Anda di halaman 1dari 22

BAB II PEMBAHASAN

SISTEM POLITIK ISLAM

Pandangan Islam Mengenai Politik Menghalalkan Segala Cara


Politik berasal dari bahasa latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen
(hubungan warga negara). Sedangkan dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata
siyasah, kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi,
mengendalikan dan mengatur (M Quraish Shihab,2000). Sedangkan menurut Abdul
Qadir Zallum, mengatakan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur
urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Dalam politik terdapat negara yang
berperan sebagai institusi yang mengatur secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi
pemerintahan dalam melakukan tugasnya. Maka dapat disimpulkan politik merupakan
pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa
pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan informasi.
Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan
bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat
dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullah dan Ulill Amr (pemegang
kekuasaan) dan menepati janji. Dari beberapa prinsip diatas yang berkorelasi dengan
politik, menggambarkan umat islam dalam berpolitik tidak dapat lepas dari ketentanketentuan tersebut. Berpolitik dalam islam tidak dapat berbuat sekehendak hatinya.
Maka dapat disimpulkan bahwa politik islam memiliki pengertian mengurus
kepentingan rakyat yang didasari prinsip-prinsip agama. Korelasi pengertian politik
islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat
bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan
segala cara. Terlebih apabila mementingkan kepentingan individu atau kelompok.
Sedangkan islam dalam berpolitik tidak sekedar mengurusi atau mengendalikan
rakyat saja, tetapi juga mengemban kebajikan untuk seluruh rakyatnya.
Pandangan Islam Mengenai Pemerintahan Otoriter
Dari prinsip-prinsip islam dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemerintahan adalah
memberi kesejahteraan kepada rakyatnya. Sehingga seluruh rakyatnya diharapkan
dapat menerima hak-haknya sebagai warga negara dan turut mengawasi
pemerintahan. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai institusi yang mengatur
masyarakat demi masyarakatnya. Maka logika yang dapat diperoleh negara dalam
islam merupakan kegiatan demi kesejahteraan masyarakat. Apabila suatu
pemerintahan telah beralih fungsi sebagai institusi yang melayani masyarakatnya,
justru menjadikan kekuasaan sebagai peyalahgunaan. Maka pemerintahan tersebut
dikatakan tidak sehat.
Berbagai macam bentuk pemerintahan menjadi perdebatan diantara para pemikir.
Setelah sepeninggal rasul bentuk pemerintahan di Madinah dipegang Abu Bakar

sehingga yang terakhir adalah Ali bin Abi Thalib. Bentuk pemerintahan yang
dijalankan oleh para sahabat ini adalah system khalifah. Dalam bentuk pemerintahan,
system khalifah, bentuk kekuasaannya tidak dijalankan secara demokrasi, tetapi
secara turun temurun atau penunjukan. Dari seseorang yang berkuasa disebut khalifah
Ibnu Khaldum (1406M) mengatakan kekhalifahan maupun kerajaan adalah khilafah
Allah diantara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan diantara manusia. Al
Mawaidi (1058M) dalam bukunya Al-Ahkam Al-Shultaniyah mengatakan bahwa
pemilihan atau penunjukan khalifah mesti diikuti baiat masyarakat. Muhammad
Rasyid Ridha dalam bukunya Al Khalifah Al Amanah menyatakan system khalifah
perlu untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat.
Sebagai umat islam yang menjadikan para sahabat sebagai suri tauladan, tentunya kita
harus mencontoh ajaran dan tindakan mereka. Pada inti permasalahannya setiap
pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan
penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada
rakyatnya; menekan rakyatnya. Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter.
Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam.
Pandangan Islam Tentang Perang Negara Islam Dengan Negara Barat
Politik luar negeri tidak dapt terlepaskan dari politik islam. Hal ini dikarenakan untuk
memenuhi kepentingan masyarakat di negeri sendiri serta kepentingan negara dan
bangsa lain. Politik luar negeri islam menurut Ali Abdul Halim Mahmud (1998)
terdiri atas dasar-dasar kuat yang mempunyai tujuan yang sudah jelas. Antara lain:
1.Menyebarkandakwahkeseluruhdunia.
2. Mengamankan batas-batas territorial negara dan umat islam dari fitnah dan
gangguan-gangguanmusuh.
3. Mengaplikasikan system jihad fi sabilillah untuk menegakkan kalimat Allah swt.
Politik luar negeri islam yang mengatur hubungan negara dengan rakyatnya serta
instansi yang ada dibawahnya dengan organisasi kenegaraan lainnya. Adapun prinsipprisip yang digunakan dalam politik luar negeri islam:
1. Pokok dalam hubungan negara adalah perdamaian.
2. Tidak memutuskan hubungan damai antar negara kecuali karena alasan yang
mendesak atau darurat.
3. Membuat kaidah-kaidah hubungan luar negeri tetap dalam keadaan damai dan
menjamin kedamaian itu.
4. Membuat kaidah-kaidah hubungan luar negeri perang dengan tujuan mengurangi
penderitaan.
5. Membuat syarat-syarat bila negara mau diakuai negara lain.
6. Megumumkan ketentuan-ketentuan perang bila sampai itu terjadi agar tetap pada
tujuan yang benar.
Politik luar negeri islam berlangsung dalam keadaan damai dan perang. Dalam

hubungan politik damai antar negara harus mampu menjaga keamanan, kepercayaan
dan perdamaian. Sedangkan dalam politik luar negeri islam dalam keadan perang
adalah hanya boleh terjadi apabila dalam hubungan politik tersebut ada upaya
memerangi islam, menghalangi dakwah dan mereka yang menyerukan untuk tidak
mendengarkan dakwah. Berikut merupakan prinsip politik luar negeri islam yang
berlangsung damai: menjaga berdamaian, menegakkan keadilan, memenuhi janji,
menjaga hak-hak dan kebebasan no muslim, serta melakukan tolong menolong
kemanusiaan dan saling toleransi.
Sementara islam membenci peperangan. Perang hanya akan menimbulkan kesedihan,
keruskan, penghancuran dan pembunuhan. Adapun prinsip-prinsip luar negeri islam
dalam keadaan perang adalah :
1. Menentukan tujuan perang. Perang dalam islam bukan semata-mata adanya
keinginan untuk perang namun dikarenakan oleh sebab karena ingin mencapai tujuan
tertentu. Dalam islam tujuan perang itu antar lain: menahan serangan musuh dan
melawan kedzaliman dan mengamankan dakwah yang membawa kebajikan untuk
seluruh umat.
2. Melakukan persiapan. Suatu negara harus selalu berada dalam kekuatan dan
persiapan dalam menahan perang dan mencegah perang itu terjadi.
3. Tidak meminta bantuan musuh untuk mengalahkan musuh. Umat islam harus
berhati-hati agar tidak tertipu oleh musuh yang menampakkan senang dengan
landasan-landasan islam, padahal sejatinya dia ingin menghancurkan landasan islam
itu sendiri. Jika hal demikian terjadi maka akan berakibat lebih fatal lagi terhadap
umat islam.
4. Menepati perjanjian dan persetujuan. Menepati perjanjian atau persetujuan dalam
perang adalah sama dalam keadaan damai. Tidak boleh makukan pelanggaran dalam
perjanjian kecuali dalam keadaan yang darurat.
5. Menjalankan hukum dan adab islam dalam perang. Islam membuat hukum-hukum,
syarat serta etika yang tidak boleh dilanggar oleh umat islam dan pemimpin.
Diantaranya: a. Dilarang membunuh wanita, anak kecil dan ornag tua kecuali orang
tersebut turut memerangi islam dengan tipu muslihatnya, b. dilarang membunuh
seseorang dengan khianat tanpa mengumumkan terlebih dahulu sikap perang, c.
dilarang merusak jenazah musuh sekalipun hal yang sama dilakukan terhadap jeazah
orang muslim, d. mengubur mayat-mayak musuh sebagai penghormatan terhadap
kemanusiaan, e. memperlakukan tawanan dengan baik.
Dengan demikian jelaslah sudah islam sangat membenci adanya peperangan. Dengan
siapapun itu kelompoknya. Karena peprangan hanya akan menimbulakan adanya
kerusakan, kehancuran dan pendritaan. Namun islam juga memperbolehkan adanya
perang namun dengan sebab yang sudah pasti sesuai dengan aturannya. Walaupun
demikan perang yang dilakukan oleh umat muslim tetap harus berpegang terguh
dengan prinsip serta hukum-hukum islam yang berlaku. Sehingga bilaman perang
tersebut terpaksa harus dilakakukan aka memberikan kemaslahatan bagi umat muslim
itu sendiri.

