Hak Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Indonesia
Hak Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Indonesia
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................................... 3
1.2. Perumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3. Tujuan ................................................................................................................4
1.4. Pembatasan Masalah......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Euthanasia........................................................................................ 5
2.2. Jenis-jenis Euthanasia....................................................................................... 7
2.3. Tinjauan Etis Euthanasia...................................................................................9
2.4. Tinjauan Hukum HAM terhadap Euthanasia....................................................11
2.5. Tinjauan Islam terhadap Euthanasia.................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................23
B. Saran ............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum
yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah
klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah
dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat
diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diterima oleh semua
pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan
memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Euthanasia dalam perspektif HAM1 merupakan pelanggaran karena menyangkut hak hidup dari
pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan
yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Adapun Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa
manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut peraturan hukum yang terdapat dalam
buku ke-2, Bab IX Pasal 344 KUHP.
Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah sebabnya negara hukum
yang baik menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat
1 Irna Tilamuhu, Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia <
http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-hukum.html, diakses tanggal 15
September 2014.
dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu melindungi hak asasi
manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi.
Menyangkut jiwa manusia dalam KUHP terdapat pada Pasal 338, 339, 340, 341. Selain dapat membaca
bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat mengetahui bagaimana pembentuk Undang-undang
memandang jiwa manusia. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) menganggap jiwa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia yang lainnya.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3.
Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4.
Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?
1.2.5.
Bagaimana tinjauan Euthanasia dalam Agama Islam
1.3. TUJUAN
1.3.1.
Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia
1.3.2.
Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3.
Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia
1.3.4.
Untuk mengetahui tinjauan Yuridis terhadap euthanasia
1.3.5.
Untuk mengetahui tinjauan euthanasia dalam Agama Islam
1.4.METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia2 berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa
penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik
tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran
kehilangan peluang dan harapan3. Hal ini biasanya dilakukan oleh penderita penyakit parah dengan
peluang hidup yang sangat kecil. Tindakannya sendiri berupa suntik mati demi menepis penderitaan
yang berkepanjangan.
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014
4
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan4, maka dari itu dalam
mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk
mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti
yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan
dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari
segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang
membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat
diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan
dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi
kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari
euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah
menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a.
Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
euthanasia diartikan5:
b.
pasien.
Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai
berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua
kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis
euthanasia6:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan
yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak
akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat
mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan
yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
6 http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak
sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien
yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini
diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus
Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis
besarnya, yaitu7:
1.
Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati
2.
dengan "baik".
Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping,
bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala
macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
3.
4.
8 Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15
September 2014
7
dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan
memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang
memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di
Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia 9 tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi10. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan
fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya
masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang
euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi
kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang
tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan 11. Ini berkaitan dengan batas
ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu
9 Fatmanadia, Pandangan Etika dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia,
http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/
diakses tanggal 16 September 2014
10 Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
11 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105
8
tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan
medis.
B.
Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan
kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat
menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai
euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan
yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide12. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan
membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau
orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita
harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu
tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan
manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada
bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan
martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang
lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena
itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh
dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai
adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya,
ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya,
sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
12 Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15
September 2014
9
mengakui hak setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin. Kedua,
Langkah-langkah yang diambil negara-negara yang merupakan pihak pada persetujuan ini, guna
merealisasikan hak ini selengkap mungkin.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia 16. Tetapi bagaimanapun karena
masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana17 mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelangaran
pidana
yang
berkaitan
langsung
dengan
euthanasia
aktif
tedapat
padapasal
344,338,340,359,345 KUHP18.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien,
ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu
diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
11
12
ayat
Al-Quran
maupun
hadits
yang
mengharuskan
kita
untuk
sesungguhnya
benar-benar
kami-lah
yang
menghidupkan
dan
sendiri
adalah
perbuatan
melawan
hukum
Allah.
Begitu
besarnya
penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau
menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash
atau diyat).
19 Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.
13
Syeikh
Ahmad
Musthafa
al-Maraghi
menjelaskan
bahwa
pembunuhan
(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu
dari 3 sebab yaitu :
a. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
b. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
c. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah
Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau
diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan
menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya).
Oleh karena itu, ia tidak boleh diabaikan apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya
hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan
untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan
pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai
suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya.Bahwa perintah
korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.
tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang
diharamkan21.
Dalil-dalil
dalam
masalah
ini
sangatlah
jelas
yaitu
dalil-dalil
yang
Janganlah
kalian
membunuh
jiwa
yang
diharamkan
Allah
(untuk
Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).
21 Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.
22 http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html diakses pada tanggal 17 September 2014
16
[
]
Tidaklah
suatu
menghapuskan
musibah
dengan
menimpa
musibah
itu
seseorang
dosanya,
Muslim,
hatta
kecuali
sekadar
duri
Allah
yang
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum berobat adalah mandb, tidak
wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarnah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
23 Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22
17
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik,
bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, Ya Rasulullah, haruskah kami
berobat?
Rasulullah saw bersabda, Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah
kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia
membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk
berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi
wajib. Ini sesuai dengan kaidah:
Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan.(AnNabhani, 1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan
tersebut
bersifat
wajib.
Qarnah
yang
ada
dalam
hadis-hadis
lain
juga
18
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir
ini menjadi indikasi (qarnah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandb),
bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998: 69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien
telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk
aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib 24. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh
(j'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh
pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien
(Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003: 182).
Mempercepat
kematian
tidak
dibenarkan.Tugas
dokter
adalah
kedokteran,
ahli
hukum
pidana,
maupun
para
ulama
sepakat
membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien
sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
24 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105
19
kepastian hidup25. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3
organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak
besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi
pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di
RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari
yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih
lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup
memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat
kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan
terhenti pula fungsinya26. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak,
tetapi jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami
pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh
dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen,
pemacu jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai
langkah menyempurnakan kematian.
BAB III
PENUTUP
2.1. SIMPULAN
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis
karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.
25 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105
26 Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22
20
Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum
Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang
menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja.
Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai
Pidana Indonesia.
Euthanasia dalam pandangan hukum islam merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum dan
termasuk dalam kategori pembunuhan. Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri baik
dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain, karena Yang berhak mengakhiri hidup seseorang
hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang
bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh
diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2.2.SARAN
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya
dikemukakan saran-saran berikut :
1
Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak
memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh,
maka dapat dilakukan dua cara :
a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi
menghendaki kematiannya.
Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala
musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
21
Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya,
sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
-Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
-M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999),
h.105
-Adnan Buyung Nasution dan patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,
(Jakarta; Yayasan Obor, 2000), h. 88
-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm.
-S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEMPATEHEAN, 1989), h.496
SUMBER PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SUMBER LAINNYA
http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia
Denissa Ningtyas, Euthanasia, http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia
http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati
http://JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia-Tinjauan-dari-Segi-Medis,Etis,dan,Moral
Arli Aditya Parikesit, http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatutinjauan-bioetika
Irna
hukum.html
http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/
Fatmanadia,
http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-
undangan-tentang-euthanasia/
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html
Tilamuhu,
http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-
23