Anda di halaman 1dari 9

TEKTONIK REGIONAL JAWA BARAT

Pendahuluan
Geologi Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
daya tarik tersendiri. Aktifitas geologi yang telah berlangsung selama berjuta-juta tahun
di wilayah ini menghasilkan berbagai jenis batuan mulai dari batuan sedimen, batuan
beku (ekstrusif dan intrusif) dan batuan metamorfik dengan umur yang beragam. Akibat
proses tektonik yang terus berlangsung hingga saat ini, seluruh batuan tersebut telah
mengalami pengangkatan, pelipatan dan pensesaran.
Dari sudut pandang ilmu kebumian, daerah Jawa Barat sangat menarik untuk
dipelajari karena geologi daerah ini dikontrol oleh hasil aktifitas tumbukan dua lempeng
yang berbeda jenis. Lempeng yang pertama berada di bagian utara berkomposisi granitis
yang selanjutnya dinamakan sebagai Lempeng Benua Eurasia, selanjutnya lempeng yang
kedua berada di selatan berkomposisi basaltis yang selanjutnya dinamakan sebagai
Lempeng Samudra Hindia-Australia. Kedua lempeng ini saling bertumbukan yang
mengakibatkan Lempeng Samudra menunjam di bawah Lempeng Benua. Zona tumbukan
(subduction zone), membentuk morfologi menyerupai lembah curam yang dinamakan
sebagai palung laut (trench). Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan
terdiri atas batuan sedimen laut dalam (Pelagic sediment), batuan metamorfik (batuan
ubahan) dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran
berbagai jenis batuan di dalam palung ini dinamakan sebagai batuan bancuh (batuan
campur aduk) atau dkenal sebagai batuan melange.
Jejak-jejak aktifitas tumbukan lempeng masa lampau (paleosubduk) dapat dilihat
di daerah Ciletuh, Sukabumi. Di daerah ini tersingkap batuan melange Ciletuh yang
berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan tertua di Jawa yang dapat diamati di
permukaan. Daerah lain di Jawa yang juga memiliki batuan sama adalah daerah
Karangsambung di Kebumen, Jawa tengah dan Pegunungan Jiwo di Bayat, Jogyakarta.
Fisiografi Regional
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu
sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi dan struktur geologinya. Van

Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi, masingmasing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona
Bandung dan Zona Pegunungan Selatan..
Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barattimur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu hingga Cirebon. Darah ini
bermorfologi pedataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan
endapan gunungapi muda.
Zona Bogor menempati bagian selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang
mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka dan Kuningan. Zona
Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar
maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan
batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh
batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di komplek Pegunungan Sanggabuana,
Purwakarta.

Van Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai

antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran.


Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara
20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui
Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung bermorfologi
perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup luas. Van
Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi diantara gunung yang
prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di
dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak
selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut
membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung
merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses
pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek,
(1946), menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat diamati di
Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah Cimandiri yang
merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi (pletau)

Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek
(1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang.
Pola Sesar
Berdasarkan hasil penafsiran foto udara dan citra indraja (citra landsat) daerah
Jawa Barat, diketahui adanya banyak kelurusan bentang alam yang diduga merupakan
hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utara-selatan,
timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara. Secara regional struktur sesar berarah
timurlaut-baratdaya dikelompokan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-selatan
dikelompokan sebagai Pola Sunda dan sesar berarah barat-timur dikelompokan sebagai
Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik,
sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum
terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga
struktur regional yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis
dan Sesar Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh van
Bemmelen (1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (umur Kapur), membentang mulai
dari Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, CipatatRajamandala, Gunung Tanggubanprahu-Burangrang dan diduga menerus ke timur laut
menuju Subang. Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya dengan
jenis sesar mendatar hingga oblique (miring). Oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986),
sesar ini dikelompokan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan
arah relatif barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di
Kadipaten-Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur sesar Baribis dipandang
berbeda oleh peneliti lainnya. Martodjojo (1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis
menerus ke arah tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh
Simandjuntak (1986), ditafsirkan menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah
Kendeng (Jawa Timur). Penulis terakhir ini menamakannya sebagai Baribis-Kendeng
Fault Zone. Secara tektonik sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu

pembentukannya terjadi pada periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo dan


Pulunggono (1986), sesar ini dikelompokan sebagai Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang
lebih 30 km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun) dimana
blok bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran (pedataran Lembang).
Van Bemmelen (1949), mengkaitkan pembentukan sesar Lembang dengan aktifitas
Gunung Sunda (G. Tanggubanprahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan
demikian struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen.
Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di
utara Jawa (Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan
dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen di
Jawa Barat.
Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di
bawah pengaruh aktifitas tumbukan lempeng Hindia-Australia dengan lempeng Eurasia
yang beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur tumbukan
(subduction zone) dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan.
Pada awalnya subduksi purba (paleosubduk) terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya
berada pada poros tengah Jawa sekarang. Jalurnya subduksinya berarah relatif barattimur melalui daerah Ciletuh-Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah
Karangsambung-Kebumen, Jawa Tengah. Jalur paleosubduk ini selanjutnya menerus ke
Laut Jawa hingga mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973). Penulis ini
menarik jalur paleosubduk berdasarkan pada singkapan melange yang tersingkap di
Ciletuh (Sukabumi), Karangsambung (Kebumen) dan Meratus (Kalimantan Timur).
Berdasarkan penanggalan radioaktif yang dialkukan terhadap beberapa contoh batuan
melange, diketahui umur batuannya adalah Kapur.
Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan
endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen diwakili
oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang menempati bagian
utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di bawah permukaan, sedangkan Formasi
Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya.

Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi
tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang ditemukan
di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah terjadi pergeseran
jalur subduksi dari utara ke arah selatan.
Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi
jalur subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur
subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan sejumlah gunungapi
aktif. Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan aktifitas subduksi tersebut, antara
lain G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G. Tanggubanprahu dan G. Ciremai.
Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif
sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan sistem
tegasan (gaya) berarah utara-selatan.
Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah
utara-selatan.

TEKTONIK DAERAH CILETUH


Ciletuh yang secara adminstratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Sukabumi memiliki geologi yang unik. Di daerah ini tersingkap batuan campur aduk
(mlange) yang berumur Kapur dan batuan sediment berumur Paleogen. Kelompok
batuan Pra-Tersier merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di permukaan daratan
Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri ada tiga lokasi yang memiliki singkapan batuan tertua,
yaitu di daerah Ciletuh ( Sukabumi-Jawa Barat), daerah Karangsambung (Kebumen-Jawa
Tengah) dan di daerah Bayat (Klaten, Yogyakarta).
Yang unik dari singkapan batuan Pra-Tersier di daerah Ciletuh adalah seluruh
singkapan batuannya berada di dalam suatu lembah besar menyerupai amphiteather
dengan bentuk tapal kuda yang terbuka ke arah Samudra Hindia.
Morfologi lembah Ciletuh dibatasi oleh dataran tinggi Jampang (Plateau
Jampang) dengan kemiringan lereng yang sangat terjal hingga mendekati vertikal. Di atas
dataran tinggi ini, kita dapat menikmati pemandangan lembah Ciletuh yang indah dengan
latar belakang Samudra Hindia dengan pulau-pulau kecil di sekitar pantainya.

Di dalam lembah Ciletuh, kita dapat melihat rangkaian bukit-bukit kecil dan bukit
soliter (berdiri sendiri) yang batuannya disusun oleh batuan Pra-Tersier dan sedimen
Paleogen. Beberapa morfologi bukit yang dapat dengan jelas dilihat dari daerah tinggian
ini, antara lain Pr. Beas dan Gunung Badak.
Batuan Pra-Tersier disusun oleh batuan beku basa dan ultra basa, terdiri atas gabro
dan peridotit, sedangkan batuan berumur sedimen Paleogen terdiri atas batupasir
greywacke, tuf, batupasir kuarsa dan konglomerat. Kelompok batuan Pra-Tersier dan
Paleogen juga sebagai penyusun utama di Pulau Mandra, Pulau Kunti, Pulau Manuk dan
pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitar pantai Ciletuh.
Secara stratigrafi batuan Pra-Tersier dan Paleogen di dalam di lembah Ciletuh
ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jampang yang berumur Miosen. Batuan
Formasi Jampang

terdiri atas breksi vulkanik, lava dan tuf, dengan kemiringan

perlapisan batuan kurang dari 15. Selanjutnya secara regional Formasi Jampang
membentuk morfologi dataran tinggi yang luas (plateau Jampang) dan merupakan
pembatas lembah Ciletuh.
Dari hasil penafsiran citra landsat dan pengukuran bidang struktur di lapangan,
diketahui struktur geologi daerah Ciletuh terdiri atas struktur lipatan dan sesar. Struktur
lipatan terdiri atas antiklin dan sinklin, sedangkan struktur sesar terdiri atas sesar
mendatar, sesar naik dan sesar oblique (sesar miring).
Besar sudut kemiringan bidang perlapisan batuan sedimen Paleogen umumnya
berkisar antara 20 hingga 40. Struktur lipatan umumnya berarah barat-timur hingga
timurlaut-baratdaya. Struktur lipatan ini terbentuk akibat gaya-gaya kompresional dengan
sistem tegasan berarah utara-selatan.
Struktur sesar daerah Ciletuh juga terbentuk akibat gaya-gaya kompresional
berarah utara-selatan. Struktur sesar ini memotong batuan mulai dari umur Pra-Tersier
hingga Neogen. Penyebaran satuan batuan di dalam lembah Ciletuh, umumnya dikontrol
oleh struktur sesar. Dari hasil intrepretasi citra landsat dan data lapangan, diketahui
bahwa struktur sesarnya berjenis sesar naik, sesar mendatar dan sesar miring (oblique).
Umumnya sesar tersebut berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara dan timurlautbaratdaya.

Sejarah Geologi Ciletuh


Daerah Ciletuh pada saat ini terletak pada lingkungan tektonik busur vulkanik
dari sistem tumbukan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Hindia Australia.
Lempeng Eurasia bersifat granitis (dinamakan juga sebagai lempeng benua) sedangkan
Lempeng Hindia-Australia bersifat basaltis (dinamakan juga sebagai lempeng samudra).
Posisi jalur tumbukan kedua lempeng berada di Samudra Hindia.
Dari waktu ke waktu, posisi jalur tumbukan dapat berubah-ubah sesuai dengan
kondisi geologinya pada saat itu. Pada Zaman Kapur, posisi jalur tumbukan berada di
daerah Ciletuh sekarang. Akibat dari pertemuan kedua lempeng tersebut, daerah Ciletuh
pada saat itu berada di lingkungan laut dalam. Morfologi dasar laut yang dibentuk oleh
aktifitas tumbukan kedua lempeng tersebut menyerupai parit atau palung curam (trench)
yang memanjang dengan arah barat-timur.
Di dalam palung (zona tumbukan) terakumulasi sedimen laut dalam (sediment
pelagic) berupa lapisan lempung dan batugamping klastik. Disamping itu, di dalam zona
tumbukan terjadi proses percampuran batuan yang mekanismenya dapat terjadi secara
tektonik dan sedimenter.
Batuan campur aduk (batuan bancuh) dinamakan pula sebagai melange,
batuannya terdiri atas batuan beku, batuan metamorfik dan batuan sedimen. Apabila
proses percampuran batuannya akibat tektonik dinamakan sebagai melange tektonik
dan apabila prosesnya akibat sedimentasi maka dinamakan sebagai melange sedimenter
atau olistostrom. Di dalam lembah Ciletuh, batuan melange terdiri atas batuan basa dan
ultra basa (Ofiolit), seperti peridotit, serpentinit, gabro dan basalt.
Batuan melange Ciletuh selanjutnya ditutupi secara tidak selaras oleh batuan
sedimen Formasi Ciletuh. Formasi Ciletuh terdiri atas metasedimen, breksi dan
greywacke. Di dalam lembah Ciletuh, satuan batuan tersebut dapat dijumpai di daerah
bermorfologi bergelombang dan di beberapa daerah sekitar pantai.
Daerah Ciletuh yang semula berupa cekungan pada akhirnya penuh dengan isian
sedimen (Formasi Ciletuh) dan pada saat yang bersamaan tektonik pengangkatan terus
belangsung. Akibat proses geologi ini, daerah Ciletuh untuk pertama kalinya berubah
menjadi daratan.

Morfologi daratan Ciletuh pada saat itu terdiri atas perbukitan (tinggian) dan
lembah (rendahan). Bentuk morfologi tersebut dikontrol oleh sesar-sesar normal yang
diakibatkan oleh tektonik regangan.
Pada bagian rendahan mulai terakumulasi sediment sungai, terdiri atas lapisan
pasir kuarsa dan konglomerat. Satuan batuan tersebut pada akhirnya dinamakan sebagai
Formasi Bayah (Martodjojo, 1984). Selanjutnya tektonik regangan ini makin intensif
sehingga sebaran sedimennya makin luas dan tebal serta dibeberapa tempat sudah mulai
terbentuk sedimen di lingkungan transisi dan delta.
Tektonik regangan yang terjadi pada saat itu, mengawali pembentukan cekungan
(selanjutnya dinamakan sebagai Cekungan Bogor) dan pada tahap selanjutnya, daerah
Ciletuh kembali tenggelam menjadi lautan. Secara tektonik daerah Ciletuh pada saat itu
berada di lingkungan Cekungan Belakang Busur.
Ciletuh kembali menjadi daratan pada kala Plio-Plistosen. Pada saat itu tektonik
kompresi di Jawa berlangsung secara besar-besaran. Seluruh batuan di dalam Cekungan
Bogor mengalami pengangkatan, perlipatan dan pensesaran yang menyebabkan sebagian
besar Cekungan Bogor menjadi daratan. Secara tektonik daerah Ciletuh pada saat itu
berada di lingkungan Busur Gunungapi (Vulcanic arc) dan kondisi tersebut bertahan
hingga sekarang.
Mekanisme Tersingkapnya Batuan-Pra Tersier Ciletuh
Batuan Pra-Tersier Ciletuh yang tersingkap di dalam lembah Ciletuh, menempati
elevasi mulai 0 hingga 50 m di atas permukaan laut. Pada batas lembah-lembahnya,
batuan tua ini ditutupi oleh Formasi Jampang yang umurnya lebih muda (Miosen).
Dilihat dari sejarah geologinya, batuan Pra-Tersier Ciletuh merupakan batuan
tertua yang terletak di bagian paling bawah dari urutan stratigrafinya. Selanjutnya batuan
tua ini ditutupi oleh batuan sedimen yang umurnya lebih muda dengan tebal mencapai
ribuan meter.
Pada saat ini, batuan Pra-Tersier telah tersingkap ke permukaan dengan berbagai
macam proses geologi. Proses tektonik merupakan mekanisme utama yang menggerakan

batuan dari posisi bawah ke permukaan (pengangkatan). Proses pengangkatan dapat


terjadi melalui mekanisme pembentukan struktur lipatan dan sesar naik.
Jalur sesar naik daerah Ciletuh dan sekitarnya umumnya relatif lurus dan berarah
barat-timur, sedangkan sebaran batuan tua yang berada di lembah Ciletuh dibatasi oleh
batas-batas lembahnya yang melingkar. Dengan demikian harus ada mekanisme lainnya
yang menyebabkan batuan tua tersebut tersingkap ke permukaan.
Morfologi lembah membusur dengan bentuk setengah lingkaran (bentuk tapal
kuda) biasanya terjadi akibat longsoran. Dengan mengacu kepada model tersebut maka
di daerah Ciletuh pernah terjadi peristiwa longsor besar yang menyebabkan masa batuan
Formasi Jampang bergerak ke arah laut (Bentuk lembah Ciletuh membusur dan terbuka
ke arah laut). Selanjutnya akibat peristiwa longsoran besar ini, tersingkaplah batuan tua di
permukaan.

Anda mungkin juga menyukai