Anda di halaman 1dari 3

Menagih Komitmen Penyedia Obat Dalam Layanan Program

JKN
Tri Muhammad Hani, dr., MARS

BPJS Kesehatan saat ini sedang gencar-gencarnya mengingatkan kepada seluruh Fasilitas
Kesehatan (Faskes) yang bekerjasama dalam pelayanan program JKN tentang substansi dari
PMK Nomor 28 Tahun 2014 BAB V Huruf A Poin 7 yang menyatakan bahwa fasilitas
kesehatan TIDAK DIPERBOLEHKAN meminta IUR BIAYA kepada peserta selama
mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Muncul surat edaran
yang meminta faskes menunjukkan komitmen terhadap kesepakatan yang telah
ditandatangani dalam bentuk spanduk dan banner berisi pernyataan pemberian pelayanan
TANPA iur biaya.
Dalam survei kepuasan konsumen yang rutin dilakukan oleh BPJS centre ternyata masih
muncul keluhan pasien terkait dengan adanya "tambah bayar" pasien atau iur biaya,
padahal pelayanan kesehatan yang diberikan sudah diupayakan semaksimal mungkin tidak
membebani pasien dengan iur biaya kecuali naik kelas perawatan atas permintaan sendiri.
Hasil penelusuran informasi ternyata memang pasien masih harus mengeluarkan uang
ketika mengambil obat. Ternyata persoalannya adalah terletak pada mekanisme pelayanan
obat di Apotek jejaring BPJS Kesehatan yang masih menarik iur biaya dari pasien dengan
alasan bahwa apotek membeli obat dengan harga REGULER (bukan harga e-katalog),
namun dibayar oleh BPJS Kesehatan dengan harga e-katalog ditambah komponen
perhitungan lain sebagaimana diatur dalam SE Menkes Nomor 31 Tahun 2014.
Benarkan Apotek jejaring BPJS dan Faskes Swasta TIDAK BOLEH membeli obat dengan
harga e-katalog ? Mari kita analisa aturan hukum dan persoalan-persoalan yang timbul di
lapangan.
Dalam PMK Nomor 28 Tahun 2014 tentang Manlak JKN Halaman 25 sudah sangat jelas
disebutkan bahwa pelayanan obat untuk peserta JKN pada fasilitas kesehatan mengacu
pada daftar obat yang tercantum dalam Fornas dan harga obat yang tercantum dalam ekatalog obat. Pengadaan obat menggunakan mekanisme e-purchasing berdasarkan ekatalog atau bila terdapat kendala operasional dapat dilakukan secara manual.
Sementara dalam PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 3 Ayat 1 mengamanatkan seluruh
Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL
Pemerintah melaksanakan pengadaan obat melalui E-Purchasing berdasarkan Katalog
Elektronik (E-Catalogue) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam peraturan yang sama yaitu PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 3 Ayat 2 khusus
mengatur untuk FKTP atau FKRTL SWASTA yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
DAPAT melaksanakan pengadaan obat berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue).
Jadi kesimpulannya adalah tidak benar bahwa faskes swasta (termasuk apotek jejaring
BPJS) yang telah bekerjasama dengan BPJS tidak boleh membeli obat dengan harga ekatalog.

