Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Kampanye

merupakan

kegiatan

mempersuasi

pemilih

yang

bertujuan

untuk

meningkatkan elektabilitas dan popularitas. Pemilihan legislatif sebagai salah satu event pemilu
yang secara serentak diadakan di seluruh Indonesia ikut meramaikan dinamika politik khususnya
pada pemilu 2009. Para caleg yang ikut serta dalam pemilihan legislatif tentunya memiliki cara
kampanye yang berbeda dengan caleg lainnya. Kampanye yang merupakan sarana untuk
pencapaian cita-cita politik. strategi menjadi akan menjadi sangat penting guna pemenangan
pemilu serta cita-cita yang diinginkan caleg dan partai partai pengusung untuk kedepannya. Pada
pemilu 2009, partai-partai dan para caleg bersaing ketat untuk mendpatkan kursi legislatif serta
target-target tertentu yang diinginkan. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana strategi kampanye yang dilakukan oleh para mayoritas caleg dalam pemilu legislatif
2009, sehingga berhasil mendapatkan kursi di legislatif.
Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan pengambilan keputusan,
kebijakan publik, dan alokasi atau distribusi. Kekuasaan merupakan salah satu konsep politik
yang banyak dibahas, sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu politik khususnya. Politik
bahkan dianggap identik dengan kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri berarti suatu hubungan
dimana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain kearah tujuan dari pihak pertama.
Di beberapa negara demokrasi, pemilihan umum dianggap sebagai lambang kehidupan
demokrasi sekaligus nilai ukur dari demokrasi itu sendiri. Tetapi, pemilihan umum bukan
merupakan satu-satunya nilai ukur karena perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa
kegiatan lain seperti kampanye, propaganda, lobi dan negosiasi. Salah satu kegiatan yang paling
menonjol dilakukan oleh partai politik untuk memenangkan partainya dalam pemilihan umum
tidak terlepas dari strategi kampanye dan propaganda. Makalah ini akan membahas strategi
kampanye dan propaganda salah satu partai besar di Indonesia yakni Partai Demokrat. Partai
yang berlambangnya Mercy ini menjadi satu-satunya partai politik era reformasi yang mampu

menjadi partai politik besar dan memenangkan kembali pemilu tahun 2009 yang merupakan
pemilu ketiga pasca Orde Baru dari pemilu 1999 dan 2004 yang dinilai sukses oleh berbagai
pihak karena mampu mengantarkan Indonesia pada transisi dan konsolidasi demokrasi.
Dewasa ini, fenomena-fenomena baru yang unik mengenai pelaksanaan kampanye itu
sendiri. Banyak pergeseran pola pikir masyarakat maupun para politisi dalam menyikapi event 5
tahunan tersebut. Pergeseran itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kemajuan zaman maupun
kondisi sosial ekonomi yang terus berkembang. Fenomena kampanye antara lain juga dapat di
ketahui melalui:
1. Adanya temuan perbedaan dana kampanye yang tersedia (yang dilaporkan) dengan
dana kampanye yang digunakan; (Tidak bermanfaat bagi rakyat/manfaat sesaat
bersifat generik dan investasi politik bagi pengusaha)
2. Kampanye ternyata memerlukan dana yang luar biasa besar (Apakah makin dana
besar untuk kampanye makin efektif?)
Karena hal-hal tersebut diatas lah yang juga dapat dibaca oleh masyarakat sebagai sebuah
temuan fakta baru yang akan menjadikan perubahan persepsi tersendiri bagi masyarakat sebagai
objek kampanye secara utuh. Oleh karena itu, maka rasa tidak puas publik kepada kampanye
menurut Lipsitz menyarankan kampanye diarahkan pada diskusi yang lebih substansial tentang
isu-isu kampanye, memeperbaharui cara peliputan kampanye, sampai mengusulkan agar para
kandidat/politisi mendatangani codes of conduct (tata cara bertingkah laku dalam kampanye)
yang mengharuskan wacana kampanye yang lebih humanis tidak provokatif.
Kampaye pemilihan umum menyajikan peluang yang sangat baik untuk meneliti
konsekuensi komunikasi. Berkaitan dengan pemberian suara dan tindakan memberikan suara
ialah upaya untuk mempersuasi rakyat melalui propaganda, periklanan, dan retorika yang
diuraikan dalam teknik persuasi kampanye yang dilukiskan dalam opini dan minat khalayak
massa dan akibat komunikasi pada sosialisasi dan politisasi. Kita akan menelaah konvergensi
berbagai arah persuasi ini dalam setting politik pemilihan umum. Tekanannya ada dua: pertama
pada karakter pemberian suara sebagai konstruksi sosial dan personal yang aktif dari opini
politik, dan kedua pada cara pemilih memperhitungkan komunikasi kampaye dalam membentuk
opini mereka.
1.2.

