Anda di halaman 1dari 4

40 Tahun Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia"

<http://hidayatullah .com/index2. php?option= com_content& task=view& id=4437&pop


=1&page=0&Itemid= 55> Cetak halaman ini
<http://hidayatullah .com/index2. php?option= com_content& task=emailform& id=443
7&itemid=55> Kirim halaman ini melalui E-mail
Sabtu, 24 Maret 2007
40 Tahun DDII berdakwah. Gedung tinggi, belum cukup untuk menghadapi
sekularisasi yang makin menggila. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-188
Oleh: Adian Husaini
Belum lama ini, Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia -- secara resmi disingkat
'Dewan Da'wah' -- memasuki usia 40 tahun. Dewan Da'wah didirikan pada Hari
Sabtu, 17 Dzulqa'dah 1386 H/27 Februari 1967. Para pendirinya adalah
tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia, yang juga para pendiri bangsa
(founding fathers), seperti Dr. Mohammad Natsir (Perdana Menteri pertama
Negara Kesatuan Republik Indonesia), Prof. HM Rasjidi (Menteri Agama
Pertama), Mr. Mohammad Roem (Menteri Luar Negeri RI, dan penandatangan
Perjanjian Roem-Van Roejen), Mr. Sjafroedin Prawiranegara (Presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia
pertama), Mr. Burhanuddin Harahap, Prawoto Mangkusasmito, Prof. Kasman
Singodimedjo, Osman Raliby, HM Yunan Nasution, Datok Palimo Kayo (mantan
Duta Besar di Irak), dan sebagainya.
Ketika itu, rezim Orde Baru baru saja memegang tampuk kekuasaan. Umat Islam
sangat berharap rezim ini akan mengakomodasi aspirasi Islam. Harapan itu
begitu besar, mengingat belum lama, umat Islam dan TNI bahu-membahu dalam
melawan kekuatan komunis di Indonesia. Namun, harapan itu ternyata tidak
terwujud. Gelagat rezim Orde Baru untuk menindas aspirasi politik dan
ideologi Islam sudah semakin menonjol. Islam dianggap sebagai ancaman bagi
program politik dan pembangunan ala Orde Baru, yang kemudian ternyata
mengikuti skenario 'pembangunanisme' ala IMF. Stabilitas nasional - termasuk
stabilitas ideologi - dijadikan prioritas. Pancasila, bukan saja dijadikan
sebagai dasar negara, tetapi kemudian dikembangkan sebagai 'pandangan hidup'
dan 'pedoman moral' bangsa. Padahal, masing-masing agama sudah memiliki
sistem dan nilai moral sendiri.
Proses de-Islamisasi dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dalam
politik, misalnya, partai Masyumi tidak diizinkan untuk dihidupkan kembali.
Secara bertahap, berbagai penataan di bidang politik dilakukan. Pada pemilu
pertama era Orde Baru, tahun 1971, ada sekitar 2.500 tokoh-tokoh Masyumi