2.1 PENGERTIAN SISTEM POLITIK ISLAM

Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya perangkat
unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu totalitas atau
susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan kata politik pada
mulanya berasal dari Bahasa Yunani atau Latin, Politicos atau politicus, yang berarti
relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang berarti kota. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan. Sedangkan kata Islam,
adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab
suci Al Quran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan
demikian, sistem politik islam adalah sebuah aturan tentang pemerintahan yang
berdasarkan nilai-nilai Islam.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara lengkap,
termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan secara
konkrit bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam. Itulah
sebabnya, kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam
merumuskan sistem politik Islam.
Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan, bahwa beliau
memegang kekuasaan politik di samping kekuasaan agama. Ketika beliau dengan para
sahabat hijrah ke Madinah, kegiatan dan aktivitas yang beliau lakukan dalam
kehidupan sehari-hari untuk menciptakan sistem kehidupan yang stabil dan harmonis
serta kondusif adalah mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu sistem
sosial politik di bawah kekuasaan beliau, yang dikenal dengan Perjanjian Madinah.
Rasulullah tidak memaksa kaum Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya untuk
memeluk agama Islam, tetapi beliau menginginkan semua penduduk Madinah
menghormati perjanjian yang mereka sepakati.
Setelah Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga
menjamin kesepakatan dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi perselisihan
diantara kedua kekuasaan tersebut, sekalipun dalam perkembangan selanjutnya
penguasa Mekah mengingkari perjanjian yang ia tandatangani, sehingga memicu

peperangan yang cukup hebat dan dahsyat, seperti perang Badar, perang Uhud, dan
lain-lain.
Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan
dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa
diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang
sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak, sementara
dalam Al Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu,
namun ini bukan berarti bahwa Al Quran tidak menguraikan masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli AL Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang
politik dengan menggunakan Al Quran dan Sunnah Nabi sebagai rujukan, bahkan
Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan al-Siyasah
al-Syariyah (politik keagamaan). Uraian Al Quran tentang politik secara sepintas
dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum. Kata ini pada
mulanya berarti menghalangi atau melarang dalam rangka aperbaikan. Dari akar
kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini
sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasah, yang berarti mengemudi,
mengendalikan, pengendali dan cara pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan Al
Quran, Tafsir Maudhui atas pelbagai persoalan umat, 1997: 417).
Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik, dan
juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain, terdapat persamaan
makna antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai
kebijaksanaan, atau kemampuan menangani suatu masalah, sehingga mendatangkan
manfaat atau menghindarkan mudharat. Dengan demikian, sistem politik Islam adalah
suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber
kekuasaan Negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara
untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan,
kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk
tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan sumber ajaran
Islam, yaitu Al Quran, Hadits dan Ijtihad).

2.2 PRINSIP-PRINSIP DASAR ATAU SIYASAH DALAM ISLAM


Dasar-dasar Siyasah dalam al-Quran Fiqh lebih popular di definisikan sebagai
ilmu tentang hukum-hukum syara yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalildalilnya yang rinci.
Sedangkan definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam. Menurut abu alWafa Ibnu Aqil siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih
dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, kendatipun Rasulullah
tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.
Setiap disiplin ilmu mempunyai sumber-sumber dalam pengkajiannya. Dari sumbersumber ini disiplin ilmu tersebut dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan
tantangan zaman. Demikian juga dengan fiqh siyasah. Sebagai salah satu cabang dari
disiplin ilmu fiqh, fiqh siyasah mempunyai sumber-sumber yang dapat dirujuk dan
dijadikan pegangan. Al-Quran menjadi sumber rujukan utama dalam menentukan
hukum dalam fiqh siyasah. Dasardasar fiqh siyasah dalam al-Quran adalah:
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tertuang
dalamal-Quran(Q.S.al-Mukminun: 52)
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu,
danAku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaiakan dan mneyelenggarakan
masalah yang bersifat ijtihadiah. Al-quan mengisyaratkan bahwa umat Islam terkait
keharusan menyelesaikan persoalan. (Q.S. asy-Syuro: 38)
Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka
3. Kemestian menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil, sebagaimana
tertuang dalam Q.S. an-Nisa: 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat.

4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah, dan ulil amri (pemegang kekuasaan).
(Q.S. an-Nisa:59)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri
di antara kamu.
5. Kemestian mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam (Q.S.
al-Hujurat:9)
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya!
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan negara, dan larangan melakukan agresi
dan infasi (Q.S. al-Baqarah: 190)

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu


7. Kemestian mementigkan perdamaian dari pada permusuhan (Q.S al-Anfal: 61)
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah.
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan
(Q.S. al-Anfal: 60)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka
yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
9. Keharusan menepati janji (Q.S. an-Nahl:91)
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu)
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. al-Hujurat: 13)
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat (Q.S. al-Hasyr: 7)
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
B. Dasar-dasar Siyasah dalam al-Hadits
1. Keharusan mengangkat pemimpin
( ) :
Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, apabila tiga orang keluar untuk
bepergian, maka hendaknya salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin
diantara mereka.
2. Kemestian pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya
:
( )
Dari Ibnu Umar r.a., bersabda Nabi SAW, setiap kamu itu adalah pamimpin dan
setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam
yang menjadi pemimpin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan setiap

suami bertanggung jawab atas rumah tangganya


3. Kemestian menjadikan kecintaan dalam persaudaraan sebagai dasar hubungan
antara pemimpin dengan pengikut
:
( )
Dari Auf bin Malik, telah bersabda Rasulullah SAW, pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu
mendoakan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang yang
kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka
melaknat kamu.
4. Kemestian pemimpin berfungsi sebagai perisai; tidak hanya berfungsi sebagai
alat untuk menyerang, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk berlindung
:
( )
Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya pemimpin itu
ibarat perisai yang dibaliknya digunakan berperang dan berlindung. Apabila
pemimpin memerintah berdasarkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku
adil, maka baginya ada pahala, apabila memerintah dengan dasar selain itu, maka
dosanya akan dibalas.
5. Kemestian pemimpin untuk berlaku adil dan dengan itu kemuliaannya tidak
hanya dihormati manusia dalam kehidupan dunia, tetapi juga dihormati Allah dalam
kehidupan akhirat
):
(
Dari Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah SAW, ada tujuh golongan yang
dinaungi Allah SWT, dibawah naungan-Nya, pada hari kiamat yang tidak ada naungan
kecuali naungan-Nya, yang pertama adalah imam yang adil
C. Istinbath Hukum Siyasah Menurut Ulama Fiqh
Kebanyakan ulama sepakat mengenai kemestian menyelenggarakan siyasah. Dalam
pada itu, mereka pun sependapat tentang keharusan menyelenggarakan siyasah
berdasarkan syara. Kesepakatan-kesepakatan tersebut terangkum dalam pernyataan
ibn al-Qayyim:

Artinya: Tidak ada siyasah kecuali yang sesuai dengan syara.


