Rinitis Alergi Ref
Rinitis Alergi Ref
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Penyakit alergi berasal dari bahasa Yunani. Yaitu Allon dan Argon, yang
berarti reaksi yang berubah. Jenis penyakit ini mulanya diperkenalkan oleh
dokter berkebangsaan Australia, bernama Clemens Von Pirquet pada tahun
1906. ia menyatakan bahwa alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang
terjadi pada seseorang. Bersifat khas dan timbul bila ada kontak yang biasanya
tidak menimbulkan reaksi pada orang normal.
Hingga kini angka penderita penyakit alergi terus mengalami peningkatan.
Bahkan di negara-negara maju, hal ini terus menjadi perhatian. Mengingat
pencapaian pertumbuhan penyakit alergi hingga 40 persen pertahunnya. Di
Indonesia sendiri ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah.
Malah cenderung menunjukan peningkatan. Hal ini terbukti dari beberapa
penelitian yang menyebutkan bahwa gejala alergi seperti asma di Jawa dan Bali
meningkat hingga 7,5 persen pertahunnya. Sedangkan alergi lantaran Dermatitis
atopik juga meningkat hingga empat persen. Sedangkan prevalensi penyakit
alergi lantaran gejala rinitis, menunjukan peningkatan paling besar, yaitu dapat
mencapai angka 22 persen pertahunnya.
Rintis Alergika adalah gejala alergi yang terjadi pada hidung. Rinitis alergi
lebih banyak menyerang usia anak. Di negara 4 musim, penyakit ini muncul pada
musim tertentu (seasonal) yaitu saat musim bunga. Di Indonesia, rinitis alergika
ditemukan sepanjang tahun (persisten). Sekitar 87% penderita rinitis alergika
mempunyai riwayat alergi di keluarganya. Rinitis alergika pada anak biasanya
menetap sampai dewasa dan berkurang saat usia lanjut. Sekitar 15 25%
penderita akan sembuh spontan setelah 5 7 tahun.
1.2
Tujuan
Tujuan
penulisan
adalah
untuk
mengingatkan
dan
menambah
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan terdiri dari definisi, anatomi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, gejala klinik, dan lain sebagainya.
1.4
Sumber
Sumber yang digunakan adalah buku-buku ajar THT, internet, dan lainlain.
Bab II
Pembahasan Teori
2.1
Definisi
Definisi yang dituliskan oleh Von Pirquet, 1986, rinitis alergi adalah
penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Sedangkan definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinintis and Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah selainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
terperantarai oleh Ig E.
2.2
Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan
hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung.
HIDUNG LUAR
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.
3
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis
os maksila, prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa
pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.
CAVUM NASI
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior
dan
lubang
belakang
disebut
nares
posterior
(koana)
yang
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika
berasal dari a.karotis interna.
2.3
Etiologi
Etiologi dibagi berdasarkan pembagian jenis Rinitis Alergi. Beberapa
pasien sensitif terhadap multipel alergen dan bisa memiliki Rinitis alergi musiman
dan sepanjang tahun secara bersamaan. Alergi makanan juga dapat
menyebabkan Rinitis Alergi, terutama pada anak,
2.4
Patofisiologi
Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC)
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas
II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1
(IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig
E). Ig E disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit D4 (LT D4). Leukotrien C4 (LT C4),
bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll, yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.
7
keduanya
hampir
sama,
berlangsungnya.
hanya
berbeda
dalam
sifat
2.7
Gangguan
fisiologik
pada
golongan
perenial
lebih
ringan
penunjang.
Ditemukannya
eosinofil
dalam
jumlah
banyak
Uji Kulit
Dengan uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada
beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-Point Titration/ SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test).
Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama.
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Kuntungan SET, selain
alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitasi dapat
diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Provocative Food Test atau Intacutaneus Provocative Food Test (IPFT).
Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat
diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat
alergen tersebut.
2.9
Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen pennyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Simptomatis
a. Medikamentosa
Pemakaian antihistamin yaitu antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
12
atau
multiple
outfractured,
inferior
turbinoplasty
perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi
Desensitasi dan hiposensitisasi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Netralisasi
Cara netralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi, tubuh
tidak membentuk blocking antibody seperti pada desensitisasi.
13
14
2.10
Komplikasi
Komplikasi Rinitis Alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang residif, terutama pada anak-anak
Faktor Risiko Otitis Media
ras,
alergi,
abnormalitas
craniofasial,
refluks
3. Sinusitis paranasal.
Faktor predisposisi Sinusitis
15
Daftar Pustaka
16
17