dilarang untuk dicalonkan. Tahun 1973, dilakukan fusi partai-partai Islam ke


dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nama partai ini sudah tidak khas
Islam lagi. Yang tersisa adalah simbolnya (Ka'bah) dan asasnya (Islam).
Secara bertahap, simbol Ka'bah pun diganti dengan gambar bintang. Dan tahun
1983 keluar Undang-undang asas tunggal untuk partai-partai yang mewajibkan
semua partai politik berasaskan Pancasila. Tahun 1985, ketentuan asas
tunggal ini dikenakan untuk Ormas.
Proses de-Islamisasi ini secara bersamaan dilakukan dengan proses Jawanisasi
atau 'Majapahitisasi' . Para aktor intelektual rezim Orde Baru ketika itu,
benar-benar secara maksimal ingin menyingkirkan 'aroma Islam' dari berbagai
arena politik dan pemerintahan. Nama-nama dan simbol negara - sampai simbol
dan semboyan departemen pemerintahan -- dijauhkan dari 'aroma Islam'. Sampai
nama-nama ruangan di Gedung DPR/MPR diberikan dalam nama-nama Jawa. Hingga
kini, Jawanisasi ini masih tersisa kuat dan sering tampak lucu serta
dipaksakan.
Sebagai contoh, lihatlah tulisan besar di tembok beton depan Gedung Dinas
Pendidikan DKI Jakarta, di Jalan Gatot Subroto. Di situ tertulis huruf-huruf
besar semboyan resmi pendidikan nasional Indonesia: "ING NGARSO SUNG TULODO,
ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI." Seorang Ustad Betawi
yang
bersama saya melewati Gedung itu saya tanyakan arti dari kalimat itu. Dia
sama sekali tidak mengerti. Warisan rezim lama ini masih tetap dilestarikan.
Padahal, apa susahnya mengganti semboyan pendidikan itu dengan bahasa
Indonesia yang mudah dimengerti oleh seluruh rakyat Indonesia? Bukankah,
katanya, kita berbahasa satu, bahasa Indonesia? Jika Undang-undang dasar
saja bisa diamandemen, apakah semboyan pada Departemen yang 'Jawa Centris'
itu tidak bisa diubah?
Mengapa semboyan itu tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan "Mencari Ilmu
adalah Ibadah". "Tuntutlah Ilmu Sampai Akhir Hayat", dan sebagainya. Rezim
berganti rezim. Menteri berganti menteri. Tetapi, semboyan yang tidak
'nasionalis' itu tetap saja dipertahankan. Sudah beberapa kali tokoh-tokoh
organisasi Islam menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan. Tapi,
semboyan pendidikan nasional itu seperti tidak tersentuh dan tak terpikirkan
untuk diubah supaya lebih 'mengindonesia' , supaya bisa dipahami oleh bangsa
Indonesia. Ini tentu tanpa mengurangi rasa hormat terhadap tokoh pendidikan
Kihadjar Dewantara.
Di bidang pemikiran Islam, pemerintah Orde Baru juga melakukan berbagai
upaya de-Islamisasi dan sekularisasi. Secara strategis, upaya pembaruan
pemikiran dan pendidikan Islam dilakukan. Di level publik dan organisasi
Islam, pada 2 Januari 1970, muncullah Nurcholish Madjid yang secara resmi
menggulirkan ide sekularisasi dari dalam tubuh organisasi Islam. Di kampus
Islam, mulai ditanamkan studi Islam ala orientalis yang dimotori oleh Harun

Nasution. Tahun 1973, secara resmi, buku karya Harun Nasution yang berjudul
"Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya" dijadikan sebagai buku wajib dalam
studi Islam di seluruh perguruan tinggi Islam. Perkembangan sekularisasi dan
liberalisasi di Indonesia sudah sering kita bahas dalam catatan ini.
Menghadapi situasi dakwah yang seperti itu, para tokoh Islam yang dulunya
aktif dalam Partai politik Masyumi, mulai merumuskan langkah dakwah yang
baru. Mereka kemudian berkumpul di Masjid al-Munawarah Tanah Abang Jakarta.
Dari situlah tercetus ide pembentukan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, yang
secara resmi didirikan pada 27 Februari 2007.
Para tokoh Dewan Da'wah kemudian merumuskan langkah-langkah dakwah yang
sistematis, yang dalam istilah Dr. Moh. Natsir, dibagi dalam dua jenis,
yaitu "binaan wa difa'an. Dakwah adalah melakukan pembinaan di tengah umat
dalam berbagai bentuknya, dan juga sekaligus mempertahankan Islam dari
berbagai serangan yang merusak Islam. Bisa dikatakan, ini adalah rumusan
'al-amru bil ma'ruf wal nahyu 'anil munkar'.
Sejak saat itu, Dewan Da'wah menjadi salah satu komponen umat Islam yang
menjadi garda depan dalam pengembangan dakwah di Indonesia. Di
kampus-kampus, Dewan Da'wah memelopori pembangunan masjid kampus dan
pembinaan keislaman dosen-dosen serta mahasiswa Islam. Dewan Da'wah juga
aktif membantu pengiriman dosen dan mahasiswa Islam untuk melanjutkan studi
ke luar negeri. Bersama Badan Kerjasama Pondok Pesantren, Dewan Da'wah pun
terlibat dalam pembangunan dan pengembangan pesantren. Belum lagi pembinaan
dai dan masjid-masjid di seluruh Indonesia. Di bidang penerbitan, Dewan
Da'wah tercatat sangat aktif dalam berbagai bentuk penerbitan Islam, baik
buku, majalah, maupun buletin dakwah di masjid-masjid.
Apa yang dilakukan oleh Dewan Da'wah, terutama melalui pemikiran tokohnya,
Moh. Natsir, merupakan sesuatu yang sangat berarti dalam perjalanan dakwah
di Indonesia. Tetapi, saat ini, sebagian kalangan Muslim sendiri mencoba
mengecilkan nama dan arti seorang Natsir, dengan mengangkat nama Nurcholish
Madjid sebagai cendekiawan terbesar dan tokoh Islam kultural di Indonesia.
Dalam sebuah diskusi terbatas, saya pernah mengkritik draft naskah sebuah
buku terbitan sebuah universitas di Australia yang menyebutkan tokoh Islam
kultural di Indonesia adalah Nurcholish Madjid. Nama Moh. Natsir, Hamka, dan
sebagainya, justru tidak disebut-sebut sebagai tokoh Islam kultural.
Padahal, Nurcholish Madjid sendiri sering bangga dijuluki sebagai 'Natsir
muda'.
Kini diusianya yang sudah 40 tahun, Dewan Da'wah telah jauh berkembang.
Dewan Da'wah memiliki perwakilan di 32 propinsi dan lebih dari 200 daerah
tingkat II di Indonesia. Berbagai kegiatan dakwah yang terus dilakukan Dewan
Da'wah diantaranya: Pengelolaan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad
Natsir, penerbitan majalah, buletin, buku, program bantuan sosial,

pembangunan masjid-masjid di seluruh Indonesia, dan sebagainya. Kini, Dewan


Da'wah membawahi ribuan dai yang tersebar di seluruh Indonesia, baik yang
berada di daerah-daerah perkotaan sampai di pelosok-pelosok pedalaman atau
daerah terpencil.
Saat ini, Dewan Da'wah sedang menyelesaikan Gedung Menara Dakwah setinggi 8
lantai, di pusat kota Jakarta, di Jalan Kramat Raya 45, yang bisa dikatakan
sebagai gedung dakwah tertinggi di Jakarta. Gedung ini akan dimanfaatkan
untuk perkantoran Dewan Da'wah, ruang kuliah STID Moh. Natsir, ruang
perpustakaan, pusat multimedia, dan sebagainya.
Sejak berdirinya, Dewan Da'wah telah menjalin kerjasama dakwah dengan
sejumlah lembaga Islam internasional seperti Rabithah Alam Islamy di Mekkah,
al-Haiah Khairiyah al-Islamiyah Kuwait, Komite Koordinasi Amal
Islamy-Organisasi Konferensi Islam Jeddah, International Islamic Council for
Da'wah and Relief (IICDR) Kairo, Haiah al-Ighatsah al-Islamiyah al-Alamiyah
Jeddah, RISEAP Kuala Lumpur, Muassasah Da'wah Islamiyah Alamiyah Tripoli,
Jemaat Islamy Pakistan, Amanah 'Ammah li-Syuun al-Haramain Saudi Arabia, dan
sebagainya. Ketua Umum Dewan Da'wah sekarang, H. Hussein Umar, duduk sebagai
Anggota Badan Eksekutif al-Haiah al-'Ulya li-Tansiq al-Munadhamat
al-Islamiyah yang berpusat di Mekah.
Di zaman sekularisasi dan liberalisasi yang semakin menggila saat ini,
tantangan dakwah yang dihadapi Dewan Da'wah juga semakin berat komplek.
Semua ini membutuhkan pemikiran, perencanaan, dan pelaksanaan dakwah yang
semakin canggih dan serius. Dalam istilah Ketua Dewan Dakwah, Ustad Syuhada
Bachri, saat ini dalam dakwah, kita harus melakukan 'kerja keras' dan 'kerja
cerdas'. Kerja keras saja tidak cukup, tanpa disertai dengan kerja yang
cerdas. Karena itulah, Dewan Da'wah kini memerlukan tenaga-tenaga dai yang
handal, ikhlas, dan cerdas, sesuai dengan tantangan dakwah yang dihadapi.
Mudah-mudahan di usianya yang ke-40, dan ke depan, Dewan Da'wah Islamiyah
Indonesia sanggup menjalankan dan mengembangkan amanah dakwah yang
dititipkan oleh para pendirinya. Amin. [Jakarta, 23 Maret 2007/
<http://www.hidayatu llah.com/> www.hidayatullah. com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio
dakta 107 FM dan <http://www.hidayatu llah.com/> www.hidayatullah. com
Source : http://hidayatullah .com/index. php?option= com_content
<http://hidayatullah .com/index. php?option= com_content& task=view& id=4437&Item
id=55> &task=view&id= 4437&Itemid= 55

Anda mungkin juga menyukai