Akan tetapi, kesepakatan terakhir bukan tanpa masalah. Masalahnya paling tidak,
apakah kemestian penyelenggaraan siyasah syariyyah sesuai dengan syara, berarti
harus sesuai dengan mantuq-nya syara, atau berarti kewajiban penyelenggaraan
semangat siyasah syariyyah atau berarti ke-mafhum-an syara.
Dalam mengatasi masalah tersebut, jawaban yang paling layak tentu tidak
mempertentangkan kedua alternatif kedua jawaban, tetapi menggabungkan kedua
alternatif yang tersedia. Dengan demikian, jawabannya adalah menyesuaikan
penyelenggaraan siyasah syariyyah dengan dalil-dalil yang tersurat dalam syara
secara manthuq suatu keharusan. Akan tetapi, jika keharusan tersebut tidak terpenuhi,
bukan berarti tidak ada kemestian untuk menyesuaikan penyelenggaraan siyasah

syariyyah sesuai dengan dalil-dalil yang tersirat dalam syara secara mafhum.
Bertolak dari pemahaman bahwa dunia merupakan ladang bagi akhirat, Al-Ghazali
menyatakan bahwa, agama tidak sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan
agama bersaudara kembar. Agama merupakan asal tujuan, sedangkan sulthan
merupakan penjaga. Yang tidak berasal atau beragama akan hancur, dan tidak
berpenjaga atau bersulthan akan hilang. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menempatkan
ilmu siyasah khalq sebagai alat. Sebagaimana dikatakannya, tidak sempurna agama,
kecuali dengan kehadiran siyasah khalq.
Lebih lanjut, Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang ahli hukum Islam (faqih)
seharusnya berpengetahuan tentang siyasah, sebab menurutnya, ia tidak hanya
berperan sebagai sulthan, tetapi juga pembimbing ke arah siyasah khalq. Pada
gilirannya, Al-Ghazali pun berpendapat ilmu fiqh berarti pengetahuan tentang caracara perekayasaan dan pengendalian. Oleh karena itu, bagi Al-Ghazali, hukum
mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
Arti pengetahuan siyasah dalam kehidupan umat Islam, yang tidak memisahkan
agama dan negara. Terlihat dari adanya sejumlah ilmuan Muslim yang tertarik untuk
membuat karangan khusus mengenai siyasah. Sebagian pengarang dan karangan yang
tercatat hasanah kepustakaan fiqh siyasah.
Menurut beberapa pendapat ulama dalam berbagai kitab yang dikarangnya tentang
arti penting fiqh siyasah, adalah
1. Ali Ibn Ismail al Tamar pengarang kitab Al Imamah dan Al Istihqaq
2. Hisyam Bin Al Hakam, pengarang kitab Imamah dan Imamah al Imamah al
Mahfudz
3. Yaman Ibn Rahab, pengarang kitab Itsbat al Imamah Abu Bakar
4. Abu Yusuf, pengarang Al-Kharaj
5. Al Mawardi, pengarang kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah wa al Wilayah Al
Diniyyah.
Perhatian ulama terhadap persoalan fiqh siyasah tidak pernah terhenti. Pada paruh
pertama dan kedua abad ke 20, dikenal beberapa penulis siyasah syariyyah, antara
lain: Jamaluddin Al Afgani, Rasyid Ridho, Yusuf Musa, Abdul Karim Zaidan, Abu Al
Ala Al Maududi, dll. Di Indonesia, dikenal pula nama-nama, seperti: T. M. Khasby
Asshidiqi, H. M. Rosidi, Muhammad Nasir, Z. A. Ahmad, Munawir Sazali, dll.
Sekalipun jumhur ulama menerima kemestian pelaksanaan siyasah syariyyah, namun
bukan berarti tidak ada ulama yang menolak keharusan tersebut. Sejak dahulu sampai
sekarang, terdapat ulama yang tidak mau berbicara tentang siyasah, bahkan
menganggapnya sebagai sesuatu pembicaraan diluar bidang agama. Abu Bakar AlAsham, dari golongan mutazilah dan sebagian golongan khawarij merupakan ulamaulama yang berpandangan seperti itu. pada masa kini, pandangan demikian terwakili
oleh Ali Abd Al Raziq pengarang kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm.
Menurut Ibn Khaldun, penyebab Abu Bakar Al Asham dan pengikutnya cenderung
menghindari persoalan siyasah adalah sebagai upaya mereka untuk menghindarkan
diri dari gaya hidup raja yang terlena oleh kemewahan duniawi, dan dalam pandangan
mereka, hal itu bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurut Abd al-Raziq ada tiga model paradigma dalam memahami hubungan antara
agama dan negara. Pertama, Paradigma sekularistik, Paradigma ini memberikan garis
disparitas antara agama dan negara. Kedua, Paradigma integralistik, dalam perspektif
ini, relasi agama-negara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketiga, Paradigma
simbiotik, Menurut pandangan ini, relasi antara agama dan negara bersifat timbalbalik. Artinya, agama tidak harus diformalkan dalam institusi negara.

