Anda di halaman 1dari 3

Wawancara eksklusif kontributor Majalah Hidayatullah dan Situs

Hidayatullah. com, Dzikrullah W Pramudya dan Santi W Soekanto, dengan


Khalid Misy'al, orang nomor satu HAMAS di Suriah.
Hidayatullah. com
eginilah selalu cara Allah Subhaanahu wa
Ta'ala memperkuat dan mendewasakan umat Islam, yaitu dengan memberi
cobaan berat. Palestina dan Masjidil Aqsha yang kini dipimpin
orang-orang yang shalih, hanif, dan menyayangi rakyat, hari-hari ini
sedang diuji dengan tiga tekanan besar: Pertama, embargo keuangan
internasional yang dikompori Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Kedua, sabotase politik yang terus-menerus dilakukan oleh oknum-oknum
dari rezim Orotitas Palestina yang kalah pemilu dan lebih ingin hidup
"damai" di bawah Israel. Ketiga, semakin ganasnya penjajahan
Israel menangkapi para pemimpin Palestina dan memperlakukan rakyatnya
lebih biadab dari rezim Apartheid Afrika Selatan puluhan tahun silam.
Khalid Misy'al adalah pusat pusaran ujian bangsa Palestina saat
ini. Dialah orang nomor satu di Harakah Al-Muqaawamah Al-Islamiyah
(Hamas: Gerakan Perlawanan Islam). Usianya 50 tahun. Tepat sembilan
tahun yang lalu ia pernah setengah mati setengah hidup, gara-gara
syaraf di dekat telinganya diinjeksi gas racun oleh dua agen Mossad di
Yordania. Sepuluh agen berpaspor Kanada dikirim PM Israel waktu itu
Benjamin Netanyahu untuk membunuh Misy'al. Walaupun dua agen
berhasil ditaklukkan oleh satu orang pengawal Misy'al, tapi racun
sudah terlanjur disutikkan. Kedua agen Mossad yang dibekuk itu lalu
ditukar dengan antidote (penawar racun), dan... dibebaskannya
Asy-Syahid Syaikh Ahmad Yassin. Alih-alih berhasil membunuh Misy'al,
Israel malah terpaksa melepas ulama mujahid besar itu dari hukuman
penjara seumur hidup. Allaahu Akbar. Sebagai salah satu pemegang
saham kemenangan Hamas dalam pemilu enam bulan silam, Misy'al tidak
mentang-mentang. Dia memberi jalan bagi Ismail Haniyah untuk menjadi
perdana menteri, dan meneruskan kehidupannya yang selalu di bawah
ancaman di Suriah untuk memimpin organisasi jihad terbesar dewasa ini.
Alhamdulillah, kontributor majalah Hidayatullah dan kolumnis situs
Hidayatullah. com, Dzikrullah W. Pramudya diizinkan Allah bertemu dan
mewawancarai Khalid Misy'al. Wawancara ini disertai istri
Dzikrullah, Santi W Soekanto, yang sehari-harinya memegang amanah
sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Alia. Permintaan wawancara sudah
diajukan tiga minggu sebelumnya, saat pasangan suami-istri tersebut
berada di Libanon Selatan dalam sebuah misi kemanusiaan bersama tim
dokter MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). Sepekan sebelum
wawancara, penghubung mereka yang juga orang Hamas mengaku diperiksa
habis-habisan oleh atasannya. Tiga hari menjelang wawancara baru
terjadi kontak via telepon yang intensif antara Dzikrullah dengan orang
Hamas yang berganti-ganti. Sehari sebelum mereka pulang ke Jakarta,

baru ada kepastian dari Hamas. Pasti diterima, tapi waktu dan tempat
masih dimajumundurkan, dirahasiakan. Jadwal wawancara dimajukan dari
jadwal yang sudah disepakati sebelumnya. Menjelang wawancara, Dzikru
dan Santi dijemput dengan hangat dan ramah oleh seorang petinggi Hamas.
Tempat pertemuan di sebuah masjid sesudah shalat maghrib, di Damaskus,
bekas ibukota Khilafah Bani Umayyah dan kini ibukota Republik Arab
Suriah. Hari sudah gelap, tapi beberapa orang berbadan tegap masih
terlihat berdiri dan duduk di tempat yang kurang lazim, di sekitar
masjid. Mereka berdua diajak masuk ke sebuah sedan yang berkaca sangat
gelap. "Di dalam mobil suasana sudah lebih akrab. Kami saling
bertukar salam dan doa. Namun suasana tegang malah meningkat karena
tiba-tiba saja supir membentangkan tirai hitam sehingga kami sama
sekali tak bisa melihat jalan di depan. Keadaan gelap itu hampir-hampir
sama dengan kalau mata kami ditutup kain hitam," kenang Dzikru.
Mobil berjalan cukup cepat, melambat di beberapa belokan, tapi ngebut
sebisa mungkin, sampai akhirnya masuk ke sebuah garasi. Sebelum mereka
keluar dari mobil, pagar baja tebal berwarna gelap di belakang mobil
ditutup secara otomatis. Mereka kemudian dibimbing masuk dan
menemukan beberapa orang yang baru selesai menunaikan shalat Maghrib
berjama'ah. Hampir semua pria yang ada di ruangan itu menyandang
senjata di dada atau di pinggangnya. Semuanya menyambut dengan senyum
akrab dan genggaman tangan yang erat. "Silakan masuk.. silakan
masuk... Ahlan wa sahlan.." "Telepon seluler kami diamankan.
Sebuah mesin detektor logam untuk barang dan manusia dioperasikan.
Salah seorang pria di dekat mesin itu tidak tersenyum sama sekali.
Matanya tajam memandangi bola mata kami satu per satu. Salah seorang
dari kami mengucapkan salam dan tersenyum kepada pria gagah ini. Di
belahan dunia manapun, kepada bangsa manapun, senyum selalu ampuh untuk
mencairkan suasana. Kali ini tidak mempan. Matanya tetap menyorot
tajam. Bibir pria itu hanya bergerak sedikit menjawab salam, tangannya
mengisyaratkan bahwa tas komputer jinjing, tas-tas kamera, dan tas
tangan kami semua ditinggal di situ untuk nanti akan dikembalikan.
Barang-barang petinggi Hamas yang mengantarkan kami juga
diperiksa," Dzikru menceritakan suasana saat itu. Belum
selesai. Mereka kemudian diantarkan ke sebuah ruang pertemuan yang
ditata seperti ruang tamu di rumah-rumah, berpintu kayu dengan ukiran
yang indah. Sunyi dan tenang. Di dinding terdapat billboard bergambar
puluhan pemimpin Hamas yang sudah menjadi syuhada, diantaranya Insinyur
Al-Maghfurullaah Yahya Ayyasy dan Syaikh Shalah Syahadah. Ada sebuah
poster besar bergambar khusus satu orang, Allahuyarham Syaikh Ahmad
Yassin. Di ujung ruangan yang memanjang itu ada maket raksasa
Qubatusy-Syaqr bangunan indah beratap sepuhan emas, icon Al-Quds. Di
ujung yang satu, sebuah wallpaper besar menutupi seluruh dinding
bergambar Masjidil Aqsha, peta dan bendera Palestina, serta logo
gerakan Hamas. Di atas gambar masjid suci ketiga itu tertulis ayat
Al-Qur'an surah Al-Isra' ayat pertama: Subhaanalladzii

`asyra bi `abdihi laylan min al-Masjidil Haraam ila al-Masjidil


Aqsha.... Tak lama kemudian seorang pengawal dengan pistol di rompi
dan kabel putih di telinga (mirip para anggota Dinas Rahasia Amerika
yang mengawal presidennya) , datang membawa semua barang-barang Dzikru
dan Santri, lalu mempersilakan mereka untuk menggunakannya. Sesudah 10
menit berlalu datanglah seorang pria yang wajahnya menyirnakan seluruh
ketegangan yang sejak ba'da Maghrib menggumpal. Inilah Khalid
Misy'al. Berjas setelan abu-abu, berkemeja putih bersih lengan
panjang, bersepatu kulit hitam, berkaos kaki abu-abu. Rambut dan
jenggotnya rapi dan memutih di sana sini. Hal pertama yang dilakukan
pria ini begitu masuk ruangan adalah menyapa Santi, satu-satunya
perempuan di ruangan itu. Badannya sedikit membungkuk, telapak tangan
kanannya ia letakkan di dadanya sendiri, sambil tersenyum Misy'al
menyapa, "Assalaamu'alaikum, kayfa haluki.. tamaam?"
Sesudah itu dia menyalami dan memeluk para pria yang hadir, seperti
bertemu dengan teman lama. Bersamaan dengan kedatangan Misy'al, dua
orang pengawal berpistol di pinggang dan rompi mengantarkan air putih
dan piring-piring berisi pisang, anggur, pir, dan apel segar. Abu Umar
Muhammad, Kepala Biro Politik Hamas, tiba-tiba masuk ke dalam ruangan
dengan setelan jas yang sangat rapi. Rupanya ia menjemput Misy'al
untuk sebuah janji yang lain. Kehadiran Abu Umar membatalkan niat
Misy'al untuk makan bersama Dzikru dan Santi sesudah wawancara.
Sesudah saling memperkenalkan diri, wawancara dimulai. "Bahasa
Inggris saya tak begitu bagus," katanya merendah. Pembaca yang
budiman, selamat menikmati perbincangan kontributor kami dengan Khalid
Misy'al yang arti namanya adalah "Api yang Menyala-nyala
Abadi". (Shw)
(BERSAMBUNG ke majalah Hidayatullah edisi Oktober
2006 yang akan segera beredar dalam waktu dekat). Silakan diforward
ke sahabat-sahabat Anda.

Anda mungkin juga menyukai