Anda di halaman 1dari 8

Posts Tagged With: budidaya air laut

Budidaya Lobster
Posted on June 4, 2013 by Muhammad Rizki Sulistiono
Lobster (Panulirus spp) atau dikenal pula dengan nama udang barong atau udang karang
merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomi penting. Harga lobster
tergolong tinggi baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Nilai lobster yang tinggi dan akses
pasar yang lancar mendorong penangkapan lobster di alam dilakukan secara intensif. Intensitas
penangkapan lobster yang tinggi telah menimbulkan tekanan terhadap populasinya di alam.
Selain itu, usaha penangkapan lobster seringkali dilakukan dengan cara dan alat atau bahan yang
tidak ramah lingkungan sehingga menimbulkan kerusakan pada habitat lobster dan lingkungan.
Kondisi ini jika berlangsung-terus menerus maka populasi lobster di alam akan semakin
terancam kelestariannya.
Dalam upaya memenuhi permintaan lobster yang cenderung meningkat serta mengatasi
permasalahan merosotnya populasi lobster di alam dan kerusakan habitatnya, maka perlu
dikembangkan usaha budidaya. Walaupun usaha budidaya lobster selama ini belum mampu
ditopang oleh penyediaan benih dari hasil pembenihan, akan tetapi pengembangan budidaya
lobster di beberapa daerah bisa dilakukan dengan memanfaatkan ketersediaan benih alam, seperti
yang dilakukan di Kawasan Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur.

1. Morfologi dan Taksonomi Lobster


Udang karang mudah dikenali karena bentuknya yang besar dibandingkan dengan udang niaga
lainnya, sehingga disebut juga dengan nama udang barong. Sebagai subfilum Krustase,
morfologi lobster terdiri dari kepala, thorax dan abdomen. Kepala dan thorax lobster tertutup
oleh karapas dan abdomen terdiri dari enam segmen. Karakteristik yang paling mudah untuk
mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar yang pinggirnya bergerigi tajam yang
dimiliki lobster untuk menyobek dan juga menghancurkan makanannya.
Gambaran morfologi udang karang yaitu mempunyai bentuk badan memanjang, silindris, kepala
besar ditutupi oleh karapas berbentuk silindris, keras, tebal dan dengan terisi duri-duri besar dan
kecil. Mempunyai antenna besar dan panjang menyerupai cambuk, dengan rostum kecil. Pada
lobster betina, endopod pada pleopod II tanpa appendix interna/stylamblys. Mata lobster agak
tersembunyi di bawah karapas yang ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua
pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang dua, disebut juga sebagai kumis atau
sungut. Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh dan ditutupi
duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna lobster bervariasi tergantung
jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik
jenis lobster.

Secara taksonomi, udang karang atau lobster diklasifikasikan sebagai berikut:


Filum

: Arthropoda

Subfilum

: Crustacea

Klas

: Malacostraca

Ordo

: Decapoda

Famili

: Palinuridae

Genus

: Panulirus

Lobster genus Panulirus terdiri dari banyak spesies atau jenis, antara lain Panulirus argus,
Panulirus cygnus, Panulirus echinatus, Panulirus femoristriga, Panulirus gracilis, Panulirus
guttatus, Panulirus homarus, Panulirus inflatus, Panulirus interruptus, Panulirus japonicus,
Panulirus laevicauda, Panulirus longipes, Panulirus marginatus, Panulirus ornatus, Panulirus
pascuensis dan Panulirus penicillatus.
Beberapa jenis lobster yang terdapat di perairan Indonesia dan banyak ditemukan di pasaran
antara lain: lobster batik (Panulirus cygnus), lobster bambu (Panulirus versicolor), lobster batu
(Panulirus penicilatus), lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster pasir (Panulirus homarus),
lobster bunga (Panulirus longiceps).
Genus-genus dari Palinuridae dalam pengelompokan taksonominya menggunakan ciri morfologi
dan berhubungan erat dengan letak geografis atau garis lintang dan juga kedalaman air.
Keanekaragaman jenis Panulirus sp di perairan daerah tropika lebih besar dari pada di daerah
sub-tropika, tetapi kelimpahannya relatif rendah.