2.3 PRINSIP-PRINSIP HUKUM ANTAR AGAMA ATAU HUKUM INTERNASIONAL


Islam datang kepada umat manusia dan seluruh alam tiada lain adalah untuk
membawa rahmat2. Rahmat sering diartikan sebagai sesuatu yang membawa kebaikan
dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi kehidupan manusia yang dimensinya
tidak terbatas keduniawian (fana) tetapi juga keakhiratan (eternal). Sesungguhnya
fondasi Islam adalah keyakinan dan komitmen (iman) yang jelas, bangunannya adalah
kebenaran yang kokoh (syariat Islam), ruh (spirit) Islam adalah kebaikan dan
kemaslahatan (rahmat), dan simbol-simbolnya pun menjadi cahaya (ihsan).
Sesuai dengan namanya Al-Islam adalah keselamatan, kedamaian keselarasan dan
kesejahteraan yang dibangun atas dasar ketaatan. Islam hanya akan menjadi konsep
belaka apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan membuktikan syumuliyah alIslam (integralitas dan perfeksitas Islam) oleh para pemeluknya yang memiliki
integritas keimanan (mumin). Pengakuan sebagai muslim tidak akan cukup untuk
membuktikan bahwa Islam merupakan rahmat yang berisikan berbagai solusi yang
tepat, tegas dan tuntas. Tetapi yang diperlukan adalah sikap sebagai mumin yang
yakin akan solusi yang dibawa Islam3. Kondisi yang kita saksikan dan kita rasakan
masa kini adalah bahwa seolah-olah Islam tidak lagi menjadi solusi bagi setiap
problematika kehidupan, sehingga kita atau kebanyakan kaum muslimin mencari
berbagai solusi yang datangnya dari bangsa yang tidak dapat menyelesaikan
masalahnya, bahkan mereka sendiri belum tentu dapat memahami eksistensi dirinya
dengan benar. Kecuali perasaan eksistensi diri yang
1 Anton Minardi, Staf Pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unpas.
2 QS.Al-Anbiya (21):107.
3 Sikap mumin berdasarkan pada kayakinan secara rasional dan irrasional
(keterbatasan akal) akan kekuatan Allah SWT. dalam kesatuan perasaan, ucapan dan
amal perbuatan. Sikapnya mencakup keyakinan kepada Allah SWT. dan rasul-Nya
yang menjadi ketetapan hati, tiada keraguan padanya, danmelakukan perjuangan
(jihad) dengan segenap potensi harta dan jiwa yang dimilikinya di jalan-Nya (QS.
Al-Hujurat (49):14-15). dibangun atas dasar nalar reduksionis4. Sehingga perasaan
dan harapan terhadap konsep yang dibangun secara sepihak dan parsial itu sudah
barang tentu tidak akan menyelesaikan masalah, malah yang terjadi adalah masalah
lainnya akan segera timbul.
Contoh yang paling tepat adalah ketika renaissance terjadi di Barat sekitar abad 15.
Maksud hati mencari jalan keluar dari berbagai keterpurukan, tetapi karena konsep
parsial dan irrasional yang digelar hasilnya adalah keterpurukan yang lainnya
diperoleh bahkan semakin terpuruk. Konsep liberte (kebebasan) yang mencakup
kebebasan berfikir, berpendapat dan berekspresi yang pada satu sisi menghasilkan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi pada sisi lainnya menghasilkan
kehancuran moral dan keterpurukan peradaban mereka. Begitu pula prinsip egalite
(kesetaraan) dan praternite (persaudaraan) yang mereka bangun ternyata kedok
belaka. Robot dengan programnya sudah dapat dipastikan tidak akan dapat
memperbaiki eror yang menimpa dirinya, akan tetapi pabriknyalah yang dapat
melakukannya. Padahal Islam merupakan risalah yang datang dari pabrik atau
Pencipta yang membuat alam semesta ini, yang diberikan tugas untuk menyampaikan
dan menerjemahkannya juga mashum (terjaga dari kesalahan). Ketika Muhammad
(sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul) mendapati bangsanya dalam
keterpurukan bahkan diabadikan dengan istilah jahiliyah (sistem yang bodoh dan
tidak beradab)5 sedang beliau sendiri merasa tidak mampu untuk memperbaikinya
begitu juga seluruh manusia lainnya, beliau sadar bahwa ada Dzat yang serba Maha
yang menjadi kunci dari segala problem solving. Islam melalui Nabi Muhammad
SAW. sebagai penerjemahnya melakukan langkah-langkah strategisnya sebagai
berikut: pertama, renaissance dengan mensosialisasikan konsep iqra (membuka akal
fikiran, rasio dan wawasan) yaitu membuka setiap hijab (penghalang) yang
menghalangi masuknya hidayah (petunjuk) dari Allah SWT. ke dalam diri manusia.
Awal dawah tidak dimulai dengan memaksakan keyakinan bahwa Tuhan itu esa,
tetapi justru dengan membuka akal terlebih dahulu. Kedua,Desakralisasi yaitu
merubah pola pikir dan menghapuskan segala bentuk
4 Reduksionis yaitu nalar yang dibangun atas dasar perhatian atau pertimbangan
terhadap satu aspek, dan melepaskan aspek lainnya. Misalnya aspek fisik manusia,
sedangkan aspek kejiwaan manusia dan aspek lainnya seperti ruh, akal, syuur
(perasaan) dan qadla serta qodar Allah SWT.
5 Jahiliyyah adalah sistem kufur (selain Islam) yang membodohi manusia,
mengalienasi fungsi dan peranmanusia dari jati dirinya bahkan memperbudaknya
dengan hawa nafsu dan sifat-sifat syaitoniyah. Akibatnya adalah perbudakan,
penghinaan terhadap wanita dan kaum yang lemah, pemerkosaan hak asasi manusia,
kecurangan, perampokan, pembunuhan, kemaksiatan, kemusyrikan, kekejian, dan
sebangsanya.
sakralisasi terhadap materi yang tidak sepatutnya. Desakralisasi itu dilakukan
terhadaptuhan-tuhan rekaan logika dan ciptaan tangan mereka sendiri (manusia),
peran manusiayang disucikan, benda, tempat, ruh, logika dan kebiasaan yang selama
ini disakralkan.
Dibongkar kebohongannya, dibuktikan ketidakkuasaannya dan digantikan dengan
memposisikan kembali Allah SWT. sebagai satu-satunya dzat yang layak disakralkan.
Ketiga, Deslavery yaitu membebaskan segala bentuk perbudakan baik yang bentuknya
perbudakan secara ide, aktifitas dan fisik. Membebaskan rasionalitas yang fitrah
(kondisi awal manusia yang suci, selaras dan selamat) yang terbelenggu oleh otoritas
yang memaksa, kegiatan yang didasarkan perintah/kehendak/adat atasan/tokoh/nenek
moyang belaka, dan bentuk perbudakan terhadap fisik yang menjadikan wanita
sebagai setengah manusia, pemuas pria dan kelas dua dan memperjual-belikan
manusia. Semua manusia adalah sama dan yang pantas membedakannya adalah nilai
iman dan taqwa kepada-Nya, bukan atas dasar ras, golongan, pangkat, jabatan dan
harta. Keempat, reformulasi dan reorientasi paradigma yaitu mengganti setiap
paradigma yang semata berdasarkan pada materi dan penampakan secara fisik,
penilaian yang berdasarkan pada konvensi jahiliyah dan sikap serta perilaku yang

mengembangkan hawa nafsu dengan menetapkan standarstandar Allah SWT. sebagai


formula baru yang mencakup keimanan, keikhlasan, keihsanan, ketakwaan dan
kesabaran. Misalnya mempersamakan kedudukan seluruh manusia beserta hak dan
kewajibannya, mendudukkan kodrat manusiawi secara benar, dan melakukan tindakan
berdasarkan wahyu ilahi. Sedangkan orientasinya adalah kemaslahatan, keselamatan
dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga tidak ada lagi perbudakan, wanita setara
dengan pria kecuali fungsinya yang berbeda, tindakan kasar kepada Rasulullah SAW.
tidak dibalasnya dengan hal yang serupa tetapi dengan kasih saying dan doa, jihad
dan harb (perang) bukan dilakukan atas dasar kebencian tetapi karena izin Allah
SWT. dan niat untuk memberi pelajaran dan dalam rangka dawah (mengajak kepada
kebenaran), mengutus para diplomat ke berbagai negara bukan untuk memperluas
kekuasaan tetapi untuk mengeluarkan dari kondisi jahiliyah kepada cahaya Islam yang
menyelamatkan, dan lain-lain. Kelima, menjadi Master Piece yaitu selain merubah
pola pikir dan kondisi umat, tetapi juga memberikan tauladan yang indah. Tauladan
itu mencakup prinsip ajaran, perilaku, sistem kemasyarakatan, pemerintahan dan
urusan hubungan internasional. Prinsip ajaran dikodifikasi dalam Al-Quran dan As4
Sunnah yang ditulis dalam mushaf Al-Quran dan kitab hadits yang isisnya disebut
sebagai syariat Islam (hukum Islam). Perilaku dalam akhlak al-karimah (budi
pekerti) Islam. Sistem kemasyarakatan dengan mempersaudarakan antara kaum
muslimin dan antara kaum muslimin dengan non muslim dan mengadakan perjanjian
damai serta kerja sama. Sistem pemerintahan dengan membuat suatu Dustur alMadinah (Piagam Madinah) yang mencakup kepemimpinan Islam atas umat lainnya,
kesetaraan kedudukan warga negara, pemberlakuan hukum yang adil, vonis berdasar
atas hukum agama menurut pemeluknya masing-masing, toleransi, kerja sama dan
tidak berkhianat. Dan urusan hubungan internasional dilakukan atas dasar dawah
Islam dan perdamaian, dibangun atas prinsip hukum antar golongan atau hukum
internasional baik dalam kondisi damai maupun perang. Menjadi suatu kebutuhan
bahwa ketika syariat Islam itu akan diterapkan, maka diperlukan kodifikasi hukum
Islam. Ada beberapa pendapat mengenai cakupan dari lapangan hukum Islam yang
telah dirintis dari masa lampau oleh fuqaha (ahli hukum Islam). Secara umum bahwa
lapangan hukum Islam mencakup ibadah, hukum keluarga, hukum privat, hukum
pidana, siasah syariyyah dan hukum internasional6. Aspek hukum internasional
inilah yang akan menjadi topik bahasan di sini. Tujuannya adalah untuk menjawab
pertanyaan apakah Islam itu disebarkan dengan kekerasan dan terror? Dan bagaimana
konsep Islam dalam membangun peradaban dunia sepanjang masa? Tentu ini harus
dijawab dengan bagaimana Islam menetapkan prinsip-prinsip hukum internasional
dan prakteknya.
Masalah Terbesar dan Ilusi Hukum Internasional
Dalam kajian penerapan syariat Islam terdapat beberapa masalah terbesar yang
sedang berlangsung. Masalah tersebut meliputi masalah internal umat Islam yang
menyangkut perbedaan pemahaman, masalah yang melanda umat akibat invasi
besarbesaran yang dilakukan oleh Barat dan sekutunya dan landasan hukum
internasional serta pelaksanaannya yang kacau balau akibat ulah dan kepentingan
negara-negara tertentu. Masalah internal kaum muslimin adalah perbedaan
pemahaman mengenai Islam yang berkaitan dengan masalah hukum. Paling tidak
terdapat tiga kelompok. Kelompok 6 Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam. 1989:38-51. Bulan Bintang-Jakarta.
pertama, menganggap bahwa Islam hanya merupakan ajaran wahyu yang mengatur

urusan ritual atau sosial yang sifatnya amal sholeh (menyantuni). Kelompok kedua,
menganggap bahwa Islam selain mengatur urusan ritual, juga memberikan landasan
bagi praktek kehidupan sosial. Kelompok ketiga, menganggap bahwa Islam mengatur
semua urusan manusia termasuk sosial, politik, ekonomi, hukum itu sendiri dan
lainnya. Dari ketiga aliran tersebut, nampaknya penulis lebih cenderung kepada
pemahaman bahwa Islam memberikan landasan bagi setiap kehidupan manusia,
karena prinsip-prinsipnya yang universal, jangkauannya yang luas mencapai seluruh
alam, sifatnya yang fleksibel dan masa berlakunya yang sepanjang masa.
Selain itu kaum muslimin juga dilanda erosi keimanan dan hampir kehilangan
pegangan ketika invasi budaya, ekonomi dan politik Barat masuk ke negeri-negeri
muslim. Hal tersebut ditunjukkan dengan keragu-raguan terhadap sumber hukum
umat Islam yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma dan Ijtihad dan lebih cenderung
menggunakan konsep yang berasal dari budaya Barat yang dibangun atas dasar
rasionalitas dan materialitas belaka yang terkadang banyak bertentangan dengan
syariat Islam.
Contoh
yang paling konkrit adalah budaya liberal, kesetaraan jender yang melanggar kodrat,
kepemimpinan dalam keluarga dan diperparah dengan ketundukkan dari banyak
kalangan dari para pemimpin Islam terhadap pola serta strategi bahkan invasi militer
yang dilancarkan Barat yang non muslim yang telah memecah belah kaum muslimin
sehingga kehilangan izzah-nya (kekuatan dan kemuliaannya). Potensi sumber daya
alam yang dimiliki negeri muslim yang terkenal dengan tambang terutama minyak
bumi tidak dapat disyukuri sebagai alat bargain untuk meningkatkan posisi kaum
muslimin. Sebaliknya yang ada adalah tunduknya para penguasa muslim kepada
penguasa Barat dengan mengakui hak veto dan standar mata uang dollar AS beserta
sistem ribanya (rente) yang membuat ekonomi negeri-negeri muslim tak berdaya dan
terpuruk, dan sistem kapitalisme yang diformalkan ke dalam free trade dan
liberalization yang menjerat.
Kekacauan hukum internasional saat ini baik secara landasan, konsep, dan
praktek. Paling terdapat beberapa hal yang akan diungkapkan di sini yaitu: pertama,
ilusi hukum internasional. Pada tahun 1948 Majelis Umum PBB membahas tentang
pembentukan mahkamah kejahatan internasional, yang berkantor di Den Hag
Belanda.
7 QS. Al-Baqoroh (2):2, 185, Ali Imran (3):19, An-Nisa (4):163, Al-Anbiya (21):107,
Al-Maidah (5):3.
Sedangkan implementasinya dimulai 1 Juli 2002 dengan diratifikasi oleh 60 negara,
tidak termasuk Israel, Rusia, Cina dan sebagian negara-negara Arab. Contoh yang
paling mencolok adalah setelah pada tahun 2000 presiden AS Bill Clinton ikut
meratifikasinya, segera AS yang dikenal sebagai polisi dunia menarik diri dari
perjanjian tersebut karena merasa khawatir warga negaranya akan diadili. Tindakan
sepihak juga AS lakukan terhadap perjanjian mengenai misil anti-Balistik,
penolakannya terhadap Protokol Tokyo tentang Perubahan Iklim, juga terhadap
kesepakatan PBB tentang persediaan senjata.
Kedua, hukum internasional tidak bersifat universal. Catatan sejarah Universal
Declaration of Human Right membuktikan bahwa peraturan tersebut tidak dapat
diterima dan diimplementasikan secara umum. Tidak ada polisi dunia, tidak ada
pengadilan internasional yang memiliki otoritas atau wewenang penuh untuk
menyelesaikan perselisihan internasional secara tuntas dan adil. Semua terasa sebagai
sandiwara dan menjadi suatu kebohongan. Kasus Desert Fox Operation (Operasi

