Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi piogenik
oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia anak-anak walaupun
pada orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo tergolong tinggi, terutama
melalui kontak langsung. Individu yang terinfeksi dapat menginfeksi dirinya sendiri
atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di
sekolah, tempat penitipan anak atau pada tempat dengan hygiene buruk atau juga
tempat tinggal yang padat penduduk1-4
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai
usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di
Indonesia penyakit kulit menempati urutan ke-3 setelah infeksi saluran napas dan
diare. Walaupun dapat mengenai semua orang, beberapa kelompok tertentu yang
memiliki faktor predisposisi akan rentan terhadap penyakit infeksi kulit. Penyebaran
penyakit ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain status imun pejamu, kuman
penyebab, penyakit kulit lain yang menyertai, dan higiene. Data jumlah kunjungan
pasien ke poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr Cipto
Mangunkusumo (FKUI/RSCM) selama tahun 2001 menunjukkan pasien pioderma
anak sebesar 362 kasus (18,53%) dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati
urutan ke-2 setelah dermatitis atopik. Sedangkan pada tahun 2002 terdapat 328 kasus
(16,72%) dari 1962 kunjungan baru dengan kasus impetigo krustosa (15,0%). 5
Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada
negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih
tergolong lemah atau miskin.3
Tempat predileksi tersering pada wajah terutama sekitar mulut dan hidung,
pada ketiak, dada serta punggung. Gambar an klinisnya berupa vesikel, bula atau
pustul yang apabila pecah membentuk krusta tebal kekuningan seperti madu atau
berupa koleret di pinggirnya.3
Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non medikamentosa dengan
prinsip tetap menjaga higiene tubuh penderita agar tidak mudah terinfeksi penyakit
kulit. Prognosis umumnya baik. Impetigo umumnya sembuh tanpa penyulit dalam 2
minggu apabila diobati secara teratur.
Dalam case report session ini diketahui seorang anak berusia 2 tahun delapan
bulan yang menderita penyakit impetigo krustosa. Diharapkan makalah ini dapat
membantu dokter umum dalam menegakkan diagnosis, mengobati penyakit ini
dengan baik dan mengedukasi pasien dengan benar sehingga penyakit ini tidak
menyebabkan komplikasi lain yang serius.
BAB II
LAPORAN KASUS
Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal 19 Februari 2015 pukul
10.30 WIB di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.
Seorang An. H laki-laki usia 2 tahun delapan bulan, Alamat di Kenali Asam
Bawah Kota Jambi, dibawa oleh ibunya dengan keluhan timbul berupa koreng dan
terasa gatal dibagian sekitar hidung, ujung bibir bagian kiri, dan dagu bagian kanan
atas sejak 7 hari SMRS. Ketika ditelusuri perjalanan penyakitnya didapatkan sejak
7 hari SMRS, pada kulit hidung timbul koreng yang mengering berwarna
kekuningan yang mula-mulanya timbul disekitar area lubang hidung. Ibu pasien juga
mengat akan bahwa pasien sering menggaruk-garuk kulitnya karena gatal. Koreng
yang terbentuk ada yang mengering dan sebagian ada yang berisi cairan. Ibu pasien
tidak mengeluhkan adanya demam pada pasien. Semenjak koreng ini muncul, pasien
menjadi lebih rewel dari biasanya, dan sulit tidur.
5 hari SMRS, ibu pasien mengatakan koreng ini semakin bertambah banyak
di sekitar ujung sudut bibir kiri dan kebagian dagu kanan atas. Kemudian Ibu pasien
membawa pasien berobat ke Puskesmas dan diberikan obat antibiotik ampicilin dan
salep asiklovir serta obat racikan (Ibu pasien tidak tahu isi racikan obatnya).
Setelah menggunakan obat tersebut ibu pasien mengatakan koreng yang
timbul semakin meluas disekitar lubang hidung hingga ke bagian pipi, serta
jumlahnya bertambah banyak. Ukurannya pun ada yang menjadi lebih besar. Ibu
pasien juga mengatakan keluhan pasien tidak berkurang juga, koreng disekitar sudut
bibir kiri ukurannya semakin menjadi lebih besar dan dibagian dagu kulitnya
terkelupas, sehingga Ibu pasien membawa pasien ke Puskesmas kembali untuk
kontrol, dan dirujuk ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi.
Dokumentasi pemeriksaan
seboroik dengan infeksi sekunder dan pemfigus vulgaris. Diagnosis kerja pada kasus
ini adalah impetigo krustosa. Penatalaksanaan secara umum kasus ini adalah edukasi
pada pasien dengan cara mandikan anak dengan bersih menggunakan sabun dan pada
air mengalir, cegah anak untuk menggaruk daerah lecet (tutup daerah yang lecet
dengan perban tahan air dan memotong kuku anak), kompres dengan menggunakan
larutan NaCl 0,9% dan selalu menjaga kebersihan. Berikan terapi medikamentosa
berupa antibiotic topical Mupirocin tiga kali sehari dan dikarenakan krusta yang
timbul banyak, dicurigai infeksi meluas maka diberikan juga terapi sistemik berupa
Amoksisillin dengan dosis anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari. Terapi tersebut untuk
mengobati infeksi, mencegah penularan, menghilangkan rasa tidak nyaman dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Pemberian mupirocin di indikasikan pada infeksi
kulit primer akut seperti impetigo, selain itu penggunaan mupirocin topikal jauh
lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo dan mupirocin
topikal memiliki sedikit kegagalan.13 Sementara pemberian amoksisilin merupakan
pilihan pertama (Golongan Lactam) yang termasuk golongan penicilin (bakterisid)
yang memiliki sifat absorbsi pada saluran cerna lebih baik dari golongan penicilin
lainnya.14
Prognosa pada kasus ini Quo ad vitam, fungsionam, dan sanationam adalah
dubia ad bonam.
BAB III
PEMBAHASAN
dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang
mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan,
tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi. Kelainan kulit
didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk
vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan
purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran
karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi dapat meluas lebih dari 2 cm,
biasanya berkelompok dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan
banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada
akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan jaringan
scar.1,4,5,8
Selain itu berdasarkan riwayat penyakit dahulunya, menurut orang tua pasien
keluhan ini merupakan keluhan pertama yang dialami oleh pasien namun pasien 2
minggu yang lalu ada riwayat campak. Riwayat gigitan serangga disangkal, dan
riwayat memiliki hewan peliharaan disangkal.
Berdasarkan riwayat penyakit keluarga, tidak terdapat anggota keluarga yang
juga menderita keluhan yang sama seperti pasien. Penderita adalah anak kedua di
keluarganya, belum bersekolah, disekitar lingkungan rumah tidak ada temannya yang
mengalami keluhan seperti pasien. Riwayat kebiasaan pasien biasanya mandi teratur
2x sehari, pagi dan sore hari dengan menggunakan sabun mandi. Namun sejak
sebelumnya pasien mengalami campak ditambah lagi setelah keluhan ini muncul
pasien lebih jarang dimandikan, hanya diseka dengan kain lap basah 1x sehari. Pasien
juga mengganti pakaiannya 2x sehari setelah mandi dan menggunakan handuk
sendiri. Selain itu juga pasien jarang mencuci tangannya, setelah bermain dengan
teman-temannya.
Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa Impetigo krustosa banyak
terjadi pada musim panas dan daerah lembab. Anak-anak prasekolah dan sekolah
paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding
perempuan.2 Disamping itu, ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya
impetigo krustosa seperti : hunian padat, higiene buruk, hewan peliharaan, keadaan
yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan serangga, herpes
simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.1,4,5 Namun, pada kasus ini factor penyebab
yang menimbulkan gejala pada pasien kemungkinan besar karena higiene yang buruk
akibat pasien jarang mandi dan jarang mencuci tangan sehabis bermain, selain itu
karena perubahan cuaca juga dapat mempengaruhi timbulnya gejala yang dialami
pada pasien tersebut.
Pada pemeriksaan fisik dan dermatologi pada kasus ini didapatkan bahwa
regio hip (puncak hidung) terdapat krusta kuning kecoklatan, ukuran numular,
bentuk tidak teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran diskret sebagian konfluen,
diameter 2x1 cm, sebagian kering dan sebagian basah. Regio columella nasi :
terdapat erosi, ukuran lenticular, berbentuk anular, sirkumskrip, berkonfluens dengan
lesi yang lain, serta pada bagian atas lesi terdapat krusta tipis berwarna kekuningan.
Regio pipi central kanan terdapat krusta eritem simetrik, ukuran lentikuler, bentuk
tidak teratur, sirkumskrip, dan penyebaran irisformis, diameter 2x1 cm. Regio pipi
central kiri terdapat krusta eritem, ukuran lentikuler, bentuk tidak teratur, berbatas
tidak tegas, dan penyebaran konfluen, diameter 1x1 cm. Regio sudut bibir kiri
terdapat erosi unilateral, ukuran numular, bentuk teratur, sirkumskrip, dan penyebaran
konfluen, diameter 0,5x 0,5 cm. Regio dagu kanan atas terdapat krusta eritem
unilateral, ukuran miliar, bentuk tidak teratur, berbatas tidak tegas, dan penyebaran
diskret, diameter 0,3x1 cm. Pada bagian pinggir erosi terdapat skuama pitiariformis
berwarna putih.
Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka bahwa pemeriksan fisik dan
dermatologi pada impetigo krustosa ditemukan kelainan kulit berupa lesi awal yang
dapat di lihat berupa eritema dan vesikel, pustul dan meninggalkan erosi yang
semakin cepat berkembang menjadi plak krusta berwarna seperti madu yang di mana
ukuran nya bisa membesar > 2cm, pada daerah sekelilingnya bisa di sertai dengan
10
eritema. Setelah beberapa minggu kemudian hal tersebut juga perlahan-lahan dapat
menyebabkan area baru pada kulit yang lainnya 1,2 Tempat predileksi tersering pada
impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena
dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena,
yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya
terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi.4,6
Berdasarkan
kasus, pemeriksaan
penunjang tidak
dilakukan
karena
keterbatasan alat dan kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan
terapi standar, dan biopsi jarang dilakukan..
Pada tinjauan pustaka, kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan
dengan terapi standar. Biasanya diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya
tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan,
tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong. 2,3
penunjang seperti pewarnaan Gram untuk melihat adanya bakteri kokus Gram positif
(Staphylococcus atau Streptococcus). Adapun untuk menegakkan diagnosis lebih
pasti pada kasus impetigo dengan biakan atau kultur dari eksudat yang diambil di
bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari bula. Hasil kultur bisa
memperlihatkan S. aureus, S. Pyogenes atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotik
dilakukan untuk mengisolasi metisilin resistan S. aureus (MRSA) serta membantu
dalam pemberian antibiotik yang sesuai. 4,7
Pada kasus ini, untuk diagnosis bandingnya dengan : ektima, dermatitis
seboroik dengan infeksi sekunder, dan pemfigus vulgaris. Adapun untuk
membedakan dari kasus impetigo krustosa, maka ditemukan antara lain adalah :
1. Ektima penyebabnya sama dengan impetigo krustosa, namun gambaran
klinisnya (apabila bula sudah pecah) juga mirip yaitu berupa krusta tebal
berwarna kuning. Namun diagnosa banding ektima dapat disingkirkan karena
lesi ektima dapat mengenai anak dan dewasa, tempat predileksi di tungkai
bawah, dan dasarnya adalah ulkus.
11
12
mahal, dan memiliki efek samping terbatas. Antibiotik topikal memiliki kelebihan
yaitu hanya diberikan jika dibutuhkan, yang mana meminimalisir efek samping
sistemik. Akan tetapi, beberapa antibiotik topikal bisa menyebabkan sensitisasi kulit
pada orang-orang yang rentan.7
Penatalaksanaan pada kasus impetigo dapat dilakukan baik secara
medikamentosa maupun non-medikamentosa sebagai berikut:2,3
1. Terapi non medikamentosa
A. Umum
Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.9
Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit yang
terkena untuk mencegah infeksi. 9
Mengurangi kontak dekat dengan penderita 9
Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan
dapat melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa: 9
-
Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak
menggunakan peralatan harian bersama-sama.
Memotong
kuku
untuk
menghindari
penggarukan
yang
memperberat lesi.
-
B. Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo krustosa bertujuan untuk memberikan
kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan
kekambuhan.3
13
Mupirocin
Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai
digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan
menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri.
Fusidic Acid
Tahun 2001 telah dilakukan penelitia n terhadap fusidic acid yang
dibandingkan dengan plasebo (dikombinasi dengan sampo iodinepovidone) pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien
impetigo dan didapatkan hasil bahwa penggunaan fusidic asid jauh
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan plasebo.8
14
Ratapamulin
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui
oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai
pengobatan impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh
metisilin resisten ataupun vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan
dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil
transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari
bakteri.
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210
pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas
lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas dari total luas badan.
Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut didapatkan 82%
dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut
diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi.
Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan
didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benarbenar telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6%
pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis
dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang
menggunakan plasebo.4
Dicloxacillin
Penggunaan
dicloxacillin
pengobatan
15
b. Terapi sistemik
a. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid) dan turunannya1,4
-
Ampicillin
Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac
Amoksicillin
Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari
Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac
16
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk
hari ke-2 sampai hari ke-4.
o Klindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)
Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari
Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
2. Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N,
Griffiths C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed. Turin: Blackwell.
2004. p.27.13-15.
3. Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP
(eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.
4. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy
of
Family
Physician.
Vol.75.
No.6.
2007.
p.859-864.
Diunduh
dari:
http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf
5. Heragandhi, Novrina. Kuman penyebab pioderma superfisialis pada anak, dan
kepekaannya terhadap beberapa antibiotik. 18 februari 2015. Diakses di
http://www.lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-110336.pdf
6. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of Dermatology.
Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 1979.
7. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff (Editor), K.
Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen Katz (Editor).
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol. Set). 6th edition (May
23, 2003): By McGraw-Hill Professional.
8. Diagnosa
dan
Pengobatan
Impetigo.
Available
at
http://www.topreference.co.tv/2015/16/diagnosa-dan-pengobatan-impetigo.html
9. Sander Koning, Lisette W.A. van suijlekom-Smit, Jan L Nouwen, Cees M
Verduin, Roos M.D Bernsen, Arnold P Oranie, Siep Thomas, and Johannes C van
der Wouden. Fusidic acid cream in the treatment of impetigo in general practice:
double
blind
randomised
placebo
controlled
trial.
Available
at
http://www.bmj.com/content/324/7331/203.full
18
10. Penatalaksanaan
Terapi
Penyakit Impetigo.
Available
at
http://yosefw.wordpress.com/2015/02/16/penatalaksanaan-terapi-penyakitimpetigo/
11. Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA: University
of Virginia
12. Childrens Hospital. Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo,
Virginia:University of Virginia School of Medicine.
13. Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical Mupirocin Versus Oral
Eyitromycin for Impetigo, Ohio: University School of Medicine. Copy and WIN :
http://bit.ly/copynwin
14. Gunawan, G. Sulistia.
19