2. Habitat Lobster
Lobster mempunyai penyebaran yang sangat luas mulai dari daerah temperate hingga daerah
tropis. Habitat hidupnya mulai dari daerah intertidal (pasang surut) sampai perairan yang dalam.
Beberapa jenis karang dapat hidup pada kedalaman mencapai 400 m. Lobster dari famili
Palinuridae (Panulirus spp.) habitatnya identik dengan terumbu karang atau lingkungan perairan
yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang sehingga disebut juga dengan nama udang
karang. Palinuridae menyukai hidup pada lubang atau celah-celah batu karang serta dasar dari
terumbu karang hidup maupun batu karang mati dan pada pasir berbatu karang disepanjang
pantai dan teluk-teluk. Lobster bambu (Panulirus versicolor) misalnya, hidup pada perairan
terumbu karang sampai pada kedalaman beberapa meter. Biasanya mendiami tempat-tempat
yang terlindung di antara batu-batu karang dan jarang ditemukan dalam kelompok yang
berjumlah besar. Namun demikian, beberapa spesies yang hidup pada substrat yang berbatu-batu,

lumpur atau pasir dan membuat lubang yang lingkungannya tidak berhubungan langsung dengan
terumbu karang.
Udang karang (Panulirus sp) kurang menyukai tempat-tempat yang sifatnya terbuka dan terlebih
arus yang kuat. Tempat-tempat yang disukai adalah perairan yang terlindung. Kebiasaan
hidupnya merangkak di dasar laut berkarang, di antara karang-karang, di gua-gua karang, dan di
antara bunga karang. Berdasarkan kebiasaannya merangkak, maka udang karang dapat dikatakan
tidak pandai berenang, walaupun memiliki kaki renang (Subani, 1978).

3. Kebiasaan Makan
Lobster memiliki sifat nokturnal yaitu sifat binatang yang aktif mencari makan pada malam hari.
Pada siang hari lobster lebih suka membenamkan diri dalam lumpur atau menempel pada suatu
benda yang terbenam dalam air. Hewan nokturnal memiliki aktivitas yang tinggi pada permulaan
menjelang malam dan berhenti beraktivitas dengan ketika matahari terbit (Cobb and Phillips,
1980). Pada prinsipnya udang karang (Panulirus sp) bersifat pemakan segala (omnivora), namun
demikian hewan ini menggemari mengkonsumsi ikan, moluska, ekinodermata dan hewan lainnya
terutama yang mengandung lemak, serta jenis algae (Subani, 1978).
Pada mulanya diperkirakan bahwa udang karang adalah scavenger (pemakan bangkai) hal ini
dikarenakan lebih banyak dari udang karang memakan umpan yang terpasang pada perangkap.
Tetapi setelah dilakukan analisa isi lambung dan pengamatan di laboratorium, ternyata pendapat
tersebut tidak benar. Makanan dari udang karang adalah hewan yang masih hidup atau baru saja
dibunuhnya, dan lobster cukup selektif dalam memilih makanannya (Kanciruk, 1980).
Sifat lobster yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan atau budidaya lobster adalah
kanibalisme. Individu lobster yang lebih kuat dapat memangsa individu yang lebih lemah atau
lebih kecil ukurannya jika kondisi pakan berkurang. Lobster yang dalam kondisi moulting
biasanya sangat lemah dan mudah menjadi sasaran pemangsaan oleh lobster lainnya.

4. Perkembangbiakan
Lobster berkembang biak dengan cara bertelur. Lobster betina sudah matang telur pada ukuran
panjang total 16 cm. Sementara itu, udang jantan yang telah matang gonad berukuran lebih
panjang, yaitu sekitar 20 cm. Menurut Subani (1984) dalam Utami (1999), lobster dapat
digolongkan sebagai binatang yang mengasuh dan memelihara keturunannya walaupun sifatnya
hanya sementara. Lobster betina yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara
meletakkan atau menempelkan butir-butir telurnya di bagian bawah abdomen sampai telur
tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva udang. Menjelang akhir periode pengeluaran telur
dan setelah dibuahi, lobster akan bergerak menjauhi pantai dan menuju ke perairan karang yang
lebih dalam untuk penetasan. Nontji (1993) menyatakan bahwa, jumlah telur yang dihasilkan
setiap ekor betina lobster dapat mencapai lebih dari 400.000 butir. Sedangkan menurut Subani

(1984) dalam Utami (1999), seekor lobster betina dapat menghasilkan 275.000 butir telur pada
setiap musim pemijahan.
Udang karang (lobster) mempunyai daur hidup yang kompleks. Telur yang telah dibuahi menetas
menjadi larva dengan beberapa tingkatan (stadium). Secara umum dikenal adanya tiga tahapan
stadia larva, yaitu naupliosoma, filosoma, dan puerulus. Perubahan dari stadia satu ke
stadia berikutnya selalu terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan-perubahan bentuk
(metamorphose) yang terlihat dengan adanya modifikasi-modifikasi terutama pada alat geraknya.
Pada stadia filosoma yaitu bagian pergantian kulit yang terakhir, terjadi stadia baru yang
bentuknya sudah mirip lobster dewasa walaupun kulitnya belum mengeras atau belum
mengandung zat kapur. Pertumbuhan berikutnya setelah mengalami pergantian kulit lagi,
terbentuklah lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat dengan zat kapur.
Bentuk dan sifatnya sudah mirip lobster dewasa (induknya) atau disebut sebagai juvenile. Lama
hidup sebagai stadia larva untuk lobster berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Lobster yang hidup
di perairan tropis, prosesnya lebih cepat dibanding dengan yang hidup di daerah sub-tropis.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai stadia dewasa untuk lobster torpis antara 3 sampai 7
bulan (Subani, 1984 dalam Utami, 1999).

5. Pertumbuhan
Semenjak telur menetas menjadi larva hingga mencapai tingkat dewasa dan akhirnya mati, maka
selama pertumbuhannya, lobster selalu mengalami pergantian kilit (moulting). Pergantian kulit
tersebut lebih sering terjadi pada stadia larva (Subani, 1984 dalam Utami, 1999). Laju
pertumbuhan lobster sangat tergantung pada jumlah dan kualitas makanan (kandungan protein).
Adapun laju pertumbuhan rata-rata tercatat 0,236 g/hari.

6. Pemilihan Lokasi Budidaya Lobster


Karakteristik ekologi atau lingkungan perairan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan
lokasi budidaya lobster sangat berkaitan dengan karakteristik habitat dan kebiasaan hidup lobster
di alam. Selain mempertimbangkan aspek biofisik-kimia perairan sesuai dengan kebutuhan
hidup lobster, pemilihan lokasi budidaya lobster juga perlu mempertimbangkan aspek
aksesibilitas. Kondisi perairan terhadap keadaan cuaca dan pengaruh dari daratan juga menjadi
pertimbangan.
Ditinjau dari aspek aksesibilitas dan sifat keterbukaan perairan terhadap cuaca serta pengaruh
dari daratan, pemilihan lokasi budidaya lobster hendaknya memperhatikan:
1) Aksesibilitas yaitu tingkat kemudahan atau keterjangkauan lokasi dari daratan untuk
memudahkan mobilisasi sarana produksi.

2) Lokasi hendaknya terlindung dari pengaruh badai, angin kecang, arus kuat dan gelombang
tinggi. Oleh karena budidaya lobster pada umumnya membutuhkan waktu yang relatif panjang,
maka pemilihan lokasi yang cukup terlindung dari pengaruh cuaca ekstrim secara musiman
mutlak dipertimbangkan. Daerah-daerah berteluk atau perairan pantai yang terlindung sepanjang
tahun merupakan lokasi yang cocok untuk budidaya lobster pada KJA.
3) Lokasi budidaya lobster hendaknya terbebas dari pengaruh pencemaran yang berasal dari
permukiman, industri, pelabuhan, pertambangan dan kegiatan lain yang berpotensi mengalirkan
limbah ke laut.
4) Lokasi budidaya lobster hendaknya menghindari muara-muara sungai yang dapat
menimbulkan penurunan kadar salinitas secara ekstrim dan pelumpuran pada saat musim hujan.
5) Lokasi budidaya lobster hendaknya terbebas dari fenomena arus balik (up welling).
Sedangkan ditinjau dari parameter fisik, kimia dan biologi perairan, beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi dalam pemilihan lokasi yaitu:
1) Dasar perairan bersubstrat keras, pecahan karang atau berpasir.
2) Pergerakan air cukup baik dengan kecepatan arus berkisar antara 20 50 cm/detik.
3) Kedalaman tidak kurang dari 5 meter pada surut terendah atau berkisar 725 m.
4) Kecarahan air 3 5 meter atau kondisi plankton tidak blomming.
5) Salinitas 28 35 ppt.
6) Suhu air 28 30 0C.
7) Oksigen terlarut 7 8 ppm.
8) pH 7,0 8,5.

7. Benih dan Penebaran Benih


Benih untuk menunjang pengembangan budidaya lobster masih sepenuhnya mengandalkan benih
hasil tangkapan di alam. Benih hasil tangkapan di alam sangat beragam ukurannya, mulai dari
ukuran kurang dari 0,5 gram/ekor yang kondisi karapasnya belum mengeras (transparan) sampai
berukuran 100 gram. Benih yang berukuran kurang dari 0,5 gram/ekor biasanya terlebih dahulu
dilakukan pemeliharaan pendederan sebelum dipasarkan untuk mensuplai unit-unit pembesaran.
Pendederan benih membutuhkan waktu 3 5 bulan hingga diperoleh benih berukuran 3 5
gram/ekor.

Padat penebaran benih sangat tergantung pada ukuran benih yang ditebar. Benih ukuran 5 30
gram dapat ditebar dengan kepadatan 40 60 ekor/m2 luas dasar jaring, ukuran 30 50 gram
padat penebaran 20 30 ekor/m2 dan ukuran di atas 50 gram padat penebaran 15 17 ekor/m2.
Dalam penebaran benih lobster ke KJA perlu dilakukan dengan hati-hati. Salah satu faktor
kematian dalam penebaran benih adalah masalah cara adaptasi. Adaptasi adalah proses
penyesuaian lingkungan oleh organisme dari lingkungan media lama ke lingkungan media hidup
secara bertahap.
Suhu sangat berpengaruh dalam proses adaptasi saat penebaran benih, oleh karena itu penebaran
benih harus dilakukan pada saat suasana teduh. Pagi hari, sore atau malam hari merupakan saat
dimana perubahan suhu tidak terlalu mencolok. Sebelum benih ditebar, benih perlu
diadaptasikan dengan cara aklimatisasi suhu (penyesuaian suhu) terlebih dahulu sekitar 15 30
menit sebelum dilepas di jaring.

8. Shelter
Shelter berfungsi sebagai tempat perlindungan atau tempat persembunyian bagi lobster yang
sedang berganti kulit (moulting) sehingga kematian udang akibat kanibalisme dapat ditekan.
Bahan yang dipergunakan sebagai shelter dapat berupa potongan bambu yang diberi pemberat
yang diletakkan di dasar jaring atau rumput laut jenis Gracillaria yang disebar di dasar jaring.

9. Pakan dan Pemberian Pakan


Jenis dan jumlah pakan serta frekuensi pemberian pakan penting diperhatikan dalam
pemeliharaan lobster. Jenis pakan terkait dengan tekstur dan kandungan protein yang
mempengaruhi kemudahan lobster memakannya dan nilai nutrisinya. Sedangkan jumlah dan
frekuensi pemberian pakan sangat berpengaruh terhadap sifat kanibalisme lobster.
a. Jenis Pakan
Pakan yang diberikan kepada lobster umumnya berupa ikan rucah segar yang diperoleh dari hasil
tangkapan bagan. Namun demikian, lobster dapat juga diberikan jenis pakan lainnya seperti
remis, kerang, tiram, keong sawah, bekicot, dan by product dari industri pengolahan ikan atau
pemotongan ayam. Penggunaan by product ini harus dijaga hieginitasnya.
Ikan rucah segar yang diberikan kepada lobster terlebih dahulu dipotong-potong berukuran 2 3
cm disesuaikan dengan ukuran udang yang dipelihara.

10. Jumlah Pakan dan Frekuensi Pemberian Pakan

Jumlah pakan yang diberikan terhadap biomassa udang yang dipelihara tergantung pada ukuran
udang. Pada ukuran udang kurang dari 10 gram, diberikan pakan sebanyak 30% dari biomassa
dengan frekuensi satu kali sehari yaitu pada sore hari. Ukuran 10 50 gram diberikan pada
sebanyak 20% dari biomassa dengan frekuensi 2 kali sehari (pagi dan sore hari), ukuran 50 100
gram diberikan sebanyak 15% dengan frekuensi 2 kali sehari dan ukuran 100 200 gram
diberikan sebanyak 10% dengan frekuensi 2 kali sehari.

11. Perawatan dan Perbaikan Jaring


Perawatan media pemeliharaan lobster yang terpenting adalah perawatan jaring. Jaring harus
dijaga kebersihannya agar sirkulasi air dapat berlangsung dengan baik dan mencegah
kemungkinan munculnya penyakit akibat jaring yang kotor. Pembersihan jaring dilakukan
sebulan sekali dengan cara diangkat ke permukaan, kemudian dikeringkan selama 2 3 hari dan
dibersihkan dari alga, sedimen atau teritip yang memempel.
Perbaikan jaring dilakukan jika ditemukan adanya bagian jaring yang robek atau jahitan yang
lepas.

12. Pengamatan/Pemantauan
Pengamatan atau pemantauan pada pemeliharan lobster terdiri dari pengamatan harian dan
pengamatan berkala. Pengamatan harian adalah pengamatan yang dilakukan setiap hari untuk
mengetahui kesehatan udang, kondisi pakan yang diberikan dan kondisi jaring serta hal-hal lain
yang ditemukan dalam pengamatan. Hasil pengamatan harian dicatat dalam Formulir Harian
Kegiatan Budidaya.
Pengamatan berkala bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulusan hidup udang. Pada
pengamatan pertumbuhan ini dilakukan penimbangan terhadap sampel udang. Pengamatan
pertumbuhan sangat diperlukan sebagai evaluasi dan landasan dalam pemberian pakan.
Sedangkan untuk mengetahui kelulusan hidup udang, dilakukan penghitungan total (sensus)
udang pada seluruh kantong jaring. Pada saat penghitungan kelulusan hidup ini sekaligus
dilakukan pemilahan ukuran (grading). Pada ukuran udang 50 gram ke bawah, pemilahan ukuran
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok ukuran sedangkan pada saat ukuran udang sudah diatas 50
gram, pemilahan ukuran dibagi menjadi 4 (empat) kelompok ukuran sesuai jumlah kantong
dalam satu unit KJA.

13. Pengendalian Hama dan Penyakit

Udang karang yang dibudidayakan dalam KJA relatif terhindar dari hama. Namun demikian
kompetitor pakan dapat masuk ke dalam KJA, seperti ikan-ikan kecil dan kepiting sesarma.
Pengontrolan terhadap jaring sangat penting untuk mencegah masuknya hama. Sedangkan
penyakit dapat muncul jika kondisi jaring tidak bersih atau terdapat sisa-sisa pakan yang
membusuk tersangkut di jaring. Sisa pakan yang membusuk dapat menjadi media pertumbuhan
jamur dan bakteri yang dapat menginfeksi udang terutama selama kondisi udang lemah saat ganti
kulit (moulting).

14. Panen
Panen dilakukan setelah udang mencapai ukuran pasar, yaitu 150 200 gram/ekor. Benih yang
ditebar dengan ukuran rata-rata 5 gram/ekor dapat dipanen dengan ukuran rata-rata 120
gram/ekor selama pemeliharaan 10 (sepuluh bulan). Sedangkan benih yang ditebar dengan
ukuran 10 gram/ekor dapat dipanen dengan ukuran rata-rata 120 gram/ekor selama 8 (delapan
bulan).
Udang karang atau lobster hasil budidaya dipasarkan dalam kondisi hidup dan tidak cacat,
sehingga panen harus dilakukan secara hati-hati. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat
karamba. Selanjutnya, lobster dipindahkan satu persatu dari tempat pemeliharaannya ke dalam
boks styrofoam. Pengangkutan udang antar daerah maupun ekspor dilakukan dalam keadaan
hidup. Selain itu, suhu diusahakan rendah sekitar 20o C dengan kondisi tanpa air, tetapi lembab.

15. Pemasaran
Pemasaran lobster bukanlah sesuatu yang masalah bagi pembudidaya lobster. Pasar lobster
dominan pasar ekspor. Pemasaran lobster dapat melalui pengumpul atau langsung melalui
eksportir.
Categories: Art of Aquaculture, Budidaya Air Laut, Lobster | Tags: budidaya air laut, budidaya
lobster, lobster, perikanan | Leave a

Anda mungkin juga menyukai