PENDAHULUAN
Sifat kekentalan ini dapat digunakan untuk mengatur tekstur bahan pangan,
sedangkan sifat gelnya dapat diubah oleh gula atau asam.
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda.
Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran,
dan letak hilum yang unik. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin,
granula patinya akan menyerap air dan membengkak.
Praktikum gelatinisasi pati ini bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi
pati dari berbagai macam sampel tepung, seperti tepung tapioka, tepung pati
jagung (Maizena), dan pati hunkue.
1.2 Maksud dan Tujuan
- Mengetahui suhu gelatinisasi pati dari tepung tapioka.
- Mengetahui suhu gelatinisasi pati dari tepung jagung.
- Mengetahui suhu gelatinisasi pati dari tepung hunkue.
1.3 Waktu dan Tempat
Waktu :
Tempat : Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tepung
Tepung terdiri dari butir-butir granula. Tiap tepung memiliki bentuk granula
sehingga dapat
menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Lemak juga akan diabsorbsi
oleh permukaan granula hingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik
disekitar granula. Lapisan tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula
pati, sehingga kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air untuk
terjadinya pengembangan granula berkurang (Richana dan Sunarti, 2004).
Beberapa macam tepung pati seperti tepung tapioka, tepung jagung dan tepung
hunkue.
2.1.1 Tepung Tapioka
Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu,
dimana pati itu terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi terlarut disebut amilosa dan yang tidak terlarut disebut amilopektin akan
mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin kecil
kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektinnya, maka pati
cenderung menyerap air lebih banyak (Tjokroadikusoemo, 1986).
2.1.2 Tepung Jagung
Tepung jagung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara
penggilingan atau penepungan. Tepung jagung adalah produk setengah jadi dari
biji jagung kering pipilan yang dihaluskan dengan cara penggilingan kemudian di
ayak.
Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh
dengan cara menggiling biji jagung (Zea mays L.) yang bersih dan baik melalui
proses pemisahan kulit, endosperm, lembaga, dan tip cap. Endosperm merupakan
bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat
yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus
dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar,
sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan
2.2
Gelatinisasi
Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula
pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula (Winarno, 1947).
Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapat balik, tetapi jika
pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula menjadi bersifat tidak
dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur granula.
Menurut Shamekh (2002), gelatinisasi adalah proses transisi fisik bersifat
endotermis yang merusak keteraturan molekuler granula dan melibatkan proses
pembengkakan granula, pelelehan Kristal, hilangnya birefringence dan pelarutan
pati.
Secara sensori, proses gelatinisasi bisa diamati karena akan menyebabkan
meningkatnya viskositas pati terdispersi. Hal ini terjadi karena absorbsi air oleh
granula pati. Fenomena gelatinisasi pati diamati dengan menggunakan perubahan
pola difraksi sinar-x, menggunakan mikroskop polarisasi cahaya dan dengan
metode differential scanning calorimetry. Selama proses gelatinisasi, Kristal pati
akan mengalami pelelehan yang ditandai dengan menurunnya intensitas difraksi
sinar-x, hilangnya sifat birefringent melalui pengukuran dengan mikroskop
polarisasi cahaya dan menurunnya refleksi sinar melalui pengukuran dengan
differential scanning calorimetry .
Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat birefringence dan pola difraksi
sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu gelatinisasi dapat ditandai saat terjadi
pembengkakan pada granula pati di dalam air panas secara irreversible dan
diakhiri granula pati telah kehilangan sifat kristalnya. Suhu gelatinisasi pati
berbeda-beda, ini disebabkan karena perbedaan ukuran, bentuk, dan energi yang
diperlukan
untuk
mengembang.