Serigala Gurun) yang mendapatkan penentangan dari negara-negara anggota Dewan


Keamanan PBB. Prancis, Rusia, Cina dan negara anggota lainnya ikut menetangnya
berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB9, namun Clinton dan Blair tetap melanggarnya dan
tetap mengadakan aksi sepihak. Begitu pula pemboman sepihak AS atas Sudan, dan
Afghanistan serta Irak dan milisi tidak sah ke Guantanamo oleh George W. Bush
dan lainnya.
Ketiga, penghargaan dan perdamaian dunia yang membingungkan. Penghargaan
Nobel yang semstinya diberikan kepada orang yang membawa kedamaian, ternyata
juga diberikan pada tahun 1994 kepada Yitzhak Rabin dan Shimon Peres yang semua
orang tahu pembantaiannya terhadap muslim Palestina. Pada 12 Oktober 2001 kepada
Kofi Annan atau orang-orang lainnya yang terbukti tidak mampu membatasi
peperangan, invasi negara-negara Barat ke Timur Tengah, pembantaian di Bosnia
Chechna, pertumpahan darah di Rwanda, Sierra Leone, Somalia dan banyak lagi yang
lain.
8 Salim frederiks. Political and Cultural Invasion (terjemahan). 2004:234-235.
Pustaka Thariqul Izzah-Bogor.
9 Pasal 39 Piagam PBB berisi: Dewan Keamanan harus menghentikan segala bentuk
ancaman erhadap perdamaian, pelanggaran atas perdamaian, serta aksi-aksi agresi.
10 Op.Cit. hal.240-242.
11 Ibid. hal.244-247.
Sejarah Singkat Hukum Internasional Islam
Setibanya di Madinah Rasulullah melakukan langkah-langkah strategis yaitu
pertama, membangun masjid yang kemudian dikenal sebagai masjid Nabawi. Kedua,
mempersaudarakan antara kaum muslimin tanpa mengenal latar belakang keluarga,
suku, ras dan golongan. Ketiga, membuat traktak yang dikenal dengan Madinah
Charter (Piagam Madinah), yang berisi persatuan umat Islam dan non muslim,
perjanjian perdamaian, dan perjanjian kerja sama. Di antara butir-butir terpenting
dariprinsipprinsip Piagam tersebut adalah al-musawah (persamaan kedudukan sebagai
warga), alhurriyyah (kebebasan berlandaskan syariat), al-adalah (keadilan), alukhuwwah (persaudaraan) dan at-tasamuh (toleransi). Di sinilah pemerintahan Islam
(khilafah) mulai dibangun dengan metode dan struktur pemerintahannya.
Pada saat khilafah Islam yang pertama yang berpusat di Madinah tersebut,
pemerintahan Islam telah memulai hubungan internasionalnya dengan mengirimkan
para diplomatnya untuk menyampaikan dawah Islam kepada para penguasa di
belahan yang zain di dunia. Beberapa di antaranya kepada Najasy di Habasyah
(Ethiopia), Hiroklius penguasa Romawi (Roma), Kisra penguasa Persia (Iran),
Muqauqis di Yaman, dan lainlain12.Dawah terus berkembang dan mencapai ke
negeri-negeri yang sangat jauh Selain mendapatkan kemenangan dalam merekrut
manusia ke dalam Islam, tetapi juga Islam semakin tersebar ke seluruh dunia. Persia,
Mesir, Yerussalem, Romawi dan sebagainya jatuh ke pangkuan Islam. Dalam kondisi
itulah interaksi antar manusia, kelompok dan negara tidak dapat dihindari, dan
tuntutan kepada aturan yang jelas bagi aktivitas mereka menjadi suatu keharusan
dalam bentuk kesepakatan, perjanjian dan aturan yang selanjutnya mewujud menjadi
hukum internasional. Yaitu merupakan suatu tata hukum dengan ketentuan-ketentuan

yang mengatur pergaulan antara negara dan dalam rangka itu mengatur pula hubungan
di antaranya.
12 Sejarah telah membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW. sejak tahun ke 3 hijriah
telah mengirimkanbeberapa utusan (envoys) ke negara-negara lain. Demikian juga
pada tahun ke 9 hijriah Nabi MuhammadSAW. telah menerima duta dan utusan-utusan
dari negara-negara lain, sehingga tahun ini terkenal denganjulukan tahun duta-duta.
Hamodurrahman, 1976:90-92 dan Altaf Gauhar, 1983:225-228 dan 241, dalam
H.M. Daud Ali dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik.1989: 92.
Bulan Bintang-Jakarta.Delegasi yang diterima Rasulullah SAW. pada tahun ke 9
hijrah (April 630-Maret 631) adalah dari Thaif, Kristen Najran, Bani Saad, Bani
Thayyi, Bani Tamim, Bani Hanifa, Raja-Raja Himyar, dan dari Kinda. Afzal Iqbal.
Diplomacy in Early Islam (terjemahan). 2000:49-74.
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Islam dan Realisasinya
Saat ini kita mengenal bahwa hukum internasional itu berasal dari pendapat para
ahli hukum, jurisprudensi dan perjanjian internasional yang datangnya dari Barat.
Barangkali dapat disimak apa yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yang dikenal
sebagai bapak hukum internasional bahwa hukum internasional pada hakekatnya
telah tumbuh sejak lahirnya masyarakat manusia di dunia ini, akan tetapi sebagai ilmu
yang komplittelah dilahirkan dari hukum Islam, sebab agama Islam yang dibawa oleh
NabiMuhammad SAW. yang bersumber pada Al-Quran memuat ajaran prinsipprinsiphukum internasional itu. Hal tersebut dibenarkan oleh Baron Michele de Tubb
seorangguru besar di bidang ilmu hukum internasional pada Akademi Ilmu Negara di
den Haagyang dalam salah satu pidatonya menegaskan bahwa sesungguhnya bagi
hukuminternasional itu banyak dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar yang terdahulu
diletakkanoleh aghama Islam, terutama sekali yang bertalian dengan hukum perang
dan damai (warand peace).
Misalnya di bidang hukum laut sebelum Grotius menganjurkan adanya ketetapan
dalam hukum internasional soal laut bebas dan batas-batas landas kontingen bagi
suatunegara, maka sejak di zaman Daulah Ummayah (9 abad sebelumnya), Khalifah
Umar binAbdul Aziz telah menetapkan daerah lautan bebas dan batas-batas landasan
kontingendaerah pantai. Hal tersebut terjadi dikala gubernur Afrika Utara memohon
kepadakhalifah, izin untuk melarang pedagang-pedagang Eropa Selatan yang
memasuki pantaiAfrika Utara dengan membawa barang-barang dagangan dan izin
menarik bea cukai bagi para pedagang kaum muslimin di pantai Afrika itu. Khalifah
Umar bin Abdul Azizberlandaskan QS. Al-Baqarah (2):85-86 melarang menghalangi
pelayaran di lautan bebasdan menarik bea cukai, terkecuali apabila masuk daerah
landas kontinen sesuai denganpakta perjanjian internasional yang telah disepakati
antara bangsa-bangsa mengenai daerah lautan tertutup. Begitu juga Arminazi dala
bukunya Hukum Internasional dalam Islam menjelaskan bahwa para ahli hukum
internasional di Eropa telah mengakui dimana kenyataannya dari bukti-bukti sejarah
bahwa hokum Islam menjadi sumber terpenting
13 Ali Mansur. Assyariatul Islamiyyatu wal qanunut Dalliyu alam. 1965:31-42
dalam L. Amin Widodo.
Fiqih Siasah Dalam Hubungan Internasional. 1994:6-7. Tiara Wacana-Yogya.
bagi dasar-dasar hukum internasional yang ada sekarang. Bahkan Gustave Lebon
penulis Perancis ternama mengakui bahwa renaissance di Eropa yang terjadi 9 abad
kemudian setelah lahirnya Islam, maka andil besar yang telah diberikan adalah datang
dari peradaban Islam.