Tujuan Penulisan :
1. Untuk mengetahui pemberian suara.

2.
3.
4.
5.
6.

Untuk mengetahui tindakan pemberian suara.


Untuk mengetahui definisi kampanye.
Untuk mengetahui strategi komunikasi dalam pembrian suara.
Untuk mengetahui citra pemberian suara.
Untuk mengetahui fungsi kampanye.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.

Pemberian suara dan tindakan pemberian suara: Pandangan alternatif


Orang paling banyak diterpa komunikasi persuasif kampanye adalah yang paling

cenderung telah sampai kepada putusan pemberian suara; yang paling besar kemungkinannya
dipengaruhi oleh imbauan persuasif adalah yang paling sedikit minatnya terhadap politik dan,
karena itu, paling sedikit kemungkinannya memperhatikan komunikasi kampanye.

2.2.

PEMBERIAN SUARA
Dalam studi pemberian suara kita dapat menurunkan empat cara alternatif dalam

memikirkan bagaimana pemberi suara bertindak. Perspektif ini membantu kita dalam
merumuskan pandangan tentang pemberian suara sebagai tindakan komunikasi. Keempat cara
alternatif tersebut yaitu:
1) Pemberi Suara Yang Rasional
Pemberi suara yang rasional adalah pemberi suara berdasarkan aksi atau tindakan dari diri
sendiri dalam menentukan pilihan, orang-orang yang rasional dalam memberikan suara memiliki
ciri-ciri: selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatifalternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila
dibandingkan dengan alternatif yang lain, menyusun alternatif-alternatif dengan cara transitif:
jika A disukai dari pada B, dan B lebih disukai dari pada C, maka A lebih disukai dari pada C,
selalu memilih alternatif yang peringkat preferensinya lebih tinggi, dan selalu mengambil
putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama. Pemberi suara yang
rasional selalu dimotivasi untuk bertindak jika dihadapkan pada pilihan politik, berminat secara
aktif terhadap politik sehingga memperoleh informasi cukup dan berpengetahuan tentang
berbagai alternatif, berdiskusi tentang politik sebagai cara untuk mencapai suatu peringkat
alternative, dan bertindak berdasarkan prinsip. Bukan secara kebetulan atau serampangan, atau
kebiasaan melainkan berkenaan dengan standar yang tidak hanya untuk kepentingan diri pribadi
tetapi menyangkut kepentingan orang lain atau umum. Dengan demikian pemberi suara yang
rasional yang bermotifasi diri, terinformasi, dan berprinsip itu bertindak secara konsisten dalam
menghadapi tekanan dan kekuatan politik.