Berdasarkan
profil
gelatinisasi
pati
dikelompokkan atas 4 jenis, yaitu profil tipe A merupakan pati yang memiliki
kemampuan mengembang yang tinggi, yang ditunjukkan dengan tingginya
viskositas maksimum serta terjadi penurunan selama pemanasan (mengalami
breakdown). Profil tipe B mirip dengan pati tipe A, tetapi viskositas maksimum
lebih rendah. Profil tipe C adalah pati yang telah mengalami proses
pengembangan yang terbatas, yang ditandai dengan tidak adanya viskositas
maksimum dan viskositas breakdown (menunjukkan ketahanan panas yang
tinggi). Profil tipe D adalah pati yang mengalami proses pengembangan yang
terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya profil viskositas (Kusnandar, 2011).
Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya kelarutan,
dimana semakin tinggi suhu maka akan semakin tinggi pula nilai kelarutannya.
Kenaikan nilai swelling power dan kelarutan ditentukan oleh lamanya waktu dan
suhu pemanasan yang menyebabkan terjadinya degradasi dari pati sehingga rantai
pati tereduksi dan cenderung lebih pendek sehingga mudah menyerap air. Air
yang terserap pada setiap granula menyebakan nilai swelling power meningkat,
dikarenakan granula-granula yang terus membengkak dan saling berhimpitan
(Hakiim dan Sistihapsari, 2011).
Kandungan amilosa mempengaruhi tingkat pengembangan dan penyerapan
air pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kemampuan pati untuk
menyerap air dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai
proses
pembentukan gel memerlukan waktu yang lama dan suhu yang cukup tinggi. Hal
ini menandakan amilopektin yang terkandung pada tepung campuran cukup
tinggi. Kandungan amilopektin yang cukup tinggi pada tepung campuran serta
amilopektin yang memiliki ikatan cabang 1,6 glukosa mempunyai sifat sedikit
menyerap air dan sukar larut di dalam air. Tingginya kandungan amilopektin pada
tepung campuran sehingga pada saat pendinginan energi yang diperlukan untuk
membentuk gel tidak cukup kuat untuk melawan kecenderungan molekul amilosa
untuk menyatu kembali. Pada saat dilakukan proses pendinginan, pasta pati yang
telah dipanaskan disertai dengan pangadukan, ini memperlihatkan terjadinya
proses retrogradasi dari molekul-molekul amilosa dan amilopektin dan viskositas
pasta meningkat kembali sedangkan suhu pasta menurun (Hasnelly, 2011).
Setiap jenis pati mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari panjang
rantai C-nya, apakah bentuk rantai molekulnya lurus atau bercabang. Pati
termasuk homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati mempunyai dua
fraksi yaitu fraksi yang larut dalam air panas namanya amilosa dan fraksi yang
tidak larut dalam air panas namanya amilopektin.
III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA
3.1
3.2
-
Alat
Beker gelas 100 mililiter,
Timbangan,
Termometer,
Pipet 10 mililiter,
Stopwatch,
Pengaduk
Bahan
Tepung jagung (merk Maizena),
Tepung tapioka,
Tepung hunkue,
Akuades,
Air suhu 60oC, 70oC, 80oC, dan 90oC yang dibiarkan turun suhunya hingga
70oC, 50oC, dan 30oC.
3.3
Prosedur Kerja
Tepung jagung (merk Maizena), tepung tapioka, dan tepung hunkue
dalam beker gelas dibiarkan sekitar 5-8 menit hingga suhunya turun menjadi
70oC, kemudian diambil sebanyak 10 mililiter menggunakan pipet dan
dikeluarkan. Setelah itu campuran tepung dan air suhu 70oC dibiarkan hingga
suhunya turun menjadi 50oC dan dilakukan hal yang sama. Begitu pula pada
campuran tepung dan air dengan suhu 30oC.
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
Hunkue
Tapioka
Maizena
60oC
70oC
80oC
16,33
15,10
25,16
14,64
18,76
22,28
16,6
11,27
13,40
70oC
15,7
11,26
12,61
90oC
50oC
15,6
247
12,55
30oC
16,1
325
13,69
*) angka dalam tabel merupakan waktu penetesan (detik) yang diperlukan untuk
mengeluarkan 10 mililiter campuran tepung dan air dari pipet
4.2
Pembahasan
Menurut Winarno (1984), gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan
granula pati sehingga granula pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi
semula. Pada pati terdapat fraksi terlarut yang disebut amilosa dan ada pula fraksi
yang tidak terlarut disebut dengan amilopektin. Perbandingan amilosa dan
amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati.
