Anda di halaman 1dari 25

PANDANGAN KAUM ORIENTALIS TERHADAP HADIST

A.

Pendahuluan
Bagi umat Islam, hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah AlQuran. Mengingat bahwa Al-Quran yang masih begitu mujmalnya, untuk
pemahaman yang lebih mendalam tentang esensi dari Al-Quran, maka Hadits
adalah salah satu solusi terbaik yang mesti dipergunakan karena hadits itu
berisi segala hasil koleksisitas dari apa yang pernah dilakukan nabi, diucapkan
nabi atau yang disetujui oleh nabi (taqrir).
Semua sahabat, umumnya menerima hadis dari Nabi SAW. Namun, dalam
hal ini, para sahabat tidak sederajad dalam mengetahui keadaan Rasul. Ada
yang tinggal di kota, di dususn, berniaga, bertukang dan ada pula yang sering
bepergian, ada yang terus menerus beribadat, tinggal di masjid tidak bekerja.
Nabi pun tidak selalu mengadakan ceramah terbuka, kadang-kadang saja beliau
melakukan yang demikian (TM. Hasbi Ash-Shieddieqy, 2009 :.29).
Studi mengenai hadits menjadi perbincangan antara Islam dan orientalisme
yang merupakan sebuah studi prestisius. Karena hampar setiap bidang kajian
Islamic berkaitan dengan orientalisme, baik itu tafsir, hadis, fikih, filsafat,
sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan
kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya
bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih dari itu,
sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai
bahan referensi dalam penelitian mereka.
Untuk

itu,

sungguh ironis ketika

kita

sebagai

umat

Islam,

hanya

membangga-banggakan hadits sementara tidak mau mempelajarinya secara


mendalam. Oleh karena itu, wajar ketika para orientalis ingin mengkaji,
mempelajari untuk multi keperluan diantaranya untuk penambahan wawasan
mereka, dan yang esensial adalah sebagai bahan untuk misionaris karena
mereka telah mengetahui kelemahan dari hadits-hadits tertentu yang dimiliki
Islam.

Keragu-raguan yang menyertai suatu berita tidak hanya yang berkaitan


dengan hal-hal ghaib, tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan tugastugas keagamaan yang harus dikerjakan. Adanya keraguan atau kebingungan
yang dialami oleh seorang perawi hadis tidaklah terlalu merugikan Islam.Kitab
Allah

mashum(terjaga

dari

kekeliruan,

penambahan

atau

pengurangan)demikian pula Sunnah Nabi SAW, pada umumnya tetap utuh dan
sehat.

Kekeliruan

seorang

mengherankan. Tetapi,

perawi

yang

sebenarnya

mengherankan

adalah

wajar

adalah

dan

adanya

tidak
usaha

pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah lagi


dengan pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti ini tidak
pernah ada pada diri para imam dan tidak pula terjadi kebiasaan para
tokoh salaf maupun khalaf (Syaikh Muhammad Al-Ghazali, 1994 : 159).
Kita harus berhusnudzan, bahwa dengan adanya upaya orang-orang dari
kalangan orientalis gemar melakukan penelitian terhadap hadits, setidaknya
menambah greget bagi umat Islam untuk belajar hadits lebih mendalam.
Atas dasar di atas, maka penulis memberikan beberapa masalah dalam
kajian hadits bagi para orientalis, diantaranya :
1.

Bagaimana pandangan orientalis tentang hadits ?

2.

Siapa sajakah tokoh orientalis dan bagaimanakah pendapatnya tentang

hadits ?
3.

Bagaimana isu-isu

penting terhadap hadits-hadits

yang populer di

masyarakat tetapi bermasalah ?

B. Pembahasan
1.Pandangan Orientalis tentang Hadits
Berawal dari banyaknya fenomenologi Hadits yang di miliki Islam yang
sering menimbulkan pertentangan dan kontroversial serta multi penafsiran di
banyak

kalangan,

membuat

para

aqidah dengan Islam cepat masuk

orientalis

yang sudah

lama

dendam

dan mencari celah kesalahan serta

kelemahan Islam terutama hadits untuk keperluan misionaris mereka.

Penafsiran

hadits

dalam

pandangan

orientalis

banyak

mengalami

kelemahan, yang menurut Abdur Rahman Wahid, dkk (1993 : 101) bahwa
kelemahan orientalis ialah tidak bertitik tolak pada keimanan jadi tidak percaya
kepada agama Islam
Orientalis menganggap bahwa Islam sebagai gejala yang diobservasi, jadi
sangat

fenomenologis,

misalnya

dalam

buku

yang

berjudul Hajarism maksudnya Hajar istri Ibrahim itu yang oleh orientalis
dianggap bahwa semua mentalitas orang Arab terutama mentalitas yang
kemudian menghasilkan agama Islam itu adalah Hajarism.
Para orientalis dalam memberikan penafsiran dan pemahaman terhadap
Hadits adalah karena didasari nafsu dan dendam kepada umat Islam yang
cukup lama karena mengapa Islam diturunkan di Negara yang tandus seperti
Arab pada waktu itu, bukan di tempat yang subur seperti yang diharapkan oleh
para orientalis.
Para orientalis dalam memberikan penafsiran terhadap hadis kurang
mempelajari tentang syarah hadis, yaitu yang menjelaskan kesahihan dan
kecacadan sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan hukum dan hikmahnya (Mujiono Nurkholis, 2005 : 3), atau kalau
pun mempelajarinya hanya dari sudut pandang yang satu, yakni hanya mencari
kelemahan atau kecacadan hadis saja.
Para orientalis kehilangan sebagian watak ilmiahnya, dan kemudian menjadi
alat penjajah, misalnya yang dramatis sekali seperti dilakukan oleh Snouck