2) Pemberi Suara Yang Reaktif


Gambaran tentang pemberi suara yang reaktif seperti yang diterangkan bahwa manusia
bereaksi terhadap rangsangan dengan cara pasif dan terkondisi. Dalam kampanye politik,
kandidat dan partai menyajikan syarat yang menggerakkan para pemilih dengan memicu faktorfaktor jangka panjang yang menetapkan arah perilaku dalam memberikan suara. Para peneliti
mengumpulkan banyak sekali data yang mengesahkan tentang atribut sosial dan demografi yang
berkolerasi dan demografi yang berkorelasi dengan keputusan dalam memberikan suara, ukuran
kelas dan demografi yang berkorelasi dengan keputusan dalam memberikan suara. Ukuran kelas
sosial termasuk pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan atribut usia, jenis kelamin, ras, agama,
wilayah tempat tinggal, dan sebagainya.
Sebagai contoh pandangan bahwa pemberi suara bereaksi terhadap pemilihan umum
berdasarkan faktor-faktor sosial dan demografi jangka panjang, indeks ini terdiri atas
seperangkat kategori sosio-demografi-agama, status sosio-ekonomi, dan tenpat tinggal
diperkotaan-pedalaman-yang membantu para peneliti dalam menerangkan pemberian suara.
Bergantung pada posisi seseorang pada indeks itu, kita bisa mengatakan arah mana yang akan
diambil oleh orang itu dalam memberikan suara sebagai contoh di Amerika partai demokrat jika
ia katolik, status rendah, dan penghuni perkotaan, partai republik jika ia protestan, status tinggi,
dan penghuni pedesaan. Jika para pemberi suara memiliki karakteristik yang membuat mereka
cenderung kesatu arah, tapi karakteristik lain yang lain membuat mereka cenderung kearah yang
berlawanan (misalnya protestan, penghuni kota, pekerja kasar, maka tekanan silang ini
menyebabkan mereka terombang ambing dan tidak menentu.
Studi tentang pemberi suara pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an beralih dari
tekanan pada korelasi demografi kepada pandangan sikap bahwa dalam kerja sama yang erat
dengan atribut, membuat para pemberi suara cenderung berperilaku dengan cara tertentu.
variable penengah mentalistik (sikap, prediposisi, identifikasi, kesetiaan, dan sebagainya).
Berfungsi sebagai konstruk perantara dalam urutan penyebab-akibat yang menggambarkan
pemberi suara sebagi jelas pasif dan mekanistik.

Sifat-sifat fisik dan sosial (atribut)

Gerakan Pasif (memberikan suara)

Konstruk

Mentalistik (sikap)

Diantara konstruk-konstruk yang menghubungkan pengaruh sosial dengan pemberian


suara, yang paling penting bagi pemberi suara yang reaktif ialah ikatan emosional kepada partai
politik. Ikatan emosional pada partai sebagai :identifikasi partai yakni sumber utama aksi diri
pemberi suara yang reaktif. Sekedar mengasosiasikan lambang partai dengan nama kandidat
mendorong mereka yang mengidentifikasi diri dengan partai untuk mengembangkan citra yang
lebih menguntungkan tentang catatan dan pengalamannya, kemampuannya, dan

atribut

personalnya. Oleh karena itu, identifikasi dengan partai meningkatkan tabir perseptual. Melalui
tabir itu individu melihat apa yang menguntungkan bagi orientasi kepartaiannya, semakin kuat
ikatan parati itu semakin dibesar-besarkan proses seleksi dan distorsi persepsi.
Fokus pada hubungan atribut, sikap sebagai penyebab utama memberikan suara
membangkitkan skeptisisme bahwa kapasitas komunikasi politik dalam kampanye memilki
akibat memicu yang lebih dari minimal. Kesetian kepada partai, misalnya hanya sedikit sekali
berkaitan dengan perhatian para pemilih terhadap isu atau masalah kebijakan. Kesetian partai
diturunkan dari ikatan emosional terhadap lambang yang diperoleh pada masa awal proses
sosialisasi.
Dimulai pada pertengahan tahun 1960-an, semakin banyak sarjana yang merasa ragu atas
gambaran pemberi suara yang reaktif dari pemilih, presisi seperti ketika studi tentang pemberi
suara yang menimbulkan model reaktif menghadapi gambaran tentang pemberi suara yang
rasional. Yang jelas, hasil sejumlah besar pemilihan kepresidenan menyimpang dari apa yang
diharapkan oleh para peneliti berdasarkan anggapan bahwa rakyat memberikan suara terutama
berdasarkan atribut sosial atau kesetiaan terhadap partai yang kekal.
Petunjuk lainnya bahwa atribut yang tetap tidak selalu mempengaruhi arah pemberian
suara partisan ialah fakta bahwa sebenarnya seluruh kategori sosial dan demografi mengalihkan
dukungannya diantara partai-partai dalam pemilihan umum yang satu kepemilihan umum yang
lainnya. Survey menunjukkan bahwa perhatian rakyat meningkat, baik terhadap isu maupun

terhadap kebijakan , dan sering menempatkan diri mereka di belakang barisan kandidat
berdasarkan persepsi mereka tentang posisi isu dan mutu pribadi kandidat tersebut.

3) Pemberi Suara Responsif


Ilmuwan politik Gerald pomper membuat gambaran tentang pemberi suara yang
responsiv. Apabila karakter pemberi suara yang reaktif ( yang oleh pomper disebut pemberi suara
yang dependen) itu tetap stabil, dan kekal maka pemberi suara yang responsiv adalah pemberi
suara yang memiliki karakter impermanen, berubah mengikuti waktu, peristiwa politik, dan
pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara. Ada beberapa perbedaan
antara pemberi suara yang reaktif dengan pemberi suara yang responsiv , yaitu:

Meskipun pemberi suara yang responsive dipengaruhi oleh karakteristik sosial


demografis mereka, pengaruh yang pada hakikatnya merupakan atribut yang permanen

ini tidak deterministik.


Pemberi suara yang responsiv juga memiliki kesetiaan kepada partai, tetapi ini juga lagilagi tidak menentukan perilaku pemilihan. Sebenarnya, ikatan kepada partai itu lebih
rasional ketimbang emosional. Sebab dengan mengasosiasikan partai dengan isu, pemberi
suara yang responsiv secara rasional mengurangi biaya partisipasi pribadinya ( yaitu,
pemberi suara itu menggunakan partai sebagai jalan pintas untuk mengumpulkan
informasi tentang isu) dan secara efektif mengungkapkan kepentingan personal. Apabila
pemberi suara yang reaktif mengidentifikasikan dirinya dengan partai sebagai pengganti
untuk melakukan pertimbangan yang independen, maka identifikasi partai pada pemberi

suara yang responsiv membantunya dalam tugas membuat pilihan.


Pemberi suara yang responsiv lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka pendek yang
penting dalam pemilihan umum. gambaran pemberi suara yang responsif bukanlah
gambaran tentang pemilih yang dibelenggu oleh determinan sosial atau digerakkan oleh
dorongan bawah sadar yang dipicu oleh propagandis yang luar biasa terampilnya. ia lebih
merupakan gambaran tentang pemilih yeng digerakkan oleh perhatiannya terhadap
masalah pokok dan relevan tentang kebijakan umum, tentang prestasi pemerintah dan
tentang kapribadian eksekutif.

Bagian yang dominan dari gambaran pomper tentang wajah pemberi suara yang responsif
terdiri atas pilihan yang dapat dipilih oleh pemilih dalam setiap kampanye tertentu. Variasi dalam
rangsangan yang diberikan oleh kepemimpinan politik, partai, dan kandidat sangat penting dalam
pandangan pemberi suara karena tanggapan rakyat akan sangat dikondisikan oleh rangsangan ini.
Jika potret pemberi suara yang reaktif mengandalkan sifat aksional diri untuk
menerangkan perilaku dalam pemilihan umum ( determinan sosial, demografi, dan partisipan
dalam putusan pemberi suara) potret pemberi suara yang responsif berfokus pada sifat-sifat
interaksional, yaitu pemberi suara dan pilihan kampanye dipandang sebagai bagian-bagian yang
independen dari mesin yang bekerja di dalam gesekan yang sangat banyak.

4) Pemberi Suara Yang Aktif


Kita kembali mengingat bahwa manusia bertindak terhadap objek berdasarkan makna
objek itu bagi mereka. Manusia harus dipandang sebagai organisme yang harus berurusan
dengan apa yang dilhatnya. Ia menghadapi apa yang dilihatnya dengan melakukan proses
indikasi diri yang di dalamnya ia membuat suatu objek dari yang dilihatnya, memberinya makna
dan menggunakan makna itu untuk sebagai dasar untuk mengarahkan tindakannya. Perilakunya
terhadap apa yang dilihatnya bukanlah tanggapan yang ditimbul oleh penyajian apa yang
dilihatnya, melainkan merupakan tindakan yang timbul dari interpretasi yang dibuat melalui
proses indikasi diri. Dalam pengertian ini manusia yang melakukan interaksi diri bukan sekedar
organisme yang menanggapi, melainkan organisme yang bertindak, organisme yang harus
membentuk arah tindakan berdasarkan apa yang diperhitungkannya, bukan hanya melepaskan
tanggapan terhadap permaianan suatu faktor pada organisasinya.
Rangsangan kampanye politik membangkitkan tanggapan tidak dapat dianggap seragam
dalam pikiran setiap orang. Ada yang memperhatikan kampanye dengan cermat, barangkali
terlibat secara aktif, yang lainnya hanya melirik sedikit dan banyak yang sama sekali tidak
mengindahkannya.
Bila dipandang seperti ini, maka rangsangan atau pilihan yang diberikan kepada para
pemberi suara dalam kampanye politik tidak lagi tetap atau terbagi merata keseluruh pemilih

ketimbang atribut sosial dan kecenderungan pemilih. Akan tetapi, isi komunikasi kampanye
bervariasi dalam penyajian oleh media.
Keterlibatan aktif mencakup orang yang menginterpretasikan peristiwa, isu, partai, dan
personalitas, dengan demikian menetapkan dan menyususn maupun menerima serangkaian
pilihan yang diberikan. Para pemberi suara memutuskan citra tentang apa yang diperhitungkan
oleh mereka, citra yang sangat bervariasi, dan secara terus menerus. Dengan demikian tindakan
pemberian suara adalah tindakan komunikasi.

2.3.

TINDAKAN PEMBERIAN SUARA


Banyak pertimbangan yang diperhitungkan kedalam proses yang digunakan oleh pemberi

suara untuk menetapkan putusan mereka. Tiga diantaranya sangat signifikan dalam membentuk
latar belakang pemberi suara mempersepsi komunikasi tentang isu dan kandidat yang diterima
selama kampanye yaitu terdisi atas: atribut, perspektif, dan persepsi pemberi suara.

1)

Atribut Pemberi Suara: karakteristik sosial dan demografi

Banyak diantara penelitian terdahulu tentang pemberi suara, membedakan atribut sosial dan
demografi dari pemberi suara partisan dan independen. Studi menunjukkan pada pertengahan
tahu 1960-an menyingkapakan bahwa golongan independen kebanyakan terdiri atas orang-orang
yang berpusat kearah jenjang pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan yang paling rendah, dan
paling kecil kemungkinannya berpartisipasi dalam politik apapun. Sedangkan penelitian yang
lebih baru menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat pendapat independen. Yang
pertama terdiri atas nonpartisipan dalam kategori status sosio-ekonomi rendah, dan yang kedua
terdiri atas orang-orang yang berpendidikan di atas sekolah menengah, dalam kelompok
pendapatan menengah, dan dengan pekerjaan administrasi.
Sedangkan De Vries dan Tarrance membedakan dari independen yang lama dan baru, ini satu
golongan lagi, yaitu kekuatan yang baru dalam politik Amerika. Kekuatan ini adalah pemberi
suara yang mengaku bahwa dalam pemilihan umum mereka memberikan suara kepada kandidat
lebih dari satu partai, bukan langsung kepada satu partai.

Dalam beberapa pemilihan kepresidenan terakhir terdapat peningkatan kecendrungan


pada pemberi suara untuk melihat perbedaan diantara kedua partai dan kandidat terhadap isu
pemilihan. Oleh karena itu pandangan Axelrod yangmengatakan bahwa kelompok pemberi suara
di dalam masyarakat mengalihkan dukungan mereka dari satu partai keparatai yang lain atau dari
satu kandidat kekandidat yang lain, kebanyakan sebagai tanggapan terhadap trend nasional
bukan karena alasan yang menyangkut kelompok tertentu. Tetapi yang berspesialisasi memang
melihat perbedaan diantara partai politik utama mengenai isu yang penting bagi mereka. Jadi,
misalnya golongan itu melihat perbedaan kepartaian terhadap isu jaminan sosial dan perawatan
kesehatan, pengusaha melihat perbedaan dalam ukuran ekonomi, golongan kulit hitam
mengamati perbedaan dalam isu hak sipil dan kesempatan kerja, dan sebagainya. Bila isu itu
menonjol bagi orang dengan atribut sosial tertentu, maka isu yang bersangkutanlah, bukan
karena trend nasional, yang menerangkan tanggapan anggota kelompok sosial terhadap partai
dan kandidat yang bersaingan. Dalam hal seperti itu, atribut sosial dan demografi seseorang
menerangkan perspektif pemberi suara.

2)

Perspektif Pemberi Suara: mengembangkan citra politik


Orang belajar mengidentifikasikan diri dengan lambang-lambang signifikan melalui

pembicaraan politik, persuasi, sosialisasi, dan pembentukan opini. Orang yang memasuki
kampanye politik, misalnya membawa berbagai titik pandang yang terikat erat kepada citra diri
politik mereka, mereka tidak hanya melihat segala sesuatu terjadi ( citra diri jangka pendek,
persepsi terhadap objek-objek politik ). Mereka mengamatinya dari titik pandang individual
(citra diri politik jangka panjang, atau perspektif mereka). Diantara pokok-pokok yang
menguntungkan yang dibawa oleh pemberi suara yang berkembang, yaitu diteliti lima pokok:
identifikasi partisan, kelas sosial, kecendrungan ideologis, konsepsi tentang sifat-sifat yang
diharapkan pada pemegang jabatan yang ideal, dan kekhawatiran pribadi.

3)

Persepsi pemberi suara: citra politik yang khas kampanye.


Para pemberi suara

secara selektif mempersepsi partai partai, kandidat, isu, dan

peristiwa, dalam kampanye, memberi makna kepada mereka, dan berdasarkan itu menentukan
pemberian suara. Melalui proses interpretativ, mereka tidak hanya memperhitungkan atribut dan
perkembangan mereka, yaitu citra jangka panjang, tetapi jiuga menyusun citra jangka pendek
tentang objek kampanye.

2.4.

KOMUNIKASI POLITIK DAN CITRA PEMBERI SUARA

2.4.1. Munculnya Proses Komunikasi Kampanye


Jika diketahui kenyataan bahwa selama pemilihan untuk presiden, anggota kongres,
gubernur, legistlasi Negara bagian, dan banyak jabatan yang lebih terendah sebagai warga
Negara hampir tidak mungkin melindungi diri mereka sendiri dari imbauan para kandidat atau
yang berkampanye merupakan faktor utama dalam membantu para pemeberi suara dalam
mencapai pemilihan umum.
Bila masing-masing diantara banyak produk makanan mempunyai sifat khusus sendiri
untuk membedakannya dengan pesaingnya, begitu juga para kandidat politik.
Berdasarkan kesetian sosial dan kesetiaan pada partai, orang secara selektif memantau
komunikasi kampanye, membaca, mendengarkan, dan menonton apa yang mendukung pendirian
mereka dan menghindari pesan-pesan yang tidak mendukungnya.
Terpaan komuniaksi membawa serta akibat otomatis sehingga bila pemberi suara dapat
diterpa imbauan berkali-kali sampai jumlahnya cukup banyak, mereka akan bereaksi kearah yang
dimaksudkan.
Tiga kemungkinan akibat komunikasi terhadap pemberian suara memperkuat keputusan
partisan yang telah dibuat, mengaktifkan warga Negara yang acuh tak acuh kalau tidak
diaktifkan, dan mengubah orang yang ragu-ragu, menurut taksiran, kurang dari dua diantara
sepuluh pemberi suara mengalami perubahan kampenye seperti itru

2.4.2. Fungsi Komunikasi Kampanye Sebagai Katalisator

Katalisatior adalah sesuatu yang mempercepat, memodifikasi, dan sering meningkatkan


proses tau peristiwa tanpa ia sendiri menjadi habis terpakai hal ini tentulah merupakan salah satu
cara untuk memikirkan apa yang dilakukan oleh komunikasi politik dalam kampnye pemilihan
umum.
Terhadap katalisator inilah, yakni komunikasi kampanye, para pemberi suara bertindak
dalam merumuskan kepercayaan, nilai, dan pengharapan mereka terhadap objek kampanye.
Maka, jika dirangkumkan, komunikasi kampanye adalah katalisator dengan konsekuensi
kognitif, afektif, dan konatif.
1)

Akibat Kognitif

Sejauh mereka meneliti apa akaibat kampanye pada pemberi suara, studi pemberian suara
generasi pertama dan kaedua. 1. Akibat terpaan media dan 2. Mengikuti prosedur sederhana
untuk mengidentifikasi pengaruh yang dimaksudkan dari pesan tertentu, orang yang
dimaksudkan dipengaruhi oleh pesan itu, dan akibat pengaruh tersebut pada khlayak yang
dimaksudkan. Prosedur ini analog dengan menembakkan artileri medan: peluru ( pesan media)
mengenai sasaran (khlayak dengan dampak (akibat) yang dapat diukur)

2)

Tangggapan Afektif

Perhatikan bahwa swicthers dan yang lambat mengambil putusan menggunakan televisi
untuk mendapatkan informasi selama pemilihan umum mengesankan bahwa komunikasi politik
mempengaruhi penilaian pemberi suara maupun tingkat pengetahuan mereka tentang isu dan
kandidat. Apakah televise menyajikan bahan mentah kepada pemberi suara, yang menyebabkan
berubahnya citra mereka tentang kandidat, hal itu sebagian besar bergantung pada jenis ini
televise yang ditonton oleh pemberi suara dan bagaimana mereka memanfaatkannya.

Perubahan dalam orientasi afektif terhadap kandidat pada pemberi suara yang diterpa bentuk lain
komunikasi kampanye sangat bervariasi.

3)

Konsekuensi Konatif

Media politik memainkan peran yang lebih besar dalam membantu pemberi suara dalam
menyusun pilihannya, bahkan barangkali membelot dari kebiasaan memberikan suara.

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan
Kampanye merupakan suatu momentum yang sangat besar sekali pengaruhnya bagi para

calon legislative, di sanalah berbagai kemampuan serta cara, dikerahkan seluruhnya oleh para
calon legislative untuk mendapatkan dukungan maupun suara dari masyarakat, namun para calon
di hadapkan dengan 2 jalan yang kontradiktif, antara positif atau negative, masing-masing
memiliki kadar yang berbeda-beda, dan ini tergantung dari para calon ingin menggunakan jalan
mana, namun yang jelas, para calon jauh lebih paham dan mengerti, jalan yang di pilihnya.

3.2.

Saran
Kita harus memperhatikan kembali konsekuensi sosial dan politik dari komunikasi

kampanye, tentang penetapan agenda. Pemberian suara harus menginterpretasikan lingkungan


tempat media politik dan bagaimana pendirian kandidat yang mungkin sama dengan pendirian
mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Dan Nimmo. 2010. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung: Rosda

Anda mungkin juga menyukai