Semakin
kecil
amilopektinnya,
kandungan
maka
(Tjokroadikusoemo, 1986).
pati
amilosa
atau
cenderung
semakin
menyerap
tinggi
lebih
kandungan
banyak
air
Pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi akan membentuk gel yang
tidak kaku, sedangkan pati dengan kandungan amilopektin rendah akan
membentuk gel yang kaku (Matz, 1984).
Mekanisme gelatinisasi pati secara ringkas dan skematis diuraikan oleh
Harper (1981) sebagai berikut:
1.
akibat meningkatnya aplikasi panas dan air yang berlebihan yang menyebabkan
granula mengembang lebih lanjut.
3.
granula pati bertujuan untuk mengetahui besarnya pembengkakan granula pati dan
juga untuk mengetahui suhu gelatinisasi dari masing-masing pati. Penambahan
panas akan menyebabkan granula pati mengalami peningkatan volume menjadi
lebih besar.
Penambahan air pada pati akan membentuk suatu sistem dispersi pati
dengan air, karena pati mengandung amilosa dan amilopektin yang mempunyai
gugus hidroksil yang reduktif. Gugus hidroksil akan bereaksi dengan hidrogen
dari air. Dalam keadaan dingin viskositas sistem dispersi pati air hanya berbeda
sedikit dengan viskositas air, karena ikatan patinya masih cukup kuat sehingga air
belum masuk ke dalam granula pati. Setelah dipanaskan ikatan hidrogen antara
amilosa dan amilopektin mulai melemah sehingga air semakin mudah masuk ke
dalam susunan amilosa dan amilopektin dan terjadi pembengkakan granula.
Apabila pemanasan dilanjutkan dalam jangka waktu tertentu kemudian dilakukan
pendinginan maka perubahan viskositas pati akan membentuk profil yang
berbeda-beda tergantung pada jenis pati.
Perlakuan penetesan pati dari pipet untuk masing-masing tepung dengan
campuran air pada suhu tertentu bertujuan untuk mengukur viskositas masingmasing pati dari tepung pati jagung, tepung tapioka, dan pati hunkue.
Dari tabel dan kurva hasil pengamatan dapat terlihat perbedaan waktu
penetesan masing-masing tepung dengan suhu yang berbeda pula. Pati hunkue
dengan pencampuran air pada suhu 70oC, waktu penetesannya tercatat 14,64
detik, sementara pencampuran dengan air pada suhu 80 oC, waktu penetesannya
16,6 detik. Terjadi kenaikan waktu penetesan.
Sementara, untuk tepung pati jagung (Maizena) dengan pencampuran air
pada suhu 70oC, waktu penetesannya tercatat 22,28 detik, dan pencampuran
dengan air pada suhu 80oC, waktu penetesannya 13,40 detik. Terjadi penurunan
waktu penetesan dan berbanding terbalik dengan waktu penetesan pati hunkue
pada suhu yang sama.
Viskositas dan suspensi pati hunkue lebih tinggi tiga kali daripada pati
jagung dan menunjukkan tidak adanya penurunan (Budiyati, 2010). Akan tetapi,
dari teori yang telah disebutkan tidak sama dengan hasil yang didapatkan pada
praktikum kali ini.
Secara umum pati hunkue termasuk pati yang memiliki kandungan amilosa
beesar (25-30%) (Muchtadi et al, 1987). Pada dasarnya amilosa akan lebih
berperan saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakter dari pasta pati.
Suhu gelatinisasi pati hunkue berkisar antara 71-72oC (Thitipraphunkul, 2003).
Sedangkan, menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati jagung adalah 6280oC, dan kandungan amilosanya sekitar 25%.
Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan pati lebih banyak menyerap
air, sehingga pembengkakan granula pati terjadi pada suhu yang lebih rendah.