Secara umum hukum internasional menurut Islam mencakup seluruh aspek baik
dalam kondisi perang maupun damai. Pelaksanaannya dapat diimplementasikan dalam
tiga wilayah yaitu: pertama, Darul Islam (Negara Islam yaitu negara yang
menerapkansyariat Islam) .
Kedua, Darul Harbi (Negara Kafir yaitu yang memerangi Negara Islam).
Ketiga, Darul Ahdi (Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara
Islam).
Adapun prinsip-prinsip dasar hukum internasional dalam Islam adalah 1). Saling
menghormati pakta-pakta dan traktat-traktat (QS.8:58, 9:4&7, 16:91, 17:34). 2).
Kehormatan dan Integrasi Internasional (QS.16:92) 3). Keadilan internasional
(QS.5:8).
4). Menjaga perdamaian (QS. 8:61) 5). Menghormati kenetralan negara-negara lain
(Non Combatants) (QS. 4:89,90). 6). Larangan terhadap eksploitasi imperialis (QS.
16:92,28:83). 7). Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam
di negara lain (QS. 8:72) 8). Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral (QS.
60:8,9). 9). Kehormatan dalam hubungan internasional (QS. 55:60). 10). Persamaan
keadilan untuk para penyerang (QS. 2:194, 16:126, 42:40-42).
Selain itu Islam menegaskan bahwa hak asasi manusia baik yang muslim maupun
non muslim, laki-laki maupun perempuan dilindungi undang-undang. 1). Hak hidup
(QS. Al-Isra:33, Al-Anam:151). 2). Hak Milik (QS. Al-Baqarah:188, An-Nisa:29).
3).Perlindungan kehormatan (QS. Al-Hujurat:11-12). 4). Keamanan dan kesucian
kehidupan pribadi (QS. An-Nur:27, Al-Hujurat:12). 5). Keamanan Kemerdekaan
pribadi (QS. Al-Hujurat:6) 6). Perlindungan dari hukuman penjara yang sewenangwenang (QS. Al-Anam:164). 7). Hak untuk memprotes kelaliman (tirani) (QS. AnNisa:148, Al-Maidah:78-79, Ali Imran:110). 8). Kebebasan ekspresi (QS. AtTaubah:71). 9). Kebebasan hati nurani (QS. Al-Baqarah:256). 10). Status warga
negara non Muslimdalam negara Islam dilindungi (Hadits Riwayat Abu Dawud). 11).
Kebebasan berserikat (QS. Ali Imran:104-105). 12) Kebebasan berpindah (QS. AlBaqarah:84-85). 13). 14 Ibid.hal. 6-8. 15 T.M. Hasbi Ash-Shidieqy. Hukum Antar
Golongan Dalam Fiqih Islam. 1391 H/1971 M:118-123. Bulan
Bintang-Jakarta. Persamaan hak dalam hokum (QS. An-Nisa:1, Al-Hujurat:13). 14).
Hak mendapatkan keadilan (QS. Asy-Syura:15). 15). Hak mendapatkan kebutuhan
dasar hidup manusia (QS. Adz-Dzariyat:19). 16). Hak mendapatkan pendidikan (QS.
Yunus:101).16 Pelaksanaannya diimplementasikan dalam hubungan internasional
Islam yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip yaitu: pertama, hubungan
internasional dilandasi dengan prinsip untuk memelihara ketertiban dan perdamaian di
dunia. Prinsip perdamaian memiliki doktrin sebagai berikut: 1). Umat manusia dan
bangsa-bangsa di dunia berasal dari satu orang, yaitu Nabi Adam as. 2). Al-Quran
telah menggariskan suatu ketentuan asasi agar manusia senantiasa menghormati
perjanjian termasuk perjanjian perdamaian. 3). Perang hanya diizinkan dalam
keadaan-keadaan khusus, yakni apabila keamanan dan pertahanan negara terancam
oleh pihak musuh. 4). Islam tidak membenarkan dan melarang paksaan dan kekerasan.
5). Islam mengajarkan agar perdamaian itu dimulai dari hubungan perorangan. Kedua,
Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar supaya memenuhi persetujuanpersetujuan dan perjanjian internasional.
Ketiga, sejak zaman Nabi Muhammad SAW. hubungan internasional dilaksanakan
dengan cara pertukaran duta atau utusan (envoys)17.
Praktek hubungan internasional menurut pandangan Islam kini adalah: 1).
Negara-negara yang ada dewasa ini dalam dunia Islam, seluruhnya dianggap berada di

dalam satu. 2). Negara-negara lain, baik yang berada di Barat maupun di Timur,
seluruhnya dianggap Darul Kuffar dan statusnya menurut syara adalah termasuk Darul
Harb. 3). Dengan negeri-negeri tersebut di atas dibolehkan mengadakan perjanjian
bertetangga baik, perjanjian perdagangan, ekonomi, perjanjian ilmiah, perjanjian
dalam bidang pertanian, dan perjanjian lainnya yang diblolehkan menurut syara. 4)
Negaranegara lain yang tidak memiliki hubungan perjanjian dengan negara khilafah
dan negaranegara imperialis Amerika, Inggris, Perancis, atau negara-negara serakah
yang ingin
menguasai wilayah kaum muslim, seperti Rusia, dianggap sebagai negara-negara
musuh (muharibah hukman) ditinjau dari segi hukum. Terhadap mereka diambila
langkahlangkah waspada dan siaga penuh, serta tidak akan diadakan hubungan
diplomatic dengan mereka. 5). Negara-negara musuh yang sedang memerangi umat
(muharibah 16 Syekh Syaukat Hussain. Human Right in Islam (terjemahan).
1996:595. Gema Insani Press-Jakarta.
17 H.M. Daud Ali dkk. Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik. 1989:8792. Bulan BintangJakarta. filan), seperti Israel, maka terhadap institusi ini diambil sikap siaga perang
sebagai asas hubungan dengan mereka (QS. An-Nisa:141, Al-Baqarah:194. 6). Negara
Khilafah tidak diperkenankan mengadakan perjanjian kerja sama militer (pakta
pertahanan militer) dengan negara-negara lain, seperti bentuk perjanjian pertahanan
bersama atau perjanjian keamanan bersama. Termasuk di dalamnya memberikan
fasilitas militer, seperti menyewakan pangkalan militer, pangkalan udara atau dermaga
kapal perang. 7). Tidak dibolehkan meminta bantuan militer kepada negara-negara
kafir, atau kepada pasukan kafir (Hadits). Dalam hal larangan ini termasuk dalam
mengambil pinjaman/hutang dan menyerahkan urusan ke tangan negara-negara kafir.
Khusus bagi negeri-negeri muslim terlebih bagi Indonesia, pelaksanaan hubungan
internasional itu hendaknya dengan komitmen melaksanakan politik bebas aktif
yang bertujuan memperjuangkan kepentingan bersama, membebaskan dari belenggu
kapitalis dan komunis serta lembaga-lembaga internasional yang menjerat, membela
umat Islam di seluruh dunia dan memajukan Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut
nampaknya perlu suatu pemerintahan yang peduli akan penerapan syariat Islam,
pemimpin yang islami dan sistem pemerintahan yang sangat mandiri dan berwibawa.
R. Subekti memberikan definisi hukum internasional sebagai suatu tata
hukum, dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar negara dan dalam
rangka itu, mengatur pula hubungan di antaranya.
J. G. Starke memberikan definisi hukum internasional sebagai keseluruhan
hukum, yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah prilaku,
yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dalam
hubungan mereka satu sama lain. Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi:
1

Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau


organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan
hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu;

Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badanbadan non-negara sejauh hak-hak dan kewajibannya yang penting bagi masyarakat
internasional.

Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum internasional adalah suatu sistem


yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban antar negara. Unsur pokok dari
sistem tersebut diwakili oleh kaidah-kaidah yang mengikat, yang membebankan
kewajiban-kewajiban dan memberikan hak-hak kepada negara-negara yang ada.
Tujuan utama adanya hukum internasional lebih mengarah kepada upaya untuk
menciptakan ketertiban, daripada menciptakan sistem hubungan-hubungan
internasional yang adil. Dalam perkembangannya, telah terbukti adanya suatu upaya
untuk menjamin secara obyektif dan terciptanya keadilan di antara negara-negara.
Dengan adanya hukum internasional, negara-negara telah memperoleh perlakuan adil,
yang tentunya tidak terlepas dari tujuan hukum bangsa-bangsa modern, untuk
menjamin keadilan bagi umat manusia. Keberadaan hukum internasional merupakan
keperluan timbal balik antar negara-negara. Tanpa adanya hukum internasional, maka
masyarakat internasional tidak dapat menikmati keuntungan-keuntungan perdagangan
dan komersial, saling pertukaran gagasan dan komunikasi rutin yang sewajarnya.
Dasar-dasar Hubungan Internasional dalam Hukum Islam
Islam sebagai agama terakhir yang diwahyukan Tuhan, berfungsi sebagai pedoman
hidup, sekaligus mengatur hidup manusia di dunia berbeda kebangsaan dan warna
kulitnya di seluruh penjuru alam. Karenanya, hukum Islam yang tegak di atas agama
Islam merupakan hukum yang bersifat alamiyah (universal), bukan hukum yang
bersifat lokal.
Dapat dipahami bahwa hukum Islam datang untuk mengatur tata perbuatan manusia,
dalam rangka persahabatan dan kerja sama antara satu bangsa dengan bangsa lain
dalam segala aspek kehidupan, untuk memenuhi hajat kebutuhan masing-masing,
dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dasar pijakan hukum Islam sebagai perundang-undangan internasional, mengacu
kepada pandangan humanitas yang sempurna, mendudukkan hak-hak asasi manusia
dengan amat mulia pada proporsi keadaan ciptaan fitrah manusia itu sendiri.
Prinsip-prinsip Internasionasionalitas dalam Hukum Islam
Hukum Islam, di samping mengatur soal-soal agama, juga mengatur persoalan
kemasyarakatan. Maksudnya, hukum Islam, di samping sebagai dasar-dasar
peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang mengatur
hubungan antara sesama manusia. Bahkan, hukum Islam bukan hanya meletakkan
dasar hubungan dalam arti yang sempit, tetapi mencakup segala aspek hidup dan
kehidupan yang ada.
Hukum Islam menjunjung tinggi huquq al-insaniyyah tanpa mengenal diskriminasi
agama, warna kulit, dan kebangsaan. Selain itu, hukum Islam juga mengakui hak
milik pribadi, namun melarang menumpuk kekayaan, merampas, dan eksploitasi.
Dengan kata lain, hukum Islam mengakui hak milik perorangan, tetapi kepentingan
sosial tidak boleh diabaikan.

Dalam skop yang lebih luas, hukum Islam menyeru agar seluruh umat manusia yang
berlainan asal dan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, menegakkan persaudaraan
kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga humanisme benar-benar terwujud dalam
kehidupan umat manusia.
Itulah sebabnya sehingga hukum Islam mengatur hubungan antara bangsa dan negara,
baik di waktu damai maupun di waktu perang. Bahkan, sampai pada mendirikan
badan internasional yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian yang terjadi di
antara mereka. Apabila ada bangsa dan negara yang tidak mau tunduk, maka dengan
kekuatan badan itu dapat memaksa menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang terjadi,
demi tergaknya kebenaran dan terjaminnya keadilan.
Prinsip-prinsip hukum Islam mengenai hukum internasional, lebih menekankan
kepada nilai-nilai moral dan etika, karena tuntutan rasa kesadaran tunduk kepada
norma-norma agama, sebab akhlaq al-karimah dijadikan sebagai landasan utama bagi
tegaknya hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa
prinsip hukum Islam yang terkait dengan hubungan internasional.
1. Etika Berperang
Perang dalam Islam adalah perang pertahanan, yang bertujuan untuk menolak
serangan dan pengamanan pelaksanaan dakwah. Perang harus berhenti jika maksud
yang dituju telah tercapai. Apabila serangan musuh telah berhenti dan mereka
cenderung kepada perdamaian, maka kaum muslimin harus menerima perdamaian
tersebut, baik dalam bentuk gencatan senjata atau dalam bentuk pembuatan perjanjian.
Apabila peperangan sedang berlangsung, para prajurit tidak dibolehkan membunuh
kaum wanita, anak-anak, dan orang tua. Selain itu, tidak dibenarkan mencincang
mayat-mayat musuh, malah wajib menutup auratnya. Ketika perang telah usai, maka
semua mayat wajib dikuburkan sebagai penghormatan kemanusiaan.
2. Tawanan Perang
Mengenai tawanan perang, Islam menempuh dua alternatif, yaitu
membebaskan dengan tubusan atau membebaskan tanpa tebusan. Alternatif pertama
diperlakukan oleh Rasulullah ketika terjadi Perang Badar, sedangkan alternatif kedua
diperlakukan oleh Rasulullah ketika terjadi fathu Makkah.
3. Perjanjian Perdamaian
Dalam Islam, perjanjian disebut dengan al-ahd, al-muahadah, atau alhudnah. Materi perjanjian tidak boleh memuat hal-hal yang terlarang atau
menghalalkan yang haram. Apabila perjanjian telah disepakati, maka kedua belah
pihak tidak boleh melakukan kecurangan, penipuan, atau memutarbalikkan isi
perjanjian. Contoh perjanjian yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah adalah Piagam
Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah.
4. Penyeleaian Sengketa

Islam menetapkan bahwa jika terjadi sengketa di antara dua golongan, maka
harus dilakukan ishlah (perdamaian). Proses perdamaian itu bisa dilakukan dalam
bentuk perundingan, penengahan, atau arbitrase.
Jika kedua belah pihak mematuhi hasil kesepakatan bersama, maka selesailah
persoalan.

2.4 KONTRIBUSI UMAT ISLAM TERHADAP POLITIK DI INDONESIA


Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang
sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu
punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era
berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak
lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas
bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya
senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa,
bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam
agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini.
Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap
era/ masa bangsa ini
1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup
panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa
kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad
ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
2. Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di
Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial
Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada masa
kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam komunisme
dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpinpemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari
penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar
Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia
berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun,
format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat
beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan

Pancasila sebagai filosofis negara.


3. Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di
dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan,
termasuk ideologi politik Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi
politik di dalam perpolitikan Islam.
Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum
skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah.
Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan
menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu
untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari
peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut
mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul
Ulama.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan
santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun
reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin
diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi
menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil
menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga
boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partaipartai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU,
dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat
Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat islam tidak boleh
lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk
memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia,
profesional, dan punya integritas diri yang tangguh.
Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung
politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan
lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai