukai.....
2. Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah.

Pendapat Ibnul Arabi dijelaskan dalam kitab Dalilul Falihin karya Ibnu Allan, jz.3, hlm.354.
Al-Qadli Iyadl (wafat th.544 H/1149 M) Seorang ulama ahli hadits, adab dan tarikh. (Disadur dari
Al-Munjid fil Alam, hlm.382).
Pendapat Al-Qadli Iyadl: Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal karya Ibnu Qudamah,
jz.1, hlm.309.
68
Seorang ulama penganut madzhab Hambali. (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum
Islam, jld.1, hlm. 100).
Pendapat Abul Khaththab: Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal karya Ibnu Qudamah,
jz.1, hlm.309.
69
Al-Qurthubi (w. Mesir, 9 Syawwal 671/1272 M). Seorang fakih besar dan mufasir dari abad ke-7.
H. Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Anshari, AlKhazraji, Al-Andalusi, Al-Qurthubi. (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.5,
hlm. 1462).
Pendapat Al-Qurthubi dinyatakan oleh Asy-Syanqithi dalam kitab Adlwaul Bayan, jz.6, hlm.291.
70
Penyusun kitab Al-Jawahirul Hisan. Nama lengkapnya Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad
bin Makhluf Ats-tsaalibi, wafat th.875 H. (Disadur dari Al-Jawahirul Hisan, jz.1, hlm.4.)
Pendapat Ats-Tsaalibi dinyatakan oleh Asy-Syanqithi dalam kitab Adlwaul Bayan, jz.6, hlm.291.
71
Ibnu Hajar Al-Haitami, wafat th.974. Beliau adalah seorang ulama dan pengarang, penganut
madzhab Asy-Syafii. (Disadur dari 40 Masalah Agama, hlm.83).
Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dikutip oleh Kh.Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, hlm.83.
72
Asy-Syarbini (w. Cairo, 977 H/1570 M). Ahli fikih madzhab Asy-Syafii, mufassir yang berpengetahuan luas tentang bahasa Arab. (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam,
jld.5, hlm. 1695).
Pendapat Asy-Syarbini: Lihat Al-Iqna, jz.1, hlm.183.
73
Namanya Syamsyuddin Ar-Ramli (w. th. 1004 H.). Dia dikenal dengan julukan Syafii kecil,
karena ia menyerupai Imam Asy-Syafii dalam ilmunya. (Disadur dari 40 Masalah Agama,
hlm.85).
Pendapat beliau dicatat dalam buku 40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.84.
74
Sayyid Bakri Syatha (w.1300 H). Penulis kitab Ianatut Thalibin sebagai hasyiyah dari kitab Fathul
Muin karya Zainuddin Al-Malibari.
Beliau menuliskan pendapatnya dalam kitab Hasyiyah Ianatut Thalibin, jz.2, hlm.232.
75
Nawawi Banten (Banten, Jawa Barat, 1230 H/1813 M Mekah, 1314 H/1897 M). Seorang ulama
besar, penulis dan pendidik dari Banten, Jawa Barat yang bermukim di Mekah. (Abuddin Nata
(et.al), Ensiklopedi Islam, jld.4, hlm.23).
Beliau menyatakan pendapatnya dalam kitab Nihayatuz Zain, hlm.162.
76
KH.Sirajuddin Abbas, ulama penganut madzhab Asy-Syafii, penyusun buku 40 Masalah Agama,
wafat th.1401 H.
Beliau menegaskan pendapat beliau dalam buku 40 Masalah Agama, jld IV, hlm.78.
77
Hasan Sulaiman An-Nuri & Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.196.
67

Hukum

Menalkinkan

Mayit

22

Munashihah MJ 0235

Pendapat kedua ini dinyatakan oleh Imam Ibnu Taimiyyah dan


ulama madzhab Hanafi.
2.1 Ibnu Taimiyyah 78





:





79


Artinya:
Jawabnya: Menalkinkan mayit sesudah wafatnya tidak wajib
menurut kesepakatan (para ulama) (Menalkinkan mayit itu juga)
bukan amalan muslimin yang terkenal di kalangan mereka pada
zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah
beliau, akan tetapi perbuatan tersebut diriwayatkan dari
sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, misalnya Abu Umamah80 dan Watsilah bin Al-Asqa.81 Maka sebagian dari para imam ada yang memperbolehkannya misalnya
Imam Ahmad, bahkan sekelompok sahabat beliau (maksudnya
pengikut Madzhab Hambali) serta sahabat-sahabat Asy-Syafii
menyukainya. Dan dari kalangan ulama ada yang
membencinya karena berpendirian bahwa Menalkinkan mayit
itu merupakan (perbuatan) bidah. Maka, pendapat ulama
dalam hal ini ada tiga macam: Istihbab (disukai), Karahah
(dibenci), dan Ibahah (dibolehkan) Inilah (Ibahah) pendapat
yang paling lurus (benar).

Fatwa ini beliau ungkapkan sebagai jawaban tatkala beliau ditanya


apakah Menalkinkan mayit setelah dikuburkan itu wajib atau tidak.82
2.2 Ulama madzhab Hanafi

78

Ibnu Taimiyyah (Harran, Turki, 10 Rabiul Awwal 661 H/22 Januari 1263 M Damascus, 23
Dzulqadah 728 H/26 September 1328 M). Seorang ahli tafsir, hadits dan fikih. Nama lengkapnya
Taqiyyuddin Abu Abbas Ahmad bin Abdussalam bin Taimiyyah. (Abuddin Nata (et.al),
Ensiklopedi Islam, jld.2, hlm.623).
79
Ibnu Taimiyah, Al-Fatawal Kubra, jz.3,hlm.25.
80
Hadits Abu Umamah telah lewat pada bab II, hlm.13-14, no.2.2.
81
Hadits Watsilah bin Al-Asqa telah lewat pada bab II, hlm.11.
82
Lihat Al-Fatawal Kubra, jz.3, hlm.25.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

23

Munashihah MJ 0235

Pendapat ulama madzhab Hanafi dikutip oleh Al-Jaziri sebagai


berikut:












83


...






Artinya:
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, Menalkinkan mayit
setelah selesai dari penguburannya tidak dilarang dan tidak
pula disuruhkan
3. Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh
Pendapat kedua ini merupakan pendapat Malik,84 ulama madzhab
Maliki, dan ulama madzhab hanafi.
Pendapat Malik dijelaskan dalam kitab Ibanatul Ahkam, yaitu:

...

85







Artinya:
Adapun Menalkinkan (mayit) di atas kubur sesudah (selesai)
penguburannya, maka (hal) itu diperselisihkan perihal (hukum)nya
Menurut Imam Malik (Menalkinkan mayit itu) dibenci karena
amalan penduduk Madinah tidak berlangsung dalam hal itu.

Adapun pendapat ulama penganut madzhab Maliki dijelaskan oleh AlJaziri sebagai berikut:


:








86
.


Artinya:
Ulama madzhab Maliki mengatakan, Menalkinkan mayit sesudah
dikuburkan dan (dalam) keadaan dikuburkan itu dibenci.

4. Menalkinkan Mayit Merupakan Perbuatan Bidah

83

Al-Jaziri, Al-Fiqhu alal Madzhibil Arbaah, jz.1, hlm.501, footnote no.1.


Malik (Madinah, 94 H/716 M Madinah, 179 H/795 M). Seorang ahli hadits, ahli fikih, mujtahid
besar dan pendiri madzhab Maliki yang terkenal dengan sebutan Imam Darul Hijrah (tokoh
panutan penduduk Madinah). (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.4,
hlm.1092).
85
Hasan Sulaiman An-Nuri & Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.196.
86
Al-Jaziri, Al-Fiqhu alal Madzhibil Arbaah, jz.1, hlm.501, footnote no.1.
84

Hukum

Menalkinkan

Mayit

24

Munashihah MJ 0235

Ulama yang berpendapat bahwa Menalkinkan mayit merupakan


perbuatan bidah adalah Izzuddin bin Abdussalam,87 Ash-Shanani,88 A.
Hassan,89 dan Al-Albani.90 Berikut ini penulis nukilkan pendapat Al-Albani
yang beliau jelaskan setelah mengutip hadits Abu Said:








...









91

(
)




Artinya:
Pada hadits (Abu Said) tersebut (terdapat dalil) disyariatkannya Menalkinkan orang yang menjelang mati dengan
persaksian tauhid dengan harapan supaya dia mengucapkannya, sehingga dia beruntung (di akhirat)..... Adapun Menalkinkan mayit setelah wafatnya, maka di samping perbuatan itu
merupakan bidah (juga) tidak diriwayatkan dalam sunnah Rasul
maka tidak ada faedah dari perbuatan tersebut, karena mayit itu
telah keluar dari masa pembebanan (beralih) pada masa
pembalasan dan karena dia tidak lagi (dapat) menerima
92

peringatan (sebagaimana dalam ayat):

(supaya
engkau
(wahai
Rasulullah!)
mengancam
orang

yang hidup).

Demikianlah uraian pendapat ulama perihal hukum Menalkinkan mayit


berdasarkan pengkajian penulis dari beberapa kitab.

87

Izzuddin bin Abdussalam (Damascus, Suriah, 577 H/1181 M Cairo, Mesir, 660 H/1261 M).
Tokoh fikih besar madzhab Asy-Syafii yang digelari dengan Sulthanul Ulama. (Abdul Aziz
Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.3 hlm.789).
Pendapat Izzuddin dijelaskan oleh A.Hassan, Soal Jawab, jld.1, hlm.212.
88
Namanya Muhammad bin Ismail bin Shalah bin Muhammad Al-Husani. Dikenal dengan gelar AlAmir. Seorang mujtahid yang berjulukan Al-Muayyad billah. Wafat th.1182 H. (Subulus Salam,
jld.1, muqaddimah []-[) ].
Ash-Shanani menuliskan pendapatnya dalam kitab Subulus Salam, jz.2, hlm.234.
89
Ahmad Hassan (Singapura, 1887 Bangil, 10 November 1958). Seorang ulama, ahli fikih/ushul
fikih, tafsir, hadits, dan ilmu kalam. Ahli debat/polemik (terutama di bidang keagamaan) dan tokoh
Persatuan Islam (Persis). (Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, jld.2, hlm.532).
Pendapat A.Hassan: Lihat Soal-Jawab, jld.2, hlm.977.
90
Imam Mujaddid (reformis), seorang alim yang dapat dipercaya, peneliti yang cermat, ahli hadits
dan fikih. Beliau lahir th.1332 H. (Mubarak, Biografi Syaikh Al-Albani, hlm.12)
91
Al-Albani, Silsilatul Ahaditsish Shahihah, jz. 1, hlm.759.
92
QS. Yasin (36):70. Pada mushaf Al-Quran yang menjadi rujukan penulis tertulis



( dengan huruf ya) bukan

(dengan
huruf
ta).
Dalam






kitab tafsir Al-Jami li Ahkamil Qur`an (jz.15, hlm.55), Al-Qurthubi menyebutkan bahwa Nafi
dan Ibnu Amir membaca dengan huruf ta sebagaimana tercantum dalam nukilan di atas.
Wallahu alam.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

25

Munashihah MJ 0235

BAB IV
ANALISA
Analisa perihal Menalkinkan mayit ini berfokus pada dua objek pembahasan, yaitu: analisa hadits-hadits yang berkenaan dengan Menalkinkan mayit
dan analisa pendapat ulama perihal hukum Menalkinkan mayit.
1. Analisa Hadits-hadits dan Riwayat-riwayat yang Berkenaan dengan
Menalkinkan Mayit
1.1 Hadits Abu Said93
Kedudukan hadits Abu Said ini shahih,94 sehingga dapat dijadikan
sebagai hujah dalam beramal.95
Matan hadits ini berisi perintah Rasul yang berbunyi:

))
((





Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah Rasul dalam hadits ini

merupakan perintah yang berarti sebuah anjuran (bukan sebagai kewajiban) sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qari:
96

Artinya:
Jumhur ulama (berpendapat) bahwa Menalkinkan (mayit) ini
dianjurkan.
Hal ini dinyatakan pula oleh An-Nawawi.97

Pada hadits ini terdapat lafal mauta. Pada kamus al-Mujamul


Wasith disebutkan bahwa lafal mauta merupakan bentuk jamak dari lafal
mayyit yang mempunyai dua makna; yaitu orang yang sudah mati dan
orang yang menjelang mati,98 sedangkan pada kamus Al-Munjid
disebutkan bahwa lafal mauta merupakan bentuk jamak dari lafal mait
yang berarti orang yang sudah mati.99
Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal mauta merupakan
bentuk jamak dari lafal mayyit dan lafal mait. Oleh karena itu lafal

93

Lihat bab II, hlm.8, no.2.1.


Lihat lampiran, no.1.1.1.
95
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, hlm.146.
96
Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jz.4, hlm.52.
97
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, jld.3, jz.6, hlm.219.
98
Lihat kembali bab II, hlm.7.
99
Luwais Maluf, Al-Munjid, hlm.779.
94

Hukum

Menalkinkan

Mayit

26

Munashihah MJ 0235

tersebut dapat diartikan dengan dua makna, yaitu orang-orang yang


menjelang mati dan orang-orang yang sudah mati.
Berdasarkan dua makna ini, ulama juga berbeda pendapat dalam
memahami maksud hadits Abu Sa'id tersebut.
Apabila lafal mauta diterjemahkan dengan arti orang yang sudah
mati (mayit) maka maksud hadits ini adalah perintah untuk Menalkinkan
orang yang sudah mati. Ulama yang berpendapat bahwa lafal mauta
berarti orang yang sudah mati adalah ulama madzhab Asy-Syafii
sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Allan.100 Menurut mereka, makna
orang yang sudah mati merupakan makna hakiki, sedangkan dalam
kaidah ushul fikih disebutkan bahwa


( makna hakiki didahulukan daripada makna majasi).

Adapun jika makna yang dipakai adalah makna majasi, maka


hadits ini menunjukkan perintah untuk Menalkinkan orang yang
menjelang mati. Ulama yang memandang bahwa lafal mauta dalam
hadits tersebut bermakna majasi di antaranya adalah An-Nawawi, 101 AsSindi,102 Ash-Shanani,103 Sayyid Alawi,104 Abut Thayyib Abadi,105 AsSaharanfuri,106 Ath-Thayyibi,107 Al-Mubarakfuri,108 Abdul Baqi,109 Ibnu
Allan,110 Sulaiman bin Abdillah111 Sulaiman An-Nuri,112 Abbas Alawi,113 AlAlbani114 dan Kamal bin Sayyid Salim. 115 Alasan

yang mendasari

pengambilan makna majasi ini adalah adanya qarinah116 bahwa orang


100

Ibnu Allan, Dalilul Falihin, jz.3, hlm.354.


An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, jz.6, hlm.219.
102
As-Sindi, Sunan Ibnu Majah bi Syarhis Sindi, jz.2, hlm.193, hd.1444.
103
As-Shanani, Subulus Salam, jz.2, hlm.186.
104
Sayyid Alawi, Al-Fathul Qaribil Mujib, hlm.109.
105
Abut Thayyib Abadi, Aunul Mabud, jz.8, hlm.386.
106
As-Saharanfuri, Badzlul Majhud, jld.7, jz.14, hlm.79.
107
As-Saharanfuri, Badzlul Majhud, jld.7, jz.14, hlm.80.
108
Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, jz.4, hlm.53.
109
Abdul Baqi, Taliq Sunan Ibnu majah, jz.1, hlm.464, footnote hadits no.1444.
110
Ibnu Allan, Dalilul Falihin, jz.3, hlm.354.
111
Ibnu Qudamah, Al-Muqni, jz.1, hlm.268, footnote no.2.
112
Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.196.
113
Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm.196.
114
Al-Albani, Silsilatul Ahaditsis Shahihah, jz.1, hlm.759.
115
Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqhis Sunnah, jz.1, hlm.611.
101

116

(Ushulul Fiqhil Islami, jz.1, hlm.297).


Artinya:

Hukum

Menalkinkan

Mayit

27

Munashihah MJ 0235

yang

dapat mengakhiri

hidupnya

dengan kalimat la ilaha illallah

pasti masuk ke dalam jannah. Qarinah tersebut terdapat pada hadits Abu
Hurairah yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban 117 dan hadits Muadz118 yang
berkedudukan shahih. Hadits Muadz tersebut diriwayatkan oleh Ahmad119
dan Al-Hakim.120
Berdasarkan pengkajian penulis, lafal mauta dalam konteks

kalimat ((


))




ini lebih tepat

diterjemahkan dengan makna majasi, yakni orang yang menjelang mati


dengan beberapa alasan berikut:
1. Menurut Ilmu Ushul Fikih, makna hakiki didahulukan daripada makna
majasi karena makna hakiki tidak membutuhkan qarinah, sedangkan
makna majasi membutuhkannya. Makna majasi dapat dipergunakan
apabila terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari suatu
lafal.121 Berdasarkan hal ini, penulis menyimpulkan bahwa kaidah:
( makna hakiki didahulukan daripada
makna majasi) hanya diberlakukan apabila tidak terdapat qarinah
yang menafikan makna hakiki dari suatu lafal. Pada lafal mauta
)) ini, qaidah
dalam konteks kalimat ((

tersebut tidak dapat diberlakukan karena terdapat qarinah yang
menafikan makna hakiki dari lafal tersebut.
2. Penggunaan makna majasi pada suatu lafal dapat dibenarkan apabila
terdapat qarinah yang menafikan makna hakiki dari lafal tersebut.122
Dalam hal ini, lafal mauta mempunyai qarinah yang menunjukkan
bahwa tujuan Menalkinkan adalah supaya mayit dapat mengakhiri
hidupnya dengan kalimat la ilaha illallah sehingga ia mendapat
jaminan masuk jannah. Adanya qarinah ini menafikan makna hakiki
pada lafal mauta dalam konteks kalimat tersebut, sebab bagaimana
mayit akan mengakhiri hidupnya dengan kalimat la ilaha illallah
Qarinah adalah perkataan yang disebutkan oleh seorang pembicara untuk menentukan makna
yang dimaksud atau untuk menjelaskan bahwa makna hakiki bukanlah (makna) yang
dimaksudkan.
117
Lihat kembali bab II, hlm.10, no.5.
118
Lihat lampiran, no. 2.1.
119
Ahmad, Al-Musnad, jz.5, hlm.233.
120
Al-Hakim, Al-Mustadrak alash Shahihain, jz.1, hlm.351, kitab Al-Janaiz, bab Man kana akhiru
kalamihi la ilaha illallah.
121
Disadur dari Ushulul Fiqhil Islami karya Az-Zuhaili, jz.1, hlm.295.
122

Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, jz.1, hlm.297.


Artinya:
Untuk keabsahan (makna) majas, disyaratkan pula adanya qarinah yang menghalangi maksud
makna yang hakiki.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

28

Munashihah MJ 0235

sedangkan ia telah mati?


3. Pengambilan makna majasi dalam konteks ini didukung pula dengan
pernyataan ulama bahwa penyebutan orang yang yang menjelang
mati dengan kata mayit itu lazim digunakan, dan hal ini termasuk
dalam bab menamakan sesuatu dengan menyebutkan perubahan
yang akan terjadi padanya, bahkan dalam Al-Qur`an juga terdapat
bentuk seperti ini sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Bakri Syatha
berikut ini:

) (


123
.[ 36:
]
Artinya:
Perkataannya (Imam Al-Malibari) (ai: man hadlarahul maut) itu
merupakan penafsiran yang dimaksud dari kata al-amwat124
artinya bahwa yang dimaksud dengan al-amwat itu adalah
orang yang kematiannya sudah dekat. Maka hal itu termasuk
dalam bab menamakan sesuatu dengan (menyebut
perubahan) yang akan terjadi padanya, seperti firman-Nya
yang mahatinggi {Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku
memeras khamr125 [Yusuf: 36].
Jadi, maksud hadits Abu Said ini adalah perintah untuk

Menalkinkan orang yang menjelang mati.


Berdasarkan kesimpulan di atas, jelaslah bahwa hadits Abu Said
tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan sunnahnya
Menalkinkan mayit. Wallahu alam.
1.2 Hadits Abu Umamah126

123
124

125

Sayyid Bakri Syatha, Ianatut Thalibin, jz.2, hlm.230.


merupakan jamak dari kata mayit ( : orang yang sudah mati) seperti lafal

. Adapun yang disebut dalam hadits Abu Said adalah

Maksud perkataan teman sepenjara Nabi Yusuf Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku
memeras khamr yang diceritakan pada ayat tersebut adalah: Sesungguhnya aku bermimpi
bahwa aku memeras anggur, akan tetapi karena anggur jika diperas akan menjadi khamr, maka
penyebutan anggur dimutlakkan dengan penyebutan khamr. Demikian pula orang yang
menjelang mati, karena orang yang menjelang mati itu pada waktu yang dekat akan mati, maka
penyebutannya dimutlakkan dengan penyebutan mayit.
126
Lihat kembali bab II, hlm.11-12, no.2.2.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

29

Munashihah MJ 0235

Hadits Abu Umamah ini berkedudukan dlaif.127 Hadits dlaif


tergolong khabar mardud (yang tertolak)128 sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai hujah.
Akan tetapi meskipun hadits Abu Umamah ini dla'if, sebagian
ulama berpendapat bahwa hadits tersebut mempunyai beberapa
syahid129, sehingga kedudukannya menjadi hadits hasan lighairihi130 dan
dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal.
Berikut ini penulis nukilkan hadits-hadits yang mereka jadikan
sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah:
1) Hadits Amr bin Ash radliyallahu anhu

........











....

131



.








.
Artinya:
.....Dari Ibnu Syumasah Al-Mahriy, dia berkata, Kami
menghadiri Amr bin Ash sedang dia dalam keadaan
127
128
129

Lihat lampiran, no.1.2.


Lihat Taisir Mushthalahil Hadits, hlm.51.

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.115.)


Artinya:
Syahid menurut istilah adalah: Hadits yang rawi-rawi (pada sanad)nya menyertai rawi-rawi ( pada
sanad) hadits tunggal, baik secara lafal dan makna, atau secara makna saja, dengan perbedaan
(rawi pada tempat) shahabi.




:




,









,


130

Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.43.


Artinya:
Al-Hasan lighairihi, definisinya adalah (hadits) dlaif apabila banyak jalan (periwayatan)nya dan
sebab kedlaifan (sanad)nya bukan (karena) kefasikan rawi atau kedustaannya.
131
Muslim, Ash-Shahih, jld.1, jz.1, hlm.78-79, kitab 1 Al-Iman, bab kaunil islam yahdimu ma
qablahu, no.191.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

30

Munashihah MJ 0235

(menghadapi) sakaratul maut . (dia berkata), 'Dan apabila


kalian telah menguburkanku maka benar-benar taburkanlah
tanah di atas (kubur)ku, kemudian tinggallah di sekitar
kuburku sekira (waktu) seekor onta disembelih dan dibagikan
dagingnya, sehingga aku dapat merasa senang dengan
(keberadaan) kalian, dan aku menunggu apa yang akan aku
jawabkan kepada utusan-utusan Pemeliharaku.
Muslim telah meriwayatkannya.
2) Hadits Anas radliyallahu anhu
2.1 Hadits Anas radliyallahu anhu tentang mayit mendengar derap
sandal orang-orang yang menguburkannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari,132 dan An-Nasai.133
2.2 Hadits Anas radliyallahu anhu tentang Nabi menyeru mayat
orang-orang musyrik di Badar yang diriwayatkan oleh Muslim.134
3)

Hadits Bara` bin Azib radliyallahu anhu yang menjelaskan


bahwa apabila seorang hamba mukmin telah meninggal dunia, ruhnya
akan dikembalikan ke jasadnya dan dua malaikat akan datang
kepadanya untuk menanyakan beberapa hal. Hadits ini diriwayatkan
oleh Ahmad135 dengan sanad shahih.136

4) Hadits Utsman bin Affan radliyallahu anhu



.....




















137


.




.
Artinya:
.....Dari Utsman bin Affan, dia berkata, Adalah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam apabila selesai mengubur mayit,
beliau berhenti pada (kubur)nya seraya bersabda, Kalian
mintakanlah ampun untuk saudara kalian dan kalian
mintakanlah keteguhan baginya karena sesungguhnya
sekarang dia (akan) ditanyai
132

Al-Bukhari, Ash-Shahih, jz.1, hlm.286-287, kitab 23 Al-Janaiz, bab 67 Al-Mayyitu yasmau


hafaqan niali, no.1338, tharafnya:1374.
133
An-Nasa`i, As-Sunan, jld.2, jz.4, hlm.96, kitab 21, bab At-tashil fi ghairis sibtiyyah, bab almasalah fil qabr, dan bab masalatul kafir.
134
Muslim, Ash-Shahih, jld.4, jz.8, hlm.163, kitab 51 Al-Jannah wa shifatu naimiha, bab Ardli
maqadil mayyit minal jannah.
135
Ahmad, Al-Musnad, jz.4, hlm.287-288.
136
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abu Awanah. (Fathul Bari, jz.3, hlm.234.
137
Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm.91-92, kitab 15 Al-Janaiz, bab 73 Al-Istighfar indal qabri lil
mayyit, no.3221

Hukum

Menalkinkan

Mayit

31

Munashihah MJ 0235

Abu Dawud telah meriwayatkannya dengan sanad shahih.138


Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim, 139 dan AlBaihaqi.140
5) Hadits Ibnu Umar radliyallahu anhu yang menceritakan bahwa Ibnu
Umar mendoakan mayit tatkala dimulai perataan batu bata di atas
liang lahadnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah141 dengan
sanad dlaif.142
6) Hadits Al-Hakam bin Al-Harits As-Sulami radliyallahu anhu tentang
pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam supaya para sahabat
mendoakan beliau apabila beliau telah dimakamkan dan mereka
telah memercikkan air di atas kubur beliau. Hadits ini diriwayatkan
oleh Ath-Thabarani 143 dengan sanad dlaif.144
7) Hadits Ummu Salamah radliyallahu anha tentang perintah untuk
mengucapkan perkataan yang baik tatkala menjenguk orang sakit
atau melawat mayit. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim,

145

Abu

Dawud,146 At-Tirmidzi,147 An-Nasai,148 dan Ibnu Majah.149


8) Hadits Aisyah radliyallahu anha yang menyatakan bahwa Rasulullah
diperintahkan untuk mendatangi para penghuni pekuburan Baqi serta

138

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Bassam. (Taudlihul Ahkam, jz.2, hlm.557).
Al-Hakim, Al-Mustadrak, jz.1, hlm.370, kitab Al-Janaiz, bab Al-Istighfar wa sualit tatsbit indad
dafni.
140
Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz.4, hlm.56, kitab Al-Janaiz, bab Ma yuqalu indad dafni.
139

141

Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm.495, kitab 6 Al-Janaiz, bab 37 ma ja-a fi idkhalil mayyitil qabr,
no.1553.
142
Dalam Hasyiyah Sunan Ibnu Majah dijelaskan bahwa pada sanad hadits Ibnu Umar terdapat
seorang rawi bernama Hammad bin Abdurrahman, dia adalah rawi yang disepakati ulama
perihal kedlaifannya. (Al-Buwaishiri, Hasyiyah Sunan Ibnu Majah, jld.2, hlm.243).
Lihat biografi Hammad bin Abdurrahman; Tahdzibut Tahdzib, jld.2, hlm.429, no.1561 dan
Mizanul Itidal, jz.1, hlm.597, no.2256.
143
Ath-Thabarani, Al-Mujamul Kabir, jz.3, hlm.241, no.3171.
144
Hadits Al-Hakam bin Al-Harits dikutip oleh Al-Haitsami dalam kitabnya, Majmauz Zawai`d dan
beliau menyatakan bahwa pada sanad tersebut terdapat rawi yang tidak beliau kenal, yaitu
Athiyyah Ar-Ria`. (Al-Haitsami, Majmauz Zawaid, jz.3, hlm.44)
145
Muslim, Ash-Shahih, jld.2, jz.3, hlm.38, bab 11 Al-Janaiz, bab ma yuqalu indal maridl, no.6.
146
Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm. 69, kitab Al-Janaiz, bab 14 ma yustahabbu an yuqala indal
mayyiti minal kalam, hlm.3115.
147
At-Tirmidzi, As-Sunan, jz.3, hlm.298, kitab 8 Al-Janaiz, bab 7 ma ja-a fi talqinil maridl , no.977.
148
An-Nasa`i, As-Sunan, jld.2, jz.4, hlm.4-5, kitab 21 Al-Janaiz, bab katsratu dzikril maut.
149
Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm.465, kitab 6 Al-Janaiz, bab 4 ma ja-a fima yuqalu indall
maridl, no.1447.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

32

Munashihah MJ 0235

memintakan ampun untuk mereka. Hadits ini diriwayatkan oleh


Muslim.150
An-Nawawi menyatakan bahwa hadits Abu Umamah mempunyai

beberapa syahid, di antaranya hadits





(yaitu hadits
Utsman bin Affan: no.4) dan hadits tentang wasiat Amr bin Ash
(no.1).151
Ibnu Hajar juga menyebutkan beberapa hadits yang dapat
dijadikan syahid bagi hadits Abu Umamah, yaitu riwayat Rasyid bin
Sad,152 hadits Al-Hakam bin Al-Harits (no.6), hadits Ibnu Umar (no.5),
hadits Amr bin Ash (no.1), dan hadits Utsman bin Affan (no.4).153
Sedangkan KH. Sirajuddin Abbas menukilkan hadits Amr bin
Ash (no.1), hadits Utsman bin Affan (no.4), hadits Abu Said,154 dua
hadits Anas (no.2.1 dan 2.2), hadits Bara`bin Azib (no.3), hadits Ummu
Salamah (no.7), hadits Aisyah (no.8) dan riwayat Rasyid bin Sad dalam
pembahasan dalil-dalil yang menyokong hadits Abu Umamah
tentang talkin.
Jadi, ada sembilan hadits dan satu riwayat yang dijadikan sebagi
syahid bagi hadits Abu Umamah.
Apabila dicermati, di antara sepuluh hadits dan riwayat tersebut,
hanya

hadits

Rasyid

bin

Sadlah

yang

membicarakan

perihal

Menalkinkan mayit sebagaimana hadits Abu Umamah. Makna haditshadits tersebut selain hadits Abu Said- hanya berkisar pada dua
pengertian; pertama, bahwa mayit dapat mendengar (lihat hadits no.1,
no.2.1, 2.2, dan no.3). Kedua, adanya anjuran untuk mendoakan
mayit yang menunjukkan bahwa mayit mendapatkan manfaat dari
doa orang yang masih hidup (Lihat hadits no.4, no.5, no.6, no.7 dan
no.8).

Adapun

hadits

Abu

Said

sebagaimana

telah

lewat-155

menyatakan anjuran Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan


Menalkinkan orang yang sudah mati.
150

Muslim, Ash-Shahih, jld.2, jz.3, hlm.63-64, kitab 11 Al-Janaiz, bab ma yuqalu inda dukhulil qubur,
no.103.
151
An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, jz.5, hlm.304.
152
Lihat bab II, hlm.15, no.2.4.
153
Ibnu Hajar, Talkhishul Habir, jz.2, hlm.311.
154
Lihat bab II, hlm.8, 2.1.
155
Lihat kembali hlm.25-28.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

33

Munashihah MJ 0235

Dalam hal ini, KH.Sirajuddin Abbas menjadikan hadits Amr bin


Ash sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah bukan dari pengertian
bahwa mayit dapat mendengar. Beliau menerjemahkan kalimat

dalam hadits tersebut

dengan arti dan aku ketahui apa yang harus aku jawabkan kepada
malaekat-malaekat yang menjadi persuruh Tuhanku.156 Selanjutnya
beliau menyimpulkan bahwa Amr bin Ash berwasiat supaya setelah
kuburnya diratakan, hendaknya orang-orang yang menguburkannya
tinggal beberapa saat di sekitar kuburnya sehingga dia merasa tenang
dengan keberadaan mereka dan ia dapat mengetahui jawaban apa yang
akan ia hadapkan kepada malaikat yang menanyainya. Jika mayit
dalam hal ini Amr bin Ash- dapat mengetahui jawaban yang harus dia
hadapkan kepada malaikat dengan sebab keberadaan orang-orang yang
ada di sekitar kuburnya, secara implisit dapat difaham bahwa dia
meminta supaya orang-orang yang berada di sekitar kuburnya
Menalkinkannya sehingga ia dapat menjawab pertanyaan malaikat
dengan mudah.157
Penjelasan KH.Sirajuddin Abbas tentang persaksian hadits Amr
bin Ash di atas tidak dapat diterima dengan alasan berikut:
Dalam beberapa kamus yang menjadi rujukan penulis, di
antaranya Lisanul Arab, Al-Mujamul Wasith, dan Al-Munjid, pada lafal

- tidak terdapat arti mengetahui. Dari hasil kajian penulis


dalam masalah ini, penulis menyimpulkan bahwa arti yang tepat bagi
lafal tersebut adalah menunggu.158 Di samping itu, dalam kitab-kitab
syarah

tidak

terdapat

keterangan

sebagaimana

penjelasan

KH.

Sirajuddin Abbas di atas. An-Nawawi, -dalam kitab Shahih Muslim bi


Syarhin Nawawi- memberikan tiga kesimpulan dari hadits ini, di
antaranya, disunnahkannya tinggal sejenak di sekitar pekuburan setelah
selesai pemakaman dan mayit dapat mendengar.159 Adapun Al-Qadli
Iyadl memberikan penjelasan, di antaranya: hadits ini menunjukkan
bahwa mayit pada saat itu dapat mendengar.160
156

KH. Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.95.


Saduran dari: KH. Sirajuddin Abbas,
40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.96.
158
:
Pada kamus Lisanul Arab, jz.14, hlm.192 disebutkan:

Sedangkan pada Al-Mujamul Wasith, hlm.932 dan Al-Munjid, hlm.817 tertulis:

157


159
160

An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, jld.1, jz.2, hlm.139.


Al-Qadli Iyadl, Ikmalul Mulim, jz.1, hlm.412.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

34

Munashihah MJ 0235

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sembilan


hadits di atas tidak semakna dengan hadits Abu Umamah, maka haditshadits tersebut tidak dapat menjadi syahid bagi hadits Abu Umamah
sebab salah satu kriteria syahid adalah apabila suatu hadits semakna
dengan hadits yang disaksikannya.161
Sedangkan riwayat Rasyid bin Sad, meskipun riwayat tersebut
semakna dengan hadits Abu Umamah, akan tetapi riwayat tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah karena riwayat
tersebut adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif.
Berkenaan dengan hal ini, Al-Albani memberikan tanggapan atas
pernyataan Ibnu Hajar yang berpendapat bahwa hadits Abu Umamah
dapat dijadikan sebagai dalil karena terdapat beberapa syahid yang menopangnya. Berikut ini kutipan penjelasan Al-Albani:



!
((







))






,





,





))










! !








,
,





162

Artinya:
Pada perkataannya (Ibnu Hajar) ((hadits Abu Umamah
mempunyai beberapa syahid)) terdapat toleransi yang banyak!,
karena semua (hadits) yang dia sebutkan tidak layak menjadi
syahid sebab semuanya tidak (mengandung) makna talkin sedikit
pun secara mutlak, semuanya (hanya) berkisar di sekitar (makna)
doa bagi mayit! Karena itulah aku tidak memuat hadits-hadits

161

lihat kembali definisi syahid pada hlm.29, footnote no.129.

162

Al-Albani, Irwa`ul Ghalil, jz.3, hlm.204-205.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

35

Munashihah MJ 0235

tersebut dalam sejumlah perkataannya yang aku sebutkan,


kecuali riwayat Said bin Manshur sebab riwayat tersebut
menjelaskan tentang talkin. Akan tetapi di samping itu riwayat
tersebut merupakan syahid yang sangat ringkas (kurang) karena
hadits (Abu Umamah) lebih lengkap dan lebih banyak materinya
dibanding dengan riwayat Said bin Manshur, sebab di dalamnya
(disebutkan) ((bahwa malaikat Munkar dan Nakir mengatakan,
kita tidak akan tinggal (singgah) pada orang yang telah
ditalkinkan hujahnya. Manakah (pengertian) seperti ini dalam
syahidnya (riwayat Said bin Manshur)? Di samping itu riwayat
Said bin Manshur tidak layak menjadi syahid karena riwayat
tersebut adalah riwayat mauquf bahkan riwayat maqthu. Aku
tidak tahu kenapa perkara seperti ini dapat tersamar bagi AlHafidz,163 semoga Allah memaafkan kita serta beliau.
Menurut Al-Albani, di antara sekian banyak hadits yang diajukan
Ibnu Hajar sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah hanya riwayat Said
bin Manshur yaitu hadits Rasyid bin Sad- yang menjelaskan tentang
talkin. Adapun hadits-hadits lain hanya membicarakan tenang doa bagi
mayit. Meskipun demikian, hadits Rasyid bin Sad merupakan syahid yang
sangat ringkas; maksudnya ada beberapa hal yang dimuat dalam hadits
Abu Umamah akan tetapi tidak disebutkan dalam hadits tersebut,
misalnya pernyataan dua malaikat bahwa mereka tidak akan singgah
kepada orang yang telah ditalkinkan hujahnya. Di samping itu, hadits ini
tidak layak dijadikan syahid bagi hadits Abu Umamah karena hadits
tersebut adalah hadits maqthu.
Walhasil, karena tidak terdapat syahid yang menopangnya, maka
hadits Abu Umamah tetap berkedudukan dlaif sehingga tidak dapat
dijadikan sebagai hujah dalam beramal. Wallahu alam.
1.3 Hadits Ibnu Abbas164
Hadits Ibnu Abbas ini menceritakan bahwa Rasulullah Menalkinkan Fathimah binti Asad setelah menguburkannya.
Hadits tersebut adalah hadits maudlu.165 hadits maudlu tergolong
hadits mardud (tertolak) dan menduduki tingkat hadits dlaif yang

163

Yang dimaksud dengan Al-Hafidz di sini adalah Ibnu Hajar. Al-Hafidz merupakan salah satu
gelar beliau.
164
Lihat kembali bab II, hlm.14, no.2.3.
165
Lihat lampiran no.1.3.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

36

Munashihah MJ 0235

terburuk,166 bahkan Ibnu Ajjaj menegaskan bahwa hadits maudlu tidak


dianggap sebagai hadits.167
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits
Ibnu Abbas tidak dapat dijadikan hujah. Wallahu alam.
1.4 Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim bin Umair168
Riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair
ini adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif.169
Pada asalnya riwayat mauquf tidak dapat dijadikan sebagai hujah,
hanya

saja hadits tersebut apabila

menguatkan hadits dlaif.

berkedudukan shahih dapat

170

166

Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.75.


Muhammad bin Ajjaj, Ushulul Hadits, hlm.428.
168
Lihat kembali bab II, hlm.15, no.2.4.
169
Lihat lampiran, no.1.4.
167

170

...

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.109).


Artinya:
Bahwasanya (hukum) asal dalam hadits mauquf adalah tidak dapat dijadikan sebagai hujah,
karena hadits tersebut adalah perkataan dan perbuatan sahabat. Akan tetapi, apabila hadits
tersebut shahih, maka ia dapat menguatkan sebagian hadits dlaif.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

37

Munashihah MJ 0235

Dalam hal ini, riwayat Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan
Hakim bin Umair adalah riwayat mauquf yang berkedudukan dlaif
sehingga riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujah dan tidak
dapat menguatkan hadits dlaif. Wallahu alam.
1.5 Riwayat-riwayat Abu Jafar
Berkenaan dengan Menalkinkan mayit ini, terdapat dua jalur
periwayatan dari Abu Jafar, yaitu riwayat Abu Jafar dengan jalur
Zurarah171 dan riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid.172
Dua riwayat tersebut adalah riwayat maqthu. Kedudukan riwayat
Abu Jafar dengan jalur Zurarah dlaif, 173 sedangkan riwayat Abu Jafar
dengan jalur Jabir bin Yazid adalah riwayat maudlu.174
Riwayat maqthu tidak dapat dijadikan hujah meskipun berkedudukan shahih,175 sehingga dapat disimpulkan bahwa riwayat Abu
Jafar baik dengan jalur Zurarah maupun dengan jalur Jabir tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai hujah dalam beramal. Wallahualam.
Dari uraian analisa hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkenaan
dengan Menalkinkan mayit tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Tidak terdapat hadits shahih yang dapat dijadikan rujukan untuk mentalkinkan mayit.
2. Hadits Abu Said yang berkedudukan shahih tidak dapat dijadikan sebagai
dalil Menalkinkan mayit karena pengamalan yang benar dari hadits
tersebut adalah Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan
Menalkinkan mayit.
171

Lihat bab II, hlm.17, no.2.5.1.


Lihat bab II, hlm.18, no.2.5.2.
173
Lihat Lampiran, no.1.5.1.
174
Lihat Lampiran, no.1.5.2.
172

175



(

)

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.110).


Artinya:
(Al-Maqthu) Hukum berhujah dengannya: Hadits maqthu tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
dalam masalah hukum-hukum syariat. Maksudnya, meskipun benar penisbatan hadits tersebut
terhadap (rawi) yang mengatakannya, karena hadits maqthu (hanya merupakan) omongan atau
perbuatan seseorang dari kalangan muslimin.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

38

Munashihah MJ 0235

2. Analisa Pendapat Ulama Perihal Hukum Menalkinkan Mayit


Masalah Menalkinkan mayit merupakan salah satu permasalahan fikih
yang diperselisihkan di kalangan ulama. Berdasarkan data yang telah penulis
kumpulkan, terdapat empat pendapat ulama tentang masalah tersebut, yaitu:
Menalkinkan mayit hukumnya sunnah, Menalkinkan mayit hukumnya makruh,
Menalkinkan mayit hukumnya mubah, dan Menalkinkan mayit merupakan
perbuatan bidah.
Berikut ini penulis uraikan analisa pendapat ulama tersebut dalam
empat subbab:
2.1 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Sunnah (lihat
kembali bab III, hlm.20-21)
Ulama yang berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya
sunnah serta menyatakan alasan mereka adalah Asy-Syafii, Abu
Hanifah, Ulama madzhab Asy-Syafii, Ahmad bin Hambal, Abu Amr bin
Shalah, An-Nawawi, Ibnul Arabi Al-Maliki, Asy-Syarbini, Imam Ramli,
Sayyid Bakri Syatha, dan KH.Sirajuddin Abbas,
Alasan Asy-Syafii dan Abu Hanifah dijelaskan dalam kitab
Ibanatul Ahkam sebagai berikut:







176

.

Artinya:
Dan (Menalkinkan mayit itu) disyariatkan menurut (pandangan)
dua Imam yaitu Abu Hanifah dan Asy-Syafii karena (berpegang
pada) keumuman hadits Barangsiapa yang dapat memberikan
manfaat kepada saudaranya, hendaklah dia melakukannya dan
karena terbukti (bahwa) mayit dapat mendengar perkataan
orang-orang hidup serta derap sandal mereka, juga (berpegang)
pada hadits Abu Umamah ini. Hadits tersebut meskipun dlaif,
akan tetapi pengamalannya terus berlangsung di kalangan
penduduk Syam.

176

Hasan Sulaiman An-Nuri & Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, hlm. 255-256.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

39

Munashihah MJ 0235

Jadi, ada tiga hal yang mendasari pendapat mereka, yaitu:


Pertama,

keumuman

hadits:

177

(barangsiapa di antara kalian dapat memberikan manfaat kepada


saudaranya, maka hendaklah dia memperbuatnya). Artinya, Abu
Hanifah dan Asy-Syafii menganggap bahwa Menalkinkan mayit
termasuk perbuatan yang bermanfaat dalam hal ini bagi mayit yang
ditalkinkan-, sehingga orang yang mampu memperbuatnya dihasung
untuk melakukannya. Kedua, mayit dapat mendengar perkataan orang
yang masih hidup serta derap sandal mereka. Ketiga, hadits Abu
Umamah. Hadits tersebut meskipun dlaif, akan tetapi penduduk Syam
mengamalkannya.
Menurut penulis, alasan tersebut tidak dapat diterima karena:
Tidak ada nas yang menyatakan bahwa talkin ini bermanfaat bagi
mayit

yang

keumuman

ditalkinkan,

sehingga

tidak

mungkin

mengambil




hadits




(barangsiapa di antara

kalian dapat memberikan

manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah dia memperbuatnya)


sebagai dalil sunnahnya Menalkin-kan mayit.
Pernyataan bahwa mayit dapat mendengar tidak cukup untuk
dijadikan sebagai dasar Menalkinkan mayit. Artinya meskipun seruan
talkin dapat didengar oleh mayit yang ditalkinkan, hal ini tidak dapat
dijadikan sebagai landasan untuk Menalkinkan mayit, sebab setiap
perbuatan

ibadah

harus

berdasar

pada

sebuah

dalil

yang

menunjukkan perintah.178
Hadits dlaif dalam hal ini hadits Abu Umamah- tidak dapat dijadi-kan
sebagai hujah dalam beramal.179

177
178

Hadits tersebut dikeluarkan oleh Ahmad dan Muslim. Lihat lampiran, no.2,2.
Hal ini berdasarkan kaidah:

Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, hlm.187.


Artinya:
(Hukum) asal dalam setiap peribadatan adalah bathil sampai terdapat dalil yang memerintahkannya.
179
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, hlm.146.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

40

Munashihah MJ 0235

Ulama madzhab Asy-Syafii berpegang pada hadits Abu Said180


dengan mengambil makna hakiki pada lafal mauta, sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Allan.181
Sebagaimana telah penulis ulas di muka, pengambilan makna
hakiki pada lafal mauta (yaitu mayit) dalam hadits Abu Said tidak
tepat,182

sehingga

menjadikan

hadits

tersebut

sebagai

dasar

Menalkinkan mayit tidak dapat dibenarkan pula. Wallahu alam.


Adapun tentang pendapat Imam Ahmad, penulis mendapatkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menilai pendapat beliau.
Menurut Ibnul Qayyim, Imam Ahmad berpendapat bahwa Menalkinkan
mayit hukumnya sunnah berdasarkan adanya pengamalan mentalkinkan mayit di kalangan muslimin.183 Ibnu Taimiyyah menjelaskan
bahwa beliau memperbolehkannya, 184 sedangkan A.Hassan menyatakan bahwa beliau membidahkannya.185
Adapun pernyataan Imam Ahmad sendiri disebutkan pada kitab
Fiqhus Sunnah sebagai berikut:

:




:





...

















.



186

Artinya:
Al-Atsram berkata, Aku bertanya kepada Ahmad: Apakah ini
yang biasa mereka lakukan apabila mayit telah dikuburkan,
(yaitu) seseorang berhenti seraya menyeru, Hai fulan bin
fulanah!...Ahmad menjawab, Aku tidak melihat seorang pun
melakukannya selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah 187
wafat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Imam
Ahmad hanya menyatakan bahwa beliau tidak pernah melihat seorang

180

Lihat bab II, hlm.8, no.2.1.


Disadur dari Ibnu Allan, Dalilul Falihin, jz.3, hlm.354.
182
Lihat hlm.27-28.
183
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Ar-Ruh, hlm.16.
184
Ibnu Taimiyyah, Al-Fatawal Kubra, jz.3, hlm.25.
185
A.Hassan, Soal-Jawab, jld.1, hlm.212.
186
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jz.1, hlm.548.
187
Abul Mughirah, namanya Abdul Quddus bin Al-Hajjaj Al-Khaulani Al-Himshi, wafat tahun 212 H.
181

Hukum

Menalkinkan

Mayit

41

Munashihah MJ 0235

pun mengamalkan talkin selain penduduk Syam tanpa menjelaskan


hukumnya.
Menurut
Menalkinkan

penulis,

mayit

pendapat

hukumnya

yang

sunnah

menyatakan

berdasarkan

bahwa

pengamalan

Menalkinkan mayit di kalangan muslimin tidak dapat diterima, sebab


setiap amal ibadah dalam hal ini Menalkinkan mayit- harus
berdasarkan nas yang menunjukkan perintah. Wallahu alam.
Adapun Abu Amr, tatkala beliau ditanya perihal Menalkinkan
mayit, beliau menjawab:

188


.







Artinya:
Menalkinkan (mayit) itulah yang kami pilih dan kami amalkan.
Kami telah meriwayatkan sebuah hadits dari hadits Abu
Umamah yang sanadnya tidak tetap (tidak dapat dijadikan
sebagai hujah), akan tetapi dikuatkan dengan beberapa syahid
dan dengan amalan penduduk Syam (pada jaman) dahulu.

Pernyataan Abu Amr di atas tidak dapat diterima karena hadits


Abu Umamah yang dijadikan rujukan adalah hadits dlaif. Hadits-hadits
yang dijadikan sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah tidak dapat
menguatkan hadits Abu Umamah karena hadits-hadits tesebut tidak
berkenaan dengan talkin.189 Demikian pula amalan penduduk Syam
tidak dapat menguatkan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif.
Pada kitab Qawaidut tahdits disebutkan bahwa menurut Abul Hasan bin
Al-Qaththan, hadits dlaif dapat diamalkan dengan beberapa syarat, di
antaranya apabila dikuatkan dengan adanya pengamalan yang terus
berlangsung,190 akan tetapi hal ini menyelisihi pendapat jumhur yang
menetapkan bahwa hadits dlaif hanya dapat diamalkan dalam hal
fadlailul amal (keutamaan amalan) dengan beberapa syarat tertentu.191
Berdasarkan keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa amalan
188

An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdab, jz.5, hlm.304.


Lihat kembali hlm.29-35.
190
Al-Qasimi, Qawaidut Tahdits, hlm.109.
191
Baca keterangan selengkapnya: Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.54.
189

Hukum

Menalkinkan

Mayit

42

Munashihah MJ 0235

penduduk Syam tidak dapat dijadikan sebagai penguat hadits Abu


Umamah yang berkedudukan dlaif. Wallahu alam.
Adapun An-Nawawi berdalil dengan hadits Abu Umamah yang
berkedudukan dlaif.192 Menurut An-Nawawi, meskipun berkedudukan
dlaif, hadits Abu Umamah tetap dapat diamalkan, sebab ulama ahli
hadits telah bersepakat memberikan kelonggaran dalam mengamalkan
hadits dlaif perihal fadlailul amal, targhib dan tarhib. Selain itu, hadits
Abu Umamah mempunyai beberapa syahid, di antaranya hadits
Utsman bin Affan dan hadits Amr bin Ash. Beliau juga menegaskan
bahwa penduduk Syam terus melakukannya sejak jaman dahulu hingga
sekarang.193
Pengambilan hadits Utsman dan hadits Amr bin Ash serta
praktik penduduk Syam sebagai syahid bagi hadits Abu Umamah tidak
dapat dibenarkan sebagaimana telah lewat penjelasannya.194
Adapun perihal pengamalan hadits dlaif dalam hal fadlailul
amal, jumhur ulama bersepakat untuk memperbolehkannya dengan
beberapa syarat.195 Dalam hal ini, hadits Abu Umamah memang
menjelaskan tentang keutamaan Menalkinkan mayit, yaitu bahwa mayit
yang sudah ditalkinkan tidak akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan
Nakir. Akan tetapi mengamalkan hadits Abu Umamah dengan alasan
tersebut tidak cukup, sebab terdapat syarat yang tidak terpenuhi dalam
hal ini, yaitu bahwa hadits dlaif tersebut harus tercakup dalam suatu
dalil yang dapat diamalkan. Walhasil, hadits Abu Umamah yang
berkedudukan dlaif tersebut tidak dapat diamalkan karena tidak
terdapat dalil yang menjadi dasar Menalkinkan mayit itu sendiri.
192

An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, jz.5, hlm.304.


An-Nawawi, Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, jz.5, hlm.304.
194
Lihat kembali hlm.40.
195
Ath-Thahhan menuliskan syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
193



.





-1

.



-2














,
.


-3







(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.54).


Artinya:
1. Kedlaifannya tidak sangat.
2. Hadits tersebut masuk di bawah suatu dalil yang dapat diamalkan.
3. Dalam mengamalkannya, tidak diyakini kebenarannya, akan tetapi hanya diyakini sebagai
kehati-hatian saja.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

43

Munashihah MJ 0235

Selain itu, Al-Albani menjelaskan bahwa maksud fadlailul amal


adalah keutamaan amalan-amalan yang disyariatkan dalam Al-Qur`an
dan As-Sunnah.196
Dalam hal ini, tidak terdapat syariat Menalkinkan mayit dalam
Al-Qur`an maupun As-Sunnah, sehingga tidak dibenarkan mengamalkan hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif ini dengan dalih
mengamalkan hadits dlaif dalam hal fadlailul amal. Wallahu alam.
Ibnul Arabi Al-Maliki menyatakan bahwa Menalkinkan mayit
hukumnya sunnah berdasarkan amalan penduduk Madinah.
Pernyataan Ibnul Arabi Al-Maliki bahwa Menalkinkan mayit
adalah amalan penduduk Madinah di atas perlu dipertanyakan, sebab
menurut Imam Malik seorang tokoh panutan penduduk Madinah yang
lahir dan wafat di Madinah- penduduk Madinah tidak melakukannya
(lihat hlm.47).
Selain itu, -meskipun amalan penduduk Madinah merupakan
pengamalan suatu hukum yang menjadi kesepakatan (ijmak) penduduk
Madinah- jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan penduduk
Madinah tidak dapat dijadikan sebagai hujah dengan dasar bahwa
kesepakatan tersebut merupakan ijmak.197 Mereka berpendapat bahwa
ijmak yang menjadi hujah setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah
kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam atas suatu hukum syari'at pada satu masa sesudah wafat
beliau.198 Wallahu alam.
Asy-Syarbini menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya
sunnah berdasarkan hadits Abu Umamah yang pada asalnya
berkedudukan dlaif, akan tetapi dikuatkan dengan beberapa hadits
shahih sebagai syahid serta berlangsungnya pengamalan Menalkin-kan
mayit tersebut pada masa orang yang dapat diikuti.
Selain itu, beliau juga merujuk kepada firman Allah dalam surat
196
197

Al-Albani, Silsilatul Ahaditsidl Dlaifah, jld.2, hlm.65.








Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil









Islami, jz.1, hlm.511).


Artinya:
Dan saya -di depan diskusi ini- tidak dapat mengutamakan selain pendapat jumhur yang menyatakan bahwa kesepakatan penduduk Madinah itu bukan hujah sebagaimana ijmak.
198
Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil lslami, jld. 1, hlm. 490.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

44

Munashihah MJ 0235

Adz-Dzariyat (55):51 yang berisi perintah untuk memberikan peringatan


kepada orang-orang yang beriman199
Tentang pengambilan hadits Abu Umamah sebagai dalil menMenalkinkan mayit, hal ini tertolak sebagaimana telah dijelaskan di
muka.200
Adapun mengamalkan talkin berdasarkan surat Adz-Dzariyat
(55):51, pendapat ini tidak dapat diterima karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang diberi wewenang untuk men-jelaskan Al-Qur`an
tidak pernah memperbuatnya.
Selain itu, setiap peribadatan tidak boleh dilakukan sehingga
terdapat dalil yang menunjukkan perintah.201 Berdasarkan hal ini, maka
Menalkinkan mayit tidak boleh dilakukan karena tidak terdapat dalil
yang menunjukkan perintah. Wallahu alam.
Adapun menurut Imam Ramli, Menalkinkan mayit setelah
dikuburkan itu disukai karena terdapat hadits yang menyatakan bahwa
mayit dapat mendengar derap sandal orang-orang yang menguburkannya tatkala mereka pergi meninggalkannya.202
Hadits yang dijadikan dalil tersebut adalah hadits riwayat AlBukhari sebagaimana telah disebutkan di muka.203 Hadits tersebut
hanya menyatakan bahwa mayit dapat mendengar, sedangkan
pernyataan bahwa mayit dapat mendengar tidak cukup untuk dijadikan
sebagai dasar Menalkinkan mayit sebagaimana dijelaskan di muka.204
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka pengambilan hadits riwayat AlBukhari di atas sebagai dalil Menalkinkan mayit tidak dapat dibenarkan.
Wallahu alam.
Sayyid Bakri Syatha menyatakan bahwa Menalkinkan mayit
hukumnya sunnah berdasarkan surat Ad-Dzariyat (55):51. Beliau juga
menegaskan bahwa pada saat setelah dikuburkan itulah mayit sangat
membutuhkan peringatan.205
199

KH.Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.99.


Lihat hlm.35.
201
Hal ini berdasarkan kaidah yang telah lewat penjelasannya. (lihat hlm.38, footnote no.178).
202
KH.Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, jld.IV, hlm.84.
203
Lihat kembali hlm.29-30, no.2.1.
204
Lihat kembali hlm.38.
205
Pendapat ini beliau catat dalam kitab Ianatut Thalibin, jz.2, hlm.232.
200

Hukum

Menalkinkan

Mayit

45

Munashihah MJ 0235

Alasan ini tidak dapat dibenarkan sebagaimana telah diuraikan di


muka.206
Adapun menurut KH.Sirajuddin Abbas, dalil yang mendasari
pendapat sunnahnya Menalkinkan mayit ini adalah hadits Abu
Umamah. Beliau menjelaskan bahwa hadits tersebut dikuatkan dengan
beberapa syahid, yaitu: hadits Amr bin Ash, hadits Utsman bin Affan,
hadits Abu Said, dua hadits Anas, hadits Bara` bin Azib, hadits Ummu
Salamah, hadits Aisyah, hadits Rasyid bin Sad dan ayat 56 surat AdzDzariyat.
Tentang ayat 56 surat Adz-Dzariyat ini, beliau memberikan
penjelasan sebagai berikut:
Perkataan muminin dalam ayat ini meliputi orang mumin
yang masih hidup dan sudah mati.
Pernyataan di atas tidak dapat diterima dengan dua alasan, yaitu:
pertama, apabila dilihat dari sebab turun ayat tersebut, dapat diketahui
bahwa ayat itu berlaku untuk orang-orang beriman yang masih
hidup. Pada kitab Syuabul Iman disebutkan sebuah riwayat dari Ali bin
Abi Thalib berkenaan dengan sebab turun ayat 56 surat Adz-Dzariyat,
yaitu:








.




207

Artinya:
Ali radliyallahu anhu berkata, Tatkala turun (ayat) Dan
berpalinglah engkau (wahai Muhammmad!) dari mereka, maka
engkau tidak tercela, (hal) itu membuat kami sedih, dan kami
menyangka (bahwa) Rasulullah diperintahkan untuk berpaling
dari kami, maka turunlah (ayat) Dan berilah peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman.

Riwayat di atas menceritakan bahwa sahabat merasa sedih


dengan turunya ayat 55 surat adz-Dzariyat, mereka menyangka bahwa
Rasulullah diperintahkan untuk berpaling dari mereka, maka Allah
turunkan ayat 56 surat Adz-Dzariyat. Apabila pengertian ayat tersebut
206
207

Lihat hlm.43.
Al-Baihaqi, Syuabul Iman, jz.2, hlm.276-277, bab 18 Fi nasyril ilm, no. 1750.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

46

Munashihah MJ 0235

dipahami secara umum, maka ayat itu berlaku bagi setiap muslim yang
masih hidup sebagaimana para sahabat yang mendapati turunnya ayat
tersebut. Kedua, tidak terdapat riwayat shahih yang menyatakan bahwa
Rasulullah

shallallalahu

alaihi

wa

sallam

pernah

memberikan

peringatan dalam bentuk pentalkinan mayit ini, sedangkan beliaulah


yang diberi wewenang untuk menjelaskan Al-Qur`an.
Demikian pula hadits Amr bin Ash, hadits Utsman bin Affan,
hadits Abu Said, dan hadits-hadits semisalnya tidak dapat menguat-kan
hadits Abu Umamah yang berkedudukan dlaif sebagaimana telah
diuraikan di muka.208 Wallahu alam.
Berdasarkan uraian analisa di atas, dapat diketahui bahwa alasan
yang mendasari pendapat Menalkinkan mayit hukumnya sunnah
tersebut tidak kuat, sehingga pendapat tersebut tidak dapat diterima.
Wallahu alam bish shawab.
2.2 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Mubah (Lihat
kembali bab III, hlm.22-23)
Pendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah ini
dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah dan ulama madzhab Hanafi.
Dalam kitab Al-Fatawal Kubra Ibnu Taimiyyah menegaskan
bahwa pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan
bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah. Beliau tidak menyertakan
dalil yang mendasari pendapat tersebut, akan tetapi beliau memberikan
penjelasan bahwa:
1. Menurut kesepakatan ulama, Menalkinkan mayit itu hukumnya tidak
wajib.
2. Menalkinkan mayit itu bukan amalan yang dikenal di kalangan
muslimin pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
khalifah beliau, akan tetapi perbuatan tersebut merupakan atsar dari
sekelompok sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di antaranya
Abu Umamah209 dan Watsilah bin Al-Asqa.210
3. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini; Imam Ahmad memperbolehkannya,
208

sedang

sahabat-sahabat

Lihat kembali hlm.29-35.


Hadits Abu Umamah telah lewat pada bab II, hlm.11-12, no.2.2.
210
Hadits Watsilah bin Al-Asqa telah lewat pada bab II, hlm.11, no.6.
209

beliau

(maksudnya

Hukum

Menalkinkan

Mayit

47

Munashihah MJ 0235

pengikut Madzhab Hambali) serta sahabat-sahabat Asy-Syafii


menyukainya. Ada pula sebagian ulama yang membencinya karena
berpendirian bahwa Menalkinkan mayit itu merupakan perbuatan
bidah.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, penulis memberikan
beberapa komentar sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah dan Watsilah bin AlAsqa adalah hadits dlaif. Selain itu, hadits Watsilah bin Al-Asqa
tidak berkenaan dengan Menalkinkan mayit, sebab hadits tersebut
menyatakan anjuran Menalkinkan orang yang menjelang mati
sebagaimana hadits Abu Said.211
2. Imam Ahmad sebagaimana telah dijelaskan pada hlm.45- hanya
menyatakan bahwa beliau tidak pernah melihat seorang pun
melakukan talkin selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah
wafat.
Adapun pernyataan beliau bahwa pendapat yang paling benar
adalah

pendapat

yang

menyatakan

bahwa

Menalkinkan

mayit

hukumnya mubah tidak dapat diterima, sebab setiap perbuatan ibadah


pada asalnya bathil sampai terdapat dalil yang menunjukkan perintah.
Berdasarkan hal ini, maka pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan
bahwa Menalkinkan mayit hukumnya mubah itu tidak dapat dibenarkan.
Sedangkan Ulama madzhab Hanafi hanya menyatakan bahwa
Menalkinkan mayit itu tidak disuruhkan dan tidak pula dilarang.
Pernyataan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab yang
dijadikan patokan dalam masalah ibadah dalam hal ini Menalkinkan
mayit- adalah adanya perintah, bukan ketiadaan larangan. Maksudnya,
apabila tidak terdapat perintah -meskipun tidak terdapat larangan-,
maka setiap perbuatan ibadah itu bathil. Dalam hal ini, ketiadaan
perintah Menalkinkan mayit menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
bathil, meskipun tidak terdapat larangan tentang hal itu.
Berdasarkan uraian analisa Menalkinkan mayit hukumnya
mubah di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendapat tersebut tidak
dapat dipertahankan kebenarannya. Wallahu alam bish shawab.
211

Lihat kembali hlm.27-28.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

48

Munashihah MJ 0235

2.3 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit Hukumnya Makruh (lihat


kembali bab III, hlm.23)
Pendapat ini merupakan pendapat Malik dan ulama penganut
madzhab Maliki.
Imam Malik berpendapat bahwa Menalkinkan mayit hukumnya
makruh karena tidak ada pengamalan penduduk Madinah dalam hal ini.
Alasan Iman Malik tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab
amalan penduduk Madinah tidak dapat dijadikan sebagai hujah menurut
jumhur ulama;212 Artinya, apabila penduduk Madinah tidak melakukan
suatu amalan, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk
menetapkan bahwa amalan tersebut makruh. Demikian pula sebaliknya,
apabila penduduk Madinah melakukan suatu amalan, maka hal itu tidak
dapat dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan bahwa amalan
tersebut sunnah.
Selain itu, setiap perbuatan ibadah termasuk juga mentalkinkan mayit dalam hal ini- harus didasari dengan adanya nas yang
menunjukkan perintah sebagaimana telah lewat penjelasannya.213
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa Menalkinkan mayit hukumnya makruh tidak
mempunyai alasan yang benar sehingga pendapat tersebut tidak dapat
dipegang. Wallahu alam bish shawab.
2.4 Analisa Pendapat Menalkinkan Mayit merupakan perbuatan Bidah
(lihat kembali bab III, hlm.23-24)
Ulama yang menyatakan bahwa Menalkinkan mayit merupakan
perbuatan bidah adalah Izzuddin bin Abdussalam, Ash-Shanani,
A.Hassan, dan Al-Albani.
Izzuddin menyatakan bahwa Menalkinkan mayit merupakan
perbuatan bidah karena tidak terdapat dalil yang benar dalam hal itu.
Pernyataan Izzudin ini dapat diterima, sebab berdasarkan
penelitian penulis-

tidak terdapat dalil yang benar dalam hal

Menalkinkan mayit ini,214 sedangkan setiap perbuatan -dalam konteks


212

Lihat kembali hlm.42.


Lihat kembali hlm.38.
214
lihat kembali kesimpulan analisa hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan
Menalkinkan mayit, hlm.36
213

Hukum

Menalkinkan

Mayit

49

Munashihah MJ 0235

ibadah- yang diadakan sesudah wafat Rasul tanpa ada dalil yang benar
merupakan perbuatan bidah. Hal ini sesuai dengan definisi bidah,
yaitu:













215
.






Artinya:
Bidah menurut istilah (terminologi): adalah sesuatu yang baru
dalam agama sesudah dia disempurnakan, atau sesuatu yang
diadakan sesudah Nabi SAW yang berupa kehendak dan
amal.216
Adapun

Ash-Shanani

menyimpulkan

bahwa

hadits

Abu

Umamah adalah hadits dlaif, kemudian beliau menegaskan bahwa


mengamalkan hadits Abu Umamah berarti melakukan perbuatan bidah.
Hal ini dapat dibenarkan karena hadits dlaif tidak dapat
dijadikan hujah dalam beramal, sedangkan melakukan perbuatan
ibadah tanpa contoh dari Nabi berarti melakukan perbuatan bidah
sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu alam.
A.Hassan menjelaskan bahwa Menalkinkan mayit itu tidak
dilakukan dan tidak diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, tidak dilakukan pula oleh para sahabat, tabiin serta imam
madzhab yang empat.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa menurut
A.Hassan Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah.
Beliau menegaskan bahwa hadits Abu Umamah adalah hadits
dlaif berdasarkan kesepakatan para ahli hadits. Selain itu, beliau
menyatakan bahwa mayit tidak dapat mendengar talkin yang diajarkan
kepadanya. Beliau juga menyatakan bahwa dan taubat orang yang
menjelang mati tidak diterima; jika orang yang menjelang mati tidak
diterima taubatnya, bagaimana mungkin pengajaran orang hidup
kepada mayit dalam bentuk talkin akan bermanfaat baginya?
Untuk menguatkan pernyataan tersebut, A. Hassan menyebutkan beberapa ayat Al-Quran,217 yaitu:
215

Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.101.


Terjemah Taisir Musthalahil Hadits, hlm.120. (Penerjemah: M. Mizan Anshari dan Iltizam
Syamsuddin MH.
217
A.Hassan dkk., Soal-Jawab, jld.1, hlm.212-213.
216

Hukum

Menalkinkan

Mayit

50

Munashihah MJ 0235

a) Surat An-Naml (27): 80

Artinya:
Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak dapat
menjadikan orang-orang yang sudah mati menjadi
mendengar dan tidak pula dapat menjadikan orang-orang
yang tuli mendengar seruan itu apabila mereka telah
berpaling dalam keadaan membelakang

b) Surat Fathir (35): 22

Artinya:
Dan tidaklah engkau dapat menjadikan orang-orang yang
ada di dalam kubur menjadi mendengar.
c) Surat An-Nisa (4): 18

Artinya:
Dan taubat itu tidak (diberikan) kepada orang-orang yang
berbuat kejelekan-kejelekan, (yang) hingga tatkala
kematian salah seorang dari mereka telah tiba, (barulah)
dia berkata, Sesungguhnya sekarang aku bertaubat.
Penjelasan beliau bahwa Menalkinkan mayit itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, tabiin, serta
imam-imam madzhab yang empat dapat diterima, sebab tidak terdapat
riwayat shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah dan para sahabat
melakukannya, serta tidak terdapat riwayat dari tabiin maupun imamimam madzhab yang empat perihal Menalkinkan mayit ini selain riwayat
Imam Ahmad yang menyatakan bahwa beliau tidak melihat seorang pun
melakukan talkin tersebut selain penduduk Syam tatkala Abul Mughirah
wafat. Demikian pula pernyataan beliau bahwa hadits Abu Umamah
adalah hadits dlaif dapat diterima sebagaimana telah dijelaskan di
muka.218
Adapun tentang pernyataan beliau bahwa mayit tidak dapat
mendengar talkin yang diajarkan kepadanya berdasarkan ayat 80 surat
218

Lihat kembali analisa hadits Abu Umamah, hlm.29-35.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

51

Munashihah MJ 0235

An-Naml dan ayat 22 surat Fathir, menurut penulis penggunaan ayatayat tersebut sebagai dalil tidak tepat. Maksud ayat 80 surat An-Naml
adalah: Rasul tidak dapat menjadikan orang kafir mendengar dan
tertunjuki dengan pendengaran tersebut. Jadi, lafal mauta pada ayat
itu bukan berarti orang mati dengan terpisahnya ruh dari jasadnya, akan
tetapi maksud lafal tersebut adalah orang yang mati karena kekafiran
dan kecelakaan.219 Orang kafir diserupakan dengan mayit karena
mereka tidak mempunyai perasaan dan tidak berakal.220 Demikian pula
ayat 22 surat Fathir; ayat tersebut tidak dapat menguatkan pernyataan
bahwa mayit tidak dapat mendengar dalam hal ini mendengar talkin-,
sebab maksud lafal man fil qubur pada ayat tersebut sama dengan
maksud lafal mauta, yaitu orang kafir. Selain itu, banyak hadits shahih
yang menyatakan bahwa mayit dapat mendengar, di antaranya dua
hadits Anas yang telah lewat (lihat kembali hlm.35-36, no.5.1 dan
no.5.2).
Demikian pula pernyataan beliau bahwa pengajaran orang hidup
kepada mayit dalam bentuk talkin tidak bermanfaat bagi mayit
berdasarkan ayat 18 surat An-Nisa, penulis tidak melihat adanya
hubungan antara pernyataan tersebut dengan ayat 18 surat An-Nisa
yang dijadikan dasar, sehingga penulis tidak dapat membenarkan
pernyataan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada prisipnya
pendapat A.Hassan di atas dapat diterima, hanya saja sebagian alasan
yang beliau paparkan tidak dapat diterima. Wallahu alam.
Menurut Al-Albani, Menalkinkan yang disyariatkan adalah
Menalkinkan orang yang menjelang mati. Adapun Menalkinkan mayit
merupakan perbuatan bidah, selain itu perbuatan tersebut tidak
diriwayatkan dalam sunnah Rasul. Beliau juga menjelaskan bahwa
Menalkinkan mayit adalah perbuatan yang sia-sia, karena mayit itu
telah keluar dari masa pembebanan dan beralih pada masa pemabalasan dan karena dia tidak lagi dapat menerima peringatan sebagaimana
disebutkan dalam ayat:
(wahai Rasul!)
219
220

Disadur dari Adlwa`ul Bayan karya Asy-Syanqithi, jld.6, hlm.278.


Disadur dari Fathul Qadir karya Asy-Syaukani, jz.4, hlm.151.

(supaya engkau

Hukum

Menalkinkan

Mayit

52

Munashihah MJ 0235

memberikan peringatan kepada orang yang hidup).


Penjelasan Al-Albani bahwa Menalkinkan mayit merupakan
perbuatan bidah dapat diterima, sebab tidak terdapat contoh dari Nabi
dalam hal itu. Akan tetapi pernyataan beliau bahwa mayit tidak lagi
dapat menerima peringatan berdasarkan firman Allah dalam surat Yasin
di atas menurut penulis kurang tepat, sebab maksud ayat 70 surat Yasin
tersebut

adalah:

Rasulullah

diperintahkan

untuk

memberikan

peringatan kepada orang yang beriman. As-Suyuthi menjelaskan bahwa


maksud lafal man kana hayyan pada ayat tersebut adalah orang yang
hidup hatinya,221 yaitu orang yang beriman.
Dari hasil analisa pendapat Menalkinkan mayit merupakan
perbuatan bidah di atas dapat diketahui bahwa pendapat inilah yang
terkuat di antara pendapat-pendapat yang lain. Wallahu alam bish
shawab.
Selanjutnya, tentang perbuatan bidah ini, dalam sebuah hadits
disebutkan:


...






...


.
222

Artinya:
...Maka Al-Irbadl bin Sariyah berkata, Pada suatu hari
Rasulullah melakukan shalat bersama kami, lalu beliau
menghadap kepada kami seraya memberikan nasihat: .....dan
jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena
setiap perbuatan bidah itu sesat.
Abu Dawud meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.223
Selain Abu Dawud, Ahmad,224 At-Turmudzi,225 Ibnu Majah226 dan
Ad-Darimi juga meriwayatkan hadits Al-Irbadl bin Sariyah tersebut.227

221

As-Suyuthi, Ad-Durrul Mantsur fi Tafsiril Ma`tsur, jz.5, hlm.505.


Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm.397-398, kitab As-Sunnah, bab 6 Fi luzumis sunnah, no.4607.
223
Lihat lampiran, no.2.4.
224
Ahmad, Al-Musnad, jz.4, hlm.126 dan 126-127.
225
At-Turmudzi, As-Sunan, jld.5, hlm.44, kitab 24 Al-Ilm, bab 16 Ma ja`a fil akhdzi bis sunnah
wajtinabil bida, no. 2676.
226
Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm. 15-16, muqaddimah, bab Ittiba`u sunnatil khulafa`ir rasyidinal
mahdiyyin, no.42 dan 43.
227
Ad-Darimi, As-Sunan, jz.1, hlm.44, muqaddimah, bab Ittiba`us sunnah.
222

Hukum

Menalkinkan

Mayit

53

Munashihah MJ 0235

Lafal

dalam hadits tersebut berarti

Jauhilah oleh

kalian dan menunjukkan perintah untuk meninggalkan perbuatan yang


disebutkan sesudahnya, yaitu perbuatan bidah. Pada kitab Ushulul
Fiqhil Islami dijelaskan bahwa kalimat yang menunjukkan perintah untuk
meninggalkan

suatu

hal

merupakan

salah

satu

bentuk

nahy

(larangan),228 sedangkan asal setiap larangan itu menunjukkan pengharaman.229


Berdasarkan

keterangan

ini,

dapat

disimpulkan

bahwa

melakukan perbuatan bidah termasuk di antaranya Menalkinkan


mayit- hukumnya haram
Walhasil, dari uraian analisa pendapat ulama perihal hukum
Menalkinkan mayit di muka, penulis menyimpulkan bahwa Menalkinkan
mayit hukumnya haram. Wallahu alam bish shawab.

228
229

Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, jz.1, hlm.233.

(Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, hlm.14.)


Artinya:
Asal larangan itu untuk (menunjukkan) pengharaman.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

54

Munashihah MJ 0235

BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari hasil analisis semua data-data yang penulis kumpulkan, baik itu
hadits-hadits maupun pendapat ulama, penulis menarik beberapa kesimpulan
yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1.1 Lafal mauta pada hadits Abu Said bermakna majasi, yaitu orang yang
menjelang mati.
1.2 Karena lafal mauta pada hadits Abu Said bermakna majasi, maka
maksud hadits tersebut adalah perintah untuk Menalkinkan orang yang
menjelang mati. Dengan demikian, hadits ini menjadi dalil sunnahnya
Menalkinkan orang yang menjelang mati, bukan Menalkinkan orang yang
sudah mati.
1.3 Menalkinkan mayit merupakan perbuatan bidah, sehingga hukumnya
haram. Wallahu alam bis shawab.
2. Saran
Berkaitan dengan pembahasan perihal hukum Menalkinkan mayit ini,
penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut:
2.1 Hendaknya muslimin tidak Menalkinkan mayit -baik yang belum
dikuburkan maupun yang sudah dikuburkan-, akan tetapi hendaknya
mereka

mendoakannya

sebagaimana

diajarkan

oleh

Rasulullah

shallallahu alaihi wa sallam.


2.2 Khusus dalam perbuatan yang berkenaan dengan ibadah, muslimin
seharusnya mempunyai landasan dalil yang benar dalam mengamalkannya.
2.3 Dalam menyikapi perbedaan pendapat perihal hukum Menalkinkan mayit,
muslimin hendaknya merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk
mengambil dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan pada
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat.
Demikianlah akhirnya makalah ini dapat diselesaikan dengan ijin Allah.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

55

Munashihah MJ 0235

BIBLIOGRAFI
1. Mushaf Al-Qur`anul Karim

Kelompok Kitab Tafsir


2. As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Al-Imam, Ad-Durrul
Mantsur fi Tafsiril Ma`tsur, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet, I,
1411 H / 1990 M.
3. Asy-Syanqithi, Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar, Asy-Syaikh,
Adlwaul Bayan fi Idlahil Qur`an bil Qur`an, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut,
Lebanon, Cet. I, 1417 H / 1996 M.
4. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fathul Qadir Al-Jami
baina Fannayir Riwayah wad Dirayah min Ilmit Tafsir, Darul Fikr, Beirut,
Cet.III, 1393 H / 1973 M.

Kelompok Kitab Hadits


5. Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asyats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Darul
Fikr, Tanpa Kota, Cet.I, 1410 H / 1990 M.
6. Abu Yala, Ahmad bin Ali bin Al-Mutsanna Al-Maushuli, Al-Imam, AlHammam, Saikhul Islam, Musnad Abi Yala Al-Maushuli, Darul Kutubil
Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1418 H / 1986 M.
7. Ahmad bin Hambal, Abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnadul Imam
Ahmadibni Hambal, Al-Maktabul Islami, Darus Shadir, Beirut, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.
8. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilatul Ahaditsidl Dlaifah wal
Maudluah, Al-Maktabul Islami, Beirut, Cet.I, 1399 H.
9. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Silsilatul Ahaditsis Shahihah, AlMaktabul Islami, Beirut, Cet.IV, 1405 H / 1985 M.
10. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali, As-Sunanul Kubra,
Majlis Dairatul Maarif Al-Utsmaniyyah, Hindi, Tanpa Nomor Cetakan, 1352 H.
11. Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Syuabul Iman, Darul Kutubil
Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1410 H / 1990 M.
12. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah
bin Bardizbah Al-Jufi, Al-Imam, Al-Allamah, Matnul Bukhari Masykul bi
Hasyiyatis Sindi, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1414
H / 1994 M.
13. Al-Bushairi, Abul 'Abbas Ahmad bin Abu Bakr bin 'Abdurrahman bin Isma'il,
Al-Kinani, Al-Qahiri, Asy-Syafi'i, Asy-Syaikh, Syihabuddin, Zawa`idubni

Hukum

Menalkinkan

Mayit

56

Munashihah MJ 0235

Majah 'alal Kutubil Khamsah, Darul Kutubil 'Ilmiyyah, Beirut, Cet.I, 1414 H /
1993 M.
14. Al-Haitsami, Nuruddin Ali bin Abi Bakr, Al-Hafidz, Majmauz Zawa`id, Darul
Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1408 H / 1988 M.
15. Al-Hakim, Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi, Al-Imam, AlHafidh, Al-Mustadrak Alash Shahihain, Maktabul Mathbuatul Islamiyyah,
Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
16. Al-Hurr Al-Amili, Muhammad bin Al-Husain, Al-Muhaddits, Al-Mutabahhir,
Al-Imam, Al-Muhaqqiq, Al-Allamah, Asy-Syaikh, Wasailusy Syiah ila
Tahshili Masa`ilisy Syariah, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon,
Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
17. An-Nasa`i, Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Bahr, Al-Imam,
Al-Alim, Al-Hafidz, Al-Hujjah, Sunanun Nasa`i, Al-Mathbaatul Mishriyyah,
Tanpa Kota, Cet.I, 1348 H / 1930 M.
18. Ath-Thabarani, Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad, Al-Hafidz, Al-Mujamul
Kabir, Daru Ihya`it Turatsil Arabi, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan,
1405 H / 1985 M.
19. Ath-Thusi, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Jafar, Syaikhut Tha`ifah,
Tahdzibul Ahkam, Darul Kutubil Islamiyyah, Tamran, Bazar Sulthani, Cet.II,
Tanpa Tahun.
20. At-Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-Jamius Shahih
wa Huwa Sunanut Tirmidzi, Mathbaah Mushthafa Al-Babil Halabi, Mesir,
Cet.II, 1388 H / 1968 M.
21. Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad Al-Kufi Al-Abasi, AlMushannaf Fil Ahadits Wal Atsar, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon,
Cet.I, 1416 H / 1995 M.
22. Ibnu Balban, Alauddin Ali bin Balban Al-Farisi, Al-Ihsan bi Tartibi Shahih
Ibni Hibban, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1407 H / 1987 M.
23. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Kinani
Al-Asqalani, Al-Hafidz, Syihabuddin, Asy-Syafii, Talkhisul Habir fi Takhriji
Ahaditsir Rafiil Kabir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1419
H / 1998 M.
24. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Hajar, Al-Asqalani, Al-Imam,
Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor
Cetakan, 1409 H /1989 M
25. Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Al-Qazwini, Sunanunbni
Majah, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

57

Munashihah MJ 0235

26. Muslim, Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Al-Qusyairi, An-Naisaburi, AlImam, Al-Jamius Shahih, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa tahun.
27. Sayyid Alawi bin As-Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Husaini, Al-Allamah, AlMuhaqqiq, Al-Muhaddits, Al-Imam, Fathul Qaribil Mujib ala Tahdzibit
Targhib wat Tarhib, Al-Haramain, Cet.IV, Tanpa Tahun.

Kelompok Kitab Fiqih


28. Al-Baghdadi, Abdurrahman bin Muhammad bin Askar, Syihabuddin, AlMaliki, Irsyadus Salik, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Kota, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.
29. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu Alal Madzahibil Arbaah, Darul Fikr,
Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1411 H / 1990 M.
30. As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Kitabil Arabi, Beirut, Lebanon,
Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa tahun.
31. Asy-Syarbini, Muhammad, Al-Khathib, Al-Iqna, Darul Fikr, Tanpa Kota,
Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
32. Ibnu Qudamah, Abdullah Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Syaikhul Islam, AlKafi Fi Fiqhil Imami Ahmad, Al-Maktabatut Tijariyah, Mushthafa Ahmad AlBaz, Mekah, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
33. Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin, Al-Imam, Al-Fatawal Kubra, Darul Kutubil
Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1408 H / 1987 M.
34. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Syamsyuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu
Bakr Az-Zurai Ad-Dimasqi, Al-Imam, Al-Muhaddits, Al-Mufassir, Al-Faqih,
Zadul Maad, Maktabatul Mannaril Islamiyyah, Kuwait, Cet.XXIV, 1412 H /
1992 M.
35. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Syamsyuddin Abu Abdillah, Al-Imam, Ar-Ruh,
Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1422 H / 2002 M.

Kelompok Kitab Syarh


36. Abbas Alawi Al-Maliki dan Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibanatul Ahkam
Syarh Bulughul Maram, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa Kota, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.
37. Abut Thayyib Abadi, Muhammad Syamsul Haqqil Adhim, Al-Allamah,
Aunul Mabud, Al-Maktabatus Salafiyyah, Tanpa Kota, Cet.III, 1388 H / 1968
M.
38. Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Taudlihul Ahkam, Al-Khidmatut
Thibaiyyah, Lebanon, Cet.II, 1414 H / 1994 M.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

58

Munashihah MJ 0235

39. Al-Mubarakfuri, Abul Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, AlImam, Al-Hafidz, Tuhfatul Ahwadzi, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor
Cetakan, 1399 H / 1979 M.
40. Al-Qadli Iyadl, .Abul Fadll Iyadl bin Musa bin Iyadl, Ikmalul Mulim, Darul
Wafa, Tanpa Kota, Cet.I, 1419 H / 1998 M.
41. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf, Al-Imam, Al-Majmu
Syarhul Muhadzdzab, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa
Tahun.
42. An-Nawawi, Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf, Shahih Muslim Bi
Syarhin Nawawi, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa
Tahun.
43. Ash-Shanani, Muhammad bin Ismail, Al-Amir, Al-Yamani, Subulus Salam
Syarh Bulughul Maram, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1411 H / 1991 M.
44. As-Saharanfuri, Khalil Ahmad, Al-Allamah, Al-Muhadditsul Kabir, AsySyaikh, Badzlul Majhud Fi Hilli Abi Dawud, Darul Fikr, Tanpa Kota, Tanpa
Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
45. As-Sindi, Abul Hasan Al-Hanafi, Al-Imam, Syarh Sunanibni Majah, Darul
Marifah, Beirut, Lebanon, Cet II, 1418 H / 1997 M.
46. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Asy-Syaikh Al-Mujtahid
Al-Alamah, Nailul Authar, Mathbaah Al-Musthafa Al-Babil Halabi, Mesir,
Tanpa Nomor Cetakan, 1347 H.
47. Ibnu Allan, Muhammad Ash-Shiddiqi, Asy-Syafii, Al-Asyari, Al-Makki,
Dalilul Falihin Syarh Riyadlus Shalihin, Darul Fikr, Beirut, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.
48. Ibnu Hajar, Abul Fadll, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani,
Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Fathul Bari, Darul Fikr, Beirut, Tanpa
Nomor Cetakan, Tanpa Tahun
49. Nawawi, Abu Abdil Muthi Muhammad bin Umar bin Ali, Al-Jawi Al-Bantani,
Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi`in Syarh ala Qurratil Ain bi
Mubhamatiddin fil fiqh ala Madzhabil Imamisy Syafii, Maktabah Daru
Ihya`il kutubil Arabiyyah, Indonesia, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
50. Sayyid Bakri Syatha, Abu Bakr Utsman bin Muhammad Ad-Dimyati,
Al-Allamah, Ianatut Thalibin, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon,
Cet.III, 1415 H / 1995 M.

Kelompok Kitab Rijal


51. Abu Nuaim, Ahmad bin Abdillah, Al-Asfahani, Al-Hafidz, Hilyatul Auliya wa
Thabaqatul Ashfiya`, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

59

Munashihah MJ 0235

52. Adz-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman, Mizanul
Itidal fi Naqdir Rijal, Darul Marifah, Beirut, Cet.I, 1382 H / 1963 M
53. Al-Uqaili, Abu Jafar Muhammad bin Amr bin Musa bin Hammad, Al-Makki,
Al-Hafidz, Adl-Dluafa`ul Kabir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon,
Cet.II, 1418 H / 1998 M.
54. Ibnu Abi Hatim, Abdurrahman Ar-Razi, Al-Jarhu Wat Tadil, Darul Kutubil
Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1372 H / 1952 M.
55. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali Al-Asqalani, Al-Hafidh, Lisanul Mizan,
Mu`assasatul Alamil Mathbuah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1390 H / 1971 M.
56. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani,
Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Tahdzibut Tahdzib, Darul Fikr, Tanpa
Kota, Cet.I, 1415 H / 1995 M.
57. Ibnu Hajar, Abul Fadll Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar, Al-Kinani,
Al-Asqalani, Al-Hafidh, Syihabuddin, Taqribut Tahdzib, Darul Fikr, Tanpa
Kota, Cet.I, 1415 H / 1995 M.
58. Ibnu Sad, Muhammad Al-Hasyimi, Al-Bashri, Ath-Thabaqatul Kubra, Darul
Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet.II, 1418 H / 1997 M.

Kelompok Kitab Ushul Fiqih


59. Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, CV. Saadiyah Putra, Jakarta, Tanpa Nomor
Cetakan, Tanpa Tahun.
60. Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, CV. Saadiyah Putra, Jakarta, Tanpa
Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
61. Abu Zahrah, Muhammad, Al-Imam, Ushulul Fiqh, Darul Fikril Arabi, Tanpa
Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
62. Az-Zuhaili, Dr. Wahbah, Ushulul Fiqhil Islami, Darul Fikr, Beirut, Lebanon,
Cet. II 1422 H/2001 M.

Kelompok Kitab Ilmu Mushthalah Hadits


63. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, CV. Diponegoro, Bandung,
Cet.VI, 1994 M.
64. Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawaidut Tahdits min Fununi
Mushthalahil Hadits, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Tanpa Nomor Cetakan,
Tanpa Tahun
65. An-Nawawi, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf Ad-Dimasyqi, At-Taqrib wat
Taisir, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. I, 1407 H / 1987 M.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

60

Munashihah MJ 0235

66. Ath-Thahhan, Mahmud, Ad-Duktur, Taisir Mushthalahil Hadits, Darul Fikr,


Tanpa Kota, Tanpa Nomor Cetakan, Tanpa Tahun.
67. Ibnu Ajjaj, Muhammad, Al-Khatib, Ad-Duktur, Ushulul Hadits Ulumuhu Wa
Mushthalahuhu, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1409
H / 1989 M.

Kelompok Kitab Kamus


68. Abdul Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, Cet.I, 1996 M.
69. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, et al., Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar
Baru, Van Hoeve, Jakarta, Cet. IV, 1997 M.
70. Ibnu Mandhur, Al-Imam Al-Alamah, Lisanul Arab, Daru Ihyait Turatsil
Arabi, Beirut, Lebanon, Cet.I, 1408 H / 1988 M.
71. Ibrahim Unais et al., Al-Mujamul Wasith, Tanpa Nama Penerbit, Tanpa
Kota, Cet.II, Tanpa Tahun.
72. Luwais Maluf, Al-Munjid Fil Lughah Wal Alam, Darul Masyriq, Beirut,
Lebanon, Tanpa Nomor Cetakan, 1986 M.
73. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Edisi III, Cet.I,
2001 M.

Lain-Lain
74. A.Hassan, Soal Jawab tentang
Diponegoro, Bandung, Cet.V, 1980.

Berbagai

Masalah

Agama,

CV.

75. Abu Muhammad, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Ad-Duktur,
Asy-Syaikh, Thuruqu Takhrijil Ahaditsi Rasulillah shallallahu alaihi wa
sallam, Darul Itisham, Kairo, Tanpa Nomor Cetakan, 1987 M.
76. An-Nawawi, Hadits Arbain An-Nawawiyyah, terjemahan Aminah Abdullah
Dahlan, PT. Al-Maarif, Bandung, Cet.XXXV, 1994.
77. KH. Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta,
Cet.XIV, 1991 M.
78. Marzuki, Drs., Metodologi Riset, BPFE, UII, Yogyakarta, Tanpa Nomor
Cetakan, 1997 M.
79. Mubarak, B. Mahfudh Bumuallim, LC., Biografi Syaikh Al-Albani
(Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini), Pustaka Imam Asy-Syafii, Bogor, Cet.
I, 1424 H / 2003 M.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

61

Munashihah MJ 0235

80. Sutrisno Hadi, Prof. Drs., MA, Metodologi Research, Gama, Yogyakarta,
Cet.VII, 1986 M.
81. Zamakhsyari, Ensiklopedi Sunnah-Syiah Studi Perbandingan Fiqih &
Hadits, terjemahan Asmuni Solehan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Tanpa
Nomor Cetakan, Maret 2001.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

62

Munashihah MJ 0235

LAMPIRAN
U R AI AN K E D U D U K AN H AD I T S - H AD I T S
Bagian lampiran ini terdiri dari dua subbab sebagai berikut:
1. Kedudukan Hadits-hadits pada Bab II
1.1 Kedudukan Hadits tentang Perintah untuk Menalkin dengan kalimat
laailaahaillallah
Berikut ini penulis uraikan kedudukan hadits yang berbunyi:

yang diriwayatkan oleh Abu Said, Ibnu

Abbas,
Abu Hurairah dengan jalur Abi Hazim dan Watsilah bin Al-Asqa. Adapun
kedudukan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, Jabir, Urwah bin
Masud dan Abu Hurairah dengan jalur Salman Al-Aghar tidak penulis
uraikan karena hadits-hadits tersebut semakna dengan lafal hadits Abu
Said.
1.1.1 Hadits Abu Said (lihat hlm.8)
Hadits Abu Said ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab Al-Jamiush Shahih. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim menempati tingkatan hadits shahih yang ketiga, setelah
hadits muttafaqqun alaih (hadits yang keshahihannya disepakati
oleh Al-Bukhari dan Muslim) dan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari.230 Jadi, hadits Abu Said ini menempati tingkatan
hadits shahih yang ketiga.
1.1.2 Hadits Ibnu Abbas (lihat hlm.10)
Hadits Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh rawi-rawi berikut:
1) Bakr bin Sahl.
2) Abdullah bin Shalih.
3) Muawiyah bin Shalih.
4) Ali bin Abi Thalhah.231
5) Ibnu Abbas.
Pada sanad hadits ini terdapat rawi bernama Ali bin Abi
Thalhah. Tentang periwayatannya dari Ibnu Abbas, Ibnu Hajar mem230
231

Disadur dari Taisir Musthalahil Hadits karya Ath-Thahhan, hlm.36-37.


Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.5, hlm.701-702, no.4899.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

63

Munashihah MJ 0235

berikan penjelasan sebagai berikut:











232


.




Artinya:
Dia meriwayatkan (hadits) dari Ibnu Abbas, akan tetapi dia
tidak mendengar (langsung) darinya. Di antara keduanya
terdapat (rawi yang bernama) Mujahid.

Keterangan di atas menjelaskan bahwa Ali tidak meriwayatkan hadits langsung dari Ibnu Abbas, melainkan di antara keduanya
terdapat seorang rawi yang gugur, yaitu Mujahid.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah langsung dari Ibnu Abbas ini
adalah hadits munqathi,233 sedangkan hadits munqathi dihukumi
sebagai hadits dlaif menurut kesepakatan ulama.234 Wallahu alam.
1.1.3 Hadits Abu Hurairah dengan jalur Abu Hazim (lihat hlm.10)
Rawi-rawi pada sanad hadits Abu Hurairah ini adalah:
1) Ahmad bin Muhammad bin Asy-Syuraqi. 235
2) Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli.236
3) Muhammad bin Ismail Al-Farisi. 237
4) Sufyan Ats-Tsauri.238
5) Manshur bin Al-Mutamir.239
6) Hilal bin Yisaf.240
7) Salman Al-Aghar.241
232

Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.5, hlm.701.

233

(Ath-Thahhan, Taisir Mushthalahil Hadits, hlm. 64)


Artinya:
Hadits munqathi menurut istilah adalah: (Hadits) yang sanadnya tidak bersambung (terputus),
bagaimana pun bentuk putusnya.

234


)

:


(Ath-Thahhan, Taisir Mushthalahil Hadits, hlm. 65)


(Hadits Munqathi) Hukumnya:Hadits munqathi adalah hadits dlaif berdasarkan kesepakatan
ulama.
235
Adz-Dzahabi, Mizanul Itidal, jz.1, hlm.156, no.617.
236
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.7, hlm. 481-484, no.6644.
237
Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, jz.5, hlm.77, no.249.
238
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.3, hlm. 397-400, no.2519.
239
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.8, hlm. 358-360, no.7187.
240
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.9, hlm.96, no.7631.
241
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.3, hlm.424-425, no.2552.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

64

Munashihah MJ 0235

8) Abu Hurairah.242
Berdasarkan penelitian penulis, sanad hadits tersebut
bersambung, setiap rawinya adalah rawi tsiqat,243 serta tidak ada
syudzud (penyelisihan terhadap rawi yang lebih tsiqat) maupun
illah (cela) padanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedudukan hadits Abu Hurairah tersebut shahih.244 Wallahu alam.
1.1.4 Hadits Watsilah bin Al-Asqa (lihat hlm.11)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh rawi-rawi berikut:
1) Ahmad bin Abdillah bin Abdil Mu`min
2) Abu Bakar
3) Abdullah bin Ali
4) Ismail bin Ayyasy
5) Ishaq bin Manshur
6) Ahmad bin Abut Thayyib
7) Uthbah bin Humaid245
8) Makhul246
9) Watsilah
Ada dua permasalahan berkenaan dengan sanad hadits ini,
yaitu:
Pertama, tentang periwayatan Makhul dari Watsilah. Terdapat
perbedaan di kalangan ulama dalam hal ini. Menurut At-Turmudzi,
242
243

Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.10, hlm. 294-297, no.8708.

(Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Mushthalahil Hadits, hlm.192)


Artinya:
Ats-tsiqat adalah (rawi) yang adl dan dlabith. Berikut ini pengertian adl, dan dlabith:







))










((


Artinya:
Adl adalah seorang muslim yang baligh, berakal, bersih dari (hal-hal) penyebab kefasikan dan
selamat dari cacat perangai.





...


))







((

Artinya:
Ad-Dlabith adalah orang yang hafal (serta) pandai.
Kedua definisi di atas penulis kutip dari At-Taqrib Wat Taisir (karya An-Nawawi), hlm.11.
244
At-Thahan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.30.
245
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.5, hlm.458, no.4563.
246
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.8, hlm.332-334, no.7154.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

65

Munashihah MJ 0235

Makhul meriwayatkan hadits dari Watsilah,247 sedangkan menurut


Abu Hatim dan Al-Bukhari, Makhul tidak meriwayatkan hadits darinya.248
Kedua, kedlaifan rawi yang bernama Uthbah bin Humaid AlBashri. Tentang rawi tersebut, Abu Thalib menyatakan dari Ahmad
bahwa dia adalah rawi dlaif, tidak kuat.249
Berdasarkan dua kelemahan tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa hadits ini dlaif. Wallahu alam.
1.2 Kedudukan hadits Abu Umamah (lihat hlm.11-12)
Hadits Abu Umamah tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dengan sanad berikut:
1. Anas bin Salm Al-Khaulani.
2. Muhammad bin Ibrahim bin Ala` Al-Himshi.
3. Ismail bin Ayyasy.
4. Abdullah bin Muhammad Al-Qurasyi.
5. Yahya bin Abi Katsir.
6. Said bin Abdillah Al-Audi.
7. Abu Umamah.
Pada sanad hadits ini terdapat rawi majhul,250 yaitu rawi yang
meriwayatkan dari Abu Umamah. Al-Albani -setelah menukilkan hadits ini
dari dua jalan; dari Yahya bin Abi Katsir yang dikeluarkan oleh AthThabarani dan dari Abi Zakaria yang diriwayatkan oleh Al-Qadli Al-Khali
dalam kitab Al-Fawaid (2/55)-, beliau menjelaskan bahwa Ibnu Abi Hatim
mencantumkan rawi ini dengan nama Said Al-Azdi tanpa mensabkannya
kepada bapaknya serta tidak menyebutkan pujian maupun celaan
terhadap rawi tersebut, sehingga rawi tersebut dapat digolongkan dalam
kelompok rawi majhul.251
Adapun hadits Abu Umamah yang dikeluarkan oleh Ath-Thabarani
247

Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.8, hlm.333.


Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz.8, hlm.334.
249
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jz. 5, hlm.458.
248

250

Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Hadits, hlm. 120.


Artinya:
Rawi majhul ialah: seorang rawi yang tidak diketahui dirinya atau sifatnya.
251
Al-Albani, Silsilatul Ahaditsidl Dlaifah, jld.2, hlm.64.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

66

Munashihah MJ 0235

dari Yahya bin Abi Katsir ini, Al-Haitsami mengatakan:


252

(pada sanadnya terdapat sekelompok

rawi yang tidak aku kenali).

Perkataan Al-Haitsami di atas menunjukkan bahwa pada sanad


hadits Abu Umamah itu tidak hanya terdapat satu rawi yang majhul,
bahkan ada serangkaian rawi yang keadaannya juga demikian.
Selain tidak dikenal (majhul)nya rawi, hadits tersebut juga dipermasalahkan dari segi marfu253nya. Secara dhahir, hadits Abu Umamah
adalah hadits marfu, akan tetapi Ibnul Qayyim mengungkapkan bahwa
pemarfuan hadits tersebut tidak benar. 254
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadits
tersebut tergolong hadits muallal.255
Adapun sanad hadits Abu Umamah yang dikeluarkan oleh Al-Qadli
Al-Khali dari jalan Abi Zakaria, Al-Albani menegaskan bahwa sanad
hadits tersebut sangat lemah, rawi-rawinya tidak dia kenali selain Uthbah
bin As-Sakan. Menurut Ad-Daraquthni, Uthbah bin As-Sakan adalah
seorang rawi matruk (yang ditinggalkan), sedangkan Al-Baihaqi
mengatakan bahwa dia adalah rawi wahin mansubun ilal wadli (lemah,
dinisbahkan pada pemalsuan hadits.256
Dari penjelasan yang telah penulis uraikan di muka dapat
disimpulkan bahwa hadits Abu Umamah berkedudukan dlaif, baik melalui
jalur sanad Yahya bin Abi Katsir yang dikeluarkan oleh Ath-Thabarani
maupun dari jalur sanad Abi Zakariya yang dikeluarkan oleh Al-Qadli AlKhali.
252
253

Al-Haitsami, Majmauz Zawaid, jz.3, hlm.45.

(Ath Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm. 105).


Artinya:
Hadits marfu menurut istilah adalah: perkataan, perbuatan, penetapan atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
254
Ibnul Qayyim, Zadul Maad, jz.1, hlm.522.

255

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.83)


Artinya:
Hadits muallal menurut istilah adalah hadits yang diketahui (ada) illat yang merusak
keshahihan-nya, padahal secara dhahir (hadits tersebut) selamat dari illat tersebut.
256
Al-Albani, Silsilatul Ahaditsidl Dlaifah, jld.2,hlm.64.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

67

Munashihah MJ 0235

Jadi, kedudukan hadits Abu Umamah ini dlaif, baik dari segi
sanadnya, maupun dari segi penyandarannya kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Wallahu alam.
1.3 Kedudukan Hadits Ibnu Abbas (lihat hlm.14)
Sanad hadits ini dicatat dalam kitab Wasa`ilusy Syiah 257 dengan
susunan rawi sebagai berikut:
1. Jafar bin Muhammad bin Abdillah bin Jafar Al-Humaidi
2. bapaknya (Muhammad bin Abdillah bin Jafar Al-Humaidi)
3. Ahmad bin Abu Abdillah
4. bapaknya (Abu Abdillah)
5. Khalaf bin Hammad
6. Abul Hasan Al-Abdi
7. Al-Amasy
8. Ubayah bin Rabi
9. Abdullah bin Abbas
Hadits tersebut meskipun pada dhahirnya disandarkan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi hadits ini merupakan hadits
maudlu (palsu). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedi
Sunnah-Syiah yang diterjemahkan dari judul aslinya Maasy Syiah AlItsna Asyariyyah fil Ushul wal Furu (Mausuah Syamah). Dr. Ali Ahmad
As-Salus, penyusun buku tersebut menyebutkan beberapa riwayat dalam
kitab Wasailusy Syiah yang menunjukkan kebohongan dan ekstrimitas
kaum rafidlah yang berkaitan dengan hukum jenazah. Hadits Ibnu Abbas
ini termasuk satu di antara sembilan hadits yang dia sebutkan.258
Pada nukilan tersebut dijelaskan dengan tegas bahwa hadits Ibnu
Abbas tersebut termasuk hadits-hadits palsu yang dibikin oleh kaum
rafidlah yang menunjukkan ekstrimitas mereka. Wallahu alam.
1.4 Kedudukan hadits Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan Hakim
bin Umair (Lihat hlm.15)
Hadits ini berasal dari Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib, dan
Hakim bin Umair. Mereka menceritakan bahwa para sahabat menyukai
257
258

Al-Hurr Al-Amili, Wasailusy Syiah, jz.2 (dari jld.1), hlm.755.


As-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah (Studi perbandingan fiqih-hadits), hlm.304-305.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

68

Munashihah MJ 0235

pentalkinan mayit setelah selesai penguburannya. Menurut Ilmu Hadits,


perbuatan yang disandarkan kepada para sahabat disebut hadits
mauquf.259
Penulis tidak mendapatkan seorang mukharij yang meriwayatkan
hadits ini, akan tetapi hadits tersebut dinukil oleh Ibnu Hajar260 dan AsySyaukani,261 namun keduanya tidak menyertakan sanad hadits tersebut.
Menurut Ibnu Hajar dan Asy-Syaukani, hadits ini diriwayatkan oleh Said
bin Manshur.
Hasan Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi menyatakan bahwa
kedudukan hadits tersebut dlaif.262
Al-Bassam juga memberikan kesimpulan tentang kedlaifan riwayat
Said bin Manshur263
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
hadits Rasyid bin Sad, Dlamrah bin Habib dan Hakim bin Umair adalah
hadits mauquf yang berkedudukan dlaif.
1.5 Riwayat-riwayat Abu Jafar
1.5.1 Kedudukan riwayat Abu Jafar dengan jalur Zurarah (lihat
hlm.17)
Sanad riwayat ini terdiri dari rawi-rawi berikut:
1. Al-Husain bin Said
2. Hammad bin Isa
3. Hariz
4. Zurarah264
5. Abu Jafar265 alaihis salam
Riwayat ini disebut riwayat maqthu karena disandarkan
kepada seorang tabiin, yaitu Abu Jafar. Dia adalah seorang rawi
259

(Ath Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm. 107)


Artinya:
Hadits mauquf menurut istilah adalah: perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan
kepada sahabat.
260
Ibnu Hajar, Talkhishul Habir, jz.2, hlm.311.
261
Lihat kembali bab II, hlm.15.
262
Hasan Sulaiman An-Nuri dan Abbas Alawi, Ibanatul Ahkam, jz.2, 256.
263
Al-Bassam, Taudlihul Ahkam, jz.2, hlm.560.
264
Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, jz.2, hlm.473-474, no.1908.
265
Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jz.7, hlm.330-331, no.6403.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

69

Munashihah MJ 0235

tsiqat. Namanya adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin
Abi Thalib Al-Hasyimi. Dia dikenal dengan gelar Abu Jafar Al-Baqir.
Pada sanad riwayat ini terdapat rawi bernama Zurarah.
Tentang keadaan rawi ini Ibnu Hajar menuliskan:
266

(Zurarah bin Ayan orang Kufah, saudara Himran, dia


berpaham rafidlah.267)

Riwayat seorang rawi yang bermadzhab rafidlah tidak dapat


diterima. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Malik, Syuraik bin
Abdillah dan yang lainnya.268
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
riwayat tersebut tidak dapat diterima. Wallahu alam bishshawab.
1.5.2 Kedudukan Riwayat Abu Jafar dengan jalur Jabir bin Yazid
(lihat hlm.18)
Rawi-rawi pada sanad hadits Abu Jafar dengan jalur Jabir
bin Yazid tersebut adalah:
1. Ali bin Husain
2. Said bin Abdillah
3. Muhammad bin Al-Husain dan Ahmad bin Al-Hasan bin Ali bin
Fadldlal
4. Bapaknya (Al-Hasan bin Ali bin Fadldlal)
5. Ali bin Uqbah
6. Dzubyan bin Hakim
7. Musa bin Ukail
8. Amr bin Syamr
9. Jabir bin Yazid269
10. Abu Jafar alaihis salam
Riwayat ini juga disandarkan kepada Abu Jafar, seorang rawi
tsiqat dari kalangan tabiin sebagaimana disebutkan pada riwayat
sebelumnya-.
266

Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, jz.2, hlm.473, no.1908.


Ar-Rafidlah yaitu satu golongan yang melebihkan Ali dari pada Abu Bakar dan Umar.Orang yang
berpaham demikian disebut rafidli ({ )A.Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, hlm.208}
268
Al-Husani, Dirasat fil Hadits wal Muhadditsin, hlm.146.
269
Adz-Dzahabi, Mizanul Itidal, jld.1, hlm.379-384, no.1425.
267

Hukum

Menalkinkan

Mayit

70

Munashihah MJ 0235

Pada sanad riwayat ini terdapat dua rawi dlaif, yaitu Jabir bin
Yazid dan Amr bin Syamr bahkan disifati dengan kadzdzab, sedang
istilah ini merupakan jarh yang sangat buruk menurut ahli hadits.270.
Jabir bin adalah seorang ulama Syiah271. Nama lengkapnya
adalah Jabir bin Yazid bin Al-Harits Al-Jufi Al-Kufi. Jabir bin Yazid
adalah seorang rawi yang lemah, percaya dengan paham rajah,272
bahkan disifati dengan kadzdzab (pendusta).273
Adapun Amr bin Syamr Al-Jufi Al-Kufi Asy-Syii, adalah rawi
za`ighun kadzdzab (penyimpang/penyeleweng (lagi) pendusta),
berpaham rafidlah serta mencela para sahabat. 274
Walhasil, riwayat ini tidak dapat ditetapkan sebagai hadits
maqbul (yang dapat diterima) walaupun disandarkan kepada
seorang rawi tsiqat (Abu Jafar) bahkan riwayat ini dapat
digolongkan pada riwayat maudlu karena disandarkan kepada rawi
pendusa.275 Wallahu alam.
2. Kedudukan Hadits-hadits pada Bab IV
2.1 Kedudukan hadits Muadz (lihat hlm.27)
Hadits Muadz dicatat oleh Abu Dawud dengan sanad berikut:
1. Malik bin Abdul Wahid Al-Mismai276
2. Adl-Dlahhak bin Makhlad277
3. Abdul Hamid bin Jafar
4. Shalih bin Abi Uraib278
5. Katsir bin Murrah
6. Muadz bin Jabal279

270

Baca Taisir Musthalahil Hadits, hlm.127!


Asy-Syiah: yaitu satu golongan yang sangat cinta kepada khalifah Ali, dan menganggap Alilah
yang lebih berhak menjadi khalifah, serta mereka tidak suka kepada Abu Bakar, Utsman,
Muawiyah dan Aisyah. (A.Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, hlm.208)
272
Rajah termasuk salah satu doktrin Syiah. Dalam Ensiklopedi Islam (Jld.5/hlm.12) dijelaskan
bahwa rajah adalah: keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah yang paling
shalih dan sejumlah hamba Allah paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan
Allah.
273
Adz-Dzahabi, Mizanul Itidal, jld.1, hlm.380.
274
Adz-Dzahabi, Mizanul Itidal, jld.3, hlm.268-269, no.6384.
275
Baca kaidah tersebut dalam kitab Taisir Musthalahil Hadits, hlm.75.
276
Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.8, hlm.21, no.6707.
277
Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.4, hlm.78-80, no.3057.
278
Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.4, hlm.22, no.2958.
279
Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.8, hlm.220-221, no.7000.
271

Hukum

Menalkinkan

Mayit

71

Munashihah MJ 0235

Semua rawi yang meriwayatkan hadits ini adalah rawi tsiqat kecuali
Katsir bin Murrah dan Abdul Hamid bin Jafar. Kedua rawi ini adalah rawi
adl, tetapi kurang dlabith. Berikut ini penulis kutipkan komentar ulama
tentang kedua rawi tersebut:
1. Katsir bin Murrah Al-Hadlrami Ar-Ruhawi.
An-Nasai menyatakan bahwa dia adalah rawi yang la basa bih
(tidak ada bahaya padanya), sedangkan menurut Ibnu Kharrasy, dia
adalah rawi shaduq (sangat jujur).280
2. Abdul Hamid bin Jafar.
Abu Hatim menyatakan bahwa mahalluhush shidq (kedudukannya adalah kejujuran), sedang menurut An-Nasai dia adalah rawi yang
laisa bihi basun (tidak ada bahya padanya).281
Ungkapan la basa bih, shaduq, mahalluhush shidq, dan laisa bihi
basun merupakan kalimat pujian yang tidak menunjukkan kedlabitan
rawi.282
Berdasarkan data tersebut, penulis menyimpulkan bahwa hadits
Muadz ini adalah hadits hasan,283 sebab sanad hadits ini bersambung
dari awal hingga akhir, diriwayatkan oleh rawi adl yang kurang dlabith,
serta tidak terdapat syadz dan illat padanya. Akan tetapi, hadits yang
semakna dengan hadits Muadz ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban
dari Abu Hurairah dengan sanad shahih (hadits Abu Hurairah telah lewat
pada hlm.11). Dengan adanya hadits Abu Hurairah tersebut, maka
kedudukan hadits Muadz ini terangkat menjadi hadits shahih lighairihi.284
Wallahu alam.
2.2 Kedudukan hadits Jabir (lihat hlm.38)
280

Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.6, hlm.565-566, no.5823.


Ibnu Hajar, Tahdzibut tahdzib, jld.5, hlm.22-23, no.3861.
282
Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.126.
281

283

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.38).


Artinya:
(Hadits hasan) adalah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan hingga akhir, dengan
dinukil oleh rawi adl yang kurang dlabith dari rawi yang semisalnya, tanpa ada syadz ataupun
illat.

284

(Ath-Thahhan, Taisir Musthalahil Hadits, hlm.42).


Artinya:
(hadits shahih lighairihi) adalah: hadits hasan lidzatihi, apabila diriwayatkan dari sanad lain yang
semisal dengannya atau lebih kuat darinya.

Hukum

Menalkinkan

Mayit

72

Munashihah MJ 0235

Hadits Jabir dikeluarkan oleh Ahmad285 dan Muslim.286


Sebagaimana telah dijelaskan, hadits yang dikeluarkan oleh Imam
Muslim menempati tingkatan hadits shahih yang ketiga. (lihat kembali
no.1.1.1).
2.3 Kedudukan hadits Al-Irbadl bin Sariyah (lihat hlm.51)
Hadits Al-Irbadl bin Sariyah diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan
rawi-rawi berikut:
Sanad hadits di atas terdiri dari enam rawi, yaitu:
1. Ahmad bin Hambal.287
2. Al-Walid bin Muslim.288
3. Tsaur bin Yazid.289
4. Khalid bin Madan.290
5. Abdurrahman bin Amr As-Sulami291 dan Hujr bin Hujr.292
6. Al-Irbadl bin Sariyah293
Berdasarkan penelitian penulis, penulis menyimpulkan bahwa
kedudukan hadits Al-Irbadl bin Sariyah tersebut shahih karena sanad
hadits tersebut bersambung, setiap rawinya adalah rawi tsiqat, serta tidak
terdapat syudzud maupun illah padanya.

285

Ahmad, Al-Musnad, jz.3, hlm.382.


Muslim, Ash-Shahih, jld.4, jz.7, hlm.18-19, kitab 39 As-Salam, bab istihbabir ruqyah, no.61.
287
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.1, hlm.97-100, no.106.
288
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.9, hlm.167-170, no.7737.
289
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.1, hlm.576-578, no.902.
290
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.2, hlm.535-536, no.1736.
291
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.5, hlm.147, no.4077.
292
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.2, hlm.190, no.1196.
293
Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld.5, hlm.538, no.4687.
286

Anda mungkin juga menyukai