Anda di halaman 1dari 17

Bab I

Pendahuluan

1.1

Latar Belakang
Penyakit alergi berasal dari bahasa Yunani. Yaitu Allon dan Argon, yang
berarti reaksi yang berubah. Jenis penyakit ini mulanya diperkenalkan oleh
dokter berkebangsaan Australia, bernama Clemens Von Pirquet pada tahun
1906. ia menyatakan bahwa alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang
terjadi pada seseorang. Bersifat khas dan timbul bila ada kontak yang biasanya
tidak menimbulkan reaksi pada orang normal.
Hingga kini angka penderita penyakit alergi terus mengalami peningkatan.
Bahkan di negara-negara maju, hal ini terus menjadi perhatian. Mengingat
pencapaian pertumbuhan penyakit alergi hingga 40 persen pertahunnya. Di
Indonesia sendiri ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah.
Malah cenderung menunjukan peningkatan. Hal ini terbukti dari beberapa
penelitian yang menyebutkan bahwa gejala alergi seperti asma di Jawa dan Bali
meningkat hingga 7,5 persen pertahunnya. Sedangkan alergi lantaran Dermatitis
atopik juga meningkat hingga empat persen. Sedangkan prevalensi penyakit
alergi lantaran gejala rinitis, menunjukan peningkatan paling besar, yaitu dapat
mencapai angka 22 persen pertahunnya.
Rintis Alergika adalah gejala alergi yang terjadi pada hidung. Rinitis alergi
lebih banyak menyerang usia anak. Di negara 4 musim, penyakit ini muncul pada
musim tertentu (seasonal) yaitu saat musim bunga. Di Indonesia, rinitis alergika
ditemukan sepanjang tahun (persisten). Sekitar 87% penderita rinitis alergika
mempunyai riwayat alergi di keluarganya. Rinitis alergika pada anak biasanya
menetap sampai dewasa dan berkurang saat usia lanjut. Sekitar 15 25%
penderita akan sembuh spontan setelah 5 7 tahun.

1.2

Tujuan
Tujuan

penulisan

adalah

untuk

mengingatkan

dan

menambah

pengetahuan bagi penulis dan pembacanya. Tujuan lainnya adalah untuk


mendapatkan nilai pada stase THT ini.
1.3

Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan terdiri dari definisi, anatomi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, gejala klinik, dan lain sebagainya.

1.4

Sumber
Sumber yang digunakan adalah buku-buku ajar THT, internet, dan lainlain.

Bab II
Pembahasan Teori
2.1

Definisi
Definisi yang dituliskan oleh Von Pirquet, 1986, rinitis alergi adalah
penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Sedangkan definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinintis and Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah selainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
terperantarai oleh Ig E.

2.2

Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan
hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung.
HIDUNG LUAR
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.
3

Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis
os maksila, prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa
pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.

CAVUM NASI
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior

dan

lubang

belakang

disebut

nares

posterior

(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.


Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
4

vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka
media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan
sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk
oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika
berasal dari a.karotis interna.
2.3

Etiologi
Etiologi dibagi berdasarkan pembagian jenis Rinitis Alergi. Beberapa
pasien sensitif terhadap multipel alergen dan bisa memiliki Rinitis alergi musiman
dan sepanjang tahun secara bersamaan. Alergi makanan juga dapat
menyebabkan Rinitis Alergi, terutama pada anak,

tetapi hal tersebut jarang

terjadi kecuali simtom pada gastrointestinal atau kulit.


1. Rinitis Alergi Musiman, dapat disebabkan karena adanya serbuk sari
dari pohon, rumput liar, dan tanaman (bunga, dll). Pohon contohnya
pada pohon ek, maple, cedar, dan zaitun. Sedangkan pada tanaman
biasanya disebabkan oleh Kentucky bluegrass, tanaman buah, redtop,
timothy, vernal, meadow fescue, Bermuda, dan perennial rye.
2. Alergi sepanjang tahun biasanya disebabkan karena adanya alergen di
dalam rumah tetapi dapat juga diakibatkan alergen di luar rumah. Pada
iklim yang lebih hangat, paparan terhadap serbuk sari dari tanaman
liar dapat terjadi sepanjang tahun. Alergen lainnya adalah debu di
dalam rumah, binatang peliharaan, kecoa, tikus.