Bahkan semakin ditegaskan lagi pada PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 1 bahwa PBF
yang ditunjuk oleh Industri Farmasi yang tercantum dalam Katalog Elektronik (E-Catalogue)
WAJIB memenuhi permintaan obat dari FKTP atau FKRTL SWASTA yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan dalam rangka pengadaan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (2).
Kewajiban Indsutri Farmasi ditegaskan dalam PMK Nomor 63 Tahun 2014 Pasal 5 Ayat 2
yang menyatakan bahwa Industri Farmasi yang tercantum dalam Katalog Elektronik (ECatalogue) WAJIB melaporkan realisasi pemenuhan permintaan obat dari FKTP atau FKRTL
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yang telah dilakukan oleh PBF yang ditunjuk
kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan menggunakan
contoh Formulir 1.
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk
melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Indonesia memilik banyak sekali
perusahaan Industri Farmasi, baik itu yang merupakan BUMN seperti Kimia Farma,
Indofarma dan Biofarma atau sektor swasta yang sebagian juga dikuasai oleh
Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam keseharian seringkali industri farmasi ini secara
sederhana kita sebut dengan "pabrik obat". Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya
disingkat PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam praktik sehari-hari, PBF ini sering disebut
dengan DISTRIBUTOR OBAT (Salah satu PBF BUMN Adalah PT. Rajawali Nusindo).
Lalu muncul pertanyaan, jika sudah terdapat payung hukum bahwa faskes swasta yang
bekerjasama dengan BPJS dan apotek jejaring BPJS boleh membeli obat dengan harga ekatalog namun ternyata masih muncul fakta di lapangan bahwa mereka kesulitan untuk
membeli obat dengan harga e-katalog, maka dimanakah letak persoalannya?
Permasalahan :
1. PBF atau distributor obat tidak mau menyediakan obat dengan harga e-katalog kepada
faskes swasta dan apotek jejaring BPJS karena kebijakan perusahaan. Kenapa demikian
? Ada kabar yang menyatakan bahwa PBF mulai hati-hati dan cukup ketat dalam
penjualan obat kepada faskes swasta dan apotek jejaring BPJS setelah sempat didapati
kasus di sebuah faskes swasta yang membeli obat dengan harga e-katalog namun
kemudian dijual dengan harga reguler (sesuai tarif RS) kepada pasien non peserta BPJS.
2. Penyediaan obat oleh PBF yang sudah ditunjuk untuk obat-obatan dengan harga ekatalog sangat lambat dan terkesan tidak mau melayani dengan komitmen tinggi. PBF
cenderung mengutamakan distribusi obat-obatan berdasarkan pemesanan dengan harga
reguler dibanding permintaan obat-obatan dengan harga e-katalog. Alasan paling logis
terkait hal ini tentu saja tentang besarnya profit margin PBF tersebut yang mungkin
memang sangat kecil sekali untuk obat-obatan yang harganya sudah dipangkas dalam ekatalog. Seperti kita pahami bahwa harga obat-obatan e-katalog memang jauh berada
dibawah harga obat non e-katalog karena adanya pemangkasan secara signifikans biaya
produksi dan biaya jalur distribusi.
3. Masalah yang lebih ke hulu adalah terkait ketersediaan obat-obatan yang masuk dalam
e-katalog seringkali minim atau malah kosong di industri faramsi nya. Mungkin PBF
sangat komitmen untuk melayani pemesanan obat e-katalog, namun seringkali jawaban
PBF adalah "kosong pabrik". Nah jika persoalan ini benar adanya, maka dapat kita
simpulkan bahwa masalah bukan terletak pada proses penyimpanan dan pendistribusian
akan tetapi persoalan terletak kepada komitmen Industri Farmasi untuk memproduksi
obat-obatan e-katalog.

Memang kembali harus diakui bahwa lemahnya pengawasan terhadap faskes menjadi salah
satu faktor penyebab utama persoalan ini. Sangat sulit memang mengawasi faskes dalam
pelayanan obat-obatan kepada pasien dengan membedakan pasien BPJS dan bukan peserta
BPJS. Siapa yang mampu menjamin bahwasanya semua obat yang dibeli dengan harga ekatalog HANYA akan diberikan kepada pasien peserta BPJS ? Siapa yang dapat memastikan
bahwa obat-obatan yang dibeli oleh faskes (pemerintah dan swasta) TIDAK dijual kepada
pasien bukan peserta BPJS dengan tarif RS ? Ditekankan disini bahwa peluang moral
hazzard ini tidak hanya terjadi di faskes swasta, namun faskes pemerintah pun tetap
memiliki kemungkinan yang sama sampai Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia
dapat tercapai. Dan lagi-lagi menurut saya adalah peran Badan Pengawas Rumah Sakit
(BPRS) yang belum berjalan optimal dan maksimal.
Adanya temuan kasus moral hazzard di sebuah/beberapa faskes TIDAK BOLEH menjadi
alasan pembenaran oleh industri farmasi dan PBF tidak mau melayani pembelian obatobatan dengan harga e-katalog oleh faskes dan apotek jejaring BPJS. Yang melakukan
penyalahgunaan silahkan ditindak, tapi saya yakin masih banyak faskes swasta dan apotek
jejaring yang masih tetap menjalankan pelayanan dengan baik dan benar sesuai ketentuan
yang berlaku. Tidak adil bagi faskes swasta dan apotek jejaring BPJS yang memiliki
komitmen tinggi terhadap program JKN ini jika harus terkena "getahnya".
Melakukan pemecahan masalah yang sangat rumit terkait penyedian obat-obatan dan BHP
bagi peserta program JKN sembari terus berupaya memperbaiki sistem pengadaan,
penyaluran (distibusi) juga pengawasan merupakan salah satu faktor kunci utama
keberhasilan program JKN menuju Universal Health Coverage (UHC) Indonesia tahun 2019.
Selama masalah "complicated" ini tidak diatasi, maka rasanya sangat sulit memenuhi
komitmen faskes yang tidak boleh ada iur biaya terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai