Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNYA
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul Euthanasia di tinjau dari segi Etis, Hukum
HAM dan Agama Islam.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata kuliah Hukum dan
HAM di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca dan bagi
pengembangan ilmu hukum khususnya Hukum HAM.

Mataram, 18 September 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................................... 3
1.2. Perumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3. Tujuan ................................................................................................................4
1.4. Pembatasan Masalah......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Euthanasia........................................................................................ 5
2.2. Jenis-jenis Euthanasia....................................................................................... 7
2.3. Tinjauan Etis Euthanasia...................................................................................9
2.4. Tinjauan Hukum HAM terhadap Euthanasia....................................................11
2.5. Tinjauan Islam terhadap Euthanasia.................................................................15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................23
B. Saran ............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum
yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah
klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah
dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat
diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diterima oleh semua
pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan
memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Euthanasia dalam perspektif HAM1 merupakan pelanggaran karena menyangkut hak hidup dari
pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan
yang baru dan lengkap tentang euthanasia. Adapun Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
guna pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang menyangkut jiwa
manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah tersebut peraturan hukum yang terdapat dalam
buku ke-2, Bab IX Pasal 344 KUHP.

Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah sebabnya negara hukum
yang baik menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat

1 Irna Tilamuhu, Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia <
http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-hukum.html, diakses tanggal 15
September 2014.

dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu melindungi hak asasi
manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi.
Menyangkut jiwa manusia dalam KUHP terdapat pada Pasal 338, 339, 340, 341. Selain dapat membaca
bunyi pasal-pasal itu sendiri, kita pun dapat mengetahui bagaimana pembentuk Undang-undang
memandang jiwa manusia. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) menganggap jiwa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga, dibandingkan dengan milik manusia yang lainnya.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3.
Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4.
Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?
1.2.5.
Bagaimana tinjauan Euthanasia dalam Agama Islam
1.3. TUJUAN
1.3.1.
Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia
1.3.2.
Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3.
Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia
1.3.4.
Untuk mengetahui tinjauan Yuridis terhadap euthanasia
1.3.5.
Untuk mengetahui tinjauan euthanasia dalam Agama Islam
1.4.METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia2 berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa
penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik
tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran
kehilangan peluang dan harapan3. Hal ini biasanya dilakukan oleh penderita penyakit parah dengan
peluang hidup yang sangat kecil. Tindakannya sendiri berupa suntik mati demi menepis penderitaan
yang berkepanjangan.
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014
4

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan4, maka dari itu dalam
mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk
mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti
yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan
dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari
segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang
membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat
diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan
dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi
kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari
euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah
menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a.

Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
euthanasia diartikan5:

b.

Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.


Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan

pasien.
Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan

nama Allah dibibir.


Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.
3 Denissa Ningtyas, Euthanasia, < http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia,diakses tanggal 15 September
2014.
4 http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati/,diakses pada tanggal 15 September
2014
5 Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15 September 2014

Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai
berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua
kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis
euthanasia6:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan
yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak
akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat
mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan
yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.

4. Euthanasia involunter
6 http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak
sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien
yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini
diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus
Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis
besarnya, yaitu7:
1.
Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati
2.

dengan "baik".
Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping,
bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala
macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek

3.

kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja


Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan

4.

bertentangan dengan pasien.


Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang
disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.

2.3. TINJAUAN ETIS EUTHANASIA


A. Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah
untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan 8. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan
7 http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada tanggal 15
September 2014 >> http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia diakses pada tanggal 15 September 2014

8 Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15
September 2014
7

dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan
memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang
memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di
Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia 9 tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi10. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan
fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya
masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien,
kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang
euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi
kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang
tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan 11. Ini berkaitan dengan batas
ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu
9 Fatmanadia, Pandangan Etika dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia,
http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/
diakses tanggal 16 September 2014
10 Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005

11 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105
8

tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan
medis.
B.

Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi dan
kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat
menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai
euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan
yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide12. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan
membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau
orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita
harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu
tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai kesucian kehidupan (the sanctity of life). Kehidupan
manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik (ada
bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia). Keberadaan
martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang
lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena
itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh
dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai
adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya,
ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya,
sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
12 Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada 15
September 2014
9

2.4. TINJAUAN HUKUM HAM EUTHANASIA


Prosfek Hukum HAM Terhadap Perlindungan Hak Hidup Dari Praktek Euthanasia
Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak sosial, satu dan lain
karena pemeliharaan kesehatan (termasuk pelayanan kesehatan) sebagai sistem memberikan ruang dan
peluang kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan,
disediakan atau ditawarkan oleh pergaulan hidup, Leenen menyebutkan hak-hak partisipasi
(participatie rechten), dan isi hak-hak ini sedang berkembang seiring dengan kemajuan masyarakat.
Jadi hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab (bandingkan Pasal 29 Universal Declaration of
Human Rights, yang berbunyi: "Everyone has duties to the community" dan seterusnya). Dan salah satu
tanggung jawab ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak untuk
menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan mempunyai jangkauan yang
luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas pelayanan kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan
hak orang sakit, setidak-tidaknya hak orang yang mencari pelayanan kesehatan.
Dalam Pasal 25 Universal Declaration Of Human Rights 13 tercantum ketentuan-ketentuan yang
rnenyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan14, yang secara tidak langsung berkaitan dengan hak
atas pelayanan kesehatan, sebagai berikut: Pertama, Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang
layak bagi kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan, pakaian,
dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan. Hak-hak ini mencakup hak
atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit, cacat, usia lanjut atau kehilangan mata
pencaharian, yang disebabkan oleh situasi dan kondisi diluar kehendak yang bersangkutan. Kedua, Ibu
dan anak mempunyai hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun
diluar kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama15.
Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan definitif Perserikatan
Bangsa-bangsa sebagai berikut: Pertama, Negara-negara yang merupakan pihak dalam persetujuan ini
13 http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/,diakses 16 September 2014
14 Haryadi, Masalah Euthanasia dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia, http://onlinejournal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/ diakses tanggal 16 September 2014.
15 Adnan Buyung Nasution dan patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta;
Yayasan Obor, 2000), h. 88
10

mengakui hak setiap orang atas kesehatan tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin. Kedua,
Langkah-langkah yang diambil negara-negara yang merupakan pihak pada persetujuan ini, guna
merealisasikan hak ini selengkap mungkin.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia 16. Tetapi bagaimanapun karena
masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka
satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana17 mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelangaran

pidana

yang

berkaitan

langsung

dengan

euthanasia

aktif

tedapat

padapasal

344,338,340,359,345 KUHP18.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien,
ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu
diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.

16 Fatmanadia, Pandangan Etika dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia,


http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/,
diakses tanggal 16 September 2014
17 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm.
18 S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEM-PATEHEAN, 1989), h.496

11

Pasal 340 KUHP:


Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selamalamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP
tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu
(zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling
berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut
mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan
yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang.
Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

2.5 Pandangan Islam Terhadap Euthanasia


1 Kedudukan jiwa dalam Islam

12

Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup


banyak

ayat

Al-Quran

maupun

hadits

yang

mengharuskan

kita

untuk

menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs)19. Meskipun jiwa


merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau nafs itu
adalah :
a. Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 :
Dan

sesungguhnya

benar-benar

kami-lah

yang

menghidupkan

dan

mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi.


b. Menurut Surat Al-Najm ayat 44 :
Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa
milik

sendiri

adalah

perbuatan

melawan

hukum

Allah.

Begitu

besarnya

penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau
menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash
atau diyat).

2 Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati


Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syari).

19 Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.

13

b. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan


nyata maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material
(rukun maddi).
c. Pelaku yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral
(rukun abadi).
Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan 20. Aspek
tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk
mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan
pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
berikut :
a. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan
lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah
lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah
tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka
supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih nyaman
yaitu melalui euthanasia.
b. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
c. Kemungkinan lain bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan
dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang
bisa atau boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firmanNya dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-Anam : 151) :
Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar.
20 http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html diakses pada tanggal 17 September
2014
14

Syeikh

Ahmad

Musthafa

al-Maraghi

menjelaskan

bahwa

pembunuhan

(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu
dari 3 sebab yaitu :
a. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
b. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
c. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah
Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau
diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan
menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya).
Oleh karena itu, ia tidak boleh diabaikan apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya
hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan
untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan
pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai
suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya.Bahwa perintah
korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.

3 Hukum Euthanasia dalam Islam


a Euthanasia Aktif
Syariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-amd). Walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap
haram walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Tindakan
15

tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang
diharamkan21.
Dalil-dalil

dalam

masalah

ini

sangatlah

jelas

yaitu

dalil-dalil

yang

mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun


diri sendiri22, misalnya firman Allah Swt.:








Janganlah

kalian

membunuh

jiwa

yang

diharamkan

Allah

(untuk

membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-Anam


[6]: 151).











Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).

Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita)


tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang
tidak

diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.

Rasulullah SAW bersabda:

21 Maulana Abdul Ala Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h.21.
22 http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html diakses pada tanggal 17 September 2014

16



[












]

Tidaklah

suatu

menghapuskan

musibah

dengan

menimpa

musibah

itu

seseorang
dosanya,

Muslim,

hatta

kecuali

sekadar

duri

Allah
yang

menusuknya.(HR al-Bukhari dan Muslim).


b Euthanasia Pasif
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori
menghentikan pengobatan23. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadwi) itu sendiri : apakah berobat itu wajib, mandb
(sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak
wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan
ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003: 180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum berobat adalah mandb, tidak
wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarnah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.

23 Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22
17

Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik,
bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, Ya Rasulullah, haruskah kami
berobat?
Rasulullah saw bersabda, Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah
kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia
membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk
berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi
wajib. Ini sesuai dengan kaidah:





Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan.(AnNabhani, 1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan
tersebut

bersifat

wajib.

Qarnah

yang

ada

dalam

hadis-hadis

lain

juga

menunjukkan bahwa perintah di atas tidak wajib.


Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa seorang
perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,
"Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap
auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw.
Lalu berkata, "Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu."
Perempuan itu berkata, "Baiklah aku akan bersabar." Lalu dia berkata lagi,
"Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh].Karena itu,
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap." Nabi saw, kemudian
berdoa untuknya. (HR Bukhari).

18

Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir
ini menjadi indikasi (qarnah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandb),
bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998: 69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien
telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian
otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan
bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk
aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib 24. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh
(j'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh
pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien
(Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003: 182).
Mempercepat

kematian

tidak

dibenarkan.Tugas

dokter

adalah

menyembuhkan, bukan membunuh.Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan


kepada keluarga.Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari
kalangan

kedokteran,

ahli

hukum

pidana,

maupun

para

ulama

sepakat

membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien
sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
24 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105

19

kepastian hidup25. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3
organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak
besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi
pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di
RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari
yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih
lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup
memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat
kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan
terhenti pula fungsinya26. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak,
tetapi jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami
pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh
dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen,
pemacu jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai
langkah menyempurnakan kematian.

BAB III
PENUTUP
2.1. SIMPULAN

Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis
karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.

25 M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999), h.105
26 Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h.22

20

Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum
Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang
menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja.
Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai

membantu terlaksananya bunuh diri.


Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya
sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam
dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi

seperti ini sama dengan pembunuhan.


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia.
Euthanasia dalam pandangan hukum islam merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum dan
termasuk dalam kategori pembunuhan. Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri baik
dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain, karena Yang berhak mengakhiri hidup seseorang
hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang
bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh
diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.

2.2.SARAN
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya
dikemukakan saran-saran berikut :
1

Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak
memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh,
maka dapat dilakukan dua cara :
a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi
menghendaki kematiannya.

Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala
musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
21

Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya,
sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
-Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
-M.Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999),

h.105
-Adnan Buyung Nasution dan patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,
(Jakarta; Yayasan Obor, 2000), h. 88
-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm.
-S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni AHAEMPATEHEAN, 1989), h.496
SUMBER PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 36/2009 tentang Kesehatan

-UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM

UU No. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran

KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)


KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
DUHAM (Declaration Universal HAM)
22

SUMBER LAINNYA

http://id.wikipedia.org/wiki/Euthanasia
Denissa Ningtyas, Euthanasia, http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia
http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/euthanasia-hak-untuk-mati
http://JohnkoplosWeblog.com/Euthanasia-Tinjauan-dari-Segi-Medis,Etis,dan,Moral
Arli Aditya Parikesit, http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatutinjauan-bioetika

Irna

hukum.html
http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/
Fatmanadia,
http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-

undangan-tentang-euthanasia/
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Euthanasia.html

Tilamuhu,

http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-aspek-

23

Anda mungkin juga menyukai