2.4

Patofisiologi
Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC)
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas
II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1
(IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig
E). Ig E disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit D4 (LT D4). Leukotrien C4 (LT C4),
bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll, yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.
7

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan
terus berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derivided Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Perixidase (EPO). Pada fase
ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.
2.5

Pembagian Rinitis Alergi


Dahulu Rinitis Alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parenial)
Gejala

keduanya

hampir

sama,

berlangsungnya.

hanya

berbeda

dalam

sifat

Saai ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari


WHO Initiative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan atau lebih
dari 4 minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu
2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut di atas.
2.6

Rinitis Alergi Musiman


Di Indonesia tidak dikenal Rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal, disertai lakrimasi).
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu
terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua
golongan usia dan biasanya mulai timbul pada anak-anak dan dewasa muda.
Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada
banyaknya alergen diudara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.

2.7

Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)


Etiologi
Penyebab tersering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa,
dan alergen ingestan. Alegen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di dalam rumah
terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju
dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari
serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomis
tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (kucing, anjing, burung). Alergen
inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtkaria, gangguan
pencernaan.

Gangguan

fisiologik

pada

golongan

perenial

lebih

ringan

dibsndingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka


komplikasinya lebih sering ditemukan
Gejala Klinik
Gejala khas ialah serangan bersin berulang, terutama pagi hari atau
apabila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala
pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya
histamin.
Gejala lain ialah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadangkadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak
10

menggosok-gosok hidung (karena gatal) dengan punggung tangan. Keadaan ini


disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease.
2.8

Diagnosis Rinitis Alergi


Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja.
Pemeriksaan Rinoskopi Anterior
Pada pemerksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak.
Pemeriksaan Sitologi Hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan

penunjang.

Ditemukannya

eosinofil

dalam

jumlah

banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/ lap) mungkin di


sebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
Hitung Leukosit Dalam Darah Tepi
Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (pristpaper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari satu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan
IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbet Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbet Assay Test).
11

Uji Kulit
Dengan uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada
beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-Point Titration/ SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test).
Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama.
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Kuntungan SET, selain
alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitasi dapat
diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen
ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Provocative Food Test atau Intacutaneus Provocative Food Test (IPFT).
Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat
diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat
alergen tersebut.
2.9

Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen pennyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Simptomatis
a. Medikamentosa
Pemakaian antihistamin yaitu antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
12

pengobatan Rinitis Alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi dengan


dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan histamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal
adalah azelastin. Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala
obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
b. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti

atau

multiple

outfractured,

inferior

turbinoplasty

perlu

dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi
Desensitasi dan hiposensitisasi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi
inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Netralisasi
Cara netralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi, tubuh
tidak membentuk blocking antibody seperti pada desensitisasi.

13

14

2.10

Komplikasi
Komplikasi Rinitis Alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang residif, terutama pada anak-anak
Faktor Risiko Otitis Media

Faktor risiko terhadap tuan rumah (host) diantaranya usia,


prematuritas,

ras,

alergi,

abnormalitas

craniofasial,

refluks

gastroesophageal, adanya adenoid, dan predisposisi genetik.

Faktor risiko karena lingkungan terdiri dari infeksi saluran napas


atas, level sosial ekonomi, perawatan kesehatan harian, dan lainlain.

Riwayat Infeksi Saluran Napas Atas.

Insiden meningkat pada saat musim gugur dan musim dingin

Riwayat keluarga adanya penyakit pada telinga tengah dapat


meningkatkan insiden.

3. Sinusitis paranasal.
Faktor predisposisi Sinusitis

Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media,


benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis
kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus
serta menghasikan lendir yang banyak, yang merupakan media
untuk tumbuh bakteri.

Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat


mengakibatkan perubahn pada mukosa serta kerusakan silia.

15

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari


rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat
drainase

Daftar Pustaka
16

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi Hidung. Dalam: Soeparti EA,


Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2014

17

Anda mungkin juga menyukai