Hurgronje di Indonesia. Hadits yang berbunyi

yang artinya




adalah bahwa Dunia itu adalah penjara bagi kaum mukminin yang menurut
orientalis adalah buatan Van der Plas, yang padahal sesungguhnya adalah
berasal dari Rasul Muhammad( Abdurrahman wahid, 103) hal ini dipergunakan
untuk propaganda dalam penjajahan dan kolonialisme.
Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan
studi hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905),
Ignaz Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens
(1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef
Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ),

James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy,


Michael A. Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown,
L. T. Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson,
Charles J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight,
John Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fck, H. A. R. Gibb, W. M.
Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki.
Karya para orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer saat ini
yang mengalami krisis pemikiran dan pemahaman terhadap sunnah dan cara
bermuamalah yang ironisnya krisis ini terjadi pada masa adanya fenomena
kebangkitan Islam sebagai tumpuan harapan umat Islam baik yang berada di
Timur tengah maupun Barat, namun banyak dari kalangan mereka terlibat di
dalamnya dan mempunyai pemahaman yang pincang terhadap sunnah yang
suci ( Yusuf Qardawi, Bandung : 17) .
Oleh karena itu, mereka disanggah oleh sebagian sarjana Muslim seperti
Muhammad Mustafa al-Azami dalam Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinih, Fuat M. Sezgin dalam Geschichte der Arabischen Schrifttummms,
Mustafa al-Sibai dalam al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri, Muhammad Ajjaj
al-Khatib dalam Abu Hurayrah: Rawiyah al-Islam, Abd al-Rahman ibn Yahya alMualimi al-Yamani dalam al-Anwar al-Kashifah li ma fi Kitab Adwa ala alSunnah min al-Zalal wa al-Tadlil wa al-Mujazafah, MuhammadMuhammadAbu
Shuhbah Difa an al-Sunnah wa Radd Shubah al-Mustashriqin wa al-Kuttab alMuasirin, dan Nur al-Din Itr dalam Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith.
Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para
orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput
dari motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu
disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa ke masa kajian
sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari subyektivisme yang
dipacu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori oleh
keterbukaan dan kejujuran intelektual.
Sebagai bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus besar guna
melacak keberadaan sebuah hadis berdasarkan teks utama dari hadis tersebut
dalam enam buku koleksi hadis kanonik, Sunan al-Darimi, Muwatta Malik, dan

Musnad Ahmad ibn Hanbal dengan judul Concordance Et Indices De La Tradition


Musulmane (al-Mujam al-Mufahras li Alfz al-Hadth al-Nabaw) dalam tujuh jilid
tebal. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan
oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini, A. J. Wensinck meracik
kamus hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Miftah Kunuz al-Sunnah.
Dengan mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan bahwa
mereka seakan-akan terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat; saling
mewarisi ide, mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya
habis-habisan. Sayangnya, sebagian sarjana Muslim kontemporer terpengaruh
oleh ide-ide mereka, seperti Mahmud Abu Rayyah pengarang dua buku
kontroversial Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa an al-Hadith
dan Shaykh al-Mudirah: Abu Hurayrah, Ahmad Amin pengarang trilogi buku Fajr
al-Islam, Duha al-Islam, dan Yawm al-Islam, dan Kassim Ahmad pengarang
Iadah Taqyim al-Hadith: al-Awdah ila al-Quran.
Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang dilakukan
sebagian orientalis lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis
semua

orientalis,

tetapi

karena

alasan

tertentu

penulis

hanya

akan

menitiberatkan pada studi hadis garapan sebagian orientalis tentang teori


sistem isnd, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.
Secara metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini masih
bisa dipertanyakan, karena

tidak

akan menghasilkan pemahaman utuh

terhadap sikap dan pandangan mereka terhadap hadis, terutama tentang


tentang teori sistem isnd, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas
hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup
merepresentasikan

hasil

studi

hadis

orientalis

lainnya

dan

cukup

menggemparkan jagad pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan ini,


referensi signifikan yang ada hanya seputar studi hadis mereka sangat terbatas.
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun
kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isnad dan sanad,
posisi isnad dan sanad sangat urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada
tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah.
Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam buku-buku mereka dengan

cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan menisbatkan ke empunya,


terutama dalam bidang hadis.
Berkaitan dengan relasi antara isnad dan hadis, bila mayoritas sarjana
Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isnad bersamaan
dengan proses periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian.
Mereka masih saja mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isnad,
sebuah sistem periwayatan hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn alMubarak merupakan bagian dari Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat
secara tajam.
Sebelum membahas perbedaan pendapat para orientalis tentang teori
sistem isnad, hasil penelitian Muhammad Hamzah perlu diungkap terlebih
dahulu. Menurutnya, banyak peneliti berpendapat bahwa isnad bermula setelah
terjadinya fitnah berdasarkan pada perkataan Ibn Sirin: Mereka tidak biasa
bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah mereka berkata, Berilah nama
orang-orang kalian! Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima dan bila ahli
bidah, maka hadis mereka tidak diterima. Hanya saja menentukan sejarah
permulaan isnad dengan kejadian fitnah ini menyisakan permasalahan: fitnah
apakah yang dimaksud oleh Ibn Sirin?
Sebagaimana dinukil oleh Muhammad Hamzah, Joseph Schacht (19021969), orientalis Jerman, dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence
berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Sirin adalah fitnah
pembunuhan al-Walid ibn Yazid ibn Abd al-Malik ibn Marwan (w. 126 H)
berdasarkan pada persamaan penggunaan kata fitnah antara perkataan Ibn
Sirin dan apa yang disebutkan al-Tabari dalam Tarikh-nya, bahwa dalam
kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwan kacau-balau dan
terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn
Sirin sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum terjadinya
fitnah.
Berbeda dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan interpretasi
lain mengenai fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah fitnah Abd Allah
ibn al-Zubayr pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai
khalifah. Orientalis ini mendasarkan pendapatnya pada perkataan fitnah yang

dilontarkan oleh Malik ibn Anas atas gerakan Ibn al-Zubayr. Berdasarkan itu,
isnad muncul setengah abad lebih awal dari penentuan Schacht karena ini
sesuai

dengan

umur

Ibn

Sirin.

Ia

juga

mengilustrasikan

kepada

kita

kemungkinan menerima keterlibatan dan pengetahuan Ibn Sirin tentang apa


yang terjadi pada saat itu.
Pada gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam pembahasan berikutnya,
interpretasi fitnah Schacht dan Robson memengaruhi pandangan mereka
tentang teori permulaan penggunaan isnad, evolusi historitas hadis, dan
problem validitas hadis. Bila mereka berdua mendasarkan teori permulaan
isnad-nya pada penentuan penanggalan fitnah di kalangan umat Islam, maka
Sprenger, Caetani, dan Horovitz mendasarkan teori kemunculan isnad pada
tulisan-tulisan Urwah, sosok yang dianggap sebagai penghimpun hadis
pertama.
Alois Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi pertama yang
mula-mula skeptis terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan Leone
Caetani (1869-1926), orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana
dinukil oleh MuhammadBaha al-Din, Sprenger mengemukakan argumentasinya
bahwa tulisan-tulisan Urwah kepada Abd al-Malik tidak disertai dengan sanadsanad. Oleh sebab itu, apa pun yang dinisbatkan kepada Urwah berupa
penggunaan sanad-sanad pasti muncul relatif lebih akhir.
Sementara itu Caetani, sebagaimana menurut Muhammad Mustafa alAzami, meyakini bahwa penggunaan isnad untuk hadis-hadis Nabi belum
dikenal pada masa Abd al-Malik (80 H) atau lebih dari enam puluh tahun paska
Nabi saw. wafat, karena Urwah (w. 94 H), penghimpun hadis pertama, tidak
menggunakan isnad dan tidak menyebutkan referensi pembicaraannya selain
al-Quran sebagaimana tampak dengan jelas dalam penukilan-penukilan alTabari darinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa penggunaan sanad-sanad
bagi hadis dimulai antara Urwah dan Ibn Ishaq (151 H), sehingga sebagian
besar sanad yang ada dalam buku-buku sunnah pastilah kreasi para sarjana
hadis pada abad kedua hijriah, bahkan begitu juga pada abad ketiga(1992
Di pihak berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931), orientalis Jerman,
membantah

keras

pendapat

Sprenger

dan

Caetani.

Hasil

penelitiannya

menunjukkan bahwa pihak yang menafikan penggunaan Urwah terhadap isnad


tidaklah mengkaji tulisan-tulisan dan sanad-sanadnya dengan sempurna. Ia
sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isnad untuk hadis bermula sejak
sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijriah. Menurut Muhammad Baha alDin, Horovitz menuangkan kritik ini dalam bukunya Alter and Ursprung des
Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram al-Umri menyebutkan dua
pendapat Horovitz. Pertama, Robson menarik kesimpulan bahwa Horovitz
sependapat dengan Caetani yang berpendapat bahwa sanad belum ada
sebelum tahun 74 H. Kedua, isnad pada masa sebelum al-Zuhri merupakan
kebiasaan, bukan sesuatu yang telah paten.
Jauh berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz Goldziher (1850-1921)
melangkah lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini, sebagaimana dinukil
oleh Ali Masrur, isnad adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi Islam
awal. Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph Schacht. Orientalis spesialis
hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip oleh MuhammadBaha al-Din,
berpendapat bahwa isnad diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana
dan mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak
isnad yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin
menisbatkan

pendapat-pendapatnya

kepada

orang-orang

terdahulu

(al-

mutaqaddimun), maka mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya ke


dalam isnad.
Masih menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, isnad
memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Isnad berawal dari
bentuk

yang

sederhana,

lalu

diperbaiki

sedemikian

rupa

dengan

cara

mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal,
seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Dengan kata lain, isnad merupakan
rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara aliran fikih klasik dan ahli
hadis. Pendapat terakhir Schacht ini dikenal dengan nama projecting back
theory.
Pendapat senada diutarakan oleh Noel J. Coulson. Sebagaimana dikutip
oleh MuhammadBaha al-Din, ia berpendapat bahwa demi mengukuhkan
madhhab dalam mengikuti apa yang sudah ditetapkan dari hukum-hukum al-

Quran, ahli hadis mulai menisbatkan banyak kaidah dan hukum secara salah
kepada Rasulullah saw. Mereka menciptakannya dalam bentuk cerita-cerita dan
informasi-informasi tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Muhammad
dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Itu adalah akibat kepercayaan kokoh
mereka bahwa Nabi saw. akan memutuskan secara tegas dengan hukum-hukum
yang dinisbatkan kepadanya ketika ia menghadapi persoalan-persoalan yang
terjadi.
Jika dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan Coulson, maka
pendapat Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini, sebagaimana
dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad pertama hijriah mungkin
sudah ada suatu metode semacam sanad. Sebab pada pada masa itu sejumlah
sahabat sudah wafat, sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu
dengan Nabi saw. mulai meriwayatkan hadis-hadisnya. Dengan sendirinya
mereka akan ditanya oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka
mendapatkan hadis-hadis itu. Hanya saja metode sanad secara detail tentulah
berkembang sedikit demi sedikit setelah itu.
Setelah itu Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh
Muhammad Mustafa al-Azami, dengan berkata sebagai berikut:
Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibn Ishaq pada paruh kedua dari abad
kedua hijriah memberikan informasi-informasinya tanpa sanad. Sebagian besar
yang tersisa darinya tanpa sanad utuh dan para pendahulunya pasti lebih
sedikit memperhatikan sanad-sanad dibanding dirinya. Tetapi tidak tepat kita
berkata, Sesungguhnya isnad berasal dari masa al-Zuhri dan tidak diketahui
pada masa Urwah, sementara sistem isnad yang mencapai kesempurnaannya
memakan waktu lama dan berkembang dengan lambat. Sebagian orang
mungkin

bisa

menerima

bahwa

sebagian

sanad

bermula

sejak

dulu

sebagaimana yang diklaim orang.


Masih berkaitan dengan posisi Ibn Ishaq dalam persoalan permulaan isnad,
W. Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad bermula dari
bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang terdapat dalam
buku Ibn Ishaq pada paruh pertama dari abad kedua hijriah dan dengan alWaqidi, seorang juru tulis Ibn Saad yang kira-kira dua puluh tahun lebih muda

darinya, yang berusaha menyebutkan silsilah para periwayat (ruwat) dengan


sempurna. Orang yang memaksakan diri menyebutkan silsilah para periwayat
dengan sempurna adalah al-Shafii, orang yang sezaman dengan al-Waqidi.
Sehingga bila penyebutan sanad yang sempurna sudah tersebar luas, maka
para sarjana hadis terdorong untuk menisbatkan sanad kepada orang-orang
yang sezaman dengan Muhammadsaw., sehingga ketika mereka menisbatkan
kepada para periwayat, maka penisbatan mereka akan menjadi benar karena
mereka mengetahui dari mana para pendahulu mereka mendapatkan informasiinformasinya.
Pendapat

yang

bertolak

belakang

dengan

para

orientalis

di

atas

dikemukakan oleh Nabia Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia


menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung sejak awal
dan berkesinambungan. Kata sejak awal di sini mengandung arti bahwa
para sahabat Nabi saw. sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis,
sementara kata berkesinambungan berarti bahwa sebagian besar hadis
memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga
akhirnya hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik.
Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis,
karena isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang
peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya
ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis; apakah
kemunculan isnad bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh
sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam
buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini
juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu
dikemukakan. Sebab, menurut MuhammadMustafa al-Azami, buku ini ibarat
kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini
Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena
hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena
kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam
setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin

fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan
bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari
Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama,
atau

refleksi

dari

kecenderungan-kecenderungan

yang

tampak

pada

masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.


Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata
berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya.
Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau
nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian
hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana
Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan
bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Shabi (w. 110 H). Oleh sebab
itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadishadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Shabi. Hukum
Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qadi) yang baru
dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan
pada qadi ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas
lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan
itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh
sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama
semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini
umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan
kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah
beliau wafat di tangan para qadi yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada
generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal
dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.
Tidak jauh dari pendapat Schacht, salah seorang orientalis yang banyak
dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht dan memusatkan
perhatiannya pada kajian hadis selama puluhan tahun, G. H. A. Juynboll,
mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis Nabi

tidak mendapatkan perlakuan seperti generasi-generasi Muslim belakangan. Ia


berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah:
Abu Bakar, Umar, Uthman, dan Ali. Khusus khalifah pertama, jarang sekali ia
menemukan dalam karangan-karangan terdahulu seperti Tabaqat karya Ibn
Saad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Malik tidak meriwayatkannya dalam alMuwatta-nya kecuali empat puluh empat hadis. Satu di antaranya hadis
musnad kepada Nabi dengan isnad tidak terputus. Dalam Musnad al-Tayalisi ia
menemukan sembilan hadis milik Abu Bakar. Tujuh di antaranya tentang altarghib dan al-tarhib. Sedangkan Musnad Ahmad ibn Hanbal ia menemukan
sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya tentang bermacam-macam
tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum haram-halal.
Berkaitan dengan Sahih al-Bukhari, ia menemukan lima hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu perbandingan koleksi
hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak mungkin
memasukkan Abu Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak
dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau
kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu Bakar al-Siddiq
(w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa
yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis
terbanyak seperti Abu Hurayrah (w. 59 H), Ad secara ketat, sebagaimana
tersurat dalam perkataan Ibn Sirin di atas. Secara tidak langsung, itu juga
membuktikan
berlangsung

bahwa
dengan

proses
longgar

transmisi
dan

hadis

tidak

sebelum

terjadinya

fitnah

mendapatkan

perhatian

ekstra

dibanding periode-periode belakangan.


Pendapat Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut. Menurutnya,
sebagaimana dinukil oleh Wael Hallaq dalam The Origins and Evolution of
Islamic Law, tampak jelas bahwa hadis tidak berperan dalam bentuk-bentuk
pemikiran fikih yang berkembang pada awal-awal kemunculannya. Penggunaan
rasio terus berkembang sejak periode pertama hingga pertengahan abad kedua
hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil studi statistik salah seorang peneliti
menunjukkan bahwa sepertiga dari riwayat-riwayat al-Zuhri berisi penalaran

rasio, sementara sepertiga terakhir hanya mengandung pendapat-pendapat


yang dinisbatkan kepada para pendahulu. Hasil studi statistik itu juga
menunjukkan bahwa Qatadah berpegang pada rasio sebanyak 62% dalam
riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan bahwa 84% dari bagian yang
tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat berisi penalaran rasio para
pendahulu.
Selain

pendapat

Goldziher,

Schacht,

Juynboll,

dan

Motzki

tentang

persoalan evolusi historisitas hadis di atas, MuhammadMustafa al-Azami


menyebut pendapat sebagian orientalis bahwa hadis-hadis Nabi ada dengan
bentuk sederhana pada akhir abad pertama hijriah dan kemudian berkembang,
sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia muncul pada abad kedua hijriah
dan menjadi sempurna pada abad ketiga hijriah. Sayangnya, al-Azami tidak
menyebut nama mereka sehingga tidak bisa dilacak dan dieksplorasi lebih jauh.
Bila teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas
hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis.
Sebab sistem isnad adalah sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan
hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas
hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap akurasi penerapan sistem
isnad.
Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat
membantu pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain,
apakah keadaan sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis
atau tidak. Oleh sebab itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga
hal tersebut sangat memengaruhi hasil kajian yang lain.
Menurut Muhammad Abd al-Razzaq Aswad dalam disertasinya Al-Ittijahat
al-Muasirah fi Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Misr wa Bilad al-Sham,
Goldziher termasuk dalam lingkaran orientalis seperti Caetani, Guston White,
dan Wensinck yang berpendapat bahwa para sarjana hadis Muslim hanya
mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik matan-nya.
Menurut Goldziher, sebagaimana diringkas oleh MuhammadHamzah, umat
Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal dari peran
dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan

hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya. Meskipun dengan


metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan
banyak hadis yang silsilah isnad-nya terdiri dari para periwayat mudallis, tetapi
itu tidak cukup guna mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu dan
para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai sanadsanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang
sama, para mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada
para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi
para audiens yang cenderung mempercayai apa yang diriwayatkan dari
mereka.
Selanjutnya,

ia

menarik

kesimpulan

bahwa

langkah-langkah

yang

diterapkan dalam penyelidikan dan penyaringan isnad-isnad kurang memadai


dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan yang tampak
dengan jelas, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam sejak awal lebih
didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek kritiknya hanya pada
aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada kritik silsilah isnad.
Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka matannya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita atau berisi hal-hal
kontradiktif.
Bila Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka Schacht melangkah
lebih jauh lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya sebagai penerus
Goldziher ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih, terutama
hadis-hadis fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti sikap skeptisnya
menjadi sikap penuh keyakinan dalam menolak kesahihan hadis.
Dalam meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai sarjana dengan
reputasi baik tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan dengan
usaha bertahun-tahun sehingga sampai pada kesimpulan tersebut. Sebagai
orientalis kenamaan, Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan Islam,
termasuk hadis. Begitu juga Schacht melalui kajian mendalam terhadap alMuwatta karya Malik ibn Anas dan al-Risalah karya Muhammadibn Idris alShafii. Usaha mereka berdua kemudian dilanjutkan oleh orientalis-orientalis
lain, seperti G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, baik itu berupa kritik,

pengembangan dari penemuan sebelumnya, bahkan penemuan-penemuan


baru.
Juynboll, misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan teori
common link gagasan Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas hadis.
Menurut Ali Masrur, ia menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan
sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini
berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang
bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang
meninggalkannya,

semakin

besar

pula

seorang

periwayat

dan

jalur

kritik

hadis

periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.


Ia

menawarkan

teori

ini

sebagai

ganti

dari

metode

konvensional. Jika metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas


periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas
periwayat

saja,

tetapi

juga

kuwantitasnya.

Menurutnya,

kritik

hadis

konvensional memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dan tidak


mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadis.
Sementara itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya memperbaiki metode
analisis isnad Juyboll, Motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan
metode analasis isnad-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri
sejarah periwayatan hadis dengan cara membandingkan varian-varian yang
terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Tentu saja metode ini
tidak hanya menggunakan isnad, tetapi juga matan hadis. Dalam mengamati
varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isnad, metode ini berangkat dari
asumsi dasar bahwa sebagian berbagai varian dari sebuah hadis, setidaktidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan dan juga
bahwa

isnad

dari

varian-varian

itu,

sekurang-kurangnya

sebagiannya,

merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.


Data-data di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual yang kuat
antara Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama pengaruh
pemikiran-pemikiran hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini terbukti
salah satunya dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping pengakuan
mereka sendiri. Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana dinukil oleh Nur al-

Din Itr, para peneliti menganggap pencapaian-pencapaian Goldziher dalam hal


ini secara umum bersifat pasti. Oleh karena itu, dalam proses penelitian
terhadap perkara-perkara utama dan rincian-rinciannya mereka mencukupkan
diri pada pencapaian-pencapaian Goldziher.
Lebih dari itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis memiliki
istilah-istilah teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali dengan
istilah-istilah teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik internal, kritik
eksternal, common link, common link cum partial common link, real common
link, seeming (artificial) common link, inverted common link, inverted partial
common link, partial common link, diving strand, single strand, argumente
silentio, fabricator, source critical method, spider, geometric progression, isnadcum-matn, dan terminus ante quem.
2. Tokoh-tokoh Orientalis dan pendapatnya tentang Hadits
Berikut ini, penulis contohkan beberapa tokoh orientalis dari sekian banyak
yang memperbincangkan hadis sebagai bahan pengetahuan guna instropeksi
kita bahwa begitu penting ilmu dalam kehidupan, terlebih ilmu hadis yang
dijadikan sebagai sumber dasar hukum kedua setelah al-Quran bagi umat
Islam, yaitu :
a. Ignaz Goldziher (1850-1921)
Dia

adalah

seorang

berjudul Muhammedianische

revisionis

hadits,

Studien menyatakan

kesejarahan dan keshahihan hadits .

dalam

bukunya

keraguannya

yang
atas

Ada empat argumentasi Goldziher

dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan
tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang
lebih

mengimplikasikan

periwayatan

lisan

daripada

periwayatan

tertulis. Kedua, adanya hadits-hadits yang kontradiktif. Ketiga perkembangan


hadits secara massal tidak termuat dalam koleksi hadits sebelumnya. Keempat,
para sahabat kecil lebih banyak mengetahui nabi dalam arti mereka lebih
banyak meriwayatkan hadits dari pada sahabat besar (Juynboll, 2007 : 33-34).
b. A. Sprenger (1813-1893)
Berpendapat bahwa hadits yang ada itu sebagiannya adalah palsu
(Juynboll, 18).

c. Joseph Schacht (1902-1969)


Mengatakan

bahwa

isnad

sebenarnya

memiliki

kecenderungan

berkembang ke belakang dimana pada awalnya hadits hampir tidak pernah


kembali pada nabi atau sahabat tetapi disebarkan berdasarkan otoritas para
sahabat Juynboll, 18).
d. G. Weil, W. Muit dan R.P.A Dozy
Berpendapat bahwa seidak-tidaknya separo hadits yang terdapat
dalam koleksi al-Bukhori adalah otentik (Juynboll, 18).
e. Michael A. Cook
Dia mengakui bahwa metode Van Ess adalah metode seorang
orientalis yang mengkritik Common Link 9 Juynboll, 184).
f. A.M.M Azami
Dia mengkritik metode common link bahwa menurutnya metode
common link dalam pengambilam kesimpulannya tidak relevan dan tidak
mendasar sama sekali (Juynboll,170) disamping itu juga ia berpendapat bahwa
hadis apapun yang diriwayatkan dari Nabi yang isinya keberatan atas praktik
kebiasaan ini tentunya adalah hadis palsu (Juyboll, 173).
g. H.H Motzki
Menurutnya adalah banyak bukti yang mengidentifikasikan bahwa
common link adalah para kolektor hadis sistematis pertama yang sekaligus
berperan sebagai guru yang menjarkan ilmu pengetahuan secara umum dan
mengajarkan hadis secara khusus (Juynboll, 177).
h. Norman Calder
Bahwa dia meragukan validitas metode common link dan informasi
sejarah yang didapatkan melaluinya.
i.

David Powers
Dia seorang pakar hukum waris dari Cornell University, New York yang
menggunakan metode Common link dalam penelitiannya tentang hukum waris
di masa awal Islam yang mengatakan bahwa hukum Islam secara umum
bersumber dari kehidupan Nabi, yang untuk membuktikan teorinya Powers
mengatakan bahwa : pertama, dia membatasi pembagian waris sepertiga dan
mengkaitkannya dengan persoalan hukum waris dalam Islam. Kedua, analisis

terhadap sembilan belas matan hadis Speight yang mengarahkan pada


kesimpulan bahwa tidak ada lagi alasan untuk menerima penanggalan dari
pembatasan wasiat sepertiga pada periode Umayyah ( Juynboll,199).
j. G. H. A. Juynboll,
mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis
Nabi

tidak

mendapatkan

perlakuan

seperti

generasi-generasi

Muslim

belakangan. Ia berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi hadis


empat khalifah: Abu Bakar, Umar, Uthman, dan Ali. Khusus khalifah pertama,
jarang sekali ia menemukan dalam karangan-karangan terdahulu seperti
Tabaqat karya Ibn Saad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Malik tidak
meriwayatkannya dalam al-Muwatta-nya kecuali empat puluh empat hadis.
Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isnad tidak terputus.
Dalam Musnad al-Tayalisi ia menemukan sembilan hadis milik Abu Bakar. Tujuh
di antaranya tentang al-targhib dan al-tarhib. Sedangkan Musnad Ahmad ibn
Hanbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya
tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan
hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan Sahih al-Bukhari, ia menemukan
lima hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan
melalu perbandingan koleksi hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya
bahwa tidak mungkin memasukkan Abu Bakar dalam daftar para periwayat
atau periwayat terbanyak dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting
sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau
kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu Bakar al-Siddiq
(w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa
yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis
terbanyak seperti Abu Hurayrah (w. 59 H), Ad secara ketat, sebagaimana
tersurat dalam perkataan Ibn Sirin di atas. Secara tidak langsung, itu juga
membuktikan
berlangsung

bahwa
dengan

proses
longgar

transmisi
dan

dibanding periode-periode belakangan.

hadis

tidak

sebelum

terjadinya

fitnah

mendapatkan

perhatian

ekstra

3.Isu-isu penting terhadap hadits-hadits yang populer di masyarakat.


Mayoritas para orientalis berpendapat bahwa hadits yang ada itu adalah
bahwa tidak semua hadits itu berasal dari Nabi, tetapi ada yang berasal para
sahabat, oleh karena itu orientalis berpendapat bahwa hadits-hadits yang ada
saat ini adalah mayoritasnya palsu.
Hal ini dapat dibuktikan dalam realita kehidupan sehari-hari bahwa
banyak dijumpai hadits-hadits yang mengandung multi persepsi bahkan dapat
dikatakan hadits bermasalah, sementara hadits itu popular di kalangan
masyarakat dan pada dai sangat lazim memakainya, hal ini yang menurut
orientalis bahwa umat Islam kurang dianggap jeli terhadap hadits sebagi
sumber hukum yang kedua setelah al-Quran.
Umar bin Khottob berkata : akan datang manusia yang mendebat kalian
dengan meragukan Al-Quran, maka bantahlah mereka dengan berbagai
sunnah karena orang yang mengikuti sunnah adalah lebih mengetahui alQuran (Yusuf Qardhawi, 2007 :19).
Berikut

ini

penulis

sampaikan

beberapa

hadits

yang

popular

di

masyarakat tetapi setelah diteliti ternyata bukan sabda nabi, atau bukan hadits,
yaitu :

Artinya : Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu
akan hidup selamanya, dan bekerjalah kamu untuk kepentingan akheratmu
seolah-olah kamu akan mati besok.
Menurut Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Bani bahwa hadits dengan
redaksi di atas tidak memiliki sanad sama sekali ( la ashla lah), artinya tidak
berasal dari Nabi Muhammad SAW meskipun diakui sangat popular di
masyarakat (Ali Mustafa Yaqub, 2003 : 55-56)
2.

artinya : perbedaan pendapatku adalah rahmat.


Ibnu Hazm mengomentari pernyataan di atas bahwa ungkapa di atas

adalah tidak bermoral, alasannya jika perbedaan pendapat itu adalah rahmat

berarti kesepakatan mendatangkan kemurkaan (Muhammad Fuat Syakir, 2005 :


133), yang benar adalah dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang
bercerai berai dan berselisih setelah datang keterangan yang jelas kepada
mereka. Merekalah itu orang-orang yang mendapat siksa berat (QS. Ali Imran :
105).
Menurut Tafsir Al-Quran yang diterbitkan Kementerian agama Republik
Indonesia, bahwa QS. Ali Imran 105 itu : Allah melarang umat Islam dari
perpecahan, karena dengan perpecahan itu bagaimanapun kukuh dan kuat
kedudukan seuatu umat, pasti akan membawa kepada keruntuhan dan
kehancuran.

Karena

itu,

Allah

memperingatkan agar

umat

Islam

tidak

terjerumus ke jurang perpecahan ( Al-Quran dan tafsirnya : 2012, hal.16).


4.
Artinya : Carilah ilmu walaupun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim. Hadis ini bagi para ulama hadis dikategorikan
sebagai Hadis masyhur yang non-terminologis, yaitu hadis yang sudah popular
di masyarakat meskipun terkadang-hal ini belum berarti bahwa ia benar-benar
Hadis yang berasal dari Nabi SAW sebab yang menjadi criteria di sini adalah ia
disebut Hadis oleh masyarakat umu, dan ia masyhur atau popular di kalangan
mereka. Menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa hadis tersebut adalah bukan
hadis (Ali Mustafa Yaqub, 3).



5.















Artinya ; Barang siapa yang menginfaqkan uang satu dirham

untuk

mengagungkan hari kelahiranku, maka tak ubahnya ia mengunfaqkan emas



sebesar gunung di jalan Allah. Dan













Artinya : Siapa yang mengagungkan hari kelahiranku, ia akan masuk surge
bersamaku.
Teks-teks hadis mauludan di atas yang popular di masyarakat dan ternyata
hadis-hadis tersebut tidak dijumpai di dalam kitab-kitab yang mutabar sebagi
rujukan hadis (Ali Mustafa Yaqub,101).
Setelah kita ketahui beberapa hadis yang menjadi perbincangan banyak
khalayak termasuk para orientalis, diharapkan kita semakin gigih dalam
mencari dan belajar tentang suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hadis agar di

masyarakat dalam menyampaikan suatu hadis tidak menyimpang dari ajaran


utama sehingga keotentikan hadis yang dimiliki umat Islam senantiasa dapat
terjaga.

C. Penutup
Sekelumit fakta dalam pembahasan makalah ini membuktikan bahwa
pandangan

para

orientalis

tentang hadis

bermacam-macam,

termasuk

pandangan mereka mengenai teori sistem isnad, evolusi historisitas hadis, dan
problem validitas hadis. Oleh karena itu, menggeneralisasi mereka dalam satu
kategori

saja

tidak

dapat

dibenarkan.

Lebih

dari

itu,

sebagian

orang

menganggap negatif seluruh usaha mereka. Padahal faktanya tidak demikian.


Justeru sebagian usaha mereka sangat berarti bagi kemajuan kajian Islam.
Salah satu nilai positif kajian keislaman mereka terutama hadis adalah bisa
memacu gairah kajian umat Islam sendiri terhadap agama warisan intelektual
para pendahulu mereka. Tidak bisa dibayangkan bila kajian keislaman tidak
mendapatkan sentuhan dari para orientalis akan sepesat seperti sekarang.
Sebagai bentuk kajian ilmiah dengan beragam kepentingan, baik sentimen
keagamaan, ekonomi, politik maupun murni pengembangan kajian ketimuran,
usaha mereka tetap harus tidak dipandang sebelah mata. Sebab nilai positif
tidak selalu atau harus berasal dari umat Islam, sedangkan nilai negatif dari
non-Muslim.
Yang terpenting adalah agar keotentikan Ilmu hadis yang dimiliki umat
Islam tetap terjaga adalah dengan senantiasa terus belajar tanpa pernah
berhenti agar ilmu tidak ditarik oleh Allah SWT, maka perhatikan hadis berikut
ini : :



Artinya : Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm,
Lihat apa yang ada pada hadis nabi SAW, dan tulislah. Aku khawatir akan

terhapusnya ilmu dan hilangnya ulama. Dan, jangan engkau terima kecuali
hadis Nabi SAW. Sebarkanlah ilmu dan duduklah kalian hingga orang yang
belum tahu menjadi tahu. Sebab ilmu tidak akan hilang hingga dibiarkan
menjadi rahasia (Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedi
Hadits Shahih Al-Bukhari, 2011 :30).
Menyadari hal itu, usaha mereka tetap harus diterima dengan kepala
dingin seraya menyelidiki, mengkritik, bahkan dikembang sedemikian rupa agar
spirit mengkaji Islam terutama hadis tetap menyala di tengah-tengah umat
Islam. Bila itu dilakukan, setidaknya mereka akan menyadari bahwa Islam serta
kekayaan warisan intelektual para sarjana Muslim merupakan dua hal yang
sangat berarti, sehingga mereka sebagai para pewaris sah tidak rela bila yang
berhasil mengembangkan apalagi yang menghancurkannya adalah orang lain di
luar komunitas mereka.
Dalam makalah ini, penulis membuktikan bahwa mereka mengkaji hadis
dengan serius, bahkan rela menghabiskan puluhan tahun dari sisa hidupnya
sehingga menghasilkan beberapa karya dan penemuan yang tidak bisa
dilakukan oleh umat Islam. Sebagai peneliti outsiders, tentu saja metode dan
hasil kajian mereka tidak harus sama dengan metode dan hasil kajian umat
Islam. Oleh sebab itu, kelebihan dan kekurangan tetap menghiasi metode dan
hasil kajian mereka, sebagaimana juga berlaku terhadap metode dan hasil
kajian umat Islam sebagai peneliti insiders.

Daftar Pustaka
Agus Hidayatullah, dkk., 2012, Al-Jamil Alquran tajwid warna terjemah perkata,
Bekasi : Cipta Bagus Segara
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, 1994, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung : Mizan
Al-quran dan tafsirnya, 2012, Kementerian Agama RI
An-Nawawy, Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf, 1986, (Tarjamah H. Salim
Bahreisy), Riadhus Shalihin, Bandung, al-Maarif

Aswad, Muhammad Abd al-Razzaq, 2008, Al-Ittijahat al-Muasirah fi Dirasah alSunnah al-Nabawiyyah fi Misr wa Bilad al-Sham. Damaskus: Dar al-Kalim alTayyib
Al-Azami, Muhammad Mustafa. Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinih. Beirut: al-Maktab al-Islami,
Aziz Masyhuri, H.A., 1993, Ilmu Mustholah Hadits, Solo, Ramadhani
Baha al-Din, Muhammad, 1999, Al-Mustashriqun wa al-Hadith al-Na Shbawi. Kuala
Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD
Hartono Ahmad Jaiz, 2005, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Ibnu Hajar al-Asqalani, 1995, (Tarjamah A. Hassan), Bulughul Maram, Bandung, CV.
Diponegoro
Itr, Nur al-Din, 2008, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadith. Damaskus: Dar al-Fikr
Juynboll, G. H. A., 2007, Common Link-Melacak Akar Kesejarahan Hadits,
Yogyakarta : LKIS Yogyakarta
Kelompok Ilmuan MKDK, 2002, Hadits IAIN Raden Fatah
Palembang, Hadits, Palembang, IAIN Raden Fatah Press
Muhammad Ahmad, 2004, Muhammad Mudzakir, Drs., Ulumul Hadits, Bandung,
Pustaka Setia
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A. Juynboll, 2007, Melacak Akar
Kesejarahan Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Abu Abdullah, 2011, Ensiklopedi Hadits Shahih
Al-Bukhari-Mendalami Islam dari sumber yang Otentik, terj., Jakarta : Al-Mahira
Nurkholis, Mujiono, 2005, Metode Syarah Hadis, Bandung : Fasygil Grup
Qardawi, Yusuf, 1996, Studi Kritis As Sunah, terj., Bandung : Trigenda Karya
--------------------, 2007, Pengantar Studi Hadits, Bandung : Pustaka Setia
Umi Sumbulah, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadits, Malang, UIN-MALIKI PRESS
Wahid, Abdurrahman, dkk., 1993, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung : Remaja Rosda Karya
Yaqub, Ali Mustafa, 2008, Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
-------------------------, 2003, Hadits-hadits Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus

Anda mungkin juga menyukai