Dari hasil pengamatan, lamanya waktu penetesan akan menentukan viskositas.
Semakin lama waktu penetesannya, maka viskositasnya semakin tinggi (semakin
detik. Tepung pati jagung (Maizena), pada suhu 50oC waktu penetesannya 12,55
detik, sementara pada suhu 30oC, waktu penetesannya 13,69 detik.
Pati yang telah dicampurkan dengan air bersuhu 90oC dibiarkan dingin
hingga suhunya mencapai 70oC, 50oC dan 30oC. Pada suhu 90oC, diperkirakan
bahwa pati telah melewati suhu gelatinisasinya. Sesuai dengan teori yang telah
disebutkan sebelumnya, suhu gelatinisasi pati hunkue dan pati jagung dibawah
90oC.
Campuran pati yang dibiarkan dingin dan turun suhunya akan kembali
mengalami kenaikan viskositas. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pati jagung
maupun pati hunkue mengalami peningkatan waktu penetesan dari suhu 50oC ke
30oC. Dengan meningkatnya waktu penetesan, maka viskositas juga meningkat.
Pati jagung dan pati hunkue pada suhu 50 oC memiliki waktu penetesan
paling rendah setelah pencampuran dengan air pada suhu 90oC. Kedua jenis pati
tersebut dapat dikatakan mengalami breakdown viscosity. Breakdown viscosity
adalah penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju
viskositas terendah ketika suhu dipanaskan pada suhu 90 oC (Utami, 2009). Nilai
breakdown viscosity yang rendah menunjukkan tingkat kehancuran granula yang
cukup tinggi. Pada viskositas terendah ini granula akan hancur sempurna dan
komponen amilosa dan amilopektin terpisah.
V
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian penambahan air dengan suhu 60oC, 70oC, 80oC, dan 90oC
pada tepung pati jagung (Maizena), tepung tapioka dan pati hunkue, dapat
disimpulkan:
1. Suhu gelatinisasi dari tiap pati berbeda, dapat tergantung dari kadar
amilosa yang terkandung di dalamnya, perbedaan ukuran maupun sebaran
granula pati tersebut.
2. Suhu gelatinisasi untuk pati jagung sekitar 70 oC yang ditandai dengan
menurunnya waktu penetesan pada suhu 70oC dan suhu 80oC. Sementara
suhu gelatinisasi untuk pati ganyong sekitar 80oC yang ditandai dengan
meningkatnya waktu penetesan pada suhu 70oC dan suhu 80oC. Suhu
gelatinisasi untuk tepung tapioka (pati singkong) sekitar 70oC yang
ditandai dengan menurunnya waktu penetesan pada suhu 70 oC dan suhu
80oC
DAFTAR PUSTAKA
Budiyati, Rina. 2010. Formulasi Tepung Komposit Berbasis Pati
Ganyong (Canna edulis Kerr.) Termodifikasi Heat Moisture
Treatment dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata)
pada Pembuatan Mi Kering, Skripsi, Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Dewan
Standar
Nasional.
1995.
Tepung
Jagung.
Menteri
Pertanian. Jakarta
Fennema, Owen R. 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.
Greenwood, C. T. 1979. Observation on The Structure of The Starch Granule. Di
dalam J. M. V. Blanshard dan J. R. Mitchel (eds). Polisacharides in food.
Butter Worth London.
Harper, J.M. 1981. Extrusion of Food Vol II. Florida: CRC Press Inc. Boca Raton.
Matz, S.A. 1984. Food Texture. New York: The AVI Publ. Co.
Poedjiadji, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press.
Shamekh, SS. 2002. Effects of Lipids, Heating and Enyzmatic Treatment on
Starches. Finland: Technical Research Center of Finland.
Subandi Inu G dan Hermanto. 1998. Jagung Teknologi produksi dan Pascapanen.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Sultanry dan Kaseger. 1985. Kimia Pangan. Makassar: Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Bagian Timur.
Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT.
Gramedia.
Utami, Putri Yudi. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker)
Melalui Perbaikan Proses Produksi, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.